Friday, 31 March 2017

Hakikat Kebenaran Dan Pengetahuan Nilai Kebaikan Dan Keindahan

Hakikat Kebenaran Dan Pengetahuan Nilai Kebaikan Dan Keindahan
Apa itu hakikat? Hakikat ialah realitas; realitas adalah “real” artinya kenyataan yang sebenarnya. jadi, hakikat adalah kenyataan yang sebenarnya, keadaan sebenarnya sesuatu, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu, bukan keadaan yang berubah. Jika kita berbicara tentang teori hakikat, maka sangat luas sekali. Segala yang ada dan yang mungkin ada, yang boleh juga mencakup pengetahuan dan nilai (hakikat pengetahuan dan hakikat nilai). Oleh karena itu, kajian hakikat ini dalam kajian filosofis dinamakan ontologi. Dalam makalah ini akan kita bahas tentang hakikat kebenaran dan pengetahuan, serta nilai kebaikan dan keindahan.

A. HAKIKAT PENGETAHUAN DAN KEBENARAN
Pengetahuan dan kebenaran adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Pengetahun merupakan hasil dari pencarian sebuah kebenaran. Kebenaran adalah hasil dari rasa ingin tahu. Jadi antara pengetahuan dan kebenaran selalu bersama-sama. Banyak pendapat tentang pengetahuan maupun kebenaran yang mengatakan keduanya saling terkait. Akan tetapi banyak orang masih bingung tentang apa itu pengetahuan ataupun kebenaran.

Berfikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Banyak orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah mencari kebenaran, namun masalahnya tidak sampai disitu saja. Problem kebenaran inilah yang memicu tumbuh dan berkembangnya efestimologi.

1. Definisi Pengetahuan 
Pengetahuan dalam pandangan filsafat memiliki 3 teori, yakni teori pengetahuan yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan yang disebut epistemologi. Kedua teori hakikat yang membicarakan pengetahuan itu sendiri yang disebut ontologi. Ketiga, teori nilai yang membicarakan guna pengetahuan itu yang disebut aksiologi.

Ada sebagian ahli yang berpandangan bahwa pengetahuan dengan ilmu tidaklah berbeda. Pengetahuan bagi mereka tidak ubahnya sebagai ilmu, sehingga ilmu dengan pengetahuan tidak berbeda. Sebagian lagi memahami bahwa pengetahuan berbeda dengan ilmu atau ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah. Sebagaimana dinyatakan M. Thoyibi (1994: 35), pengetahuan ilmiah tidak lain adalah ‘a higner level’ dalam perangkat pengetahuan manusia dalam arti umum sebagaimana kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan menurut Amsal Bakhtiar (2005), pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.

Menurut Jujun S. Suriasumantri (1990: 105) pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu. Dengan demikian, ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia disamping berbagai pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama.

Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yaitu knowledge. Dalam Encyclopedia of philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah keparcayaan yang benar (knowledgw is justified true belief). Sedangkan Maufur (2008:30), menjelaskan bahwa ilmu adalah sebagian dari pengetahuan yang memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu, artinya ilmu tentu saja merupakan pengetahuan, tetapi pengetahuan belum tentu ilmu. Karena pengetahuan untuk dapat dikategorikan sebagai ilmu harus memenuhi beberapa persyaratan, yakni sistematis, general, rasional, objektif, menggunakan metode tertentu , dan dapat dipertanggung jawabkan.

Menurut Drs. Sidi Gazalba pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai. Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses usaha dari manusia untuk tahu.

Menurut kamus filsafat dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) didalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif. Orang pragmatis, tertuma John Dewey tidak membedakan pengetahuan dengan kebenaran (antara knowledge dengan truth). Jadi pengetahuan itu harus benar, kalau tidak benar adalah kontradiksi. 

