Latar Belakang Dan Pengertian Identitas Nasional
Situasi
dan kondisi masyarakat kita dewasa ini menghadapkan kita pada suatu
keprihatinan dan sekaligus juga mengundang kita untuk ikut bertanggung
jawab atas mosaik Indonesia yang retak bukan sebagai ukiran melainkan
membelah dan meretas jahitan busana tanah air, tercabik-cabik dalam
kerusakan yang menghilangkan keindahannya. Untaian kata-kata dalam
pengantar sebagaimana tersebut merupakan tamsilan bahwasannya Bangsa
Indonesia yang dahulu dikenal sebagai “het zachste volk ter aarde” dalam
pergaulan antar bangsa, kini sedang mengalami tidak saja krisis
identitas melainkan juga krisis dalam berbagai dimensi kehidupan yang
melahirkan instabilitas yang berkepanjangan semenjak reformasi
digulirkan pada tahun 1998. (Koento W, 2005)
Krisis
moneter yang kemudian disusul krisis ekonomi dan politik yang
akar-akarnya tertanam dalam krisis moral dan menjalar ke dalam krisis
budaya, menjadikan masyarakat kita kehilangan orientasi nilai, hancur
dan kasar, gersang dalam kemiskinan budaya dan kekeringan spritual.
“Societal terorism” muncul dan berkembang di sana sini dalam fenomena
pergolakan fisik, pembakaran dan penjarahan disertasi sebagaimana terjadi di Poso, Ambon, dan bom bunuh diri di berbagai
tempat yang disiarkan secara luas baik oleh media massa di dalam maupun
di luar negeri. Semenjak peristiwa pergolakan antar etnis di Kalimantan
Barat, bangsa Indonesia di forum internasional dilecehkan sebagai bangsa
yang telah kehilangan peradabannya.
Kehalusan
budi, sopan santun dalam sikap dan perbuatan, kerukunan, toleransi dan
solidaritas sosial, idealisme dan sebagainya telah hilang hanyut dilanda
oleh derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang penuh paradoks.
Berbagai lembaga kocar-kacir semuanya dalam malfungsi dan disfungsi.
Trust atau kepercayaan antar sesama baik vertikal maupun horisontal
telah lenyap dalam kehidupan bermasyarakat. Identitas nasional kita
dilecehkan dan dipertanyakan eksistensinya.
Krisis
multidimensi yang sedang melanda masyarakat kita menyadarkan kita semua
bahwa pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan Identitas
Nasional kita telah ditegaskan sebagai komitmen konstitusional
sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalam Pembukaan UUD
1945 yang intinya adalah memajukan kebudayaan Indonesia.Dengan demikian
secara konstitusional pengembangan kebudayaan untuk membina dan
mengembangkan Identitas Nasional kita telah diberi dasar dan arahnya.
Identitas Nasional
Kata
identitas berasal dari bahasa Inggris Identity yang memiliki pengertian
harafiah ciri-ciri, tanda-tanda atau jati diri yang melekat pada
seseorang atau sesuatu yang membedakannya dengan yang lain. Dalam term
antropologi identitas adalah sifat khas yang menerangkan dan sesuai
dengan kesadaran diri pribadi sendiri, golongan sendiri, kelompok
sendiri, komunitas sendiri, atau negara sendiri. Mengacu pada pengertian
ini identitas tidak terbatas pada individu semata tetapi berlaku pula
pada suatu kelompok. Sedangkan kata nasional merupakan identitas yang
melekat pada kelompok-kelompok yang lebih besar yang diikat oleh
kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti budaya, agama, dan bahasa maupun
non fisik seperti keinginan, cita-cita dan tujuan. Himpunan
kelompok-kelompok inilah yang kemudian disebut dengan istilah identitas
bangsa atau identitas nasional yang pada akhirnya melahirkan tindakan
kelompok (colective action) yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau
pergerakan-pergerakan yang diberi atribut-atribut nasional. Kata
nasional sendiri tidak bisa dipisahkan dari kemunculan konsep
nasionalisme.
