Saturday, 25 March 2017

MAKALAH DAN TEORI IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF
BAB I
PENDIDIKAN INKLUSIF
A. Konsep Pendidikan Inklusif
1. Pengertian
Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru, agar anak-anak berhasil (Stainback,1980)

Berdasarkan batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana parasarana pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta didik. Untuk itu proses identifikasi dan asesmen yang akurat perlu dilakukan oleh tenaga yang terlatih dan/atau profesional di bidangnya untuk dapat menyusun program pendidikan yang sesuai dan obyektif.

2. Pendidikan Segregasi, Pendidikan Terpadu dan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif hanya merupakan salah satu model penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Model yang lain diantaranya adalah sekolah segregasi dan pendidikan terpadu. Perbedaan ketiga model tersebut dapat diringkas sebagai berikut.

a. Sekolah segregasi
Sekolah segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain. Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena lingkungan pergaulan yang terbatas. 

b. Sekolah terpadu
Sekolah terpadu adalah sekolah yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap menggunakan kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, serta sistem pembelajaran reguler untuk semua peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan dalam mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik itu sendiri yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dituntut di sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut anak yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dipersyaratkan sekolah reguler. Kelemahan dari pendidikan melalui sekolah terpadu ini antara lain, anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individual anak. Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus dapat bergaul di lingkungan sosial yang luas dan wajar.

c. Sekolah inklusif
Sekolah inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi.

3. Implikasi manajerial pendidikan inklusif
Sekolah reguler yang menerapkan program pendidikan inklusif akan berimplikasi secara manajerial di sekolah tersebut. Diantaranya adalah:
  1. Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan.
  2. Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual.
  3. Guru di kelas reguler harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.
  4. Guru pada sekolah inklusif dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
  5. Guru pada sekolah inklusif dituntut melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses pendidikan.
4. Pro dan kontra pendidikan inklusif
Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh dunia sebagai salah satu uapaya mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi setiap anak, namun perkembangan pendidikan inklusif mengalami kemajuan yang berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi baru, pro dan kontra pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan masing-masing. Sebagai negara yang ikut dalam berbagai konvensi dunia, Indonesia harus merespon secara proaktif terhadap kecenderungan perkembangan pendidikan inklusif. Salah satunya adalah dengan cara memahami secara kritis tentang pro dan kontra pendidikan inklusif.

a. Pro Pendidikan Inklusif
  1. Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak berkebutuhan khusus.
  2. Beaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal dibanding dengan dengan sekolah regular.
  3. Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh dan/atau biaya yang tidak terjangkau.
  4. SLB (terutama yang berasrama) merupakan sekolah yang memisahkan anak dari kehidupan sosial yang nyata. Sedangkan sekolah inklusif lebih ‘menyatukan’ anak dengan kehidupan nyata.
  5. Banyak bukti di sekolah reguler terdapat anak berkebutuhan khusus yang tidak mendapatkan layanan yang sesuai.
  6. Penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya labelisasi anak ‘cacat’ yang dapat menimbulkan stigma sepanjang hayat. Orangtua tidak mau ke SLB.
  7. Melalui pendidikan inklusif akan terjadi proses edukasi kepada masyarakat agar menghargai adanya perbedaan.
b. Kontra Pendidikan Inklusif
  1. Peraturan perundangan memberikan kesempatan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus.
  2. Hasil penelitian masih menghendaki berbagai alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
  3. Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin bersekolah di sekolah reguler.
  4. Banyak sekolah reguler yang belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusif karena menyangkut sumberdaya yang terbatas
  5. Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena diikuti anak yang sejenis.
c. Pendidikan Inklusif yang Moderat
Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang pendidikan inklusif, maka dapat diterapkan pendidikan inklusif yang moderat. Pendidikan inklusif yang moderat dimaksud adalah :
  1. Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan Inklusi penuh.
  2. Model moderat dikenal dengan model ‘Meanstreaming’.
  3. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam prakteknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus fleksibel pindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti :
  • bentuk kelas reguler penuh
  • bentuk kelas reguler dengan cluster
  • bentuk kelas reguler dengan ’pull out’
  • bentuk kelas reguler dengan ‘cluster dan pull out’
  • bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian.
  • bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler
B. Sejarah Perkembangan Pendidikan Inklusif
Sejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif.

Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi ’education for all’. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan layanana pendidikan secara memadai.

Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.

Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.

Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.

Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut, maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000 mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusif.

C. Tujuan Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan :
  1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya.
  2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar 
  3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah
  4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran
  5. Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan’, dan ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Ps. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Ps. 51 yang berbunyi ’anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikana kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.
D. Landasan Pendidikan Inklusif
1. Landasan Filosofis
Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut :
  • Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti ’bhineka tunggal ika’. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
  • Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (‘inklusif’).
  • Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan.
2. Landasan Yuridis
  • UUD 1945 (Amandemen) Ps. 31 : (1) berbunyi ‘Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) ’Setiaap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’.
  • UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ps. 48 ‘Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Ps. 49 ’Negara, Pemerintah, Keluarga, dan Orangtua wajib memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan’.
  • UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ps. 5 ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2) : Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Ayat (3) ‘Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus’. Ayat (4) ‘Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus’. Pasal 11 ayat (1) dan (2) ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi’. ‘Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun’. Pasal 12 ayat (1) ‘Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (1.b). Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada jalur dan satuan pendidikan lain yang setara (1.e).Pasal 32 ayat (1 ) ‘Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa’. Ayat (2) ‘Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.’ Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir dijelaskan bahwa ‘Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah’. Pasal 45 ayat (1) ‘Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik’.
  • Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Stándar Nasional Pendidikan. Pasal 2 ayat (1) Lingkungan Stándar Nasional Pendidikan meliputi Estándar isi, estándar proses, estándar kompetensi lulusan, estándar pendidik dan kependidikan, estándar sarana prasarana, estándar pengelolaan, estándar pembiayaan, dan estándar penilaian pendidikan. Dalam PP No. 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas : SDLB, SMPLB dan SMALB.
  • Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusi : menyeelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari : SD, SMP, SMA, dan SMK.
3. Landasan Empiris
  • Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human Rights),
  • Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights of the Child),
  • Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990 (World Conference on Education for All),
  • d. Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan Kesempatan bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunities for persons with disabilities)
  • Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, 1994 (The Salamanca Statement on Inclusive Education),
  • Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua, 2000 (The Dakar Commitment on Education for All), dan 
  • Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju pendidikan inklusif”,
  • Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif dan ramah terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai:
  1. Sebuah pendekatan terhadap peningkatankualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar untuk semua;
  2. Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-program untuk perkembangan usia dini anak, pra sekolah, pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap marginalisasi dan eksklusi; dan
  3. Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga negara.
Disamping itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih meningkatkan kualitas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua lainnya:
  1. Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip fundamental yang mendasari semua kebijakan nasional
  2. Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan nasional, emosi dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya
  3. Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar sesuai dengan prinsip-prinsip non-diskriminasi dan inklusi serta konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas
  4. Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati semua anak, tanpa memandang perbedaan karakteristik maupun keadaan individu, serta seharusnya pula memperhatikan pandangan mereka
  5. Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk mengembangkan strategi bersama menuju inklusi
  6. Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka sekolah yang ramah terhadap anak (SRA), maka masalah non-diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi SRA, dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-lembaga pemerintah dan non-pemerintah, donor, masyarakat, berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor swasta
  7. Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi non-pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi dalam setiap upaya untuk mencapai keberlangsungan pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah terhadap pembelajaran bagi semua anak
  8. Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial maupun ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus mencakup semua anak usia sekolah
  9. Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam jabatan guru seyogyanya direvisi guna mendukung pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar anak termasuk pada intervensi dini
  10. Pemerintah (pusat, propinsi, dan local) dan sekolah seyogyanya membangun dan memelihara dialog dengan masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif
BAB II
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF
A. Peserta Didik
1. Sasaran
Sasaran pendidikan inklusif secara umum adalah semua peserta didik yang ada di sekolah reguler. Tidak hanya mereka yang sering disebut sebagai anak berkebutuhan khusus, tetapi juga mereka yang termasuk anak ‘normal’. Mereka secara keseluruhan harus memahami dan menerima keanekaragaman dan perbedaan individual. Secara khusus, sasaran pendidikan inklusif adalah anak berkebutuhan khusus, baik yang sudah terdaftar di sekolah reguler, maupun yang belum dan berada di lingkungan sekolah reguler. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi secara khusus agar dapat diberikan program yang sesuai.

2. Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus
a. Identifikasi 
1. Hakekat
Istilah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan, sedangkan assesment dimaknai sebagai penyaringan. Identifikasi anak dimaksudkan sebagai suatu upaya seseorang (orang tua, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan proses penjaringan terhadap anak yang mengalami kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social, emosional/tingkah laku) dalam rangka pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui program inklusi. 

2. Tujuan
Identifikasi anak berkebutuhan khusus dilakukan untuk lima keperluan,yaitu:
  • Penjaringan (screning),
  • Pengalihtanganan (referal)
  • Klasifikasi,
  • Perencanaan pembelajaran, dan
  • Pemantauan kemajuan belajar.
b. Asesmen
Pengertian
Asesmen merupakan proses pengumpulan informasi sebelum disusun program pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus. Asesmen ini dimaksudkan untuk memahami keunggulan dan hambatan belajar siswa, sehingga diharapkan program yang disusun benar-benar sesuai dengan kebutuhan belajarnya.

Fungsi
Fungsi screening / penyaringan, pada tahap ini asesmen diuntukkan untuk keperluan screening/penyaringan. Screening ini dilakukan untuk mengidentifikasi siswa yang mungkin mempunyai problem belajar Fungsi pengalihtanganan/referal, adalah sebagai alat untuk pengalihtanganan kasus dari kasus pendidikan menjadi kasus kesehatan, kejiwaan ataupun kasus sosial ekonomi. Ada bagian yang tidak mungkin ditangani oleh guru sendiri, sehingga memerlukan keterlibatan profesional lain.

Fungsi perencanaan pembelajaran individual (PPI), dengan berbekal data yang diperoleh dalam kegiatan asesmen, maka akan tergambar berbagai potensi maupun hambatan yang dialami anak. Misalnya keterbelakangan mental, gangguan motorik, persepsi, memori, komunikasi, adaptasi sosial,
Fungsi monitoring kemajuan belajar, adalah untuk memonitor kemajuan belajar yang dicapai siswa.
Fungsi evaluasi program, adalah untuk mengevaluasi program pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Sasaran;
  1. Anak berkebutuhan khusus yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
  2. Anak berkebutuhan khusus yang akan masuk ke Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
  3. Anak berkebutuhan khusus yang belum/tidak bersekolah
  4. Anak berkebutuhan khusus yang akan mengikuti program pendidikan non formal atau informal.
B. Kurikulum
1. Jenis Kurikulum
Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di sekolah umum. Namun demikian karena ragam hambatan yang dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam implementasinya, kurikulum reguler perlu dilakukan modifikasi (penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Modifikasi (penyelarasan) kurikulum dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari: kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pembimbing khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait.

2. Tujuan Pengembangan Kurikulum
  • Membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi dan mengatasi hambatan belajar yang dialami siswa semaksimal mungkin dalam setting sekolah inklusi
  • Membantu guru dan orangtua dalam mengembangkan program pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus baik yang diselenggarakan di sekolah, di luar sekolah maupun di rumah.
  • Menjadi pedoman bagi sekolah, dan masyarakat dalam mengembangkan, menilai dan menyempurnakan program pendidikan inklusi.
3. Model Pengembangan Kurikulum
a. Model kurikulum reguler penuh
Pada model kurikulum ini peserta didik yang berkebutuhan khusus mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di dalam kelas yang sama. Program layanan khususnya lebih diarahkan kepada proses pembimbingan belajar, motivasi dan ketekunan belajarnya.

b. Model kurikulum reguler dengan modifikasi
Pada model kurikulum ini guru melakukan modifikasi pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan siswa (anak berkebutuhan khusus). Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki program pembelajaran berdasarkan kurikulum reguler dan program pembelajaran individual (PPI). Misal seorang siswa berkebutuhan khusus yang mengikuti 3 mata pelajaran berdasarkan kurikulum reguler sedangkan mata pelajaran lainnya berdasarkan PPI.

c. Model kurikulum PPI
Pada model kurikulum ini guru mempersiapkan program pendidikan individual (PPI) yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pembimbing khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait. 

Model ini diperuntukan pada siswa yang mempunyai hambatan belajar yang tidak memungkinkan untuk mengikuti proses belajar berdasarkan kurikulum reguler. Siswa berkebutuhan khusus seperti ini dapat dikembangkan potensi belajarnya dengan menggunakan PPI dalam setiing kelas reguler, sehingga mereka bisa mengikuti proses belajar sesuai dengan fase perkembangan dan kebutuhannya. 