Beranjak dari pengetahuan adalah kebenaran dan kebenaran adalah pengetahuan, maka didalam kehidupan manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran. Burhanuddin salam, menjelaskan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat yaitu: 
  • Pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan yang diartikan dengan good sense, karena sesorang memiliki sesuatu dimana ia menerima secara baik. Bola itu dikatakan bulat karena memang berbentuk bulat, air jika dipanaskan akan mendidih dan sebagainya. Pengetahuan ini diperoleh dari kehidupan sehari-hari. 
  • Pengetahuan ilmu (secience), yaitu ilmu dalam pengertian yang sempit diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kuantitatif dan obyektif. 
  • Pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Filsafat membahas segala hal dengan kritis sehingga dapat diketahui secara mendalam tetntang apa yang sedang dikaji. 
  • Pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat utusan-Nya, sehingga pengetahuan ini bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. 
Adapun Scheler membedakan jenis pengetahuan menurut wujudnya dan menurut ketertiban abadi daripada realita dalam skala sebagai berikut:
  • Pengetahuan theologis
  • Pengetahuan filosofis
  • Pegetahuan tentang yang lain, baik kolektif maupun individual
  • Pengetahuan tentang dunia lahir
  • Pengertahuan teknis, dan
  • Pengetahuan ilmiah. 
Abd. Aziz, M.Pd.I membedakan pengetahuan manusia menjadi tiga jenis pengetahuan yaitu:
  1. Pengetahuan Ilmiah: yaitu pengetahuan yang diperoleh dan dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah atau dengan menggunakan cara kerja atau metode ilmiah.
  2. Pengetahuan Moral: dalam hal moral tidak ada klaim kebenaran yang absah. Penilaian dan putusan moral adalah soal perasaan pribadi atau produk budaya tempat orang lahir dan dibesarkan.
  3. Pengetahuan Religius: yakni pengetahuan kita tentang Tuhan yang sesungguhnya berada diluar lingkup pengetahuan manusia. 
2. Hakikat dan sumber pengetahuan
Pengetahuan berkembang dari rasa ingin tahu, yang merupakan ciri khas manusia karena manusia adalah makhluk yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Manusia mengembangkan pengetahuannya untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dia memikirkan hal-hal baru, karena dia hidup bukan sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu manusia mmpunyai tujuan tertentu dalam hidupnya yang lebih tinggi dari sekedar kelangsungan hidupnya. Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannya, dan pengetahuan ini jugalah yang mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi.

Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia yang disebabkan oleh dua hal utama, yakni pertama manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomonikasikan informasi tersebut. Kedua, yang menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuannya dengan cepat dan mantap adalah kemampuan berfikir menurut suatu alur kerangka berfikir tertentu. 

Ada dua teori untuk dapat mengetahui hakikat dari sebuah pengetahuan. Yaitu teori Realisme dan idealisme.
  • Teori realisme mengatakan bahwa pengetahuan adalah kebenaran yang sesuai dengan fakta. Apa yang ada dalam fakta itu dapat dikatakan benar. Dengan teori ini dapat diketahui bahwa kebenaran obyektif juga di butuhkan bukan hanya mengakui kebenaran subyektif. Contoh kita mengetahui bahwa pohon itu memang tertancap ditanah karena kenyataannya memang begitu dan obyeknya terlihat sangat nyata. Jadi teori ini mengakui adanya apa yang mengetahui dan apa yang diketahui.
  • Teori idealisme memiliki perbedaan pendapat dengan realisme. Pada teori ini dijelaskan bahwa pengetahuan itu bersifat subyaktif. Oleh karena itu pengetahuan menurut teori ini tidak menggambarkan hakikat kebenaran, yang diberikan pengetahuan hanyalah gambaran menurut pendapat atau penglihatan orang yang mengatahui (subjek).
Kalau realisme mempertajam perbedaan antara yang mengatahui dan yang diketahui, idealisme adalah sebaliknya. Bagi idealisme dunia dan bagian-bagiannya harus dipandang sebagai hal-hal yang mempunyai hubungan seperti organ tubuh dengan bagian-bagiannya. Sebenarnya realisme dan idealisme memiliki kelemahan-kelamahan tertentu. Realisme ekstrim bisa sampai pada materialistik atau dualisme.

Dengan adanya kedua teori tersebut dapat dikatakan semua orang memiliki pengetahuhan walaupun dasar yang mereka pakai berbeda-beda. 