Bila
dilihat dalam konteks Indonesia maka Identitas Nasional itu merupakan
manifestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai
aspek kehidupan dari ratusan suku yang “dihimpun” dalam satu kesatuan
Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan roh
“Bhinneka Tunggal Ika” sebagai dasar dan arah pengembangannya. Dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa hakikat Identitas Nasional kita sebagai
bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah
Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam penataan kehidupan kita
dalam arti luas, misalnya dalam aturan perundang-undangan atau hukum,
sistem pemerintahan yang diharapkan, nilai-nilai etik dan moral yang
secara normatif diterapkan di dalam pergaulan baik dalam tataran
nasional maupun internasional dan lain sebagainya. Nilai-nilai budaya
yang tercermin di dalam Identitas Nasional tersebut bukanlah barang jadi
yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan dogmatis, melainkan
sesuatu yang “terbuka” yang cenderung terus-menerus bersemi karena
hasrat menuju kemajuan yang dimilki oleh masyarakat pendukungnya.
Konsekuensi dan implikasinya adalah bahwa Identitas Nasional adalah
sesuatu yang terbuka untuk ditafsir dengan diberi makna baru agar tetap
relevan dan fungsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam
masyarakat.
Muatan dan Unsur-Unsur Identitas Nasional
a. Muatan Unsur-Unsur Identitas Nasional
Identitas
Nasional adalah merupakan Pandangan Hidup Bangsa, Kepribadian Bangsa,
Filsafat Pancasila dan juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai
kedudukan paling tinggi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara
termasuk disini adalah tatanan hukum yang berlaku di Indonesia, dalam
arti lain juga sebagai dasar negara yang merupakan norma peraturan yang
harus dijunjung tinggi oleh semua warganegara tanpa kecuali “Rule of
Law”, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban warganegara, demokrasi
serta hak asasi manusia yang berkembang semakin dinamis di Indonesia.
Hal inilah akhirnya menjadi etika Politik yang kemudian dikembangkan
menjadi konsep geopolitik dan geostrategi Ketahanan Nasional di
Indonesia.
b. Unsur-Unsur Identitas Nasional
Identitas
Nasional Indonesia merujuk pada suatu bangsa yang majemuk. Kemajemukan
itu merupakan gabungan dari unsur-unsur pembentuk identitas yaitu suku
bangsa, agama, kebudayaan dan bahasa.
- Suku Bangsa: adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir), yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak kurang 300 dialek bahasa.
- Agama: bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yang tumbuh dan berkembang di nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Agama Kong Hu Cu pada masa Orde Baru tidak diakui sebagai agama resmi negara namun sejak pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi negara dihapuskan.
- Kebudayaan, adalah pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
- Bahasa: merupakan unsur pendukung identitas nasional yang lain. Bahasa dipahami sebagai sistem perlambang yang secara arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi ucapan manusia dan yang digunakan sebagai sarana berinteraksi antar manusia.
Dari unsur-unsur Identitas Nasional tersebut diatas dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian sebagai berikut :
- Identitas Fundamental; yaitu Pancasila yang merupakan Falsafah Bangsa, Dasar Negara, dan Ideologi Negara.
- Identitas Instrumental yang berisi UUD 1945 dan Tata Perundangannya, Bahasa Indonesia, Lambang Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”.
- Identitas Alamiah yang meliputi Negara Kepulauan (archipelago) dan pluralisme dalam suku, bahasa, budaya dan agama serta kepercayaan (agama).
Keterkaitan Globalisasi dengan Identitas Nasional
a. Globalisasi
Adanya
Era Globalisasi dapat berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya bangsa
Indonesia. Era Globalisasi tersebut mau tidak mau, suka atau tidak suka
telah datang dan menggeser nilai-nilai yang telah ada. Nilai-nilai
tersebut baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Ini
semua merupakan ancaman, tantangan dan sekaligus sebagai peluang bagi
bangsa Indonesia untuk berkreasi, dan berinovasi di segala aspek
kehidupan.
