Saturday, 25 March 2017

Peranan media pembelajaran dan meningkatan kapasitas widyaiswara

Peranan media pembelajaran dalam peningkatan kapasitas widyaiswara
Pendahuluan
Proses belajar formal yang diselenggarakan di sekolah bertujuan untuk menguasai sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik, baik kognitif ( Pengetahuan), afektif (sikap), maupun psikomotor (ketrampilan) sesuai dengan tingkatan pendidikannya. Untuk itu, peserta didik diarahkan pada kegiatan pembelajaran yang bisa membawa perubahan pada diri peserta didik secara terencana. Interaksi yang terjadi selama proses belajar tersebut sangat dipengaruhi oleh lingkungan, antara lain: pendidik, bahan / materi, berbagai sumber belajar, dan media pembelajaran.

Pendidik termasuk widyaiswara bukanlah satu-satunya sumber belajar, peserta didik atau peserta pendidikan dan pelatihan bisa belajar melalui media. Oleh karena itu, peserta didik dapat berinteraksi dengan media atau sumber belajar lain. Para pendidik dituntut untuk mampu memilih, membuat sendiri media yang sangat sederhana atau menggunakan media yang ada secara tepat, dan efisien. Semua yang ada di sekeliling kita adalah media, pertanyaannya sejauhmana kita bisa memanfaatkan benda yang ada di sekitar kita menjadi media yang tepat, sehingga pembelajaran berlangsung secara efektif dan mampu memberikan hasil yang maksimal.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan iman dan taqwa semakin mendorong pendidik untuk mampu memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran. Misalnya memanfaatkan komputer, serta mengakses informasi melalui jaringan internet.

Proses kehidupan manusia sesungguhnya merupakan proses belajar. Manusia dikaruniai akal dan pikiran dengan kapasitas belajar yang melebihi mahluk lainnya. Selain itu, manusia juga dikenal sebagai mahluk yang memiliki kemampuan menciptakan dan menggunakan alat untuk mempermudah penyelesaian aktivitas mereka. Tersirat dari kedua karakteristik tersebut, manusia menggunakan alat untuk mempermudah aktivitas belajar mereka. Secara empiris terbukti bahwa media pembelajaran bukanlah hal baru, tetapi telah ada sejak jaman purbakala. Manusia purba menggambar dinding goa, membuat model dari tanah liat dan sebagainya untuk mengajari orang-orang mereka sekaligus generasi manusia yang akan datang. Kemampuan manusia sebagai pembuat dan pengguna alat berlanjut hingga jaman modern, dan dalam hal pembelajaran telah diciptakan berbagai alat bantu yang bisa meningkatkan efektivitas kegiatan belajar mengajar mulai yang berbentuk sederhana seperti gambar dua dimensi, chart, poster, grafik dan foto, kemudian berkembang menjadi Audio Visual Aid (AVA) dan sekarang Multimedia (MM) dimana teks, grafik , animasi, audio sudah diintegrasikan untuk memperkaya pengalaman belajar peserta diklat.

Ada berbagai macam media pembelajaran yang dapat dipergunakan didalam proses belajar. Secara garis besar media pembelajaran menurut Heinich, Molenda, dan Russel dapat klasifikasi menjadi: 1) Media yang tidak diproyeksikan, 2) Media yang diproyeksikan (projected media), 3) Media audio, 4) Media video dan film, 5) Komputer, dan 6) Multimedia berbasis komputer.

Media yang tidak diproyeksikan terdiri dari beberapa jenis yaitu: benda nyata (Objects/realia), replika dan model, kit multimedia, simulator, bahan cetak (printed material), foto, gambar, chart, poster dan grafik. Contoh media yang diproyeksikan terdiri dari: Filmstrip/film, Opaque, Slide, dan Overhead projector, sedangkan media audio terdiri dari: record player, Audiotape player, CD player, dan radio.

Dengan media pembelajaran tersebut diharapkan proses belajar dapat berjalan lebih menarik dan dapat memotivasi minat belajar dari peserta didik.

