1. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
Hak
asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena
ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya
oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata
berdasarkan martabatnya sebagai manusia.10 Dalam arti ini, maka meskipun
setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya
dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak
tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat
universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya
seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau
betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi
manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata
lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.
Asal-usul
gagasan mengenai hak asasi manusia seperti dipaparkan di atas bersumber
dari teori hak kodrati (natural rights theory). Teori kodrati mengenai
hak itu bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory), yang
terakhir ini dapat dirunut kembali sampai jauh ke belakang hingga ke
zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui
tulisantulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.11 Hugo de Groot
seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”,
atau yang lebih dikenal dengan nama Latinnya, Grotius, mengembangkan
lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus asal-usulnya
yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang
rasional. Dengan landasan inilah kemudian, pada perkembangan
selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-Renaisans, John Locke,
mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke
mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak
dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis
pada abad ke-17 dan ke-18.
Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, “The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration” Locke
mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai
oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang
merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli
oleh negara.12 Melalui suatu ‘kontrak sosial’ (social contract),
perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada
negara. Tetapi, menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan
kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka
rakyat di negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya
dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut.
Melalui teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak individu yang
pra-positif mendapat pengakuan kuat.
Gagasan
hak asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu
mendapat tantangan serius pada abad 19. Edmund Burke, orang Irlandia
yang resah dengan Revolusi Perancis, adalah salah satu di antara
penentang teori hak-hak kodrati. Burke menuduh para penyusun “Declaration of the Rights of Man and of the Citizen” mempropagandakan “rekaan
yang menakutkan mengenai persamaan manusia”. Deklarasi yang dihasilkan
dari Revolusi Perancis itu baginya merupakan “ide-ide yang tidak benar
dan harapan-harapan yang sia-sia pada manusia yang sudah ditakdirkan
menjalani hidup yang tidak jelas dengan susah payah.” Tetapi
penentang teori hak kodrati yang paling terkenal adalah Jeremy Bentham,
seorang filsuf utilitarian dari Inggris. Kritik Bentham yang mendasar
terhadap teori tersebut adalah bahwa teori hak-hak kodrati itu tidak
bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Bagaimana mungkin
mengetahui dari mana asal hak-hak kodrati itu, apa sajakah hak itu dan
apa isinya?
Bentham dengan sinis menertawakan teori hak-hak kodrati itu dengan mengatakan: “Bagi
saya, hak sebagai kata benda (berlawanan dengan kata sifat), adalah
anak kandung hukum: dari hukum riil lahir pula hak-hak riil; namun dari
hukum imajiner; hukum kodrati yang dikhayal dan direka para penyair,
ahli-ahli pidato dan saudagar dalam rupa racun moral dan intelektual
lahirlah hak-hak rekaan ... Hak-hak kodrati adalah omong kosong yang
dungu: hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong yang
retorik, atau puncak dari omong kosong yang berbahaya!”. Lebih
lanjut, dalam sebuah risalahnya yang lain, Bentham mengulang kembali
cercaan sinisnya pada teori hak-hak kodrati. Ia menulis, “Bagi
saya hak dan hukum merupakan hal yang sama, karena saya tidak mengenal
hak yang lain. Hak bagi saya adalah anak kandung hukum: dari berbagai
fungsi hukum lahirlah beragam jenis hak. Hak kodrati adalah seorang anak
yang tidak pernah punya seorang ayah”. Serangan dan penolakan
kalangan utilitarian itu kemudian diperkuat oleh mazhab positivisme,
yang dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh John Austin.
Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat
diturunkan dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah
perintah dari yang berdaulat. Ia tidak datang dari “alam” atau “moral”.
Dari
sinilah dimulai internasionalisasi gagasan hak asasi manusia. Sejak
saat itulah masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak asasi
manusia sebagai “suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa” (“a commond standard of achievement for all peoples and all nations”).
Hal ini ditandai dengan diterimanya oleh masyarakat internasional suatu
rezim hukum hak asasi manusia internasional yang disiapkan oleh PBB
atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan “International Bill of Human Rights”.
Dari
paparan di atas cukup jelas bahwa teori hak-hak kodrati telah berjasa
dalam menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang dianggap superior
ketimbang hukum nasional suatu negara, yaitu norma hak asasi manusia
internasional. Namun demikian, kemunculannya sebagai norma internasional
yang berlaku di setiap negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama
dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati. Substansi hak-hak yang
terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui substansi hak-hak yang
terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang diajukan John Locke).
Kandungan hak dalam gagasan hak asasi manusia sekarang bukan hanya
terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah
dengan munculnya hak-hak “baru”, yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna hak asasi manusia dipahami dewasa ini.
2. Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia
Karel
Vasak, seorang ahli hukum dari Perancis, membantu kita untuk memahami
dengan lebih baik perkembangan substansi hak-hak yang terkandung dalam
konsep hak asasi manusia. Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk
menunjuk pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan
pada satu kurun waktu tertentu. Ahli hukum dari Perancis itu membuat
kategori generasi berdasarkan slogan Revolusi Perancis yang terkenal
itu, yaitu: “kebebasan, persamaan, dan persaudaraan”.
Menurut Vasak, masing-masing kata dari slogan itu, sedikit banyak
mencerminkan perkembangan dari kategori-kategori atau generasi-generasi
hak yang berbeda.