Di
Era Globalisasi pergaulan antar bangsa semakin ketat. Batas antar
negara hampir tidak ada artinya, batas wilayah tidak lagi menjadi
penghalang. Di dalam pergaulan antar bangsa yang semakin kental itu akan
terjadi proses alkulturasi, saling meniru dan saling mempengaruhi
antara budaya masing-masing. Yang perlu kita cermati dari proses
akulturasi tersebut apakah dapat melunturkan tata nilai yang merupakan
jati diri bangsa Indoensia. Lunturnya tata nilai tersebut biasanya
ditandai oleh dua faktor yaitu :
- Semakin menonjolnya sikap individualistis yaitu mengutamakan kepentingan pribadi diatas kepentingan umum, hal ini bertentangan dengan azas gotong-royong.
- Semakin menonjolnya sikap materialistis yang berarti harkat dan martabat kemanusiaan hanya diukur dari hasil atau keberhasilan seseorang dalam memperoleh kekayaan. Hal ini bisa berakibat bagaimana cara memperolehnya menjadi tidak dipersoalkan lagi. Bila hal ini terjadi berarti etika dan moral telah dikesampingkan.
Arus
informasi yang semakin pesat mengakibatkan akses masyarakat terhadap
nilai-nilai asing yang negatif semakin besar. Apabila proses ini tidak
segera dibendung akan berakibat lebih serius dimana pada puncaknya
mereka tidak bangga kepada bangsa dan negaranya.
Pengaruh
negatif akibat proses akulturasi tersebut dapat merongrong nilai-nilai
yang telah ada di dalam masyarakat kita. Jika semua ini tidak dapat
dibendung maka akan mengganggu ketahanan di segala aspek bahkan mengarah
kepada kreditabilitas sebuah ideologi. Untuk membendung arus
globalisasi yang sangat deras tersebut kita harus berupaya untuk
menciptakan suatu kondisi (konsepsi) agar ketahanan nasional dapat
terjaga. Dengan cara membangun sebuah konsep nasionalisme kebangsaan
yang mengarah kepada konsep Identitas Nasional
b. Keterkaitan Globalisasi dengan Identitas Nasional.
Dengan
adanya globalisasi, intensitas hubungan masyarakat antara satu negara
dengan negara yang lain menjadi semakin tinggi. Dengan demikian
kecenderungan munculnya kejahatan yang bersifat transnasional menjadi
semakin sering terjadi. Kejahatan-kejahatan tersebut antara lain terkait
dengan masalah narkotika, pencucian uang (money laundering), peredaran
dokumen keimigrasian palsu dan terorisme. Masalah-masalah tersebut
berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya bangsa yang selama ini dijunjung
tinggi mulai memudar. Hal ini ditunjukkan dengan semakin merajalelanya
peredaran narkotika dan psikotropika sehingga sangat merusak kepribadian
dan moral bangsa khususnya bagi generasi penerus bangsa. Jika hal
tersebut tidak dapat dibendung maka akan mengganggu terhadap ketahanan
nasional di segala aspek kehidupan bahkan akan menyebabkan lunturnya
nilai-nilai identitas nasional.
Keterkaitan Integrasi Nasional Indonesia dan Identitas Nasional
Masalah
integrasi nasional di Indonesia sangat kompleks dan multidimensional.
Untuk mewujudkannya diperlukan keadilan, kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku, agama, bahasa dan
sebagainya. Sebenarnya upaya membangun keadilan, kesatuan dan persatuan
bangsa merupakan bagian dari upaya membangun dan membina stabilitas
politik disamping upaya lain seperti banyaknya keterlibatan pemerintah
dalam menentukan komposisi dan mekanisme parlemen.