Proses Belajar
Proses Belajar dalam arti luas merupakan proses interaksi antara individu dengan lingkungannya yang terdiri dari manusia, benda-benda, tumbuhan, prosedur, tata nilai dan sebagainya. Proses belajar dalam pengertian ini berlangsung dalam konteks pertemanan, keluarga, pekerjaan dan dalam lingkup sosial yang lebih luas. Proses belajar ini berlangsung terus menerus sepanjang hayat seseorang, disadari atau tidak . Dalam proses belajar alami seperti ini maka segala sesuatu yang ada dalam lingkungan atau konteks belajar merupakan media sekaligus sumber belajar.

Akan tetapi, sejak birokratisasi pembelajaran yang dimulai di Amerika sejak Perang Dunia II (Lanham, 1993) maka pemahaman mengenai belajar menyempit. Proses belajar diformalkan dan dipisahkan dari konteksnya agar rasional, terukur dan prediksi sesuai karakter dan jiwa birokrasi yang memayunginya. Secara spesifik, bentuk proses belajar seperti ini berlangsung dalam ruang kelas dimana ada pengajar dan yang diajar.

Dalam proses belajar formal secara tradisional yang berbasis ruang kelas, proses belajar menjadi terdekontekstualisasi sehingga timbul kesulitan bagi peserta diklat untuk menyerap, memahami dan mempertahankan apa yang dipelajarinya karena situasinya sangat berbeda dengan alam nyata dimana mereka bekerja. Apalagi bila mereka sudah terbiasa terbantu dengan berbagai media dan sumber belajar real dalam proses belajar alami. Juga karena naluriahnya manusia yang suka menggunakan alat. Pada sisi lain pengajar juga mengalami kesulitan untuk menanamkan apa yang diajarkan kepada peserta Diklat. Learning transfer atau Training Transfer merupakan masalah yang belum menemukan pemecahan yang efektif.

Untuk mendekatkan kembali peserta diklat dengan konteks dimana hasil belajarnya akan diaplikasikan, maka salah satu pemecahannya adalah dengan menggunakan media pembelajaran. Lingkungan dengan segala isinya tidak semuanya bisa dibawa ke ruang kelas. Untuk mendekatkan kembali peserta diklat dengan lingkungan real tersebut, digunakan media

Media pembelajaran hanya bisa efektif kalau ditunjang dengan pemahaman mengenai bagaimana proses belajar berlangsung. Ada beberapa paradigma belajar yang umum dipakai, yakni behaviorism, cognitivism dan constructivism.

Paradigma Cognitivism, dipopulerkan oleh (Skinner 1954, 1957; Watson, 1970) pada dekade 60-an, berasumsi bahwa belajar merupakan kegiatan individu yang ditandai oleh perubahan pada schema atau struktur pengetahuan otak manusia. Alat ukurnya adalah daya ingat dan tingkat pemahaman. Oleh aliran ini, otak manusia dilihat sebagai wadah yang diisi dengan pengetahuan yang sudah ada di luar sana melalui proses pembelajaran. Belajar bagi penganut Cognitivism adalah proses transfer pengetahuan dari sumber yang kaya pengetahuan ke tujuan yang lebih miskin pengetahuan. Proses transfer pengetahuan pada saat belajar tersebut diassosiasikan dengan pemrosesan informasi pada komputer yang meliputi rangkaian “input - proses - output” (IPO). Dalam hal ini, belajar merupakan proses pengkodean informasi yang diterima ke dalam memori (Input), lalu diassimilasikan kedalam struktur pengetahuan dalam otak atau schema (Proses), dan selanjutnya disimpan untuk diakses jika sewaktu-waktu diperlukan (Output).

Behaviorism berasumsi bahwa otak manusia merupakan kotak hitam yang tidak bisa diamati secara objektif sehingga tidak cocok dijadikan objek penelitian. Bagi penganut aliran ini, proses belajar dipandang sebagai perubahan perilaku yang nampak dari luar. Jadi proses belajar merupakan proses pembiasaan menuju perubahan perilaku yang diinginkan.

Paradigma Constructivism berasumsi bahwa pengetahuan tidak bersifat absolute, akan tetapi bersifat tentative dan tergantung bagaimana individu mengkonstruksi makna ketika berinteraksi dengan lingkungannya (Brunner, 1996; Murphy, 1997). Jadi Constructivism mengakui bahwa manusia adalah mahluk sosial dan belajar adalah proses dialektik yang tidak terjadi dalam social vacuum; dimana manusia mencoba mendekati kebenaran dengan mengkonstruksi dan merekonstruksi pemahaman mereka secara subjektif.

