Sistem Akuntansi Pemerintah Pusat
Dasar Hukum
1. Keputusan Presiden RI No. 42 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan APBN
- Menteri/Pimpinan Lembaga wajib menyelenggarakan pertanggungjawaban penggunaan dana yang dikuasainya berupa laporan realisasi anggaran dan neraca departemen/lembaga bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Keuangan.
- Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota/kepala satuan kerja yang menggunakan dana bagian anggaran yang dikuasai Menteri Keuangan wajib menyampaikan pertanggungjawaban penggunaan dana kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala BAKUN.
2. Keputusan Menteri Keuangan No. 337/KMK.012/2003 Tanggal 18 Juli 2003 tentang Sistem Akuntansi dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
1. Keputusan Kepala Badan Akuntansi Keuangan Negara No. KEP-16/AK/2004 tanggal 24 Juni 2004 tentang Pelaksanaan Penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Negara /Lembaga Tahun Anggaran 2004.
Tanggung Jawab Fungsi Akuntansi Departemen/Lembaga
- Kakanwil mempunyai wewenang/tanggungjawab terhadap akuntansi dan pelaporan keuangan yang meliputi seluruh kantor dan proyek di wilayahnya
- Sekjen, Dirjen dan Unit Eselon I lainnya mempunyai wewenang/ tanggungjawab terhadap seluruh kantor dan proyek dibawah kendalinya. Juga mempunyai tanggungjawab untuk penyusunan laporan konsolidasi atas seluruh kantor dan proyek yang di bawah kendali masing-masing Eselon I dimaksud
- Sekjen bertanggung jawab untuk menyiapkan laporan keuangan konsolidasi untuk tingkat departemen/lembaga.
Keluaran Sistem Akuntansi Menurut Pusat PertanggungJawaban;
1. Pusat Pertanggungjawaban
- Seluruh Pemerintah Pusat
- Departemen/Lembaga
- Eselon I
- Propinsi
- Satuan Kerja
- Proyek
2. Penanggung Jawab
- Presiden
- Menteri/Ketua Lembaga
- Sekjen/Irjen/Dirjen/Kepala
- Kepala Kantor Wilayah
Unit Pelaksana SAPP
1. Departemen Keuangan
- BAKUN Pusat
- Kantor Akuntansi Regional
- Kantor Akuntansi Khusus
2. Departemen/Lembaga
- Unit Akuntansi Kantor Pusat Instansi (UAKPI)
- Unit Akuntansi Eselon I (UAE I)
- Unit Akuntansi Wilayah (UAW)
Laporan Departemen/Lembaga
1. Laporan Realisasi Anggaran
- Laporan Realisasi Anggaran bertujuan untuk melaporkan Pelaksanaan anggaran selama periode tertentu
- Laporan ini memperlihatkan perbandingan realisasi belanja dengan allotment yang dirinci menurut tujuan dan klasifikasi belanja atau perbandingan realisasi pendapatan denganestimasi pendapatan
Neraca
- Neraca bertujuan untuk melaporkan posisi keuangan pada suatu tanggal tertentu
- Neraca menginformasikan saldo perkiraan aset, hutang dan ekuitas dana pada akhir periode pelaporan
Pemrosesan Data SAPP
1. Buku Besar
- Penerimaan/pengeluaran Anggaran
- Aktiva tetap
- Hutang Jangka Panjang
- Investasi Permanen
2. Laporan
- Laporan Realisasi Anggaran
- Laporan Bulanan Inventaris, Laporan Mutasi Barang Triwulanan, Laporan Tahunan
- Laporan Hutang Jangka Panjang
- Laporan Investasi Permanen
3. Pelaksanaan Penyusunan Neraca Departemen/Lembaga
Waktu Penyampaian Laporan
1. Laporan Realisasi Anggaran dan Neraca , selambat-lambatnya disampaikan ke BAKUN pada akhir bulan bulan Maret tahun berikutnya.
OTONOMI DAERAH dan PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAN DERAH
Diperkirakan penerapan kewenangan otonomi daerah baru akan terlaksana pada tahun 2002 atau bahkan tahun berikutnya. Perubahan ini sekaligus ditandai dengan pergantian pemerintahan pada pemilu mendatang. Sudah menajdi persoalan publik, perihal akan berlakunya pelaksanaan otonomi yang luas.
Berbagai tulisan mengenai tinjauan terhadap otonomi daerah pernah dimuat pada edisi 17 dan 18 pada Buletin Pengawasan ini. Namun yang patut disayangkan, tinjauan tentang otonomi daerah tersebut masih mengacu pada UU yang lama, yakni UU No. 5 tahun 1974 dan PP No. 45 tahun 1992. Padahal UU tersebut kurang menyiratkan asas demokrasi dan jauh dari rumusan mengenai kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan secara luas. Belum bersinggungan terhadap proses perubahan urusan daerah masing-masing secara penuh dan bertanggung jawab serta adanya proses reformasi yang tengah berlangsung dalam rangka penyerahan urusan pemerintahan dan pembangunan ke daerah masing-masing.