Penjelasan dan model PPI secara lebih lengkap dapat dilihat pada Buku Pedoman Pengembangan PPI.

C. Tenaga Pendidik
1. Pengertian
Tenaga pendidik adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, meninlai, dan mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan tertentu yang melaksanakan program pendidikan inklusi. Tenaga pendidik meliputi: guru kelas, guru mata pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan guru pembimbing khusus (GPK).

2. Tugas
a. Tugas Guru Kelas antara lain sebagai berikut :
  1. Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga anak-anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.
  2. Menyusun dan melaksanakan asesmen pada semua anak untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya
  3. Menyusun program pembelajaran individual (PPI) bersama-sama dengan guru pembimbing khusus (GPK).
  4. Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dan mengadakan penilaian untuk semua mata pelajaran (kecuali Pendidikan Agama dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan ) yang menjadi tanggung jawabnya.
  5. Memberikan program remedi pengajaran (remedial teaching), pengayaan/percepatan bagi peserta didik yang membutuhkan.
  6. Melaksanakan administrasi kelas sesuai dengan bidang tugasnya.
b. Tugas guru mata pelajaran antara lain sebagai berikut:
  1. Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga anak-anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.
  2. Menyusun dan melaksanakan asesmen pada semua anak untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya
  3. Menyusun program pembelajaran individual (PPI) bersama-sama dengan guru pembimbing khusus (GPK).
  4. Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dan mengadakan penilaian kegiatan belajar mengajar untuk mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.
  5. Memberikan program Perbaikan (remedial teaching), pengayaan/percepatan bagi peserta didik yang membutuhkan.
c. Tugas Guru Pembimbng Khusus antara lain sebagai berikut;
  1. Menyusun instrumen asesmen pendidikan bersama-sama dengan guru kelas dan guru mata pelajaran 
  2. Membangun system koordinasi antara guru, pihak sekolah dan orang tua peserta didik.
  3. Melaksanakan pendampingan anak berkebutuhan khusus pada kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan guru kelas/guru mata pelajaran/guru bidang studi.
  4. Memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas umum, berupa remidi ataupun pengayaan.
  5. Memberikan bimbingan secara berkesinambungan dan membuat catatan khusus kepada anak-anak berkebutuhan khusus selama mengikuti kegiatan pembelajaran, yang dapat dipahami jika terjadi pergantian guru.
  6. Memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru kelas dan/atau guru mata pelajaran agar mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
3. Kedudukan
Guru berkedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan pada usia dini pada jalur pendidikan formal yang dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Kedudukan untuk masing-masing guru secara rinci meliputi :
  • Guru Kelas berkedudukan di sekolah dasar yang di tetapkan berdasarkan kualifikasi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh sekolah.
  • Guru mata pelajaran/bidang studi adalah guru yang mengajar mata pelajaran tertetu sesuai kualifikasi yang dipersyaratkan di sekolah.
  • Guru Pembimbing Khusus berdudukan sebagai guru pendamping khusus. Secara administrasi status kepegawaian, ada beberapa alternatif yang memungkinkan.
D. Kegiatan Pembelajaran 
Perencanaan 
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan pembelajarann pada kelas inklusif antara lain seperti di bawah ini.
  • Merencanakan pengelolaan kelas
  • Merencanakan pengorganisasian bahan
  • Merencanakan strategi pendekatan kegiatan belajar mengajar
  • Merencanakan prosedur kegiatan belajar mengajar
  • Merencanakan penggunaan sumber dan media belajar
  • Merencanakan penilaian
Pelaksanaan
  • Melasanakan apersepsi
  • Menyajikan materi/bahan pelajaran
  • Mengimplementasikan metode, sumber/media belajar, dan bahan latihan yang sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa, serta sesuai dengan tujuan pembelajaran
  • Mendorong siswa untuk terlibat secara aktif
  • Mendemontrasikan penguasaan materi pelajaran dan relevansinya dalam kehidupan
  • Membina hubungan antar pribadi, antara lain: (1) Bersikap terbuka, toleran, dan simpati terhadap siswa; (2) Menampilkan kegairahan dan kesungguhan; (3) Mengelola interaksi antar pribadi.
2. Prinsip-Prinsip Pembelajaran
a. Prinsip motivasi
Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti kegiatan belajar-mengajar.

