TAHAP-TAHAP PERKEMBANAGAN TASAWUF
Secara historis tasawuf telah mengalami perkembangan melalui beberapa tahap, sejak pertumbuhan hingga keadaannya sekarang.
Tahap pertama, tasawuf masih berupa zuhud dalam pengertian yang masih sangat sederhana. Yaitu, ketika pada abad ke-1 dan ke-2 H, sekelompok kaum Muslim memusnahkan perhatian memprioritaskan hidupnya hanya pada pelaksanaan ibadah untuk mengejar keuntungan akhirat Mereka adalah, antara lain: Al-hasan Al-Basri (w. 110 H) dan Rabi`ah Al-Adawwiyah (w.185 H) kehidupan “model” zuhud kemudian berkembang pada abad ke-3 H ketika kaum sufi mulai memperhatikan aspek-aspek teoritis psikologis dalam rangka pembentukan prilaku hingga tasawuf menjadi sebuah ilmu akhlak keagamaan. Pembahasan luas dalam bidang akhlak mendorong lahirnya pendalaman studi psikologis dan gejala-gejala kejiwaan yang lahir selanjutnya terlibat dalam masalah-masalah ini berkaitan langsung dengan pembahasan mengenai hubungan manusia dengan Allah SWT. Sehingga lahir konsepsi-konsepsi seperti Fana`, terutama Abu Yazid Al-Busthami (w. 261 H)
Dengan demikian, suatu ilmu khusus telah berkembang dikalangan kaum sufi, yang berbeda dengan ilmu fiqh, baik dari segi objek, metodologi, tujuan, maupun istilah-istilah keilmuan yang digunakan. Lahir pula tulisan-tulisan antara lain : Al-Risalah Al-Qusyairiyyah karya Khusairi dan `Awarif Al-Ma`arif karya Al-Suhrawardi Al-baghdadi. Tasawuf kemudian menjadi sebuah ilmu setelah sebelumnya hanya merupakan ibadah-ibadah praktis.
Dari sisi lain, pada abad ke-3 dan ke-4 muncul tokoh-tokoh tasawuf seperti Al-Juanid dan Sari Al-Saqathi serta Al-Kharraz yang memberikan pengajaran dan pendidikan kepada para murid dalam sebuah bentuk jamaah. Untuk pertama kali dalam islam terbentuk tarekat yang kala itu merupakan semacam lembaga pendidikan yang memberikan berbagai pengajaran teori dan praktik kehidupan sufisfik, kepada para murid dan orang-orang yang berhasrat memasuki dunia tasawuf. Pada periode ini muncul pula jenis baru tasawuf yang diperkenalkan Al-Husain ibn Manshur Al-Hallaj yang dihukum mati akibat doktrin hullulnya pada 309 H.
Pada abad ke-5 H Imam Al-Ghazali tampil menentang jenis-jenis tasawuf yang dianggapnya tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah dalam sebuah upaya menegmbalikan tasawuf kepada status semula sebagai jalan hidup zuhud, pendidikan jiwa pembentukan moral. Pemikiran-pemikiran yang diperkenalkan Al-Ghazali dalam bidang tasawuf dan makrifat sedemikian mendalam dan belum pernah dikenal sebelumya. Dia mengajukan kritik-kritik tajam terhadap berbagai aliran filsafat, pemikiran-pemikiran Mu`tazilah dan kepercayaan bathiniyah untuk menancapkan dasar-dasar yang kukuh bagi tasawuf yang lebih Moderat dan sesuai dengan garis pemikiran teologis Ahl Al-Sunnah wal Jama`ah. Dalam orientasi umum dan rincian-rinciannya yang dikembangkannya berbeda dengan konsepsi disebut tasawuf Sunni. Al-Ghazali menegaskan dalam Al-Munqidz min Al-Dhalal, sebagai berikut:
Sejak tampilnya Al-Ghazali ,pengaruh tasawuf Sunni mulai menyebar di Dunia Islam. Bahkan muncul tokoh-tokoh Sufi terkemuka yang membentuk tarekat untuk mendidik para murid, seperti Syaikh Akhmad Al-Rifa`I (w.570 H) dan Syaikh Abd. Al-Qadir Al-jailani (w. 651 H) yang sangat terpengaruh oleh garis tasawuf Al-Ghazali pilihan yang sama dilakukan generasi berikut, antara lain yang paling menonjol adalah, Syaikh Abu Al-Hasan Al-Syadzili (w.650 H) dan muridnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi (w.686 H), serta Ibn Atha`illah Al-sakandari (w. 709 H). model tasawuf yang mereka kembangkan ini adalah kesinambungan tasawuf Al-Ghazali.
