Friday, 31 March 2017

Konsep Dasar dan Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia

Konsep Dasar dan Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia
1. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.10 Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak-hak tersebut. Inilah sifat universal dari hak-hak tersebut. Selain bersifat universal, hak-hak itu juga tidak dapat dicabut (inalienable). Artinya seburuk apapun perlakuan yang telah dialami oleh seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak-hak tersebut. Dengan kata lain, hak-hak itu melekat pada dirinya sebagai makhluk insani.

Asal-usul gagasan mengenai hak asasi manusia seperti dipaparkan di atas bersumber dari teori hak kodrati (natural rights theory). Teori kodrati mengenai hak itu bermula dari teori hukum kodrati (natural law theory), yang terakhir ini dapat dirunut kembali sampai jauh ke belakang hingga ke zaman kuno dengan filsafat Stoika hingga ke zaman modern melalui tulisantulisan hukum kodrati Santo Thomas Aquinas.11 Hugo de Groot seorang ahli hukum Belanda yang dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”, atau yang lebih dikenal dengan nama Latinnya, Grotius, mengembangkan lebih lanjut teori hukum kodrati Aquinas dengan memutus asal-usulnya yang teistik dan membuatnya menjadi produk pemikiran sekuler yang rasional. Dengan landasan inilah kemudian, pada perkembangan selanjutnya, salah seorang kaum terpelajar pasca-Renaisans, John Locke, mengajukan pemikiran mengenai teori hak-hak kodrati. Gagasan Locke mengenai hak-hak kodrati inilah yang melandasi munculnya revolusi hak dalam revolusi yang meletup di Inggris, Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18.

Dalam bukunya yang telah menjadi klasik, “The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration” Locke mengajukan sebuah postulasi pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara.12 Melalui suatu ‘kontrak sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Tetapi, menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut. Melalui teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak-hak individu yang pra-positif mendapat pengakuan kuat.

Gagasan hak asasi manusia yang berbasis pada pandangan hukum kodrati itu mendapat tantangan serius pada abad 19. Edmund Burke, orang Irlandia yang resah dengan Revolusi Perancis, adalah salah satu di antara penentang teori hak-hak kodrati. Burke menuduh para penyusun “Declaration of the Rights of Man and of the Citizen” mempropagandakan “rekaan yang menakutkan mengenai persamaan manusia”. Deklarasi yang dihasilkan dari Revolusi Perancis itu baginya merupakan “ide-ide yang tidak benar dan harapan-harapan yang sia-sia pada manusia yang sudah ditakdirkan menjalani hidup yang tidak jelas dengan susah payah.” Tetapi penentang teori hak kodrati yang paling terkenal adalah Jeremy Bentham, seorang filsuf utilitarian dari Inggris. Kritik Bentham yang mendasar terhadap teori tersebut adalah bahwa teori hak-hak kodrati itu tidak bisa dikonfirmasi dan diverifikasi kebenarannya. Bagaimana mungkin mengetahui dari mana asal hak-hak kodrati itu, apa sajakah hak itu dan apa isinya?

Bentham dengan sinis menertawakan teori hak-hak kodrati itu dengan mengatakan: “Bagi saya, hak sebagai kata benda (berlawanan dengan kata sifat), adalah anak kandung hukum: dari hukum riil lahir pula hak-hak riil; namun dari hukum imajiner; hukum kodrati yang dikhayal dan direka para penyair, ahli-ahli pidato dan saudagar dalam rupa racun moral dan intelektual lahirlah hak-hak rekaan ... Hak-hak kodrati adalah omong kosong yang dungu: hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong yang retorik, atau puncak dari omong kosong yang berbahaya!”. Lebih lanjut, dalam sebuah risalahnya yang lain, Bentham mengulang kembali cercaan sinisnya pada teori hak-hak kodrati. Ia menulis, “Bagi saya hak dan hukum merupakan hal yang sama, karena saya tidak mengenal hak yang lain. Hak bagi saya adalah anak kandung hukum: dari berbagai fungsi hukum lahirlah beragam jenis hak. Hak kodrati adalah seorang anak yang tidak pernah punya seorang ayah”. Serangan dan penolakan kalangan utilitarian itu kemudian diperkuat oleh mazhab positivisme, yang dikembangkan belakangan dengan lebih sistematis oleh John Austin. Kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi dan isi hak hanya dapat diturunkan dari hukum negara. Satu-satunya hukum yang sahih adalah perintah dari yang berdaulat. Ia tidak datang dari “alam” atau “moral”.

Dari sinilah dimulai internasionalisasi gagasan hak asasi manusia. Sejak saat itulah masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai “suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa” (“a commond standard of achievement for all peoples and all nations”). Hal ini ditandai dengan diterimanya oleh masyarakat internasional suatu rezim hukum hak asasi manusia internasional yang disiapkan oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan “International Bill of Human Rights”.

Dari paparan di atas cukup jelas bahwa teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang dianggap superior ketimbang hukum nasional suatu negara, yaitu norma hak asasi manusia internasional. Namun demikian, kemunculannya sebagai norma internasional yang berlaku di setiap negara membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai hak-hak kodrati. Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya juga telah jauh melampaui substansi hak-hak yang terkandung dalam hak kodrati (sebagaimana yang diajukan John Locke). Kandungan hak dalam gagasan hak asasi manusia sekarang bukan hanya terbatas pada hak-hak sipil dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”, yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna hak asasi manusia dipahami dewasa ini.