b. Prinsip latar/konteks
Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak.

c. Prinsip keterarahan
Setiap akan melakukan kegiatan pembalajaran, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang sesuai, serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat

d. Prinsip hubungan sosial 
Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, searta interaksi banyak arah.

e. Prinsip belajar sambil bekerja
Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan, atau menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian, dan sebagainya.

f. Prinsip individulisasi
Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari seagi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak meandapat perhatian dan paerlakuan yang sesuai.

g. Prinsip menemukan
Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memancing anak untuk terlibat seacara aktif, baik fisik, mental, sosial, dan/atau emosional.

h. Prinsip pemecahan masalah
Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem yang ada di lingkungan sekitar, dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya seasuai dengan kemampuannnya.

E. Penilaian dan Sertifikasi
1. Penilaian
Penilaian dalam setting inklusi ini mengacu pada model pengembangan kurikulum yang dipergunakan, yaitu:
  • Apabila menggunakan model kurikulum reguler penuh, maka penialiannya menggunakan sistem penilaian berlaku pada sekolah reguler.
  • Jika menggunakan model kurikulum reguler dengan modifikasi, maka penilaiannya menggunakan sistem penilaian reguler yang telah dimodifikasi sekolah disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa.
  • Apabila menggunakan kurikulum PPI, maka penilaiannya bersifat individu dan didasarkan pada kemampuan dasar (base line).
2. Sistem Kenaikan Kelas dan Laporan Hasil Belajar
a. Sistem Kenaikan kelas;
  1. Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum reguler penuh, sistem kenaikan kelasnya menggunakan acuan yang berlaku pada sekolah reguler penuh yang sedang berlaku.
  2. Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum reguler yang dimodifikasi, maka sistem kenaikan kelasnya dapat menggunakan alternatif berikut: (1) menggunakan model kenaikan kelas yang didasarkan pada usia kronologis; (2) menggunakan sistem kenaikan kelas reguler.
  3. Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum PPI, sistem kenaikannya didasarkan pada usia kronologis.
b. Sistem Laporan Hasil Belajar
  1. Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler penuh, maka model laporan hasil belajarnya (raport) menggunakan model raport reguler yang sedang berlaku.
  2. Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler yang dimodifikasi, model raport yang dipergunakan adalah raport reguler yang dilengkapi dengan diskripsi (narasi) yang menggambarkan kualitas kemajuan belajarnya.
  3. Bagi siswa yang menggunakan kurikulum PPI, maka menggunakan model raport kuantitatif yang dilengkapi dengan diskripsi (narasi). Penentuan nilai kuantitatif didasarkan pada kemampuan dasar (base line anak).
3. Sertifikas
Sertifikasi adalah suatu bentuk penghargaan yang berupa surat keterangan yang diberikan kepasi siswa yang telah berhasil mencapai prestasi dalam bidang akademik maupun non akademik. Sertifikasi bidang akademik adalah suatu bentuk penghargaan yang diberikan kepada siswa yang telah berhasil mencapai kompetensi pembelajaran pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan standar penilaian yang berlaku. Sedangkan sertifikasi non akademik adalah suatu bentuk penghargaan yang diberikan kepada siswa yang telah mampu mencapai prestasi tertentu, seperti bidang, seni, budaya, olah raga, mekanik, otomotif, dan jenis keterampilan lainnya.

F. Sarana dan Prasarana Pendidikan
Sarana dan prasarana pendidikan inklusi adalah perangkat keras maupun perangkat lunak yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusi pada satuan pendidikan tertentu.

Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi asesibilitas bagi kelancaran mobilisasi anak berkebutuhan khusus, serta media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.

G. Manajemen Sekolah
Konsep Manajemen
Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan berbeda. Pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi) kedua melihat manajemen lebih luas daripada administrasi (administrasi merupakan inti dari manajemen) dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan administrasi.

Dalam buku ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk mendayagunakan sumber – sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal.

Fungsi
Fungsi manajemen pendidikan inklusif meliputi:
  • Perencanaan (Planning)
  • Pengorganisasian (organizing)
  • Pengarahan (directing)
  • Pengkoordinasian (coordinating)
  • Pengawasan (controlling), dan
  • Penilaian (evaluation)
3. Ruang Lingkup
Manajemen sekolah inklusi, memberikan kewenangan penuh kepada pihak sekolah untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan mengevaluasi komponen – komponen pendidikan sekolah inklusf yang bersangkutan.