Oleh karena itu melalui tulisan ini, saya mencoba mengetengahkan UU yang baru (No. 22/99 dan No. 25/99) tentang Otonomi Daerah dan Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai tinjauan umum tentang otonomi daerah yang dikehendaki oleh masyarakat dan pemerintah daerah, juga mencoba mencari solusi dan visi kewenangan otonomi daerah sebagai upaya membangun paradigma baru otonomi yang luas.
Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomr 22/1999, otonomi daerah akan diimplementasikan ke daerah. Bahkan dengan adanya perubahan tahun anggaran yang akan dimulai 1 Januari 2001 mendatang, sangat mungkin implementasi tersebut juga dipercepat, karena idealnya tahun anggaran 2001 harus sudah ditopang oleh kewenangan-kewenangan serta struktur organisasi/kelembagaan baru yang harus disesuaikan dengan paradigma baru otonomi.
Pada pasal 11 UU no. 22/1999 yang mengatur tentang (1) Kewenangan daerah kabupaten/kotamadya mencakup semua kewenangan yang dikecualikan pasal 7 ayat (2). Substansi kewenangan daerah khususnya kabupaten/ kotamadya yang selama ini diketahui, keculai kewenangan dalam bidang politik luar negeri, Pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter, fiskal serta agama sebagai diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) yang menjabarkan pasal 7 ayat (2) dan pasal 9 yang saat ini sedang dimantapkan di pusat (disosialisasikan ke daerah).
Pada pasal 11 ayat (2) bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kotamadya meliputi pekerjaan umum (sekarang kimbangwil), kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 25/1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah sampai saat ini belum jelas seperti apa penjabarannya ke dalam PP. Yang jelas, saat ini pemerintah daerah sangat berharap agar pendelegasian kewenangan dalam bidang keuangan yang juga sedang dirumuskan di Pusat, harus memberi kesempatan pada daerah untuk secara aktif dan kreatif serta bertanggung jawab mengembangkan potensi daerahnya. Memang, pada saat ini untuk sementara masih berlaku UU no. 18 tahun 1997 tentang Pajak dan Restribusi Daerah yang justru sangat membatasi kewenangan daerah.
Pendelegasian Kewenangan
Uraian mengenai pengertian dan visi dari pendelegasian kewenangan dalam otonomi daerah sebagai perwujudan dalam upaya membangun paradigma baru otonomi dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pertama
Pendelegasian kewenangan pengelolaan keuangan. Pendelegasian kewenangan ini menyangkut khususnya pada pembagian keuangan pusat-daerah berdasarkan UU no. 25/1999 menurut pandangan daerah. Bagi kabupaten/kotamadya yang memiliki sumber minyak bumi, gas, kehutanan, pertambangan umum maupun perikanan yang berdasarkan formula baru akan menerima lebih banyak dari pusat, serta harus segera menyiapkan program belanja yang benar-benar berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat daerah sesuai tuntutan otonomi. Di lain pihak, pemerintah pusat/propinsi harus mampu menyediakan dana alokasi khusus untuk menghindari ketimpangan penerimaan antar kabupaten/kotamadya di satu propinsi antara lain karena tidak meratanya ketersediaan sumber-sumber alam atau potensi lainnya. Sebaliknya, bagi daerah yang tidak memiliki sumber alam sebagaimana dimaksud UU No. 25/1999, maka untuk menjaga tingkat kesejahteraan yang sudah dicapai sampai saat ini, sebaiknya menerima alokasi bantuan/subsidi yang minimal sama dengan sebelum diberlakukannya sistem alokasi baru nanti. Di sisi lain, kewenangan mengatur yang berkaitan dengan kebijakan atas perencanaan dan pelaksanaan program/proyek/kegiatan yang bersumber dana dari bantuan pusat/propinsi harus didelegasikan sepenuhnya kepada kabupaten/kotamadya. Artinya tidak perlu ada lagi mekanisme semacam rapat teknis yang hanya menambah tenaga hierarki dan pendanaan.