Apa itu Media Pembelajaran?
Ada beragam istilah yang akrab digunakan, seperti: alat bantu mengajar, media pendidikan, Audio Visual Aid (AVA), alat peraga dan sebagainya. Dalam tulisan ini digunakan istilah media pembelajaran, karena istilah media pembelajaran lebih fleksibel dan akomodatif. Media pembelajaran dilihat dari fungsinya, bukan karena bentuk, benda atau keberadaannya. Selama sesuatu diperlukan dalam proses memahami, mencerna, memperlancar maka bisa digolongkan sebagai media pembelajaran. Sebagai contoh, kursi jika hanya untuk duduk maka bukan sebagai media pembelajaran, tetapi jika dipakai sebagai alat peraga dalam Diklat Pertukangan maka kursi tersebut bisa dianggap sebagai media pembelajaran.

Kata media berasal dari bahasa Latin, dalam arti sempit dapat berarti perantara. Media pembelajaran biasanya dipahami sebagai benda-benda yang dibawa masuk ke ruang kelas untuk membantu efektifitas proses belajar mengajar. Pemahaman sempit ini dipengaruhi oleh pandangan cognitivism diatas yang melihat proses belajar sebagai tranfer pengetahuan dari pengajar ke peserta diklat yang kebanyakan berlangsung dalam ruang kelas. Jika menggunakan pandangan constructivism maka pengertian belajar dan media pembelajaran menjadi lebih luas. Media pembelajaran tidak terbatas pada apa yang digunakan pengajar didalam kelas, tetapi pada prinsipnya meliputi segala sesuatu yang ada dilingkungan peserta diklat dimana mereka berinteraksi dan membantu proses belajar mengajar. Dalam pengertian luas sumber belajar seperti: guru, hardware, software, teman, dapat dianggap sebagai media pembelajaran (lihat Sadiman hal 6)

Socrates, seorang filsuf Yunani, dikenal dengan metode mengajarnya yang unik. Dalam prakteknya dia dikelilingi oleh murid-muridnya yang berusaha mengalahkan dia dalam berdebat mengenai topik yang dipelajari. Dari interaksi semacam ini terjalin hubungan mentor yaitu Socrates dengan protégé yaitu murid-muridnya. Metode belajarnya yang dinamakan discovery-based problem solving memberikan keterampilan belajar seumur hidup, yaitu pertanyaan dijawab dengan pertanyaan. Kesempatan untuk gagal diakui dari mana pemahaman yang lebih baik akan tumbuh. Dalam proses belajar mengajar yang dilakukan oleh Socrates di zamannya media pendidikan telah ada, tetapi masih belum kompleks seperti apa yang ada sekarang. Lingkungan nyata, murid-murid, serta Socrates sendiri bisa dianggap sebagai media, karena melalui merekalah proses belajar mengajar itu terjadi.

Perkembangan teknologi memungkinkan proses belajar dimediasi dengan berbagai alat yang dikenal dengan audio visual aid (AVA), komputer kemudian menggabungkan keduanya menjadi Multi Media.

Mengapa AVA penting?
Alat bantu Audio Visual sangat efektif karena kebanyakan stimuli dalam lingkungan belajar bisa dipersepsi melalui indra penglihatan. Misalnya gerakan, warna, ukuran, bentuk semuanya dapat dilihat tapi tidak didengar atau dirasa. Menurut ahli, proporsi masuknya pelajaran dari indra manusia adalah sebagai berikut: 80% melalui penglihatan, 10% melalui pendengaran, 5% melalui perabaan, 3% melalui penciuman, 2% melalui rasa. Jadi terlihat bahwa yang mendominasi adalah indra penglihatan dan pendengaran. Namun demikian, penggunaan indra lain perlu pula digunakan jika relevan sebagaimana tergambar pada diagram pie dibawah ini.