Dengan
demikian upaya integrasi nasional dengan strategi yang mantap perlu
terus dilakukan agar terwujud integrasi bangsa Indonesia yang
diinginkan. Upaya pembangunan dan pembinaan integrasi nasional ini perlu
karena pada hakekatnya integrasi nasional tidak lain menunjukkan
tingkat kuatnya persatuan dan kesatuan bangsa yang diinginkan. Pada
akhirnya persatuan dan kesatuan bangsa inilah yang dapat lebih menjamin
terwujudnya negara yang makmur, aman dan tentram. Jika melihat konflik
yang terjadi di Aceh, Ambon, Kalimantan Barat dan Papua merupakan cermin
dan belum terwujudnya Integrasi Nasional yang diharapkan. Sedangkan
kaitannya dengan Identitas Nasional adalah bahwa adanya integrasi
nasional dapat menguatkan akar dari Identitas Nasional yang sedang
dibangun.
Paham Nasionalisme Kebangsaan
a. Paham Nasionalisme Kebangsaan
Dalam
perkembangan peradaban manusia, interaksi sesama manusia berubah
menjadi bentuk yang lebih kompleks dan rumit. Dimulai dari tumbuhnya
kesadaran untuk menentukan nasib sendiri. Di kalangan bangsa-bangsa yang
tertindas kolonialisme dunia, seperti Indonesia salah satunya, hingga
melahirkan semangat untuk mandiri dan bebas untuk menentukan masa
depannya sendiri. Dalam situasi perjuangan perebutan kemerdekaan,
dibutuhkan suatu konsep sebagai dasar pembenaran rasional dari tuntutan
terhadap penentuan nasib sendiri yang dapat mengikat keikutsertaan semua
orang atas nama sebuah bangsa. Dasar pembenaran tersebut, selanjutnya
mengkristal dalam konsep paham ideologi kebangsaan yang biasa disebut
dengan nasionalisme. Dari sanalah kemudian lahir konsep-konsep
turunannya seperti bangsa (nation), negara (state), dan gabungan
keduanya yang menjadi konsep negara-bangsa (nation-state) sebagai
komponen-komponen yang membentuk Identitas Nasional atau Kebangsaan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa Paham Nasionalisme atau Paham Kebangsaan
adalah sebuah situasi kejiwaan dimana kesetiaan seseorang secara total
diabdikan langsung kepada negara bangsa atas nama sebuah bangsa.
Munculnya nasionalisme terbukti sangat efektif sebagai alat perjuangan
bersama merebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonial. Semangat
nasionalisme diharapkan secara efektif oleh para penganutnya dan dipakai
sebagai metode perlawanan dan alat identifikasi untuk mengetahui siapa
lawan dan kawan.
Secara
garis besar terdapat tiga pemikiran besar tentang nasionalisme di
Indonesia yang terjadi pada masa sebelum kemerdekaan yaitu paham
ke-Islaman, Marxisme dan Nasionalisme Indonesia. Sejalan dengan naiknya
pamor Soekarno dengan menjadi Presiden Pertama RI, kecurigaan diantara
para tokoh pergerakan yang telah tumbuh di saat-saat menjelang
kemerdekaan berkembang menjadi pola ketegangan politik yang lebih
permanen antara negara melalui figur nasionalis Soekarno di satu sisi
dengan para tokoh yang mewakili pemikiran Islam (sebagai agama terbesar
pemeluknya di Indonesia) dan Marxisme di sisi yang lain
b. Paham Nasionalisme Kebangsaan sebagai paham yang mengantarkan pada konsep Identitas Nasional
Paham
Nasionalisme atau paham Kebangsaan terbukti sangat efektif sebagai alat
perjuangan bersama merebut kemerdekaan dari cengkeraman kolonial.