Kedua
Pendelegasian kewenangan politik. Mekanisme Pendelegasian kewenangan politik yang berlaku efektif pada saat dan setelah pelaksanaan Pemilu 1999 yang lalu, telah mencapai suatu perkembangan yang sangat signifikan dibanding bidang-bidang lainnya. Pelimpahan kekuasaan politik kepada daerah, di samping telah memberdayakan peran DPRDnya, juga secara pasti sedang mengarah pada terwujudnya sistem check and balance dalam sistem kekuasaan di daerah. Bahkan dalam hal-hal tertentu, implementasi kewenangan politik sudah berkembang jauh melampaui batas-batas etika dan bahkan terkadang berbenturan dengan fungsi birokrasi. Kondisi ini terjadi dimungkinkan karena :
1. Terputusnya hierarki kewenangan pusat dan propinsi atas sistem politik di kab/kota. Dengan demikian perlu diimbangi dengan tumbuhnya peran kontrol masyarakat (internal control) kepada DPRDnya, agar dalam menjalankan fungsi kontrolnya yang ketat kepada eksekutif dan perlu diimbangi pula adanya kontrol masyarakat atas perilaku politiknya. Dengan kedudukan yang sejajar bahwa DPRD merupakan mitra bagi pemerintah daerah, maka fungsi kontrol dapat dilaksanakan secara efektif.
Pemilu tahun 1999 yang menghasilkan DPRD yang representatif telah mewakili politik rakyat daerah, sehingga memiliki kewenangan politik yang sangat otonom. Dalam konteks otonomi daerah, kekuasaan politik yang dimiliki DPRD tersebut didukung oleh kedudukan dan fungsi legislatif yang terpisah dari eksekutif. DPRD sebagai badan legislatif daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah (pasal 16 ayat 2 UU no. 22/99). Kewenangan dalam politik yang demikian independen di daerah, nampaknya tidak memungkinkan lagi terbukanya peluang intervensi kepentingan pusat atau propinsi dalam proses maupun keputusan politik di daerah, termasuk dalam proses
2. pemilihan kepala daerah (Gubernur/ Walikota/Bupati). Dengan demikian, dengan melalui pendelegasian kewenangan politik ini sebagai upaya membangun paradigma baru otonomi, diharapkan masalah calon titipan atau pendamping dari pusat yang selama ini selalu menyertai dalam pemilihan Kepala daerah hanya tinggal cerita.
3. Adanya kewajiban bagi Gubernur, Walikota dan Bupati untuk menyampaikan pertanggungjawaban pada setiap akhir tahun anggaran akan memperkuat posisi politik DPRD dalam melaksanakan fungsi kontrolnya. Sehingga, pihak eksekutif akan bekerja keras untuk tidak melakukan kesalahan sekecil apapun dalam melaksanakan tugasnya.
4. Dalam rangka menuju bangsa yang demokratis seperti yang tersirat dalam UU no. 22/99 ini, kadangkala sering muncul berbagai kasus yang terkesan keluar dari nilai-nilai demokrasi yang universal seperti isu politik uang atau sejenisnya di daerah. Mudah-mudahan itu hanya merupakan dampak dari keterkejutan sesaat atas terjadinya perubahan yang drastis dan global dalam sistem politik. Pada saatnya akuntabilitas publik dari para aktor politik maupun para birokrat akan menjadi syarat utama yang dituntut masyarakat.
Ketiga
Pendelegasian kewenangan urusan daerah. Dalam konteks UU No. 22/99 pada prinsipnya bukan merupakan sesuatu yang didelegasikan dari atas seperti pada pemerintahan orde lalu, melainkan lebih sebagai tuntutan dari bawah sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah. Yang menjadi pertanyaan, apakah benar akan demikian kenyataannya pada saat nanti? Hal ini perlu dibuktikan dan sangat tergantung pada substansi peraturan pemerintah yang mengatur kewenangan pemerintah dan propinsi yang rencananya akan dikeluarkan pada bulan (Juli 2000).
Seperti yang telah kita ketahui, berdasarkan rancangan PP yang sedang disosialisasikan ke daerah, yang pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari pasal 7 dan 9 UU No.22/99 di dalamnya mengatur 26 bidang kewenangan pusat dan propinsi yang mencakup 426 urusan yang masih menjadi kewenangan pusat dari 203 urusan yang menjadi kewenangan propinsi. Oleh karena itu, diharapkan urusan-urusan yang dalam PP dirancang masih menjadi kewenangan pusat atau propinsi tersebut diharapkan tidak menyimpang (meskipun) melalui berbagai cara apapun) dari maksud otonomi luas dari UU no. 22/99 ini. Sedangkan di luar kewenangan pusat sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 ayat 1 maupun kewenangan propinsi sebagaimana ditetapkan dalam pasal 9 ayat 1 adalah merupakan kewenangan kab/kota sebagai daerah otonom untuk mengatur (legislasi) dan kewenangan untuk mengurusi (eksekusi).