Demikian juga dengan kerucut pengalaman berikut :
Mengapa Media Pembelajaran diperlukan?
Ada dua hal mengapa media pembelajaran dipergunaan, pertama karena kebutuhan (demand), seperti yang kita ketahui kehidupan semakin kompleks, sehingga hal-hal yang perlu dipelajari juga menjadi semakin rumit, olehnya itu proses mempelajarinya juga menjadi semakin rumit. Disini media bisa membantu menyederhanakan konsep yang rumit agar bisa dicerna dengan mudah. Kedua dewasa ini ketersediaan media (supply) yang semakin beragam, sebagai akibat kemajuan teknologi disegala bidang contohnya komputer

Pertanyaan yang sering muncul mengapa media pentingnya dalam sebuah pembelajaran? Kita harus mengetahui dahulu konsep abstrak dan konkrit dalam pembelajaran itu sendiri. Proses belajar mengajar hakekatnya adalah proses komunikasi, dimana penyampaian pesan dari seorang pengirim pesan dalam hal ini seorang pengajar pada muridnya atau penerima. Pesan berupa isi atau ajaran yang dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi baik secara verbal (kata-kata & tulisan) maupun non-verbal, proses ini dinamakan encoding. Penafsiran simbol-simbol komunikasi tersebut oleh peserta diklat dinamakan decoding.

Manusia memiliki kemampuan mengeksternalisasi informasi sehingga otak mereka terbebas dari hal-hal yang kecil untuk bisa berpikir mengenai yang besar. Menurut Norman (1993) “Puncak dari kemampuan berpikir manusia tidak semata-mata terletak pada kemampuannya bernalar atau mengingat tapi pada kemampuanya membangun artefak kognitif eksternal untuk menutupi keterbatasan daya ingat jangka panjang mereka”.

Oleh karena itu kemampuan pengajar seperti widyaiswara, guru atau dosen menggunakan alat bantu akan turut meningkatkan kapasitas mereka dalam mengajar. Tetapi proses komunikasi tidak selamanya berjalan dengan mulus walaupun dengan menggunakan media pembelajaran sekalipun.

Ada kalanya penafsiran berhasil oleh peserta diklat adakalanya tidak, kegagalan atau ketidakberhasilan dalam memahami apa yang didengar, dibaca,dilihat dan diamati dalam proses komunikasi dikenal dengan istilah barriers atau noise. Semakin banyak verbalisme semakin abstrak pemahaman yang diterima.

Pengalaman belajar yang paling lengkap adalah yang terjadi di tempat kerja karena peserta diklat terlibat secara penuh berinteraksi dengan lingkungannya yang sekaligus berfungsi sebagai media dan sumber belajar. Akan tetapi, ketika proses belajar dipisahkan dari tempat kerja dan diselenggarakan di ruang kelas, maka konteks yang menyediakan media dan sumber belajar otentik tersebut menjadi hilang. Untuk itu, proses dan pengalaman belajar perlu diperkaya dengan menyentuh sebanyak mungkin indra peserta diklat. Dalam konteks belajar di ruang kelas, indra peserta diklat bisa disentuh dengan menggunakan media pembelajaran.

Selain mempermudah, Media pembelajaran ada sejumlah alasan lainnya mengapa diperlukan dalam proses belajar mengajar dalam diklat sebagaimana berikut ini:

Menghindari resiko
Sebagian proses belajar memiliki resiko sehingga sebelum dilakukan di dunia nyata terlebih dahulu perlu dilatihkan dalam kondisi yang tidak real. Disini media bisa membantu mendekatkan kepada keadaan real tetapi mengeliminasi faktor resiko tersebut. Misalnya, seorang calon penerbang belajar menggunakan flight simulator sebelum menerbangkan pesawat yang sebenarnya. Pelatihan bagi aparat kepolisian dalam menjinakkan bom, zat berbahaya, dan pelatihan anti teror tentu saja harus dimulai dengan alat peraga. Seorang mahasiwa kedokteran menggunakan alat bantu dalam mempelajari bagaimana mengoperasi pasien.

Keterbatasan Ruang
Karakteristik Objek yang dipelajari, misalnya ukurannya besar, makro (sistem planet, gerhana matahari maupun bulan) terlalu kecil (renik), abstrak (ide, konsep, udara, hantu, dsb. Disajikan dalam bentuk diagram atau sketsa), tidak mobile (proses produksi).

