Wednesday, 29 March 2017

Epistemologis; antara Akal dan Hati

Pertarungan Epistemologis; antara Akal dan Hati
Salah satu buku yang mendiskripsikan bagaimana pertarungan antara hati (agama) dan akal (sains) adalah buku Prof. Ahmad Tafsir. Pada konsepsi penulisnya, akal merupakan akal logis yang bertempat di kepala, sedangkan hati ialah rasa yang kira-kira bertempat di dalam dada. Akal itulah yang menghasilkan pengetahuan logis yang disebut filsafat, sedangkan hati pada dasarnya menghasilkan pengetahuan supralogis yang disebut pengetahuan mistik, iman termasuk di sini. Rivalitas antara keduanya telah terjadi dalam sejarah peradaban. Titik-titik merah yang di situ telah terjadi pertarungan hebat antara kedua-duanya mula-mula terjadi antara sofisme dan Socrates, yang ke dua antara credo ut intelligam-nya abad pertengahan dan Descartes, dan yang ke tiga antara sofisme modern di satu pihak dan Kant pihak lain.
Namun demikian, menurut saya, akar dari perdebatan epistemologi justru bermula dari pertarungan antara akal dan indera. Akal (rasio) dan indera merupakan dua alat pengetahuan. Pemujaan yang pertama akan melahirkan rasionalisme, sementara pemujaan yang kedua akan membawa kita kepada sensualisme, empirisme, matrealisme, dan positivisme. Jika yang pertama obyeknya adalah abstrak dan paradigmanya logis. Maka yang kedua obyeknya bersifat empiris dan paradigmanya adalah sains.

Pada idealisme, yang kemudian diteruskan oleh kelompok Rasionalisme, sangat menekankan pentingnya akal, ide, dan ketegori-kategori maupun form sebagai sumber pengetahuan. Sementara aliran Kedua, empirisme justru mempertautkan peran indera (sentuhan, penciuman, penglihatan, dan lainnya) sebagai sumber pengetahuan. Sehingga peran akal, menjadi sisi nomor dua. Jika Idealisme pada mulanya dipelopori oleh Plato, maka Matrealisme dimotori oleh Aristoteles.

Plato (427 – 347 SM) bersiteguh, bahwa ide adalah hakikat dari yang tampak. Karena, dia beranggapan bahwa sesuatu yang tampak (fenomena) selalu mengalami perubahan, padahal sesuatu yang hakiki semestinya harus kekal. Oleh karenanya, Ide ini bukan hanya sekedar gagasan yang ada pada pikiran an sich, melainkan sebagai sumber untuk membimbing pikiran manusia. Penegasan Plato ini, kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes (1596 – 1650), yang sering disebut sebagai bapak aliran rasionalism sekaligus sebagai pelopor filsafat modern, dengan semboyan Cagito ergo sum. Titik tolak dari keharusan berfikir ini adalah keraguan. Untuk menghilangkan prasangka-prasangka sebelum terjadinya proses berfikir, agar ada jaminan bahwa hasil pemikiran itu benar, maka Descartes mengharuskan untuk menjadikan rasio atau pikiran sebagai satu-satunya instansi yang memberikan bimbingan.

Sementara itu, Aristoteles (382 – 322 SM), yang merupakan murid dari Plato, menyanggah dengan tegas, teori yang diajukan oleh Plato tersebut. Menurutnya, ide-ide bawaan atau innate idea, sebenarnya tidak ada. Sungguhpun dia menyadari bahwa fenomena atau realitas itu selalu berubah, akan tetapi dengan penyelidikan dan pengamatan yang terus menerus terhadap benda-benda konkrit, maka akal akan dapat mengabstraksikan idea dari benda tersebut.[7] Dari asumsi inilah, kemudian empirisme memperkuat tesis Aristoteles tersebut. Thomas Hobbes (1588 – 1679 M) misalnya, menganggap bahwa yang ada hanyalah bersifat bendawi, artinya keberadaan realitas benda tidak tergantung pada gagasan manusia.