Sebagai upaya mengaktualisasikan mengatur (fungsi legislatif), khususnya dalam menyusun, menetapkan dan mensahkan peraturan daerah sejak diberlakukan UU no. 22/99, kewenangan mulai ada pada daerah. Banyak kebijakan bisa diputuskan dengan cepat dan memungkinkan pelayanan berjalan dengan lebih baik, jika dimilikinya kewenangan mengatur oleh daerah khususnya kabupaten/kotamadya. Sedangkan upaya untuk mengaktualisasikan kewenangan mengurus, tentu akan terkait langsung dengan urusan yang benar-benar dibutuhkan oleh daerah dan tidak termasuk ke dalam urusan propinsi atau pusat berdasarkan PP. Sehingga diharapkan dengan paradigma baru bahwa urusan daerah merupakan sesuatu yang harus lahir dari bawah, maka daerah akan menata ulang kelembagaan maupun SDMnya segera setelah PP tersebut ditetapkan.
Seperti Badan/Dinas/Bagian yang ada saat ini akan disesuaikan dengan urusan yang wajib dilaksanakan berdasarkan UU No. 22/99 (pasal 11) maupun urusan yang harus dilakukan sesuai dengan tuntutan nyata daerah. Dengan demikian, akan lebih bijaksana apabila makna otonomi luas dapat diartikan sebagai kebebasan yang bertanggung jawab untuk memilih dan menentukan urusan sesuai kebutuhan daerah dan dalam batas-batas kemampuan anggaran yang tersedia untuk membiayainya. Selanjutnya, otonomi yang luas tidak diartikan bebas semaunya dan dengan begitu maka daerah akan selalu mempertimbangkan bukan hanya soal banyak atau sedikitnya urusan yang ditangani, tetapi lebih kepada manfaat (benefit) yang diperoleh bagi masyarakat daerah tersebut. Diharapkan dari sini akan lahir dan terbangun akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sebagai upaya mengaktualisasikan mengatur (fungsi legislatif), khususnya dalam menyusun, menetapkan dan mensahkan peraturan daerah sejak diberlakukan UU no. 22/99, kewenangan mulai ada pada daerah. Banyak kebijakan bisa diputuskan dengan cepat dan memungkinkan pelayanan berjalan dengan lebih baik, jika dimilikinya kewenangan mengatur oleh daerah khususnya kabupaten/kotamadya. Sedangkan upaya untuk mengaktualisasikan kewenangan mengurus, tentu akan terkait langsung dengan urusan yang benar-benar dibutuhkan oleh daerah dan tidak termasuk ke dalam urusan propinsi atau pusat berdasarkan PP. Sehingga diharapkan dengan paradigma baru bahwa urusan daerah merupakan sesuatu yang harus lahir dari bawah, maka daerah akan menata ulang kelembagaan maupun SDMnya segera setelah PP tersebut ditetapkan.
Seperti Badan/Dinas/Bagian yang ada saat ini akan disesuaikan dengan urusan yang wajib dilaksanakan berdasarkan UU No. 22/99 (pasal 11) maupun urusan yang harus dilakukan sesuai dengan tuntutan nyata daerah. Dengan demikian, akan lebih bijaksana apabila makna otonomi luas dapat diartikan sebagai kebebasan yang bertanggung jawab untuk memilih dan menentukan urusan sesuai kebutuhan daerah dan dalam batas-batas kemampuan anggaran yang tersedia untuk membiayainya. Selanjutnya, otonomi yang luas tidak diartikan bebas semaunya dan dengan begitu maka daerah akan selalu mempertimbangkan bukan hanya soal banyak atau sedikitnya urusan yang ditangani, tetapi lebih kepada manfaat (benefit) yang diperoleh bagi masyarakat daerah tersebut. Diharapkan dari sini akan lahir dan terbangun akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kesiapan Daerah untuk Otonomi
Kesiapan daerah untuk melaksanakan otonomi di samping karena memadainya kewenangan otonom yang dimiliki, juga harus didasarkan pada suatu keyakinan bahwa pelayanan yang dilakukan oleh lembaga yang terdesentralisasi adalah lebih baik daripada yang tersentralisasi. Pada akhirnya, untuk melaksanakan otonomi, perlu ada sikap konsistensi dari substansi peraturan pemerintah yang mengatur pelaksanaan lebih lanjut UU No. 22/99 dan UU No.25/99. Di pihak lain, segi materi (keuangan) memang sangat penting, tetapi bukan segalanya dalam mengatur pemerintahan. Karena yang lebih penting lagi adalah diberikannya kebebasan kewenangan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi pemerintahannya yang sebenarnya sudah menjadi hak atau milik daerah sejak lama. Yang terpenting lagi, masyarakat daerah harus mampu bersikap kritis dan berani menyatakan hal yang benar bila para politikus (DPRD) dan birokrat menyimpang dari rel yang benar. Karena tanpa dukungan dari masyarakat daerah tersebut, membangun visi otonomi daerah yang diinginkan oleh bangsa ini sulit akan diwujudkan.
No comments:
Post a Comment