2. Perkembangan Pemikiran Hak Asasi Manusia
Karel Vasak, seorang ahli hukum dari Perancis, membantu kita untuk memahami dengan lebih baik perkembangan substansi hak-hak yang terkandung dalam konsep hak asasi manusia. Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu tertentu. Ahli hukum dari Perancis itu membuat kategori generasi berdasarkan slogan Revolusi Perancis yang terkenal itu, yaitu: “kebebasan, persamaan, dan persaudaraan”. Menurut Vasak, masing-masing kata dari slogan itu, sedikit banyak mencerminkan perkembangan dari kategori-kategori atau generasi-generasi hak yang berbeda.

Penggunaan istilah “generasi” dalam melihat perkembangan hak asasi manusia memang bisa menyesatkan. Tetapi model Vasak tentu saja tidak dimaksudkan sebagai representasi dari kehidupan yang riil, model ini tak lebih dari sekedar suatu ekspresi dari suatu perkembangan yang sangat rumit. Bagaimana persisnya generasi-generasi hak yang dimaksud oleh Vasak? Di bawah ini garis-garis besarnya dielaborasi lebih lanjut.

(a) Generasi Pertama Hak Asasi Manusia
“Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili hak-hak sipil dan politik, yakni hak-hak asasi manusia yang “klasik”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya -sebagaimana yang muncul dalam revolusi hak yang bergelora di Amerika Serikat dan Perancis pada abad ke-17 dan ke-18. Karena itulah hak-hak generasi pertama itu dikatakan sebagai hak-hak klasik. Hak-hak tersebut pada hakikatnya hendak melindungi kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan individu). Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil.

Hak-hak generasi pertama itu sering pula disebut sebagai “hak-hak negatif”. Artinya tidak terkait dengan nilai-nilai buruk, melainkan merujuk pada tiadanya campur tangan terhadap hak-hak dan kebebasan individual. Hak-hak ini menjamin suatu ruang kebebasan di mana individu sendirilah yang berhak menentukan dirinya sendiri. Hak-hak generasi pertama ini dengan demikian menuntut ketiadaan intervensi oleh pihak-pihak luar (baik negara maupun kekuatan-kekuatan sosial lainnya) terhadap kedaulatan individu. Dengan kata lain, pemenuhan hak-hak yang dikelompokkan dalam generasi pertama ini sangat tergantung pada absen atau minusnya tindakan negara terhadap hakhak tersebut. Jadi negara tidak boleh berperan aktif (positif) terhadapnya, karena akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dan kebebasan tersebut. Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi kedua, yang sebaliknya justru menuntut peran aktif negara. Hampir semua negara telah memasukkan hak-hak ini ke dalam konstitusi mereka.

(b) Generasi Kedua Hak Asasi Manusia
“Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada kesehatan. Negara dengan demikian dituntut-bertindak lebih aktif, agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua ini dirumuskan dalam bahasa yang positif: “hak atas” (“right to”), bukan dalam bahasa negatif: “bebas dari” (“freedom from”). Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusasteraan, dan kesenian.

Hak-hak generasi kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial. Hak-hak ini sering pula dikatakan sebagai “hak-hak positif”. Yang dimaksud dengan positif di sini adalah bahwa pemenuhan hak-hak tersebut sangat membutuhkan peran aktif negara. Keterlibatan negara di sini harus menunjukkan tanda plus (positif), tidak boleh menunjukkan tanda minus (negatif). Jadi untuk memenuhi hak-hak yang dikelompokkan ke dalam generasi kedua ini, negara diwajibkan untuk menyusun dan menjalankan programprogram bagi pemenuhan hak-hak tersebut. Contohnya, untuk memenuhi hak atas pekerjaan bagi setiap orang, negara harus membuat kebijakan ekonomi yang dapat membuka lapangan kerja. Sering pula hak-hak generasi kedua ini diasosiasikan dengan paham sosialis, atau sering pula dianggap sebagai “hak derivatif” yang karena itu dianggap bukan hak yang “riil”. Namun demikian, sejumlah negara (seperti Jerman dan Meksiko) telah memasukkan hak-hak ini dalam konstitusi mereka.

(c) Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia
“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas” atau “hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak berikut:
  1. Hak atas pembangunan;
  2. Hak atas perdamaian;
  3. Hak atas sumber daya alam sendiri;
  4. Hak atas lingkungan hidup yang baik; dan
  5. Hak atas warisan budaya sendiri.
Inilah isi generasi ketiga hak asasi manusia itu. Hak-hak generasi ketiga ini sebetulnya hanya mengkonseptualisasi kembali tuntutan-tuntutan nilai berkaitan dengan kedua generasi hak asasi manusia terdahulu.

Di antara hak-hak generasi ketiga yang sangat diperjuangkan oleh negara-negara berkembang itu, terdapat beberapa hak yang di mata negara-negara barat agak kontroversial.26 Hak-hak itu dianggap kurang pas dirumuskan sebagai “hak asasi”. Klaim atas hak-hak tersebut sebagai “hak” baru dianggap sahih apabila terjawab dengan memuaskan pertanyaanpertanyaan berikut: siapa pemegang hak tersebut, individu atau negara?; siapa yang bertanggungjawab melaksanakannya, individu, kelompok atau negara? Bagaimana mekanisme pelaksanaannya? Pembahasan terhadap pertanyaan-pertanyaan mendasar ini telah melahirkan keraguan dan optimisme di kalangan para ahli dalam menyambut hak-hak generasi ketika itu. Tetapi dari tuntutannya jelas bahwa pelaksanaan hak-hak semacam itu jika memang bisa disebut sebagai “hak” akan bergantung pada kerjasama internasional, dan bukan sekedar tanggungjawab suatu negara.