Semangat nasionalisme dihadapkan secara efektif oleh para penganutnya
dan dipakai sebagai metode perlawanan, seperti yang disampaikan oleh
Larry Diamond dan Marc F Plattner, para penganut nasionalisme dunia
ketiga secara khas menggunakan retorika anti kolonialisme dan anti
imperalisme. Para pengikut nasionalisme tersebut berkeyakinan bahwa
persamaan cita-cita yang mereka miliki dapat diwujudkan dalam sebuah
identitas politik atau kepentingan bersama dalam bentuk sebuah wadah
yang disebut bangsa (nation). Dengan demikian bangsa atau nation
merupakan suatu badan wadah yang di dalamnya terhimpun orang-orang yang
mempunyai persamaan keyakinan dan persamaan lain yang mereka miliki
seperti ras, etnis, agama, bahasa, dan budaya. Unsur persamaan tersebut
dapat dijadikan sebagai identitas politik bersama atau untuk menentukan
tujuan organisasi politik yang dibangun berdasarkan geopolitik yang
terdiri atas populasi, geografis dan pemerintahan yang permanen yang
disebut negara atau state.
Nation-state
atau negara-bangsa merupakan sebuah bangsa yang memiliki bangunan
politik (political building) seperti ketentuan-ketentuan perbatasan
teritorial, pemerintahan yang sah, pengakuan luar negeri dan sebagainya.
Munculnya paham nasionalisme atau paham kebangsaan Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari situasi soisal politik dekade pertama abad ke-20. Pada
waktu itu semangat menentang kolonialisme Belanda mulai bermunculan di
kalangan pribumi. Cita-cita bersama untuk merebut kemerdekaan menjadi
semangat umum di kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional untuk
memformulasikan bentuk nasionalisme yang sesuai dengan kondisi
masyarakat Indonesia.
Paham
Nasionalisme di Indonesia yang disampaikan oleh Soekarno yang
disuarakan adalah bukan nasionalisme yang berwatak sempit, tiruan dari
Barat, atau berwatak chauvinism. Nasionalisme yang dikembangkan Soekarno
bersifat toleran, bercorak ketimuran, dan tidak agresif sebagaimana
nasionalisme yang dikembangkan di Eropa. Selain mengungkapkan keyakinan
watak nasionalisme yang penuh nilai-nilai kemanusiaan, juga meyakinkan
pihak-pihak yang berseberangan pandangan bahwa kelompok nasional dapat
bekerja sama dengan kelompok manapun baik golongan Islam maupun Marxis.
Sekalipun Soekarno seorang muslim tetapi tidak sekedar mendasarkan pada
perjuangan Islam, menurutnya kebijakan ini merupakan pilihan terbaik
bagi kemerdekaan maupun bagi masa depan seluruh bangsa Indonesia.
Semangat nasionalisme Soekarno tersebut mendapat respon dan dukungan
luas dari kalangan intelektual muda didikan barat semisal Syahrir dan
Mohammad Hatta yang kemudian semakin berkembang paradigmanya sampai
sekarang dengan munculnya konsep Identitas Nasional, sehingga bisa
dikatakan bahwa Paham Nasionalisme atau Kebangsaan disini adalah
merupakan refleksi dari Identitas Nasional.
Yang
diprihatinkan disini adalah adanya perdebatan panjang tentang paham
nasionalisme kebangsaan dimana mereka mempunyai kesepakatan perlunya
paham nasionalisme kebangsaan namun dalam konteks yang berbeda mengenai
masalah nilai atau watak nasionalisme Indonesia.