Komponen – komponen tersebut meliputi :
  • Manajemen kesiswaan
  • Manajemen kurikulum
  • Manajemen pembelajaran
  • Manajemen penilaian
  • Manajemen ketenagaan
  • Manajemen sarana- prasarana
  • Manajemen pembiayaan
  • Manajemen sumberadaya lingkungan
4. Penghargaan dan sanksi
a. Penghargaan
Kepada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusi yang berprestasi dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi diberikan penghargaan. Penghargaan dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan mutu layanan pendidikan. Penghargaan dapat berupa simbul, seperti sertifikat, piagam, dan dapat pula dalam bentuk lain, seperti promosi, dana pembinaan, pelatihan, maupun dalam bentuk lain yang relevan.

b. Sanksi
Kepada satuan pendidikan tertentu yang telah memperoleh surat penetapan sebagai sekolah penyelenggaran pendidikan inklusi dari Dinas Pendidikan Propinsi, apabila dinilai lalai dalam melaksanakan kewajibannya dapat dikenakan sanksi. Berat ringannya sanksi disesuaikan dengan tingkat kelalaiannya. Jenis-jenis sanksi yang diberikan dapat berupa, teguran, peringatan tertulis, maupun dalam bentuk pembatalan surat ketetapan sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusi.

H. Pemberdayaan Masyarakat
Pada hakekatnya pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama antara sekolah, masyarakat dan pemerintah. Oleh sebab itu para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan diharapkan mampu memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi secara optimal. 

Partisipasi dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi antara lain dalam:
  • perencanaan;
  • penyediaan tenaga ahli/profesional terkait; 
  • pengambilan keputusan;
  • pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi;
  • pendanaan;
  • pengawasan; dan
  • penyaluran lulusan.
Untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan inklusi dapat diakomodasikan melalui Wadah: (1) Komite sekolah, (2) dewan pendidikan; (3) forum-forum pemerhati pendidikan inklusi. 

BAB III
MEKANISME PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF
A. Kriteria calon sekolah penyelenggara pendidikan Inklusif
  • Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan inlusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang tua)
  • Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah
  • Tersedia guru khusus/PLB (guru tetap sekolah atau guru yang diperbantukan dari lembaga lain)
  • Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar
  • Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan 
  • Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak
  • Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan inklusi
  • Sekolah tersebut telah terakreditasi 
  • Memenuhi prosedur administrasi yang ditentukan
B. Prosedur Pengusulan Sekolah Inklusif
1. Persiapan
Sekolah reguler, maupun lembaga swadaya masyararakat yang ingin menyelenggarakan pendidikan inklusi perlu mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kegiatan maupun hal-hal yang perlu dipersiapkan, antara lain: (1) pembentukan tim, tujuan pembentukan tim adalah untuk mempersiapkan hal-hal yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi; (2) penyusunan proposal, proposal disusun oleh tim yang telah terbentuk. Format dan isi proposal disusun secara singkat dan jelas; (3) pengajuan perijinan, mekanisme pengajuan perijinan mengikuti ketentuan yang berlaku dan ditetapkan Dinas Pendidikan Propinsi setempat (rambu-rambu penulisan proposal terlampir). 

2. Pelaksanaan
  • Sekolah membuat proposal penyelenggaraan pendidikan inklusi 
  • Proposal diajukan kepada Dinas Pendidikan Propinsi setelah memperoleh rekomendasi dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
  • Tim Verifikasi Dinas Pendidikan Propinsi mengkaji propsal yang telah diajukan oleh fihak sekolah. 
  • Tim Verifikasi Propinsi terdiri dari unsur, Dinas Pendidikan Propinsi, Perguruan tinggi, Organisasi profesi.
  • Tim Verifikasi mengadakan studi kelayakan kepada sekolah yang telah mengadakan permohonan,
  • Dinas Pendidikan Propinsi menerbitkan surat penetapan penyelenggaraan pendidikan inklusi, bagi sekolah yang dinyatakan memenuhi persyaratan yang telah ditatapkan oleh tim verifikasi.
DIAGRAM ALUR PENGUSULAN MENJADI SEKOLAH INKLUSIF
D. Pembinaan dan Monitoring
1. Pembinaan Sekolah Inklusif
Agar penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka perlu dilakukan pembinaan oleh yang berwenang.