(d) Keberkaitan (Indivisibility) dan Kesalingtergantungan (Interdependence)
Antonio Cassese pernah mengatakan bahwa Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia merupakan buah dari beberapa ideologi, suatu titik temu antara berbagai konsep mengenai manusia dan lingkungannya. Dengan demikian, apa yang ada dalam Deklarasi tersebut tidak lain adalah kompromi.

Negara Barat mungkin memang telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi pendekatan internasional terhadap hak asasi manusia. Kontribusi-kontribusi tersebut tidak diragukan lagi telah membantu pengembangan teori modern hak asasi manusia. Menurut catatan sejarah, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia merupakan produk suatu era yang didominasi oleh “Negara Barat”, dan sedikitnya merefleksikan suatu konsep barat tentang hak asasi manusia. Terdapat pengaruh faham liberal-Barat dalam draft pertama Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang dianggap sebagai “suatu standar bersama yang merupakan sebuah pencapaian bagi seluruh umat manusia dan seluruh bangsa.” Tetapi juga dapat dilihat di dalamnya kontribusi kaum Sosialis, terutama mengenai apa yang kemudian disebut Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Adalah Karl Marx, yang melalui kritiknya atas konsep “kebebasan”, yang memberi kontribusi sangat penting bagi pandangan universal terhadap hak asasi manusia. Pemikirannya kemudian berkembang ke suatu ide untuk saling menyeimbangkan antara konsep liberal kebebasan individu dan konsep hak warga negara. Di kemudian hari, negara-negara dunia ketiga juga memberikan kontribusi penting dalam menegaskan eksistensi hak asasi manusia. Dekolonisasi dan munculnya sejumlah negara-negara merdeka baru sedikit banyak merefleksikan kemenangan hak asasi manusia, terutama hak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination) dalam forum internasional. Kondisi inilah yang di kemudian hari berujung pada pengakuan terhadap hak kolektif atau hak kelompok.

Dengan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa semua pihak yang berperan dalam apa yang kita kenal sekarang sebagai dunia modern telah turut memberi kontribusi penting dalam konteks pengakuan universal terhadap hak asasi manusia. Ini berarti bahwa dalam konteks historis, konsep hak asasi manusia telah diakui secara universal.

Terlepas dari inkosistensi dan multi-interpretasi prinsip-prinsip hak asasi manusia, terutama dalam hal intervensi kemanusiaan atau prinsip non-intervensi, negara-negara anggota PBB tetap mencapai kemajuan dalam menegakkan hak asasi manusia. Perbedaan pandangan antara negara-negara maju/Barat, yang lebih menekankan pentingnya hak-hak individu, sipil dan politik, dengan negara-negara berkembang/Timur, yang lebih menekankan pentingnya hak-hak kelompok, ekonomi dan sosial, berujung pada penciptaan suatu kesepakatan bahwa hak asasi manusia harus diperhitungkan sebagai satu kesatuan yang menyeluruh. Artinya, hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya saling berkaitan (indivisible) dan saling membutuhkan (interdependence), dan harus diterapkan secara adil baik terhadap individu maupun kelompok. Hubungan antara berbagai hak yang berbeda sangatlah kompleks dan dalam prakteknya tidak selalu saling menguatkan atau saling mendukung. Sebagai contoh, hak politik, seperti hak untuk menjadi pejabat publik, tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu terpenuhinya kepentingan sosial dan budaya, seperti tersedianya sarana pendidikan yang layak.

(3) Universalisme dan Relativisme Budaya
Sejauh ini pembahasan telah menguraikan asal-usul munculnya hak asasi manusia sebagai norma internasional yang berciri universal serta perkembangannya dalam ilustrasi generasi-generasi hak.

Salah satu wacana yang paling hangat dalam masa dua dekade terakhir adalah konflik antara dua “ideologi” yang berbeda dalam penerapan hak asasi manusia dalam skala nasional, yaitu universalisme (universalism) dan relativisme budaya (cultural relativism). Di satu sisi, universalisme menyatakan bahwa akan semakin banyak budaya “primitif” yang pada akhirnya berkembang untuk kemudian memiliki sistem hukum dan hak yang sama dengan budaya Barat. Relativisme budaya, di sisi lain, menyatakan sebaliknya, yaitu bahwa suatu budaya tradisional tidak dapat diubah. Berikut ini adalah pembahasan lebih lanjut tentang dua ‘ideologi’ tersebut.

(a) Teori Universalis (Universalist Theory)
Hak Asasi Manusia Doktrin kontemporer hak asasi manusia merupakan salah satu dari sejumlah perspektif moral universalis. Asal muasal dan perkembangan hak asasi manusia tidak dapat terpisahkan dari perkembangan universalisme nilai moral. Sejarah perkembangan filosofis hak asasi manusia dapat dijelaskan dalam sejumlah doktrin moral khusus yang, meskipun tidak mengekspresikan hak asasi manusia secara menyeluruh, tetap menjadi prasyarat filosofis bagi doktrin kontemporer. Hal tersebut mencakup suatu pandangan moral dan keadilan yang berasal dari sejumlah domain pra-sosial, yang menyajikan dasar untuk membedakan antara prinsip dan kepercayaan yang “benar” dan yang “konvensional”. Prasyarat yang penting bagi pembelaan hak asasi manusia di antaranya adalah konsep individu sebagai pemikul hak “alamiah” tertentu dan beberapa pandangan umum mengenai nilai moral yang melekat dan adil bagi setiap individu secara rasional.