Selain itu pengetahuan diperoleh pula dari sumber yang lebih dari satu. Yaitu sumber empirisme, rasionalisme, intuisi dan wahyu.
  1. Empirisme menyatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan dengan pengalaman yang dialaminya. Teori ini bersifat inderawi jadi antara satu dengan yang lain memiliki perbedaan. Akal dalam teori ini hanyalahmengelola konsep gagasan inderawi saja dan tidak dikedepankan. Jhon locke (1632-1704) mengemukakan teori tabula rasa. Maksudnya manusia pada awalnya kosong kemudian pengalaman mengisi kekosongan tersebut sehingga menjadi pengetahuan. Pengalaman di dapat dari indera yang awalnya sederhana menjadi sangat komplek jadi sekomplek apapun pengetahuan akan dapat kembali pada sumbernya yaitu indera. Jadi pengetahuan yang tidak dapat di indera bukan pengetahuan yang benar karena indera adalah sumber pengetahuan. Teori ini menjadi lemah karena indera manusia memiliki keterbatasan.
  2. Rasionalisme menjelaskan bahwa akal adalah dasar kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diukur dan diperoleh dari akal. Teori ini membenarkan pemakaian indera untuk memperoleh pengetahuan akan tetapi harus di olah dengan akal. Jadi sumber kebenarannya adalah akal. Di sini juga dapat mengetahui tentang konsep-konsep pengetahuan yang abstrak. Namun toeri ini memiliki kelemahan karena data-data tidak selalu sempurna sehingga akal tidak dapat menmukan pengetahuan yang benar-benar sempurna.
  3. Intuisi menerangkan bahwa pengetahuan diperoleh dari pemikiran tingkat tinggi. Kegiatan intuisi dan analisis bisa saling membantu untuk menemukan kebenaran. Mereka yang menggunakan intuisi biasanya memperoleh pengetahuan dengan perantara hati bukan indera maupun akal. Sehingga teori ini menggunakan metode perenungan yang mendalam untuk mencari kebenaran.
  4. Sumber yang terakhir adalah wahyu yang menjelaskan bahwa pengetahuan di peroleh langsung dari Tuhan melalui perantara Nabi. Pengetahuan yang seperti ini tidak memerlukan waktu untuk berfikir ataupun merenung. Pengetahuan didapatkan kemudian dikaji lebih lanjut sehingga dapat meningkatkan keyakinan tentang kebenarannya. Berbeda dengan ilmu pengetahuan yang melakukan penelitian terlebih dahulu baru kemudian mendapat pengetahuan dan di ketahui kebenarannya.Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan manusia, dunia, dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.
3. Defenisi Kebenaran
Adapun kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif, yaitu suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi. Kebenaran adalah persesuaian (Agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan fakta aktual; atau antara putusan (judgement) dengan situasi seputar (environmental situation) yang diberi interpretasi.

Dalam tradisi Yunani kebenaran dibahas dari segi hakikat dan sifatnya. Kaum sofis berpendapat bahwa kebanaran relatif dan subjektif. Setiap orang memiliki kebenaran sendiri-sendiri. Phrotagoras salah satu tokoh Sufis mengatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran segala sesuatu.

Dalam filsafat pengkajian tentang standar kebenaran amat penting karena salah satu defenisi filsafat adalah mencari kebenaran. Al-Gajali adalah ilmuan Islam yang sangat serius mencari kebenaran, sampai dia mengalami keraguan yang sangat hebat, sehingga melemahkan fisiknya. Pertama kali ia mempelajari ilmu kalam, tetapi dalil ilmu kalam tidak memuaskan dan mendatangkan kebenaran serta belum bisa mengobati keraguannya. Menurut Al-Gajali, dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran yang bertentangan. Selanjutnya, setiap pendapat atau golongan merasa dirinya yang paling benar, sehingga timbul tanda Tanya dalam dirinya, aliran manakah yang paling benar dari semua aliran. Keinginan Al-Gajali adalah mencari kebanaran yang hakiki, yaitu kebenara adalah mencari kebenaran yang hakiki, yaitu kebenaran yang tidak diragukan lagi, seperti sepuluh lebih banyak dari tiga. Al-Gajali sampai pada kebenaran yang demikian dalam tasawuf setelah ia mengalami proses yang panjang dan berbelit-belit. Tasawuflah yang menghilangkan keraguannya. Pengetahuan mistik menurutnya adalah cahaya yang diturunkan oleh Allah SWT ke dalam dirinya. Cahaya itu adalah cahaya yang menyinari dirinya seseorang sehingga itu adalah cahaya yang menyinari dirinya seseorang sehingga terbukanya tabir yang merupakan sumber segala pengetahuan.