Revitalisasi Pancasila sebagai Pemberdayaan Identitas Nasional
a. Revitalisasi Pancasila
Revitalisasi
Pancasila sebagaimana manifestasi Identitas Nasional pada gilirannya
harus diarahkan juga pada pembinaan dan pengembangan moral, sedemikian
rupa sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan dasar dan arah dalam
upaya untuk mengatasi krisis dan disintegrasi yang cenderung sudah
menyentuh ke semua segi dan sendi kehidupan, dan harus kita sadari bahwa
moralitas Pancasila akan menjadi tanpa makna, menjadi sebuah
“karikatur” apabila tidak disertai dukungan suasana kehidupan di bidang
hukum secara kondusif. Antara moralitas dan hukum memang terdapat
korelasi yang sangat erat, dalam arti bahwa moralitas yang tidak
didukung oleh kehidupan hukum yang kondusif akan menjadi subjektivitas
yang satu sama lain akan saling berbenturan, sebaliknya ketentuan hukum
yang disusun tanpa disertai dasar dan alasan moral akan melahirkan suatu
legalisme yang represif, kontra produktif dan bertentangan dengan
nilai- nilai Pancasila itu sendiri.
Dalam merevitalisasi Pancasila sebagai manifestasi Identitas Nasional, penyelenggaraan MPK hendaknya dikaitkan dengan wawasan:
- Spiritual, untuk meletakkan landasan etik, moral, religiusitas, sebagai dasar dan arah pengembangan sesuatu profesi.
- Akademis, untuk menunjukkan bahwa MPK merupakan aspek being yang tidak kalah pentingnya bahkan lebih penting daripada aspek having dalam kerangka penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang bukan sekedar instrumen melainkan adalah subjek pembaharuan dan pencerahan.
- Kebangsaan, untuk menumbuhkan kesadaran nasionalismenya agar dalam pergaulan antar bangsa tetap setia kepada kepentingan bangsanya, bangga dan respek kepada jatidiri bangsanya yang memilki ideologi tersendiri.
- Mondial, untuk menyadarkan bahwa manusia dan bangsa di masa kini siap menghadapi dialektikanya perkembangan dalam masyarakat dunia yang “terbuka”. Mampu untuk segera beradaptasi dengan perubahan yang terus menerus terjadi dengan cepat, dan mampu pula mencari jalan keluarnya sendiri dalam mengatasi setiap tantangan yang dihadapi, sebab dampak dan pengaruh perkembangan Iptek yang bukan lagi hanya sekedar sarana, melainkan telah menjadi sesuatu yang substantif yang dalam kehidupan umat manusia bukan hanya sebagai tantangan melainkan juga peluang untuk berkarya.
b. Pemberdayaan Identitas Nasional
Dalam
rangka pemberdayaan Identitas Nasional kita, perlu ditempuh melalui
revitalisasi Pancasila. Revitalisasi sebagai manifesatsi Identitas
Nasional mengandung makna bahwa Pancasila harus kita letakkan dalam
keutuhannya dengan Pembukaan, dieksplorasikan dimensi-dimensi yang
melekat padanya, yang meliputi:
- Realitas: dalam arti bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dikonsentrasikan sebagai cerminan kondisi objektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat kampus utamanya, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat sein im sollen dan das sollen im sein.
- Idealitas: dalam arti bahwa idealisme yang terkandung di dalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan di objektivasikan sebagai “kata kerja” untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif, menuju hari esok yang lebih baik, melalui seminar atau gerakan dengan tema “Revitalisasi Pancasila”.
- Fleksibilitas: dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan “tertutup”menjadi sesuatu yang sakral, melainkan terbuka bagi tafsir-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan jaman yang terus-menerus berkembang. Dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa dan semangat “Bhinneka Tunggal Ika”, sebagaimana dikembangkan di Pusat Studi Pancasila (di UGM), Laboratorium Pancasila (di Universitas Negeri Malang).
Sehingga
dengan demikian agar supaya Identitas Nasional dapat difahami oleh
masyarakat sebagai penerus tradisi dengan nilai-nilai diwariskan oleh
nenek moyang kita, maka pemberdayaan nilai-nilai ajarannya harus
bermakna dalam arti relevan, dan fungsional bagi kondisi aktual yang
sedang berkembang dalam masyarakat. Perlu kita sadari bahwa umat manusia
masa kini hidup di abad XXI, yaitu jaman baru juga sarat dengan
nilai-nilai baru yang tidak saja berbeda, tetapi juga bertentangan
dengan nilai-nilai lama sebagaimana diwariskan oleh nenek moyang dan
dikembangkan para pendiri negara kita. Abad XXI sebagai jaman baru
mengandung arti sebagai jaman dimana umat manusia semakin sadar untuk
berfikir dan bertindak secara baru.