Hak asasi manusia berangkat dari konsep universalisme moral dan kepercayaan akan keberadaan kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia. Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasi secara rasional. Asal muasal universalisme moral di Eropa terkait dengan tulisan-tulisan Aristoteles. Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles secara detail menguraikan suatu argumentasi yang mendukung keberadaan ketertiban moral yang bersifat alamiah. Ketertiban alam ini harus menjadi dasar bagi seluruh sistem keadilan rasional. Kebutuhan atas suatu ketertiban alam kemudian diturunkan dalam serangkaian kriteria universal yang komprehensif untuk menguji legitimasi dari sistem hukum yang sebenarnya “buatan manusia”. Oleh karenanya, kriteria untuk menentukan suatu sistem keadilan yang benarbenar rasional harus menjadi dasar dari segala konvensi-konvensi sosial dalam sejarah manusia. “Hukum alam” ini sudah ada sejak sebelum menusia mengenal konfigurasi sosial dan politik. Sarana untuk menentukan bentuk dan isi dari keadilan yang alamiah ada pada “reason”, yang terbebas dari pertimbangan dampak dan praduga.

Dasar dari doktrin hukum alam adalah kepercayaan akan eksistensi suatu kode moral alami yang didasarkan pada identifikasi terhadap kepentingan kemanusiaan tertentu yang bersifat fundamental. Penikmatan kita atas kepentingan mendasar tersebut dijamin oleh hak-hak alamiah yang kita miliki. Hukum alam ini seharusnya menjadi dasar dari sistem sosial dan politik yang dibentuk kemudian. Oleh sebab itu hak alamiah diperlakukan sebagai sesuatu yang serupa dengan hak yang dimiliki individu terlepas dari nilai-nilai masyarakat maupun negara. Dengan demikian hak alamiah adalah valid tanpa perlu pengakuan dari pejabat politis atau dewan manapun. Pendukung pendapat ini adalah filsuf abad ke 17, John Locke, yang menyampaikan argumennya dalam karyanya, Two Treaties of Government (1688). Intisari pandangan Locke adalah pengakuan bahwa seorang individu memiliki hak-hak alamiah yang terpisah dari pengakuan politis yang diberikan negara pada mereka. Hak-hak alamiah ini dimiliki secara terpisah dan dimiliki lebih dahulu dari pembentukan komunitas politik manapun. Locke melanjutkan argumentasinya dengan menyatakan bahwa tujuan utama pelantikan pejabat politis di suatu negara berdaulat seharusnya adalah untuk melindungi hak-hak alamiah mendasar individu. Bagi Locke, perlindungan dan dukungan bagi hak alamiah individu merupakan justifikasi tunggal dalam pembentukan pemerintahan. Hak alamiah untuk hidup, kebebasan dan hak milik menegaskan batasan bagi kewenangan dan jurisdiksi negara. Negara hadir untuk melayani kepentingan dan hak-hak alamiah masyarakatnya, bukan untuk melayani monarki atau sistem.

Dalam universalisme, individu adalah sebuah unit sosial yang memiliki hak-hak yang tidak dapat dipungkiri, dan diarahkan pada pemenuhan kepentingan pribadi. Dalam model relativisme budaya, suatu komunitas adalah sebuah unit sosial. Dalam hal ini tidak dikenal konsep seperti individualisme, kebebasan memilih dan persamaan. Yang diakui adalah bahwa kepentingan komunitas menjadi prioritas utama. Doktrin ini telah diterapkan di berbagai negara yang menentang setiap penerapan konsep hak dari Barat dan menganggapnya sebagai imperialisme budaya. Namun demikian, negaranegara tersebut mengacuhkan fakta bahwa mereka telah mengadopsi konsep nation-state dari Barat dan tujuan modernisasi sebenarnya juga mencakup kemakmuran secara ekonomi.

(b) Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativism Theory)
Isu relativisme budaya (cultural relativism) baru muncul menjelang berakhirnya Perang Dingin sebagai respon terhadap klaim universal dari gagasan hak asasi manusia internasional. Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral. Karena itu hak asasi manusia dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan masing-masing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta martabat yang sama yang harus dihormati. Berdasarkan dalil ini, para pembela gagasan relativisme budaya menolak universalisasi hak asasi manusia, apalagi bila ia didominasi oleh satu budaya tertentu. Gagasan bahwa hak asasi manusia terikat dengan konteks budaya umumnya diusung oleh negara-negara berkembang dan negara-negara Islam.

Gagasan ini begitu mengemuka pada dasawarsa 1990-an terutama menjelang Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina, disuarakan dengan lantang oleh para pemimpin dan cendikiawan (yang biasanya merepresentasikan kepentingan status quo) di negara-negara tersebut. Para pemimpin negaranegara di kawasan Lembah Pasifik Barat, misalnya, mengajukan klaim bahwa apa yang mereka sebut sebagai “nilai-nilai Asia” (Asian Values) lebih relevan untuk kemajuan di kawasan ini, ketimbang “nilai-nilai Barat” (seperti hak asasi manusia dan demokrasi) yang dinilai tidak begitu urgen bagi bangsa-bangsa Asia. Yang paling terkenal dalam mengadvokasi “nilai-nilai Asia” itu adalah Lee Kwan Yew, Menteri Senior Singapura, dan Mahathir Mohammad, mantan Perdana Menteri Malaysia.