Penggunaan istilah “generasi” dalam
melihat perkembangan hak asasi manusia memang bisa menyesatkan. Tetapi
model Vasak tentu saja tidak dimaksudkan sebagai representasi dari
kehidupan yang riil, model ini tak lebih dari sekedar suatu ekspresi
dari suatu perkembangan yang sangat rumit. Bagaimana persisnya
generasi-generasi hak yang dimaksud oleh Vasak? Di bawah ini garis-garis
besarnya dielaborasi lebih lanjut.
(a) Generasi Pertama Hak Asasi Manusia
“Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili hak-hak sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia yang “klasik”.
Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan
kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya
-sebagaimana yang muncul dalam revolusi hak yang bergelora di Amerika
Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18. Karena itulah hak-hak
generasi pertama itu dikatakan sebagai hak-hak klasik. Hak-hak tersebut
pada hakikatnya hendak melindungi kehidupan pribadi manusia atau
menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan
individu). Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup,
keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan,
perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan
berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak
bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari
penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan
proses peradilan yang adil.
Hak-hak generasi pertama itu sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif”.
Artinya tidak terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada
tiadanya campur tangan terhadap hak-hak dan kebebasan individual.
Hak-hak ini menjamin suatu ruang kebebasan di mana individu sendirilah
yang berhak menentukan dirinya sendiri. Hak-hak generasi pertama ini
dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh pihak-pihak luar
(baik negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap
kedaulatan individu. Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak yang
dikelompokkan dalam generasi pertama ini sangat tergantung pada absen
atau minusnya tindakan negara terhadap hakhak tersebut. Jadi negara
tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan
mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut.
Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi kedua, yang sebaliknya
justru menuntut peran aktif negara. Hampir semua negara telah
memasukkan hak-hak ini ke dalam konstitusi mereka.
(b) Generasi Kedua Hak Asasi Manusia
“Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili
oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini
muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap
kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada kesehatan.
Negara dengan demikian dituntut-bertindak lebih aktif, agar hak-hak
tersebut dapat terpenuhi atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi
kedua ini dirumuskan dalam bahasa yang positif: “hak atas” (“right to”), bukan dalam bahasa negatif: “bebas dari” (“freedom from”).
Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi pertama. Termasuk
dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak,
hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak
atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan
yang sehat, dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusasteraan,
dan kesenian.
Hak-hak generasi kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial. Hak-hak ini sering pula dikatakan sebagai “hak-hak positif”.
Yang dimaksud dengan positif di sini adalah bahwa pemenuhan hak-hak
tersebut sangat membutuhkan peran aktif negara. Keterlibatan negara di
sini harus menunjukkan tanda plus (positif), tidak boleh menunjukkan
tanda minus (negatif). Jadi untuk memenuhi hak-hak yang dikelompokkan ke
dalam generasi kedua ini, negara diwajibkan untuk menyusun dan
menjalankan programprogram bagi pemenuhan hak-hak tersebut. Contohnya,
untuk memenuhi hak atas pekerjaan bagi setiap orang, negara harus
membuat kebijakan ekonomi yang dapat membuka lapangan kerja. Sering pula
hak-hak generasi kedua ini diasosiasikan dengan paham sosialis, atau
sering pula dianggap sebagai “hak derivatif” yang karena itu dianggap
bukan hak yang “riil”. Namun demikian, sejumlah negara (seperti Jerman dan Meksiko) telah memasukkan hak-hak ini dalam konstitusi mereka.
(c) Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia
“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas” atau
“hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara
berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil.
Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang
menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional
yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak berikut:
- Hak atas pembangunan;
- Hak atas perdamaian;
- Hak atas sumber daya alam sendiri;
- Hak atas lingkungan hidup yang baik; dan
- Hak atas warisan budaya sendiri.
Inilah
isi generasi ketiga hak asasi manusia itu. Hak-hak generasi ketiga ini
sebetulnya hanya mengkonseptualisasi kembali tuntutan-tuntutan nilai
berkaitan dengan kedua generasi hak asasi manusia terdahulu.
Di
antara hak-hak generasi ketiga yang sangat diperjuangkan oleh
negara-negara berkembang itu, terdapat beberapa hak yang di mata
negara-negara barat agak kontroversial.26 Hak-hak itu dianggap kurang
pas dirumuskan sebagai “hak asasi”. Klaim atas hak-hak tersebut sebagai “hak” baru
dianggap sahih apabila terjawab dengan memuaskan pertanyaanpertanyaan
berikut: siapa pemegang hak tersebut, individu atau negara?; siapa yang
bertanggungjawab melaksanakannya, individu, kelompok atau negara?
Bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Pembahasan terhadap
pertanyaan-pertanyaan mendasar ini telah melahirkan keraguan dan
optimisme di kalangan para ahli dalam menyambut hak-hak generasi ketika
itu. Tetapi dari tuntutannya jelas bahwa pelaksanaan hak-hak semacam itu
jika memang bisa disebut sebagai “hak” akan bergantung pada kerjasama internasional, dan bukan sekedar tanggungjawab suatu negara.
(d) Keberkaitan (Indivisibility) dan Kesalingtergantungan (Interdependence)
Antonio
Cassese pernah mengatakan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
merupakan buah dari beberapa ideologi, suatu titik temu antara berbagai
konsep mengenai manusia dan lingkungannya. Dengan demikian, apa yang ada
dalam Deklarasi tersebut tidak lain adalah kompromi.