Kenyataan bahwa konsepsi-konsepsi yang berkembang dalam tasawuf falsafi terpengaruh oleh sumber-sumber asing pada gilirannya mendorong sejumlah peneliti mengasumsikan tasawuf sebagian bersumber dari kebudayaan asing dan menutup kemungkinan bersumber pada Islam. Jadi, meski filsafat dan menciptakan istilah-istilah serta mewarnai konsepsi-konsepsinya dengan citra filsafat, pertumbuhannya tetap bersumber dari islam. Oleh karena itu, kebanyakan orientalis kemudian berubah sikap dengan tetap mengakui islam sebagai salah satu sumber tasawuf. Nicholson dan Spencer Triminham, misalnya, mengakui adanya sumber islam dalam Tasawuf. Menurut Abdul rahman badawi, hal itu disebabkan oleh asumsi-asumsi yang tidak diperkuat oleh data-data yang ada.
Mengakui adanya sumber islam dalam tasawuf tidak lantas mengingkari pengaruh sumber-sumber asing, tetapi, yang dimaksudkan adalah meletakkan pengaruh tersebut pada proporsi yang sebenarnya dan tidak dibesar-besarkan. Adalah tidak layak apabila menetapkan sumber-sumber asing saja padahal terdapat spirit yang justru lebih dekat kepada semangat islam terutama dari prespektif Al-Quran dan Sunnah.
Namun penting dicatat bahwa tasawuf telah mengalami kemunduran sejak abad ke-8 H karena mereka yang berkecimpungan dalam bidang tasawuf terbatas kegiatannya pada menulis komentar atau meringkas buku-buku tasawuf yang dikarang oleh sufi terdahulu, kemudian memfokuskan perhatian pada aspek-aspek praktik ritual yang umumnya dilakukan dalam bentuk formalitas sehingga semakin jauh dari substansi. Meskipun pengikut tarekat mencatat perkembangan pesat, tidak seorangpun yang tampil sebagai tokoh klasik, baik dalam pengalaman
Penghayatan, maupun kualitas ilmu. Barangkali, adalah kebekuan pemikiran serta spiritualitas kering yang melanda Dunia Islam sejak masa-masa akhir periode Dinasti Usmaniah, yang menjadi faktor penyebabnya.
Bagaimanapun, penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam tasawuf selama masa-masa belakangan tidak berarti kelemahan ajaran tasawuf atau kesalahan metodologinya. Berangkat dari persepsi ini kiranya dapat disimpulkan bahwa tasawuf mengalami pola perkembangan alami. Dimulai dari gerakan zuhud pada masa Rasulullah Hasan Al-Basri, Abd Al-Wahid Ibn Zaid, Ibrahim Ibn Ibn Adham, rabi`ah Al-Adawiyah kemudian Ma1ruf Al-Kahrki Al-harits Al-Muhasibi, Abu yazid Al-Busthami< Al-Junaid dan Al-Hallaj hingga abad ke-4 H.
Perlu diingat bahwa kepercayaan kaum sufi terhadap tasawuf sebagai ilmu yang mampu menelusuri1 makna tersembunyi dan rahasia serta hikmah yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran atau, meminjam ungkapan Al-Thusi, mencapai hakikat pemahaman Al-Quran mendorong mereka melakukan semacam otokritik terhadap yang mereka sebut sebagai sufi-sufi palsu (ad`iya al-tashawuf). Salah satu tujuan mereka menulis atau mengarang buku.
No comments:
Post a Comment