“Di Asia Tenggara yang dicari itu tidak begitu berkaitan dengan demokrasi, melainkan dengan pemerintahan yang bertanggungjawab, yakni suatu kepemimpinan yang transparan dan tidak korup”, ujar Lee Kwan Yew dalam sebuah ceramahnya di Jepang. Menurut Lee, yang terlebih dahulu dicari oleh bangsa-bangsa di Asia adalah pembangunan ekonomi yang ditopang dengan kepemimpinan yang kuat, bukan memberikan kebebasan dan hak asasi manusia. Yang terakhir itu akan diberikan apabila negara-negara di kawasan ini mampu menstabilkan pertumbuhan ekonomi dan memberi kesejahteraan kepada rakyat mereka. Dalam nada yang hampir sama Mahathir Mohammad berpendapat, “saat kemiskinan dan tidak tersedianya pangan yang memadai masih merajalela, dan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat tidak terjamin, maka prioritas mesti diberikan kepada pembangunan ekonomi”. Atas dasar ini Mahathir menolak pemaksaan standar-standar hak asasi manusia dari satu negara ke negara lain. “Asia tampaknya tidak memiliki hak apapun untuk menetapkan nilai-nilainya sendiri tentang hak asasi manusia,” kecam Mahathir terhadap upaya-upaya internasionalisasi hak asasi manusia. Singkatnya, baik bagi Lee maupun Mahathir, ide hak asasi manusia tidak urgen bagi bangsa-bangsa Asia.

Apa sebetulnya yang ingin dikemukakan oleh elit yang memerintah di Asia dengan bertameng di balik “nilai-nilai Asia” itu? Apakah memang untuk tujuan memajukan hak asasi manusia?, atau ada kepentingan lain di luar hak asasi manusia yang diinginkan oleh mereka? Perdebatan mengenai isu ini dengan gamblang menunjukkan pada kita bahwa di balik gagasan “nilai-nilai Asia” para pemimpin di kawasan ini ingin mengemukakan pembenaran bagi penyimpangan-penyimpangan substansial dari tafsiran internasional yang baku tentang kaidah-kaidah hak asasi manusia. Dengan mengajukan “nilainilai Asia” mereka menolak dijadikannya hak asasi manusia sebagai parameter dalam kerja sama pembangunan internasional. Lebih jauh sebetulnya di balik gagasan “nilai-nilai Asia” para pemimpin di kawasan itu gamang dengan diterapkannya “conditionality” dalam kerja sama pembangunan. “Conditionality” yang dimaksud adalah menjadikan catatan hak asasi manusia sebagai persyaratan dapat-tidaknya kerja sama pembangunan dilakukan. Singkatnya, ada kepentingan tersembunyi (vested interest) para penguasa di kawasan itu dalam upaya advokasi “nilai-nilai Asia” sehebat-hebatnya.

Relativisme budaya (cultural relativism), dengan demikian, merupakan suatu ide yang sedikit banyak dipaksakan, karena ragam budaya yang ada menyebabkan jarang sekali adanya kesatuan dalam sudut pandang mereka dalam berbagai hal, selalu ada kondisi di mana “mereka yang memegang kekuasaan yang tidak setuju”. Ketika suatu kelompok menolak hak kelompok lain, seringkali itu terjadi demi kepentingan kelompok itu sendiri. Oleh karena itu hak asasi manusia tidak dapat secara utuh bersifat universal kecuali apabila hak asasi manusia tidak tunduk pada ketetapan budaya yang seringkali dibuat tidak dengan suara bulat, dan dengan demikian tidak dapat mewakili setiap individu.

Sebagai contoh, dalam pandangan liberal Barat, setiap sistem selain sistem liberal dominan tidak akan kondusif untuk menegakkan hak asasi manusia. Penganut faham liberal berpendapat bahwa setiap sistem politik selain liberal tidak dapat melindungi dan memajukan hak asasi manusia. Oleh karenanya, menurut mereka, penegakan dan pemajuan hak asasi manusia hanya dapat dicapai dengan mengubah sistem politik itu sendiri. Di sisi lain, mereka mengatakan bahwa hanya sistem liberal yang dapat menjamin pencapaian hak asasi manusia. Jika pendapat ini dianggap absolut, maka hak asasi manusia hanya akan menjadi ajang pertempuran ideologi dengan satu tujuan, yaitu untuk menegakkan rezim liberal di seluruh dunia. Ini hanya akan menciptakan suatu lingkaran perdebatan dan konfrontasi mengenai interpretasi dan implementasi hak asasi manusia.

Terdapat perbedaan dalam konsep filosofis hak asasi manusia. Negaranegara Barat selalu membela prioritas mereka mengenai hak asasi manusia. Bagi mereka, hak asasi manusia telah secara alamiah dimiliki oleh seorang individu dan harus diakui secara penuh dan dihormati oleh pemerintah. Bagi negara-negara Timur dan non-liberal, hak asasi manusia dianggap ada hanya dalam suatu masyarakat dan dalam suatu negara. Hak asasi manusia tidak ada sebelum adanya negara, melainkan diberikan oleh negara. Dengan demikian, negara dapat membatasi hak asasi manusia jika diperlukan.