4. Tingkatan dan kriteria kebenaran
Kebenaran bersifat relatif sehingga semua orang memiliki kriteria kebenaran yang berbeda-beda. Tingkatan kebenaran dari yang terendah ke pemahaman yang tertinggi adalah sebagai berikut. Pertama, adalah kebenaran inderawi. Inderawi merupakan kebenaran yang paling sederhana. Sesuatau dikatakan benar jika dapat dilihat dengan indera tanpa berfikir lebih lanjut. Kedua, adalah kebenaran ilmiah (sains). Kebenaran pada tingkatan ini didasarkan pada indera dan diolah menggunakan rasio. Sehingga kebenaran dapat diakui jika dapat dirasio dan di lihat atau dirasakan dengan indera. Ketiga, adalah kebenaran filsafat. Kebenaran pada tingkatan ini diperoleh dari rasio dan pemikiran lebih mendalam (perenungan) tentang suatu hal. Sehingga dapat diketahui kebenaran yang lebih mendalam. Yang terakhir kebenaran religius. Kebenaran ini bisa juga dikatakan kebenaran yang mistis karena tidak dapat dilihat dengan indera dan di rasio. Kebenaran ini bersifat mutlak karena kebenaran ini bersumber dari tuhan.

5. Teori kebenaran
Ada beberapa teori yang muncul tentang kebenaran, antara lain :

1. Teori koherensi
Koherensi merupakan teori kebenaran yang menegaskan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat, kejadian, atau imformasi) akan diakui shahih/dianggap benar pabila memiliki hubungan dengan gagasan dari proposisi sebelumnya yang juga shahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika. Misalnya semua makhluk hidup akan mati, pohon termasuk makhluk hidup jadi suatu saat pohon akan mati.

2. Teori korespondensi
Sesuatu dikatakan benar apabila sesuai dengan objek yang dituju. Contoh ibu kota Indonesia adalah Jakarta, maka pernyataan ini adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta memang menjadi Ibu Kota Republik Indonesia.

3. Teori pragmatik
Merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri ada kreteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan atau tidaknya suatu pernyataan dalam ruang lingkup dan waktu tertentu. Sesuatu dikatakan benar jika memiliki manfaat dan sudah diuji. Selama belum diuji belum dikatakan benar atau tidak.

4. Teori positivisme
Aguste Comte (1798-18570 menyatakan cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains adalah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/ empiris” yang mereka nampakkan positif.

5. Teori esensialisme
Pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia.Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak ada nilai-nilai yang memeliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas. 

6. konstruktivisme
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran generatif adalah tindakan mencipta suatu makna dari apa yang dipelajari.

7. Teori relegiusme
Teori ini memaparkan bahwa manusia bukanlah semata-semata makhluk jasmaniah, tetapi juga makhluk rohaniah.Teori religius ini kebenaran nya secara ontologis dan aksiologis bersumber dari sabda Tuhan yang disampaikan melalui wahyu dan bersifat mutlak.

B. NILAI KEBAIKAN DAN KEINDAHAN
Sebagaimana diketahui bahwa secara keilmuan, filsafat berada dalam posisi seperti pohon yang memiliki cabang-cabang yang disebut aksiologi yang mempelajari tentang hakikat nilai. Dimana ada 3 nilai yang dipersoalkan, yaitu nilai keindahan, nilai kebaikan, dan nilai kebenaran. Nilai keindahan dipersoalkan secara khusus dalam cabang filsafat Estetika. Nilai Kebenaran dipersoalkan dalam cabang filsafat Efestemologi, dan nilai kebaikan dipelajari dalam cabang filsafat Etika.

Nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Menurut Riserri Frondizi, nilai itu merupakan kualitas yang tidak tergantung pada benda-benda adalah sesuatu yang bernilai. Ketidaktergantungan ini mencakup setiap bentuk emperis, nilai adalah kualitas priori. Menurut Louis O.Kattsof nilai diartikan sebagai berikut:
  1. Nilai merupakan kualitas emperis yang tidak dapat didefenisikan, tetapi kita dapat mengalami dan memahami secara langsung kualitas yang terdapat dalam objek itu. Dengan demikian nilai tidak semata-semata subjektif, melainkan ada tolak ukur yang pasti terletak pada esensi objek tertentu.
  2. Nilai sebagai objek dari suatu kepentingan, yakni suatu objek yang berada dalam kenyataan maupun pikiran dapat memperoleh nilai jika suatu ketika berhubungan dengan subjek-subjek yang memiliki kepentingan.
  3. Sesuai dengan pendapat Dewey, nilai adalah sebagai hasil dari pemberian nilai, nilai itu diciptakan oleh situasi kehidupan.
  4. Nilai sebagai esensi nilai adalah hasil ciptaan yang tahu, nilai sudah sejak semula, terdapat dalam setiap kenyataan namun tidak bereksistensi, nilai itu bersifat objektif dan tetap.
  5. Nilai Kebaikan Telah diketahui secara umum bahwa etika adalah suatu studi filosifis mengenai moral (Philosophical study of morals). Jadi persoalan pokoknya adalah tentang ‘hakikat moral’. Moral adalah masalah tingkah laku dalam hubungannya dengan diri sendiri dan sesamanya, sejauh mana mengandung nilai kebaikan Hakikat kebaikan yang menjadi persoalan sentral etika adalah ‘nilai baik’ menurut semua segi. Dipandang dari sisi manapun, nilai kebaikan tidak pernah mengalami perubahan. Jadi bersifat mutlak. Hal-hal seperti kesehatan, ketenangan, ketentraman, kemakmuran, kebahagiaan dan sebagainya, tetap mengandung nilai kebaikan. Hanya saja jenis perilaku mana yang bersesuaian dengan nilai kebaikan itu? Sebab, tidak semua jenis perilaku berbanding lurus dengan nilai kebaikan. 
Berdasar pada sistematika filsafat, nilai keindahan, kebenaran, kebaikan berada saling berhubungan secara integral menurut hokum kausalitas. Maksudnya, yang bernilai baik seharusnya benar dan indah, yang bernilai benar seharusnya baik dan indah, dan yang bernilai indah seharusnya benar dan baik. Tetapi apakah fakta perilaku mencerminkan dimensi hubungan seperti itu?

Pada hakikatnya, kehidupan ini indah, ketika semua pihak bekarja sama untuk saling menolong dan memberi dalam ikatan kebersamaan yang harmonis Jadi, hakikat nilai kebaikan itu berada di dalam perilaku. Dengan demikian, hakikatnya dapat diketahui dari fakta perilaku. Apakah perilaku itu bersesuaian dengan derajat nilai kemanusiaan ataukah tidak. Sedangkan derajat nilai kemanusiaan itu terletak pada apakah suatu perilaku mampu menumbuhkan moral menolong, memberi, sehingga menjadikan semua pihak mampu hidup mandiri, kreatif, cakap, dan terampil dalam kehidupannya.

Dari segi bahasa baik atau kebaikan dalah terjemahan dari kata Khoir, al-Birr, al- Ma’ruf (dalam bahasa Arab). Good (dalam bahasa Inggris). Dikatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan, kepuasan, kesenangan dan persesuaian.

Sedang ‘baik’ menurut ethik adalah sesuatu yang berharga untuk tujuan, sesuatu yang mendatangkan dan memberikan rasa senang dan bahagia. Sebaliknya yang tidak berharga, tidak berguna untuk tujuan dan merugikan maka disebut buruk. Jadi disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Walaupun tujuan orang atau golongan di dunia ini berbeda-beda, sesungguhnya pada akhirnya semuanya mempunyai tujuan yang sama sebagai tujuan akhir tiap-tiap sesuatu.

6. Nilai Keindahan
Berbicara tentang keindahan (estetika), Semiawan (2005:159) menjelaskan sebagai “the study of nature of beauty in the fine art”, mempelajari tentang hakikat keindahan di dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat dengan mudah dipahami oleh khalayak luas.

Keindahan adalah persesuaian antara bermacam-macam pengalaman dalam diri seseorang satu dengan yang lainnya untuk menghasilkan efek yang maksimal. Keindahan merupakan hubungan antara unsur-unsur realitas disamping hubungan dengan kebendaan. Oleh sebab itu sesuatu bagian dari pengalaman dapat menjadi bahagian yang indah.