Negara
Barat mungkin memang telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi
pendekatan internasional terhadap hak asasi manusia.
Kontribusi-kontribusi tersebut tidak diragukan lagi telah membantu
pengembangan teori modern hak asasi manusia. Menurut catatan sejarah,
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia merupakan produk suatu era yang
didominasi oleh “Negara Barat”,
dan sedikitnya merefleksikan suatu konsep barat tentang hak asasi
manusia. Terdapat pengaruh faham liberal-Barat dalam draft pertama
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang dianggap sebagai “suatu standar bersama yang merupakan sebuah pencapaian bagi seluruh umat manusia dan seluruh bangsa.” Tetapi
juga dapat dilihat di dalamnya kontribusi kaum Sosialis, terutama
mengenai apa yang kemudian disebut Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Adalah Karl Marx, yang melalui kritiknya atas konsep “kebebasan”,
yang memberi kontribusi sangat penting bagi pandangan universal
terhadap hak asasi manusia. Pemikirannya kemudian berkembang ke suatu
ide untuk saling menyeimbangkan antara konsep liberal kebebasan individu
dan konsep hak warga negara. Di kemudian hari, negara-negara dunia
ketiga juga memberikan kontribusi penting dalam menegaskan eksistensi
hak asasi manusia. Dekolonisasi dan munculnya sejumlah negara-negara
merdeka baru sedikit banyak merefleksikan kemenangan hak asasi manusia,
terutama hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dalam
forum internasional. Kondisi inilah yang di kemudian hari berujung pada
pengakuan terhadap hak kolektif atau hak kelompok.
Dengan
penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa semua pihak yang berperan dalam
apa yang kita kenal sekarang sebagai dunia modern telah turut memberi
kontribusi penting dalam konteks pengakuan universal terhadap hak asasi
manusia. Ini berarti bahwa dalam konteks historis, konsep hak asasi
manusia telah diakui secara universal.
Terlepas
dari inkosistensi dan multi-interpretasi prinsip-prinsip hak asasi
manusia, terutama dalam hal intervensi kemanusiaan atau prinsip
non-intervensi, negara-negara anggota PBB tetap mencapai kemajuan dalam
menegakkan hak asasi manusia. Perbedaan pandangan antara negara-negara
maju/Barat, yang lebih menekankan pentingnya hak-hak individu, sipil dan
politik, dengan negara-negara berkembang/Timur, yang lebih menekankan
pentingnya hak-hak kelompok, ekonomi dan sosial, berujung pada
penciptaan suatu kesepakatan bahwa hak asasi manusia harus
diperhitungkan sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Artinya, hak-hak
sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya saling berkaitan
(indivisible) dan saling membutuhkan (interdependence), dan harus
diterapkan secara adil baik terhadap individu maupun kelompok. Hubungan
antara berbagai hak yang berbeda sangatlah kompleks dan dalam prakteknya
tidak selalu saling menguatkan atau saling mendukung. Sebagai contoh,
hak politik, seperti hak untuk menjadi pejabat publik, tidak dapat
dicapai tanpa terlebih dahulu terpenuhinya kepentingan sosial dan
budaya, seperti tersedianya sarana pendidikan yang layak.
(3) Universalisme dan Relativisme Budaya
Sejauh
ini pembahasan telah menguraikan asal-usul munculnya hak asasi manusia
sebagai norma internasional yang berciri universal serta perkembangannya
dalam ilustrasi generasi-generasi hak.
Salah satu wacana yang paling hangat dalam masa dua dekade terakhir adalah konflik antara dua “ideologi” yang
berbeda dalam penerapan hak asasi manusia dalam skala nasional, yaitu
universalisme (universalism) dan relativisme budaya (cultural
relativism). Di satu sisi, universalisme menyatakan bahwa akan semakin
banyak budaya “primitif” yang
pada akhirnya berkembang untuk kemudian memiliki sistem hukum dan hak
yang sama dengan budaya Barat. Relativisme budaya, di sisi lain,
menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa suatu budaya tradisional tidak dapat
diubah. Berikut ini adalah pembahasan lebih lanjut tentang dua
‘ideologi’ tersebut.
(a) Teori Universalis (Universalist Theory)
Hak
Asasi Manusia Doktrin kontemporer hak asasi manusia merupakan salah
satu dari sejumlah perspektif moral universalis. Asal muasal dan
perkembangan hak asasi manusia tidak dapat terpisahkan dari perkembangan
universalisme nilai moral. Sejarah perkembangan filosofis hak asasi
manusia dapat dijelaskan dalam sejumlah doktrin moral khusus yang,
meskipun tidak mengekspresikan hak asasi manusia secara menyeluruh,
tetap menjadi prasyarat filosofis bagi doktrin kontemporer. Hal tersebut
mencakup suatu pandangan moral dan keadilan yang berasal dari sejumlah
domain pra-sosial, yang menyajikan dasar untuk membedakan antara prinsip
dan kepercayaan yang “benar” dan yang “konvensional”. Prasyarat yang penting bagi pembelaan hak asasi manusia di antaranya adalah konsep individu sebagai pemikul hak “alamiah” tertentu dan beberapa pandangan umum mengenai nilai moral yang melekat dan adil bagi setiap individu secara rasional.