Perbedaan lain muncul pada tingkat implementasi dalam memajukan dan menegakkan hak asasi manusia. Bagi negara-negara Barat, konsep “keseimbangan” antara kepentingan untuk menghormati urusan dalam negeri negara asing dan keperluan untuk melakukan apapun yang mungkin bagi penghormatan terhadap hak asasi manusia seorang individu adalah sebagai berikut: dalam kasus di mana pelanggaran yang dilakukan di negara lain telah menjadi semakin serius, sistematis dan skalanya meluas, negara lain atau organisasi internasional diperbolehkan untuk campur tangan, bahkan apabila hal tersebut berpotensi menimbulkan perdebatan, ketegangan dan konflik. Sementara dalam pandangan negara-negara Timur, intervensi terhadap pelanggaran yang terjadi di negara lain dan kemudian menuduh pemerintah negara tersebut telah gagal menegakkan hak asasi manusia adalah suatu tindakan yang tidak logis dan tidak layak.

Contoh lebih jauh adalah anggapan adanya “dominasi kultural” yang dilakukan oleh Barat terhadap perspektif Timur. Dominasi kultural berarti bahwa mereka yang berasal dari kelompok dominan berpendapat bahwa apa yang baik bagi mereka juga pasti baik bagi seluruh isi planet. Sebagai analogi, sistem nasional atau regional yang dominan memiliki kecenderungan untuk menganggap dirinya sebagai universal bagi yang lainnya. Dalam hal hak asasi manusia, kecenderungan tersebut sampai pada titik di mana ada tekanan politik untuk mengakui satu generasi atas generasi lainnya. Hasilnya adalah suatu faham hak asasi manusia yang ideologis dan interpretasi yang bersifat politis terhadap hak-hak tersebut.

Harus diingat bahwa gagasan tentang “dominasi kultural” Barat merupakan salah satu kritik terkuat dari negara-negara Timur, terutama negara-negara Asia Timur dan Asia Tenggara. Mereka menyatakan bahwa konsep hak di Barat yang bersifat destruktif dan sangat individualis tidak sesuai dengan nilai-nilai dan budaya Asia, di mana komunitas harus diutamakan atas individu. Para pemimpin Asia menentang apa yang mereka sebut sebagai “imperialisme budaya” nilai-nilai barat, dan menuduh Barat telah mencoba untuk memelihara budaya kolonial dengan memaksakan suatu konsep hak yang tidak mencerminkan budaya Asia.

(c) Memadukan Universalisme dengan Pluralisme
Telah diakui secara umum bahwa dalam prakteknya hak asasi manusia dikondisikan oleh konteks sejarah, tradisi, budaya, agama, dan politik-ekonomi yang sangat beragam. Tetapi dengan segala keberagaman tersebut, tetap terdapat nilai-nilai universal yang berpengaruh. Martabat manusia, kebebasan, persamaan dan keadilan merupakan sebagian nilai yang mengesampingkan perbedaan dan merupakan milik kemanusiaan secara utuh. Lepas dari adanya berbagai perdebatan, universalitas dan keterkaitan (indivisibility) hak asasi manusia merupakan bagian dari warisan kemanusiaan yang dinikmati umat manusia di masa sekarang

Tidaklah mudah untuk memaksakan konsep universalitas hak asasi manusia kepada beragam tradisi, budaya dan agama. Oleh karena itu penting untuk menggali kesamaan konsep yang prinsipil, yaitu martabat umat manusia. Seluruh agama, sistem moral dan filosofi telah mengakui martabat manusia sebagai individu dengan berbagai ragam cara dan sistem. Tidak dapat disangkal bahwa hak untuk mendapatkan kehidupan, misalnya, mendapatkan pengakuan universal sebagai suatu “hak”. Di sisi lain perbudakan atau ketiadaan kebebasan, misalnya, sangat bertentangan secara alamiah dengan martabat manusia.

Bertrand Ramcharan, seorang profesor hukum di Universitas Columbia, mendefinisikan konsep universalitas hak asasi manusia melalui pertanyaanpertanyaan sederhana. Apakah manusia ingin hidup atau mati? Apakah manusia mau disiksa? Apakah manusia mau hidup bebas atau hidup dalam penjara? Apakah manusia mau diperbudak? Apakah manusia mau menyatakan pendapat khususnya mengenai bagaimana warga negara diatur dalam suatu pemerintahan? Tidak dibutuhkan suatu proses pemikiran yang rumit bagi seorang individu untuk menentukan pilihan untuk hidup atau mati, bebas atau terpenjara. “Ujian demokratis” universalitas ini merupakan dasar bagi afirmasi mengenai apa yang dianggap sebagai hak asasi manusia universal. 

Berangkat dari hal tersebut, dapat ditarik nilai dan kriteria yang diterima secara universal oleh seluruh negara. Secara praktis seluruh negara di dunia sependapat bahwa apa yang mereka akui sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia adalah: genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Ini berarti bahwa seluruh negara setuju mengenai setidaknya beberapa nilai yang mendasar. Secara prinsipil perjanjian ini kemudian berkembang menjadi setidaknya suatu inti penting dari hak asasi manusia di seluruh negara di dunia, atau setidaknya sebagian besar dari negara-negara tersebut. Hal ini juga yang menjadi landasan bahwa kesepakatan dapat dicapai untuk bentuk-bentuk hak asasi yang lainnya.