Sebagian objek yang dipelajari ukurannya begitu besar sehingga tidak praktis untuk dibawa masuk ke ruang kelas dan juga tidak ada waktu untuk mengunjunginya. Sedangkan yang terkait dengan hewan, bangunan, kendaraan, tempat bersejarah, ataupun yang tidak dapat dipindahkan seperti hutan, gunung, sawah. Pilihan yang ada adalah membuat replika atau mengunjunginya

Keterbatasan Waktu
Proses yang berlangsung lama atau lambat (revolusi kemerdekaan Indonesia, proses mekarnya bunga, proses pembangunan dari waktu ke waktu), sudah terjadi (film sejarah), gerakkan yang terlalu cepat (banyak dipakai dalam pelatihan dibidang olah raga untuk menayangkan secara ulang gerakkan tertentu yang susah diamati dengan kecepatan normal dengan menggunakan super slow motion picture).

Manfaat Media Pembelajaran
Pemanfaatan media pembelajaran selain dapat memberi kontribusi terhadap pengetahuan dan keterampilan peserta diklat juga dapat membantu tenaga pengajar untuk mempermudah proses belajar, memperjelas materi pembelajaran dengan beragam contoh yang konkret, memfasilitasi interaksi dengan peserta diklat, memberi kesempatan praktek kepada peserta diklat, dan memberi kesempatan evaluasi beragam bentuk media pembelajaran (Pannen, dkk, 2003).

Media Pembelajaran yang biasa dipakai pada proses belajar mengajar ada beragam jenis diantaranya media cetak seperti: hand out, diktat, buku teks, dan bahan lain dalam bentuk cetakan (printed). Hal ini terjadi karena media cetak dipandang bersifat luwes untuk digunakan sebagai media baik dalam aktivitas pembelajaran individual maupun kelompok. Disamping itu, media cetak mempunyai harga yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan jenis media lain.

Selain media cetak media lain yang sering digunakan adalah media overhead transparansi merupakan jenis media visual setelah papan tulis (board), banyak digunakan karena sangat mudah untuk menyiapkannya.

Untuk media audio visual yang banyak digunakan adalah VCD dan DVD, media ini biasanya banyak digunakan untuk mengajarkan pengalaman belajar yang tidak dapat dilihat secara langsung, misalnya dalam mata ajaran mekanik. Media video mampu memperlihatkan gerakan mekanik yang perlu dipelajari oleh peserta diklat. Penayangan gerakan mekanik dapat diperlihatkan melalui gerakan lambat sehingga peserta diklat dapat lebih memahami esensi gerakan tersebut.

Rekaman audio dalam proses pembelajaran digunakan sebagai sarana untuk melakukan analisis terhadap jenis bunyian-bunyian tertentu, media audio banyak digunakan untuk mempelajari pengucapan (pronounciation) suatu bahasa dan mendokumentasikan unsur suara.

Pemanfaatan komputer sebagai media pembelajaran tidak hanya terbatas pada perangkat keras saja tetapi juga perangkat lunak. Aplikasi program komputer telah banyak dimanfaatkan sebagai media pembelajaran yang efektif untuk menguasai kompetensi spesifik.

Saat ini aplikasi komputer tidak lagi hanya digunakan untuk keperluan pengetikan dan komputasi semata. Perkembangan teknologi komputer yang amat pesat telah memungkinkan individu memanfaatkan komputer untuk keperluan yang beragam. Penggunaan komputer sebagai media pembelajaran juga berkembang sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi komputer. Komputer telah digunakan dalam beragam keperluan pembelajaran seperti alat bantu desain, rekayasa dan penelitian terutama dalam bidang ilmu teknik dan sains.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan secara garis besar beberapa manfaat media pembelajaran antara lain:
  1. memberikan pengalaman kongkrit,
  2. meningkatkan motivasi belajar,
  3. meningkatkan daya serap dan
  4. meningkatkan retensi atau daya ingat.
Media pembelajaran diperlukan oleh seorang widyaiswara agar apa yang diajarkan bisa diterima dan dicerna dengan mudah oleh peserta diklat, memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis, mengatasi keterbatasan ruang, waktu tenaga dan daya indra, menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar,memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori & kinestetiknya, memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman & menimbulkan persepsi yang sama.