Hak
asasi manusia berangkat dari konsep universalisme moral dan kepercayaan
akan keberadaan kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh
umat manusia. Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran moral
yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasi
secara rasional. Asal muasal universalisme moral di Eropa terkait
dengan tulisan-tulisan Aristoteles. Dalam karyanya Nicomachean Ethics,
Aristoteles secara detail menguraikan suatu argumentasi yang mendukung
keberadaan ketertiban moral yang bersifat alamiah. Ketertiban alam ini
harus menjadi dasar bagi seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan
atas suatu ketertiban alam kemudian diturunkan dalam serangkaian
kriteria universal yang komprehensif untuk menguji legitimasi dari
sistem hukum yang sebenarnya “buatan manusia”.
Oleh karenanya, kriteria untuk menentukan suatu sistem keadilan yang
benarbenar rasional harus menjadi dasar dari segala konvensi-konvensi
sosial dalam sejarah manusia. “Hukum alam” ini
sudah ada sejak sebelum menusia mengenal konfigurasi sosial dan
politik. Sarana untuk menentukan bentuk dan isi dari keadilan yang
alamiah ada pada “reason”, yang terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga.
Dasar
dari doktrin hukum alam adalah kepercayaan akan eksistensi suatu kode
moral alami yang didasarkan pada identifikasi terhadap kepentingan
kemanusiaan tertentu yang bersifat fundamental. Penikmatan kita atas
kepentingan mendasar tersebut dijamin oleh hak-hak alamiah yang kita
miliki. Hukum alam ini seharusnya menjadi dasar dari sistem sosial dan
politik yang dibentuk kemudian. Oleh sebab itu hak alamiah diperlakukan
sebagai sesuatu yang serupa dengan hak yang dimiliki individu terlepas
dari nilai-nilai masyarakat maupun negara. Dengan demikian hak alamiah
adalah valid tanpa perlu pengakuan dari pejabat politis atau dewan
manapun. Pendukung pendapat ini adalah filsuf abad ke 17, John Locke,
yang menyampaikan argumennya dalam karyanya, Two Treaties of Government
(1688). Intisari pandangan Locke adalah pengakuan bahwa seorang individu
memiliki hak-hak alamiah yang terpisah dari pengakuan politis yang
diberikan negara pada mereka. Hak-hak alamiah ini dimiliki secara
terpisah dan dimiliki lebih dahulu dari pembentukan komunitas politik
manapun. Locke melanjutkan argumentasinya dengan menyatakan bahwa tujuan
utama pelantikan pejabat politis di suatu negara berdaulat seharusnya
adalah untuk melindungi hak-hak alamiah mendasar individu. Bagi Locke,
perlindungan dan dukungan bagi hak alamiah individu merupakan
justifikasi tunggal dalam pembentukan pemerintahan. Hak alamiah untuk
hidup, kebebasan dan hak milik menegaskan batasan bagi kewenangan dan
jurisdiksi negara. Negara hadir untuk melayani kepentingan dan hak-hak
alamiah masyarakatnya, bukan untuk melayani monarki atau sistem.
Dalam
universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak
yang tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan
pribadi. Dalam model relativisme budaya, suatu komunitas adalah sebuah
unit sosial. Dalam hal ini tidak dikenal konsep seperti individualisme,
kebebasan memilih dan persamaan. Yang diakui adalah bahwa kepentingan
komunitas menjadi prioritas utama. Doktrin ini telah diterapkan di
berbagai negara yang menentang setiap penerapan konsep hak dari Barat
dan menganggapnya sebagai imperialisme budaya. Namun demikian,
negaranegara tersebut mengacuhkan fakta bahwa mereka telah mengadopsi
konsep nation-state dari Barat dan tujuan modernisasi sebenarnya juga
mencakup kemakmuran secara ekonomi.
(b) Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativism Theory)
Isu
relativisme budaya (cultural relativism) baru muncul menjelang
berakhirnya Perang Dingin sebagai respon terhadap klaim universal dari
gagasan hak asasi manusia internasional. Gagasan tentang relativisme
budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber
keabsahan hak atau kaidah moral. Karena itu hak asasi manusia dianggap
perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara. Semua
kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus
dihormati. Berdasarkan dalil ini, para pembela gagasan relativisme
budaya menolak universalisasi hak asasi manusia, apalagi bila ia
didominasi oleh satu budaya tertentu. Gagasan bahwa hak asasi manusia
terikat dengan konteks budaya umumnya diusung oleh negara-negara
berkembang dan negara-negara Islam.
Gagasan
ini begitu mengemuka pada dasawarsa 1990-an terutama menjelang
Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina, disuarakan dengan lantang
oleh para pemimpin dan cendikiawan (yang biasanya merepresentasikan
kepentingan status quo) di negara-negara tersebut. Para pemimpin
negaranegara di kawasan Lembah Pasifik Barat, misalnya, mengajukan klaim
bahwa apa yang mereka sebut sebagai “nilai-nilai Asia” (Asian Values) lebih relevan untuk kemajuan di kawasan ini, ketimbang “nilai-nilai Barat” (seperti
hak asasi manusia dan demokrasi) yang dinilai tidak begitu urgen bagi
bangsa-bangsa Asia. Yang paling terkenal dalam mengadvokasi “nilai-nilai Asia” itu adalah Lee Kwan Yew, Menteri Senior Singapura, dan Mahathir Mohammad, mantan Perdana Menteri Malaysia.