Yang berwenang melakukan pembinaan adalah Dinas Pendidikan Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai dengana mekanisme masing-masing daerah. Secara teknis operasional pembinaan sekolah inklusif dilakukan oleh Pengawas Sekolah masing-masing daerah.

Pembinaan sekolah inklusif dapat dilakukan secara berkala maupun insidental sesuai kebutuhan.

2. Monitoring
Kegiatan monitoring dimaksudkan untuk mengawal keterlaksanaan penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Hasil monitoring dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan mutu layanan pendidikan inklusif. Materi monitoring meliputi aspek, manajemen, proses pendidikan, dan pengembangan sekolah. Kegiatan monitoring dilaksanakan secara berkala, minimal satu kali dalam satu tahun.

Monitoring dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Dinas Pendidikan Daerah Tingkat I dan atau Dinas Pendidikan Daerah Tingkat II/Kota. Dalam menjalankan monitoring Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Dinas Pendidikan Propinsi dan/atau Kabupaten/Kota dapat bekerjasama dengan LPTK PLB yang ada.

3. Pelaporan
Setiap penyelenggara pendidikan inklusif diwajibkan membuat laporan tertulis tahunan kepada atasan langsung yang tembusannya dikirimkan kepada Direktorat Pembinaan sekolah Luar Biasa.

Laporan tertulis tahunan sekurang-kurangnya memuat tentang: (a) peserta didik; (2) kurikulum yang digunakan; (3) sarana prasarana; (4) tenaga pendidik dan kependidikan; (5) proses pembelajaran; (6) hasil evaluasi, serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

Setiap sekolah penyelenggara pendidikan inklusi dapat mengembangkan format laporan sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada lingkungan lembaga setempat.

DAFTAR PUSTAKA;
  • Ashman,A.& Elkins,J.(194). Educating Children With Special Needs.  New York:Prentice Hall.
  • Baker,E.T.(1994). Metaanalysis evidence for non-inclusive Educational practices.Disertasi, Temple University.
  • Baker,E.T.,Wang,M.C.& Walberg,H.J.(194/1995). The effects Of inclusion on learning. Educational Leadership. 52(4) 33-35.
  • Carlberg,C & Kavale,K (The efficacy of special class vs regular Class placement for exceptional children: a metaanalysis.
  • The Journal of Special Education.14,295-305 Colley, Helen (2003) Mentoring for Social Inclusion, Kondon : Routledge Falmer
  • Fish,J (1985). Educational Opportunities for All. London: Inner London Education Authority.
  • Johnsen, Berit H dan Miriam D. Skjorten (2003) Pendidikan Kebutuhan Khusus; Sebuah Pengantar, Bandung : Unipub
  • Mulyono Abdulrahman (2003). Landasan Pendidikan Inklusif Dan Implikasinya dalam penyelenggaraan LPTK.
  • Makalah disajikan dalam pelatihan penulisan buku ajar Bagi Dosen jurusan PLB yang diselenggarakan oleh Ditjen Dikti. Yogyakarta, 26 Agustus 2002.
  • O’Neil,j.(1994/1995).Can inclusion work? A Conversation With James Kauffman and Mara Sapon-Shevin.Educational Leadership.52(4)7-11
  • Slee, Roger (2003), Inclusive Education,(International Jurnal vol. 7 no. 1)
  • Skidmare, David (2004) Inclusion the Dynamic of School Development New York : Open University Press
  • Stainback,W. & Sianback,S.(1990). Support Networks for Inclusive Schooling:Independent Integrated Education. Baltimore: Paul H.Brooks.
  • Staub,D. & Peck,C.A.(1994/195). What are the outcomes for Nondisabled students? Educational Leadership.52 (4) 36-40.
  • Topping, Keith and Sheelagh Maloney (2005), The Routledge Falmer Reader In Inclusive Education New York : Routledge Falme
  • Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
  • UNESCO (1994). The Salamanca Statement and Framework For Action on Special Needs Education. PARIS:Author
  • Vaughn,S., Bos,C.S.& Schumn,J.S.(2000). Teaching Exceptional, Diverse, and at Risk Student in the General Educational Classroom,Boston:Allyn Bacon.
  • Warnock,H.M.(1978). Special Educational Needs:Report of The committee of Enquiry into the Education of Handicapped Young People. London: Her Majesty’sStationary Office.

No comments:

Post a Comment