Selain itu, kontribusi media pembelajaran menurut Kemp and Dayton, 1985 adalah sebagai berikut:
  • Penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar.
  • Pembelajaran dapat lebih menarik .
  • Pembelajaran menjadi lebih interaktif dengan menerapkan teori belajar.
  • Waktu pelaksanaan pembelajaran dapat diperpendek.
  • Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan.
  • Proses pembelajaran dapat berlangsung kapanpun dan dimanapun diperlukan.
  • Sikap positif peserta diklat terhadap materi pembelajaran serta proses pembelajaran dapat ditingkatkan.
  • Peran widyaiswara berubahan kearah yang positif.

Implikasi penggunaan media pembelajaran
Diatas telah dijelaskan manfaat dan pentingnya media pembelajaran. Sekarang bagaimana implikasi penggunaan media pembelajaran tersebut? Proses belajar mengajar merupakan proses rangsangan dan gerak balas peserta diklat, peran aktif peserta diklat dalam mengeksplorasi dan mengkonstruksi pengetahuan sangat diutamakan. Widyaiswara hanya memfasilitasi peserta diklat guna mengikuti pola-pola kognitif dan memperlihatkan konsep pengetahuannya itu dapat berlaku benar untuk setiap keadaan atau sudah baku menurut referensi ilmu dan kebenaran epistimologi tertentu. Tapi yang masih menjadi masalah hingga kini terletak pada proses pembelajaran yang masih menganggap peserta diklat sebagai obyek yang tidak mengetahui sesuatu.

Dalam proses pembelajaran rangsangan itu terkandung pesan intelektual, emosi dan afektif. Pesan akan lebih mudah ditangkap oleh peserta diklat apabila tersaji melalui media empirik yang beraneka ragam, seperti film, slide, foto, grafik, serta diagram. Dari media inilah peserta diklat terpacu untuk mengeluarkan ide, konsep atau membantu mereka mencerna sesuatu yang abstrak.

Dengan fasilitas empirik itu sesuatu yang abstrak atau bersifat historis direduksi pada suatu kenyataan yang bisa diinderai, dengan demikian persepsi temporal dan kebutuhan untuk mempelajarinya bisa muncul.

Berkaitan dengan aktualisasi fasilitas empiris ini, tidak ada salahnya bagi widyaiswara untuk menjadikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat sebagai topik aktual dalam proses pembelajaran. Hal ini penting dilakukan agar peserta diklat berimpresi positif bahwa sebenarnya pengetahuan itu bisa diperoleh lewat lingkungan sekitarnya, dan bahkan pengetahuan itu terjadi dan sudah ada dalam dirinya. Yang harus mereka lakukan sekarang adalah memposisikannya secara konseptual dan tercerna. Agar hal ini bisa tercerna maka widyaiswara perlu mempersiapkan skenario pembelajaran yang tepat dan sesuai.

Sebelum widyaiswara tampil di depan kelas, sudah memikirkan atau memiliki konsep tertentu tentang topik yang ingin dibahas. Konsep itu tidak lain berupa sasaran kompetensi dan suasana yang ingin dibangun dalam proses pembelajaran.

Widyaiswara dapat menggunakan pendekatan rasional dan fungsional untuk topik ini karena selain widyaiswara menyampaikan konsep atau teori yang harus dicerna oleh peserta diklat. Dalam proses pembelajaran widyaiswara boleh menggunakan beberapa metode sekaligus seperti: metode ceramah, diskusi dan tugas. Demikian juga dengan media pembelajaran yang ingin dipakai untuk membangkitkan perhatian dan menarik minat peserta diklat, sebelum memulai topik terlebih dahulu disajikan gambar, foto, film, atau slide OHP yang berhubungan dengan topik.

Dari beberapa jenis media pembelajaran yang paling populer digunakan adalah OHP, LCD, bahan cetak berupa hand out, diktat, modul, hingga yang paling sederhana dimana setiap widyaiswara memakainya yaitu white board. Untuk menggunakan media pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran seorang widyaiswara harus mengetahui dasar pertimbangan pemilihan media pembelajaran yaitu: harus berdasarkan tujuan instruksional, karakteristik peserta diklat, jenis ransangan belajar yang diinginkan, keadaan dan kondisi setempat (ada OHP tidak ada listrik, ada powepoint dan laptop tapi tidak ada LCD projector, PLN sering padam), luasnya jangkauan yang ingin dilayani (lihat Sadiman 1986, hal 84).