“Di
Asia Tenggara yang dicari itu tidak begitu berkaitan dengan demokrasi,
melainkan dengan pemerintahan yang bertanggungjawab, yakni suatu
kepemimpinan yang transparan dan tidak korup”, ujar Lee Kwan Yew
dalam sebuah ceramahnya di Jepang. Menurut Lee, yang terlebih dahulu
dicari oleh bangsa-bangsa di Asia adalah pembangunan ekonomi yang
ditopang dengan kepemimpinan yang kuat, bukan memberikan kebebasan dan
hak asasi manusia. Yang terakhir itu akan diberikan apabila
negara-negara di kawasan ini mampu menstabilkan pertumbuhan ekonomi dan
memberi kesejahteraan kepada rakyat mereka. Dalam nada yang hampir sama
Mahathir Mohammad berpendapat, “saat
kemiskinan dan tidak tersedianya pangan yang memadai masih merajalela,
dan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat tidak terjamin, maka prioritas
mesti diberikan kepada pembangunan ekonomi”. Atas dasar ini Mahathir menolak pemaksaan standar-standar hak asasi manusia dari satu negara ke negara lain. “Asia tampaknya tidak memiliki hak apapun untuk menetapkan nilai-nilainya sendiri tentang hak asasi manusia,”
kecam Mahathir terhadap upaya-upaya internasionalisasi hak asasi
manusia. Singkatnya, baik bagi Lee maupun Mahathir, ide hak asasi
manusia tidak urgen bagi bangsa-bangsa Asia.
Apa sebetulnya yang ingin dikemukakan oleh elit yang memerintah di Asia dengan bertameng di balik “nilai-nilai Asia” itu?
Apakah memang untuk tujuan memajukan hak asasi manusia?, atau ada
kepentingan lain di luar hak asasi manusia yang diinginkan oleh mereka?
Perdebatan mengenai isu ini dengan gamblang menunjukkan pada kita bahwa
di balik gagasan “nilai-nilai Asia” para
pemimpin di kawasan ini ingin mengemukakan pembenaran bagi
penyimpangan-penyimpangan substansial dari tafsiran internasional yang
baku tentang kaidah-kaidah hak asasi manusia. Dengan mengajukan “nilainilai Asia” mereka
menolak dijadikannya hak asasi manusia sebagai parameter dalam kerja
sama pembangunan internasional. Lebih jauh sebetulnya di balik gagasan
“nilai-nilai Asia” para pemimpin di kawasan itu gamang dengan
diterapkannya “conditionality” dalam kerja sama pembangunan. “Conditionality” yang
dimaksud adalah menjadikan catatan hak asasi manusia sebagai
persyaratan dapat-tidaknya kerja sama pembangunan dilakukan. Singkatnya,
ada kepentingan tersembunyi (vested interest) para penguasa di kawasan
itu dalam upaya advokasi “nilai-nilai Asia” sehebat-hebatnya.
Relativisme
budaya (cultural relativism), dengan demikian, merupakan suatu ide yang
sedikit banyak dipaksakan, karena ragam budaya yang ada menyebabkan
jarang sekali adanya kesatuan dalam sudut pandang mereka dalam berbagai
hal, selalu ada kondisi di mana “mereka yang memegang kekuasaan yang tidak setuju”.
Ketika suatu kelompok menolak hak kelompok lain, seringkali itu terjadi
demi kepentingan kelompok itu sendiri. Oleh karena itu hak asasi
manusia tidak dapat secara utuh bersifat universal kecuali apabila hak
asasi manusia tidak tunduk pada ketetapan budaya yang seringkali dibuat
tidak dengan suara bulat, dan dengan demikian tidak dapat mewakili
setiap individu.
Sebagai
contoh, dalam pandangan liberal Barat, setiap sistem selain sistem
liberal dominan tidak akan kondusif untuk menegakkan hak asasi manusia.
Penganut faham liberal berpendapat bahwa setiap sistem politik selain
liberal tidak dapat melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Oleh
karenanya, menurut mereka, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia
hanya dapat dicapai dengan mengubah sistem politik itu sendiri. Di sisi
lain, mereka mengatakan bahwa hanya sistem liberal yang dapat menjamin
pencapaian hak asasi manusia. Jika pendapat ini dianggap absolut, maka
hak asasi manusia hanya akan menjadi ajang pertempuran ideologi dengan
satu tujuan, yaitu untuk menegakkan rezim liberal di seluruh dunia. Ini
hanya akan menciptakan suatu lingkaran perdebatan dan konfrontasi
mengenai interpretasi dan implementasi hak asasi manusia.
Terdapat
perbedaan dalam konsep filosofis hak asasi manusia. Negaranegara Barat
selalu membela prioritas mereka mengenai hak asasi manusia. Bagi mereka,
hak asasi manusia telah secara alamiah dimiliki oleh seorang individu
dan harus diakui secara penuh dan dihormati oleh pemerintah. Bagi
negara-negara Timur dan non-liberal, hak asasi manusia dianggap ada
hanya dalam suatu masyarakat dan dalam suatu negara. Hak asasi manusia
tidak ada sebelum adanya negara, melainkan diberikan oleh negara. Dengan
demikian, negara dapat membatasi hak asasi manusia jika diperlukan.