(4) Hak Perempuan sebagai Hak Asasi Manusia
Para pejuang hak-hak perempuan di berbagai wilayah dunia melontarkan kritik bahwa hukum dan sistem hak asasi manusia itu adalah sistem yang sangat maskulin dan patriarki, yang dibangun dengan cara berfikir dan dalam dunia laki-laki yang lebih memperhatikan dan kemudian menguntungkan laki-laki dan melegitimasi situasi yang tidak menguntungkan perempuan. Hal tersebut dilihat dari beberapa hal pertama, pendikotomian antara wilayah publik dan privat; kedua, konsepsi pelanggaran hak asasi manusia sebagai pelanggaran yang dilakukan oleh negara; ketiga, pendekatan ‘kesamaan’ (sameness) dan ‘perbedaan’ (differences) yang dipakai oleh beberapa instrumen pokok hak asasi manusia; keempat, pemilahan dan prioritas hak sipil dan politik, ketimbang hak ekonomi, sosial dan budaya.

Hak asasi manusia khususnya pendekatan hak asasi manusia yang konvensional lebih menekankan pengakuan jaminan terhadap hak-hak dalam lingkup publik sementara wilayah domestik tidak dijangkau demi alasan melindungi hak privasi seseorang. Pemilahan antara wilayah lingkup dan publik dan prioritas perlindungan hak pada wilayah publik sangat dilematis dalam konteks penegakan hak asasi manusia terhadap manusia yang berjenis kelamin perempuan.

Sementara perempuan yang tidak menjadi “ibu” dan banyak perempuan yang tidak pula berperan sebagai “ibu” berada pada posisi yang lemah dan tidak beruntung karena relasi timpang dan dampak dari ketertindasan tidak dijamin perlindungannya, diperlakukan sama dengan pihak (laki-laki) yang memiliki situasi yang lebih beruntung. Perlakuan sama menyebabkan situasi yang lebih senjang untuk tujuan atau hasil pencapaian keadilan. Perlakuan yang sama tidak akan menjamin perempuan dan laki-laki bisa secara sama mengakses pendidikan dan fasilitas kesehatan jika tidak ada jaminan atau landasan untuk tersedianya langkah-langkah strategis dan khusus untuk menghapus atau menghilangkan hambatan perempuan untuk mengakses secara sama terhadap pendidikan atau akses lainnya.

Selain itu, pendekatan hak asasi manusia klasik memprioritaskan dan sekaligus memilah-milah hak sipil dan politik dan meninggalkan hak ekonomi, sosial dan budaya. Penekanan tentang hak hidup, misalnya, banyak dilakukan terkait dengan hak untuk bebas dari hukuman mati. Tidak untuk menyatakan bahwa hak itu tidak penting, namun pemilihan wilayah yang diprioritaskan berdampak pada banyaknya kasus-kasus yang terkait dengan hak hidup lainnya dari aspek sosial dan budaya tidak diperlakukan setara. Misalnya, banyak perempuan yang mati pada saat melahirkan akibat layanan dan fasilitas kesehatan yang tidak memadai, perempuan migran yang mati akibat perlakuan sewenang-wenang majikan dan tidak adanya perlindungan hukum bagi mereka, bukan jadi area yang dianggap penting dalam konteks hak hidup. Padahal peristiwa ini adalah peristiwa yang sangat dekat dengan keseharian hidup perempuan.

Berbagai kritik dan advokasi yang dilontarkan atas kelemahan sistem hak asasi manusia dari perspektif pengalaman perempuan berdampak pada adanya perkembangan pemikiran baru tentang konsep hak asasi manusia.

Pemikiran para pejuang perempuan diakomodir dan diadopsi dalam hukum hak asasi manusia sejak dirumuskannya instrumen internasional yang spesifik untuk menghadapi persoalan diskriminasi terhadap perempuan, yaitu Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pada tahun 1976 dan mulai berlaku pada tahun 1979. Konvensi ini meletakkan pemikiran dasar bahwa diskriminasi terhadap perempuan sebagai hasil dari relasi yang timpang di dalam masyarakat yang dilegitimasi oleh struktur politik dan termasuk hukum yang ada. Konvensi meletakkan pula strategi/ langkah-langkah khusus sementara yang perlu dilakukan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini menjadi salah satu kerangka kerja internasional untuk perwujudan hak-hak perempuan.

Konvensi ini dianggap sebuah lompatan yang cepat terhadap realitas masyarakat internasional yang masih bergumul dengan pandangan yang sempit dalam melihat realitas perempuan. Oleh karena itu, dalam jangka waktu yang cukup lama sejak pemberlakuannya, konvensi ini sempat tidak banyak berdampak dalam perubahan cara pandang arus besar. Dengan pandangan patriarkis yang masih kuat, pengadaan konvensi yang spesifik ini malah dianggap sebagai upaya untuk ‘mengistimewakan’ perempuan sehingga membuat hak antara laki-laki dan perempuan tidak setara, di sisi lain justru dianggap merupakan penyempitan terhadap pemaknaan hak perempuan yang seolah-olah hak perempuan hanyalah hak yang diatur dalam Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Hal ini disadari banyak pejuang hak perempuan, yang kemudian pada saat yang sama juga dilakukan segala upaya pengakuan internasional tentang persoalan diskriminasi yang sudah akut dan upaya untuk mempengaruhi cara pandang publik.