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat menuntut widyaiswara tidak hanya perlu secara terus menerus memperbaharui pengusaan materi yang akan diajarkan tapi juga mampu menyampaikan materi tersebut secara efektif kepada peserta diklat. Penggunaan media pembelajaran saat ini bukan merupakan suatu hal yang baru baik bagi peserta diklat maupun widyaiswara. Jenis pemanfaatan media pembelajaran oleh widyaiswara masih didominasi media cetak, sedangkan media pembelajaran lainnya belum dimanfaatkan secara optimal untuk keperluan belajar mengajar contohnya masih banyak widyaiswara hanya menggunakan transparansi dengan OHP dalam mengajar, masih sedikit yang menggunakan komputer sebagai media pembelajaran.

Widyaiswara perlu mengetahui manfaat penggunaan media pembelajaran untuk meningkatkan kualitas penguasaan kompetensi yang perlu dimiliki oleh peserta diklat. Agar penggunaan media pembelajaran dapat memberikan kontribusi yang optimal terhadap hasil belajar maka penggunaan media pembelajaran harus dintegrasikan dengan kegiatan belajar.

Bacaan;
  • Aderman, B. & Choi, J.(1997). Job portfolio: It's the door opener.Adult Learning, 8(4), 1045-1595. Retreived November 7, 2005, from EBSCO Host Research’s Database. 
  • Allen, B., Otto, R. (2001). Media as Lived Environments: The Ecological Psychology of Educational Technology. The Handbook of Research For Educational 
  • Analyze audience and content and design methods before selecting delivery media.http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1996/03/03/0056.html
  • Anglin, G.J., Hossein, H., & Cunningham, K.L. (2004). Visual representations and learning: The role of static and animated graphics. In D. Jonassen, (Ed.), Handbook of research on educational communications and technology (2nd ed., pp. 865-916). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers.
  • Anderson, J. (1985). Cognitive psychology and its implications (2nd ed.). New York: W. H. Freeman. 
  • Anderson, L.W., & Krathwohl (Eds.). (2001). A Taxonomy for Learning,Teaching, and Assessing: A Revision of Bloom's Taxonomy of Educational Objectives. New York: Longman.
  • Anglin, G. J., Towers, R. L., & Levie, W. H. (1996). Visual message design and learning: The role of static and dynamic illustrations. In D. H. Jonassen (Ed.), Handbook of research for educational communications and technology (pp. 755-794). New York: Simon & Schuster Macmillan.
  • Arsyad, Azhar. (2007). Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Bretz, Rudy. 1971. A Taxonomi of Communication Media. Education Technology Publication, Englewood, Cliffs, N.J
  • Dale, E. (1969). Audio Methos in Teaching. (Third Edition) New York: The Dryden Press, Holt, Rinehart and Winston, Inc.
  • Gagne, R.M. (1970) The Condition of Learning. New York Hort Rinehart, and Winston, Inc. (Original work published 1965)
  • Briggs, Leslie J. (1970) Instructional Design Principle and Aplication. New Jersey: Prentice Hall inc. 
  • Heinich, Molenda, dan Russel, 1969. Instructional Media. New York: Macmillan
  • Miarso, Yusufhadi. (2004) Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media.
  • Nana Sudjana, Ahmad Rivai. (2005). Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algendindo. 
  • Sadiman, Arief S., R. Rahardjo, Anung Haryono, Rahardjito. 1990. Media 
  • Pendidikan: Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: CV Rajawali.
  • Schramm, Wilbur. 1977. Big Media and Little Media. Tools and Technology for Instruction, Sage Publications. Inc California
  • Susilana, Rudi & Cepi Riyana. (2007). Media Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima.
  • Reiser, R.A. & Dick, W. (1996). Instructional Planning: A Guide for Teachers. Needham Heights, Massachusetts: Allyn and Bacon
  • Sadiman, Arief S., Rahardjo, R., Haryono, A., dan Rahardjito (1986). Media Pendidikan: Pengertian, pengembangan dan pemanfaatanya. Jakarta: RajaGrafindo Persada

No comments:

Post a Comment