Perbedaan
lain muncul pada tingkat implementasi dalam memajukan dan menegakkan
hak asasi manusia. Bagi negara-negara Barat, konsep “keseimbangan” antara
kepentingan untuk menghormati urusan dalam negeri negara asing dan
keperluan untuk melakukan apapun yang mungkin bagi penghormatan terhadap
hak asasi manusia seorang individu adalah sebagai berikut: dalam kasus
di mana pelanggaran yang dilakukan di negara lain telah menjadi semakin
serius, sistematis dan skalanya meluas, negara lain atau organisasi
internasional diperbolehkan untuk campur tangan, bahkan apabila hal
tersebut berpotensi menimbulkan perdebatan, ketegangan dan konflik.
Sementara dalam pandangan negara-negara Timur, intervensi terhadap
pelanggaran yang terjadi di negara lain dan kemudian menuduh pemerintah
negara tersebut telah gagal menegakkan hak asasi manusia adalah suatu
tindakan yang tidak logis dan tidak layak.
Contoh lebih jauh adalah anggapan adanya “dominasi kultural” yang
dilakukan oleh Barat terhadap perspektif Timur. Dominasi kultural
berarti bahwa mereka yang berasal dari kelompok dominan berpendapat
bahwa apa yang baik bagi mereka juga pasti baik bagi seluruh isi planet.
Sebagai analogi, sistem nasional atau regional yang dominan memiliki
kecenderungan untuk menganggap dirinya sebagai universal bagi yang
lainnya. Dalam hal hak asasi manusia, kecenderungan tersebut sampai pada
titik di mana ada tekanan politik untuk mengakui satu generasi atas
generasi lainnya. Hasilnya adalah suatu faham hak asasi manusia yang
ideologis dan interpretasi yang bersifat politis terhadap hak-hak
tersebut.
Harus diingat bahwa gagasan tentang “dominasi kultural” Barat
merupakan salah satu kritik terkuat dari negara-negara Timur, terutama
negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Mereka menyatakan bahwa
konsep hak di Barat yang bersifat destruktif dan sangat individualis
tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya Asia, di mana komunitas harus
diutamakan atas individu. Para pemimpin Asia menentang apa yang mereka
sebut sebagai “imperialisme budaya” nilai-nilai barat, dan menuduh Barat
telah mencoba untuk memelihara budaya kolonial dengan memaksakan suatu
konsep hak yang tidak mencerminkan budaya Asia.
(c) Memadukan Universalisme dengan Pluralisme
Telah
diakui secara umum bahwa dalam prakteknya hak asasi manusia
dikondisikan oleh konteks sejarah, tradisi, budaya, agama, dan
politik-ekonomi yang sangat beragam. Tetapi dengan segala keberagaman
tersebut, tetap terdapat nilai-nilai universal yang berpengaruh.
Martabat manusia, kebebasan, persamaan dan keadilan merupakan sebagian
nilai yang mengesampingkan perbedaan dan merupakan milik kemanusiaan
secara utuh. Lepas dari adanya berbagai perdebatan, universalitas dan
keterkaitan (indivisibility) hak asasi manusia merupakan bagian dari
warisan kemanusiaan yang dinikmati umat manusia di masa sekarang
Tidaklah
mudah untuk memaksakan konsep universalitas hak asasi manusia kepada
beragam tradisi, budaya dan agama. Oleh karena itu penting untuk
menggali kesamaan konsep yang prinsipil, yaitu martabat umat manusia.
Seluruh agama, sistem moral dan filosofi telah mengakui martabat manusia
sebagai individu dengan berbagai ragam cara dan sistem. Tidak dapat
disangkal bahwa hak untuk mendapatkan kehidupan, misalnya, mendapatkan
pengakuan universal sebagai suatu “hak”. Di sisi lain perbudakan atau ketiadaan kebebasan, misalnya, sangat bertentangan secara alamiah dengan martabat manusia.
Bertrand
Ramcharan, seorang profesor hukum di Universitas Columbia,
mendefinisikan konsep universalitas hak asasi manusia melalui
pertanyaanpertanyaan sederhana. Apakah manusia ingin hidup atau mati?
Apakah manusia mau disiksa? Apakah manusia mau hidup bebas atau hidup
dalam penjara? Apakah manusia mau diperbudak? Apakah manusia mau
menyatakan pendapat khususnya mengenai bagaimana warga negara diatur
dalam suatu pemerintahan? Tidak dibutuhkan suatu proses pemikiran yang
rumit bagi seorang individu untuk menentukan pilihan untuk hidup atau
mati, bebas atau terpenjara. “Ujian demokratis” universalitas ini merupakan dasar bagi afirmasi mengenai apa yang dianggap sebagai hak asasi manusia universal.
Berangkat
dari hal tersebut, dapat ditarik nilai dan kriteria yang diterima
secara universal oleh seluruh negara. Secara praktis seluruh negara di
dunia sependapat bahwa apa yang mereka akui sebagai pelanggaran berat
terhadap hak asasi manusia adalah: genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan dan kejahatan perang. Ini berarti bahwa seluruh negara
setuju mengenai setidaknya beberapa nilai yang mendasar. Secara
prinsipil perjanjian ini kemudian berkembang menjadi setidaknya suatu
inti penting dari hak asasi manusia di seluruh negara di dunia, atau
setidaknya sebagian besar dari negara-negara tersebut. Hal ini juga yang
menjadi landasan bahwa kesepakatan dapat dicapai untuk bentuk-bentuk
hak asasi yang lainnya.
(4) Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia
Para
pejuang hak-hak perempuan di berbagai wilayah dunia melontarkan kritik
bahwa hukum dan sistem hak asasi manusia itu adalah sistem yang sangat
maskulin dan patriarki, yang dibangun dengan cara berfikir dan dalam
dunia laki-laki yang lebih memperhatikan dan kemudian menguntungkan
laki-laki dan melegitimasi situasi yang tidak menguntungkan perempuan.