Upaya ini dimulai dengan diselenggarakannya Konferensi Internasional Tahunan Perempuan dan Tribunal Internasional Tahunan Perempuan di Mexico City pada tahun 1975 yang dilanjuti dengan Konferensi Dunia tentang Perempuan dan Forum LSM di Copenhagen 1980 dan kemudian Konferensi yang sama pun dilanjutkan pada tahun 1985 di Nairobi dan kemudian pada tahun 1990. Aktivitas ini berdampak pada kelompok-kelompok hak asasi manusia internasional di PBB.

Keberadaan Deklarasi Wina dan Kerangka Aksi (Vienne Declaration and Platform for Action) 1993 sebagai hasil dari Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia merupakan momentum baru perkembangan konsep hak asasi manusia yang melihat hak asasi manusia secara universal, integral dan saling terkait satu dengan lainnya. Tak kalah pentingnya, Deklarasi ini menegaskan konsepsi tentang hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia yang universal:

“The human rights of women and of the girl-child are an inalienable, integral and indivisible part of universal human rights. The full and equal participation of women in political, civil, economic, social and cultural life, at the national, regional and international levels, and the eradication of all forms of discrimination on grounds of sex are priority objectives of the international community”.

Beberapa Mekanisme HAM PBB yang berbasis pada perjanjian kemudian melakukan adopsi dengan mengeluarkan Komentar Umum/Rekomendasi Umum untuk mengkaji ulang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

1) Komite HAM untuk Hak Sipil dan Politik mengeluarkan Komentar Umum No. 28 tahun 2000 tentang Persamaan Hak antara Laki-laki dan Perempuan (pasal 3) (General Comment No. 28: Equality of rights between men and women (article 3) tahun 2000). Pada Komentar Umum tersebut komite menegaskan bahwa setiap negara yang sudah meratifikasi konvensi hak sipil dan politik, tidak saja harus mengadopsi langkah-langkah perlindungan tapi juga langkah-langkah positif di seluruh area untuk mencapai pemberdayaan perempuan yang setara dan efektif. Langkah ini termasuk pula penjaminan bahwa praktek-praktek tradisi, sejarah, agama dan budaya tidak digunakan untuk menjustifikasi pelanggaran hak perempuan. Dengan adanya Komentar Umum ini Komite ingin memastikan bahwa negara pihak dalam membuat laporan terkait hak-hak sipil dan politik harus menyediakan informasi tentang bagaimana pengalaman perempuan yang banyak dilanggar haknya dalam setiap hak yang dicantumkan dalam Konvensi.

2) Komite tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan meletakkan pula kerangka langkah-langkah khusus sementara (temporary special measures) untuk penghapusan diskriminasi langsung dan tidak langsung (direct and indirect discrimination) yang terjadi terhadap perempuan yang sangat mempengaruhi penikmatan hak asasi perempuan dalam Rekomendasi Umum No. 25 (2004).51 Dirasa penting membedakan adanya situasi khas perempuan secara biologis dan situasi yang tidak menguntungkan akibat dari proses penindasan dan situasi yang tidak setara yang cukup lama hadir. Komite menekankan bahwa posisi perempuan yang tidak beruntung tersebut perlu disikapi dengan pendekatan persamaan hasil (equality of result) sebagai tujuan dari persamaan secara substantif (subtantive equality) atau de facto tidak saja persamaan secara formal (formal equality).

3) Komite tentang Hak Ekonomi Sosial dan Budaya mengeluarkan Komentar Umum No. 16 (2005) tentang Persamaan Hak antara Lakilaki dan Perempuan dalam menikmati seluruh hak ekonomi, sosial dan budaya (Pasal 3) (The equal right of men and women to the enjoyment of all economic, social and cultural rights (art. 3 of the International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights). Komite menegaskan bahwa perempuan seringkali diabaikan haknya untuk menikmati hak-hak asasi mereka karena status yang dinomorduakan oleh tradisi dan praktek budaya dan berdampak pada posisi perempuan yang tidak beruntung.

“ Many women experience distinct forms of discrimination due to the intersection of sex with such factors as race, colour, language, religion, political and other opinion, national or social origin, property, birth, or other status, such as age, ethnicity, disability, marital, refugee or migrant status, resulting in compounded disadvantage.” 

Komite mencatat ada banyak pengalaman perempuan yang tidak dapat menikmati haknya sebagaimana tercakup dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya seperti hak atas perumahan yang layak, hak atas makanan yang layak, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak atas standart kesehatan yang layak dan hak atas air. Dengan rekomendasi ini, Komite meletakkan kerangka tentang persamaan (equality), non-diskriminasi (non discrimination) dan langkah-langkah sementara (temporare measures) yang menjadi acuan bagi para negara yang terikat dengan Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Perkembangan pemikiran dan konsep hak asasi manusia sebagai pemikiran yang dinamis dan senantiasa kontekstual masih akan terus berlanjut, termasuk dalam konteks hak asasi perempuan. Beberapa kritik para pejuang hak asasi manusia telah disikapi namun masih ada banyak isu yang belum selesai. Harus disadari bahwa proses membongkar cara pandang hak asasi manusia konvensional dengan pendekatan hak asasi manusia yang baru bukan proses yang mudah. Namun, upaya untuk mengefektifkan penikmatan hak secara adil adalah agenda yang tidak pernah berhenti.

No comments:

Post a Comment