Tuhan itu indah dan menyukai keindahan, menurut sebuah ungkapan. Apa yang dimaksud indah? Menurut Jalal al-Din Rumi (1207-1273 M) keindahan adalah manifestasi cinta, kepada Tuhan sebagai keindahan sejati maupun keadaan selain-Nya sebagai keindahan imitasi. 

Menurut Thomas Aquinas (1224-1274) dan Jacques Maritain, keindahan adalah realitas indah yang ada pada objek yang kemudian memberikan perasaan enak dan senang pada objek. Keindahan bersifat objektif, sebaliknya menurut George Santyana (1863-1952 M), indah adalah perasaan nikmat atau suka dari subjek pada suatu objek yang kemudian menganggapnya sebagai milik objek, artinya apa yang disebut indah sangat subjektif.

Jadi dapat kita katakan bahwa kalau alam ini adalah hasil buatan zat yang tidak terbatas, maka keindahan ini ada artinya, sedangkan perkataan lain kalau Tuhan ada maka pengalaman keindahan adalah suatu hal yang harus kita rasakan. Menurut Al-Gajali, keindahan mempunyai persyaratan seperti: 
  • Perwujudan dari kesempurnaan yang dapat dikenali kembali dalam suatu dengan sifatnya 
  • Memiliki perfeksi yang karakteristik 
  • Semua sifat pada sesuatu yang indah, merupakan representasi (mewakili) keindahan yang bernilai tinggi 
  • Nilai keindahan dari suatu yang indah, sebanding dengan nilai keindahan yang terdapat didalamnya. Dalam sebuah karangan (tulisan) harus memiliki sifat-sifat perfeksi yang khas, keharmonisan huruf-huruf, hubungan arti yang tepat satu sama lain, pelanjutan dari spasi yang tepat serta susunan kata dan kalimat yang menyenangkan. 
Syarat lain untuk keindahan adalah tercakupnya nilai-nilai spiritual, moral, dan agama. 
Oleh karena itu, hakikat keindahan yang paling esensial sangat ditentukan antara lain
  • Rasa menyenangkan dan menimbulkan rasa senang
  • Adanya hubungan antara bagian-bagian sebagai suatu keseluruhan (obyek, subyek) sebagai suatu kesatuan didalam suatu keseluruhan.
  • Tercakup unsur kebaikan, sehingga dapat memupuk rasa kemoralan
  • Antara keindahan dan kebaikan memiliki keterdekatan. Karena intisari mutlak dari hakikat yang indah itu harus baik, mengandung keharmonisan, nyata dan teraga, berguna serta lebih bermamfaat.
  • Harus terkait dengan nilai-nilai spiritual, moral dan agama.
Walaupun keindahan itu tidak tetap sifatnya. Berdasarkan rumusan-rumusan yang dikemukakan, namun dapat disimpulkan bahwa hakikat keindahan itu terletak didalam keabadian dari keindahan itu sendiri. Walaupun cara memandang, mengamati, menghayati sesuatu yang indah senantiasa ditentukan oleh alur pikiran dan perasaan masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA;
  • Adib, muhammad, Filsafat Ilmu, Yogjakarta:Pustaka Pelajar, 2011.
  • Ahmad Khudori Saleh, M.Ag. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2012
  • Abd. Aziz, M.PdI, Filasafat Pendidikan Islam.Yogyakarta: Teras, 2009
  • Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2010.
  • Drs. A. Susanto, M. P.d, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011
  • Departemen Agama Islam, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984
  • H. Endang Saifuddin Anshari, M.A, Ilmu, Filsafat, dan Agama. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985
  • W.JS. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999
  • Louis Katsoff, Pengantar Filsafat, ter. Soejono Sumargono, Yogya: Tiara Wacana, 1992
  • Suparlan Suhartono, M.Ed. Ph. Filsafat Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2006. 
  • Paul Edward. The Encyclopedia of Philosopy. New York: Macmillan Publishing.1972
  • William C. Chittick, Jalan Cinta Sang sufi Ajaran Spritual Rumi. Terj. Sadat Ismael, Yogya: Qalam, 200
  • Http://www. Katailmu.com/2013/03/hakikat-keindahan.html#sthash.vxS2oo10.dpuf 

No comments:

Post a Comment