Dengan
kemampuan refleksinya manusia menjadikan rasio sebagai mitos, sebagai
sarana yang handal dalam bersikap dan bertindak dalam memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan. Kesahihan tradisi, juga
nilai-nilai spiritual yang dianggap sakral kini dikritisi dan
dipertanyakan berdasarkan visi dan harapan tentang masa depan yang lebih
baik. Nilai-nilai budaya yang diajarkan oleh nenek moyang kita tidak
hanya kita warisi sebagai barang sudah “jadi” yang berhenti dalam
kebekuan normatif dan nostalgik, melainkan harus diperjuangkan dan terus
menerus harus kita tumbuhkan dalam dimensi ruang dan waktu yang terus
berkembang dan berubah.
Dalam
kondisi kehidupan bermasyarakat dan berbangsa yang sedang dilanda oleh
arus krisis dan disintegrasi maka Pancasila tidak terhindar dari
berbagai macam gugatan, sinisme, serta pelecehan terhadap kredibilitas
dirinya sebagai dasar negara atau pun sebagai manifestasi Identitas
Nasional, namun demikian perlu segera kita sadari bahwa tanpa suatu
“platform” dalam format dasar negara atau ideologi, maka mustahil suatu
bangsa akan dapat survive menghadapi berbagai tantangan dan ancaman yang
menyertai derasnya arus globalisasi yang melanda ke seluruh dunia.
Melalui
revitalisasi Pancasila sebagai wujud pemberdayaan Identitas Nasional
inilah, maka Identitas Nasional dalam alur rasional-akademik tidak saja
segi tekstual melainkan juga segi konstekstualnya dieksplorasikan
sebagai referensi kritik sosial terhadap berbagai penyimpangan yang
melanda masyarakat kita dewasa ini. Untuk membentuk jati diri maka
nilai-nilai yang ada tersebut harus digali dulu misalnya nilai-nilai
agama yang datang dari Tuhan dan nilai-nilai yang lain misalnya gotong
royong, persatuan kesatuan, saling menghargai menghormati, yang hal ini
sangat berarti dalam memperkuat rasa nasionalisme bangsa. Dengan saling
mengerti antara satu dengan yang lain maka secara langsung akan
memperlihatkan jati diri bangsa kita yang akhirnya mewujudkan identitas
nasional kita.
Sementara
itu untuk mengembangkan jati diri bangsa dimulai dari nilai-nilai yang
harus dikembangkan yaitu nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, berani
mengambil resiko, harus bertanggung jawab terhadap apa yang boleh
dilakukan, adanya kesepakatan dan berbagai terhadap sesama. Untuk itu
perlu perjuangan dan ketekunan untuk menyatukan nilai, cipta, rasa dan
karsa itu. (Soemarno, Soedarsono).
Disinilah
letak arti pentingnya penyelengaraan MPK dalam kerangka pendidikan
tinggi untuk mengembangkan dialog budaya dan budaya dialog mengantarkan
lahirnya generasi penerus yang sadar dan terdidik dengan wawasan
nasional yang menjangkau jauh ke masa depan. MPK harus kita manfaatkan
untuk mengembalikan identitas nasional kita, yang di dalam pergaulan
antar bangsa dahulu kita dikenal sebagai bangsa yang paling “halus” atau
sopan di bumi” het zachste volk ter aarde”.(Wibisono Koento: 2005) Dari
nilai-nilai budaya tersebut mempunyai asumsi dasar bahwa menjadi bangsa
Indonesia tidak sekedar masalah kelahiran saja tetapi juga sebuah
pilihan yang rasional dan emosional yang otonom.
No comments:
Post a Comment