Hal tersebut dilihat dari beberapa hal pertama, pendikotomian antara
wilayah publik dan privat; kedua, konsepsi pelanggaran hak asasi manusia
sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh negara; ketiga, pendekatan
‘kesamaan’ (sameness) dan ‘perbedaan’ (differences)
yang dipakai oleh beberapa instrumen pokok hak asasi manusia; keempat,
pemilahan dan prioritas hak sipil dan politik, ketimbang hak ekonomi,
sosial dan budaya.
Hak
asasi manusia khususnya pendekatan hak asasi manusia yang konvensional
lebih menekankan pengakuan jaminan terhadap hak-hak dalam lingkup publik
sementara wilayah domestik tidak dijangkau demi alasan melindungi hak
privasi seseorang. Pemilahan antara wilayah lingkup dan publik dan
prioritas perlindungan hak pada wilayah publik sangat dilematis dalam
konteks penegakan hak asasi manusia terhadap manusia yang berjenis
kelamin perempuan.
Sementara perempuan yang tidak menjadi “ibu” dan banyak perempuan yang tidak pula berperan sebagai “ibu” berada
pada posisi yang lemah dan tidak beruntung karena relasi timpang dan
dampak dari ketertindasan tidak dijamin perlindungannya, diperlakukan
sama dengan pihak (laki-laki) yang memiliki situasi yang lebih
beruntung. Perlakuan sama menyebabkan situasi yang lebih senjang untuk
tujuan atau hasil pencapaian keadilan. Perlakuan yang sama tidak akan
menjamin perempuan dan laki-laki bisa secara sama mengakses pendidikan
dan fasilitas kesehatan jika tidak ada jaminan atau landasan untuk
tersedianya langkah-langkah strategis dan khusus untuk menghapus atau
menghilangkan hambatan perempuan untuk mengakses secara sama terhadap
pendidikan atau akses lainnya.
Selain
itu, pendekatan hak asasi manusia klasik memprioritaskan dan sekaligus
memilah-milah hak sipil dan politik dan meninggalkan hak ekonomi, sosial
dan budaya. Penekanan tentang hak hidup, misalnya, banyak dilakukan
terkait dengan hak untuk bebas dari hukuman mati. Tidak untuk menyatakan
bahwa hak itu tidak penting, namun pemilihan wilayah yang
diprioritaskan berdampak pada banyaknya kasus-kasus yang terkait dengan
hak hidup lainnya dari aspek sosial dan budaya tidak diperlakukan
setara. Misalnya, banyak perempuan yang mati pada saat melahirkan akibat
layanan dan fasilitas kesehatan yang tidak memadai, perempuan migran
yang mati akibat perlakuan sewenang-wenang majikan dan tidak adanya
perlindungan hukum bagi mereka, bukan jadi area yang dianggap penting
dalam konteks hak hidup. Padahal peristiwa ini adalah peristiwa yang
sangat dekat dengan keseharian hidup perempuan.
Berbagai
kritik dan advokasi yang dilontarkan atas kelemahan sistem hak asasi
manusia dari perspektif pengalaman perempuan berdampak pada adanya
perkembangan pemikiran baru tentang konsep hak asasi manusia.
Pemikiran
para pejuang perempuan diakomodir dan diadopsi dalam hukum hak asasi
manusia sejak dirumuskannya instrumen internasional yang spesifik untuk
menghadapi persoalan diskriminasi terhadap perempuan, yaitu Konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada
tahun 1976 dan mulai berlaku pada tahun 1979. Konvensi ini meletakkan
pemikiran dasar bahwa diskriminasi terhadap perempuan sebagai hasil dari
relasi yang timpang di dalam masyarakat yang dilegitimasi oleh struktur
politik dan termasuk hukum yang ada. Konvensi meletakkan pula strategi/
langkah-langkah khusus sementara yang perlu dilakukan untuk
menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini menjadi salah
satu kerangka kerja internasional untuk perwujudan hak-hak perempuan.
Konvensi
ini dianggap sebuah lompatan yang cepat terhadap realitas masyarakat
internasional yang masih bergumul dengan pandangan yang sempit dalam
melihat realitas perempuan. Oleh karena itu, dalam jangka waktu yang
cukup lama sejak pemberlakuannya, konvensi ini sempat tidak banyak
berdampak dalam perubahan cara pandang arus besar. Dengan pandangan
patriarkis yang masih kuat, pengadaan konvensi yang spesifik ini malah
dianggap sebagai upaya untuk ‘mengistimewakan’ perempuan sehingga
membuat hak antara laki-laki dan perempuan tidak setara, di sisi lain
justru dianggap merupakan penyempitan terhadap pemaknaan hak perempuan
yang seolah-olah hak perempuan hanyalah hak yang diatur dalam Konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Hal
ini disadari banyak pejuang hak perempuan, yang kemudian pada saat yang
sama juga dilakukan segala upaya pengakuan internasional tentang
persoalan diskriminasi yang sudah akut dan upaya untuk mempengaruhi cara
pandang publik.
Upaya
ini dimulai dengan diselenggarakannya Konferensi Internasional Tahunan
Perempuan dan Tribunal Internasional Tahunan Perempuan di Mexico City
pada tahun 1975 yang dilanjuti dengan Konferensi Dunia tentang Perempuan
dan Forum LSM di Copenhagen 1980 dan kemudian Konferensi yang sama pun
dilanjutkan pada tahun 1985 di Nairobi dan kemudian pada tahun 1990.
Aktivitas ini berdampak pada kelompok-kelompok hak asasi manusia
internasional di PBB.
Keberadaan
Deklarasi Wina dan Kerangka Aksi (Vienne Declaration and Platform for
Action) 1993 sebagai hasil dari Konferensi Dunia tentang Hak Asasi
Manusia merupakan momentum baru perkembangan konsep hak asasi manusia
yang melihat hak asasi manusia secara universal, integral dan saling
terkait satu dengan lainnya. Tak kalah pentingnya, Deklarasi ini
menegaskan konsepsi tentang hak asasi perempuan sebagai hak asasi
manusia yang universal:
“The
human rights of women and of the girl-child are an inalienable,
integral and indivisible part of universal human rights. The full and
equal participation of women in political, civil, economic, social and
cultural life, at the national, regional and international levels, and
the eradication of all forms of discrimination on grounds of sex are
priority objectives of the international community”.
Beberapa
Mekanisme HAM PBB yang berbasis pada perjanjian kemudian melakukan
adopsi dengan mengeluarkan Komentar Umum/Rekomendasi Umum untuk mengkaji
ulang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
1)
Komite HAM untuk Hak Sipil dan Politik mengeluarkan Komentar Umum No.
28 tahun 2000 tentang Persamaan Hak antara Laki-laki dan Perempuan
(pasal 3) (General Comment No. 28: Equality of rights between men and
women (article 3) tahun 2000). Pada Komentar Umum tersebut komite
menegaskan bahwa setiap negara yang sudah meratifikasi konvensi hak
sipil dan politik, tidak saja harus mengadopsi langkah-langkah
perlindungan tapi juga langkah-langkah positif di seluruh area untuk
mencapai pemberdayaan perempuan yang setara dan efektif. Langkah ini
termasuk pula penjaminan bahwa praktek-praktek tradisi, sejarah, agama
dan budaya tidak digunakan untuk menjustifikasi pelanggaran hak
perempuan. Dengan adanya Komentar Umum ini Komite ingin memastikan bahwa
negara pihak dalam membuat laporan terkait hak-hak sipil dan politik
harus menyediakan informasi tentang bagaimana pengalaman perempuan yang
banyak dilanggar haknya dalam setiap hak yang dicantumkan dalam
Konvensi.
2)
Komite tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap
Perempuan meletakkan pula kerangka langkah-langkah khusus sementara
(temporary special measures) untuk penghapusan diskriminasi langsung dan
tidak langsung (direct and indirect discrimination) yang terjadi
terhadap perempuan yang sangat mempengaruhi penikmatan hak asasi
perempuan dalam Rekomendasi Umum No. 25 (2004).51 Dirasa penting
membedakan adanya situasi khas perempuan secara biologis dan situasi
yang tidak menguntungkan akibat dari proses penindasan dan situasi yang
tidak setara yang cukup lama hadir. Komite menekankan bahwa posisi
perempuan yang tidak beruntung tersebut perlu disikapi dengan pendekatan
persamaan hasil (equality of result) sebagai tujuan dari persamaan
secara substantif (subtantive equality) atau de facto tidak saja
persamaan secara formal (formal equality).
3)
Komite tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya mengeluarkan Komentar Umum
No. 16 (2005) tentang Persamaan Hak antara Lakilaki dan Perempuan dalam
menikmati seluruh hak ekonomi, sosial dan budaya (Pasal 3) (The equal
right of men and women to the enjoyment of all economic, social and
cultural rights (art. 3 of the International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights). Komite menegaskan bahwa perempuan
seringkali diabaikan haknya untuk menikmati hak-hak asasi mereka karena
status yang dinomorduakan oleh tradisi dan praktek budaya dan berdampak
pada posisi perempuan yang tidak beruntung.
“
Many women experience distinct forms of discrimination due to the
intersection of sex with such factors as race, colour, language,
religion, political and other opinion, national or social origin,
property, birth, or other status, such as age, ethnicity, disability,
marital, refugee or migrant status, resulting in compounded
disadvantage.”
Komite
mencatat ada banyak pengalaman perempuan yang tidak dapat menikmati
haknya sebagaimana tercakup dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
seperti hak atas perumahan yang layak, hak atas makanan yang layak, hak
atas kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak atas standart kesehatan
yang layak dan hak atas air. Dengan rekomendasi ini, Komite meletakkan
kerangka tentang persamaan (equality), non-diskriminasi (non
discrimination) dan langkah-langkah sementara (temporare measures) yang
menjadi acuan bagi para negara yang terikat dengan Konvensi Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya.
Perkembangan
pemikiran dan konsep hak asasi manusia sebagai pemikiran yang dinamis
dan senantiasa kontekstual masih akan terus berlanjut, termasuk dalam
konteks hak asasi perempuan. Beberapa kritik para pejuang hak asasi
manusia telah disikapi namun masih ada banyak isu yang belum selesai.
Harus disadari bahwa proses membongkar cara pandang hak asasi manusia
konvensional dengan pendekatan hak asasi manusia yang baru bukan proses
yang mudah. Namun, upaya untuk mengefektifkan penikmatan hak secara adil
adalah agenda yang tidak pernah berhenti.
No comments:
Post a Comment