Sebagai konsekuensi dari teori ini adalah setiap kebenaran selalu didasarkan pada alam metafisis tidak dapat diterima. Sementara kebenaran agama, yang sumber kebenarannya didasarkan pada realitas metafisis, tidak mendapat porsi yang sempurna (untuk tidak mengatakan tidak sama sekali) dalam pandangan matrealisme-empiris tersebut. Sehingga, ketika akal dan indera dipegang oleh Barat-Modern, kedua paradigma ini, pada akhirnya menolak obyek mistis yang supralogis dan non-empiris. Dua alat pengetahuan inilah kemudian menolak dengan tegas adanya iman dalam sains. Dan hal ini justru memberikan saham yang cukup signifikan dalam membidani lahirnya sains dan teknologi di Barat.

Ketika dunia Barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi (baca: penolakan atas agama) dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka, maka justru mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi agama atas sains telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya agama yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita).

Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.

Dinamika tersebut, menjadikan sains dan teknologi telah menggeser peran manusia pada puncak absolut. Dimana manusia diberi otonomi tanpa batas dalam memaknai setiap persoalan kemanusiaan, termasuk didalamnya adalah persoalan etika dan moralitas. Wilayah moralitas dan etika semakin menunjukkan perbedaan yang cukup jelas dengan wilayah kekuasaan dan sains. Pertimbangan-pertimbangan ilahiyyah seolah-olah telah ‘terusir’ dari logika politik, sains dan teknologi. Hal ini, jelas akan semakin memperlebar jurang sekulerisme. Tidak heran jika Aleksander I. Solzhenitsyn, pemikir dari Rusia, mengatakan bahwa “bila kita terpisah dari konsep-konsep baik dan buruk, apalagi yang masih tersisa, kecuali status yang sama dengan binatang”.

Hegemoni sekulerisme ini, telah menjadikan sistem etika pada corak antropomorfis, yaitu menempatkan manusia pada pusat segala-galanya. Dunia Islam yang pada hakikatnya tidak menolak akal dan indera sebagai dua alat pengetahuan, juga secara formal menolak arus sekulerisme, tetapi pada kenyataannya telah dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang cukup mendasar. Diantara kesulitan itu adalah ketika kita akan mengangkat konsep studi Islam.

Dalam konsepsi sains Islam, bahwa sumber pengetahuan tidak pada Indra dan Akal saja, melainkan sampai kepada hati. Bahkan pada indra, tidak hanya indra "lahir" melainkan juga indra "batin" atau biasa disebut indra bersama (al-Hiss al-Mustarak). Indra ini menyebabkan sebuah objek indrawi muncul sebagi sebuah kesatuan yang utuh dengan segala dimensinya dan tidak lagi parsial yang biasa disumbangkan oleh tiap indra lahir. Kedua, indra “khayal” atau daya imajinasi retentif, indra ini adalah daya yang bisa melestarikan bentuk yang ditangkap oleh mata atau suara yang didengar oleh telingan. Daya ini sangat penting karena kita bisa mengingat wajah seorang yang cantik nan anggun atau anggota keluarga kita dan jika tanpa daya tersebut tak bisa di bayangkan akibatnya kita akan seperti orang yang kehilangan ingatan

Indra batin yang ketiga disebut daya “estiminasi” (wahm) indra ini adalah untuk menilai apakah benda itu berbahaya atau bermanfaat untuk di jahui dan didekati, jadi wahm adalah daya unyuk menyimpulkan sesuatu benda yang mengharapkan untuk bertindak apakah menjahui atau mendekati.

Indra batin yang keempat disebut imajinasi ( Mutakhaliyah atau compositif imaginatif faculty) sebenarnya hampir sama dengan indra bersama cuma imajinasi dapat menggabungkan sesuatu benda menurut selera yang kita kehendaki misalnya kita menggabungkan bentuk manusia dengan burung dalam sebuah bentuk yang unik bisa disebut dengan buroq. Indra batin yang kelima disebut memori (al-Hafizhah) indra ini berguna untuk melastarikan bentuk-bentuk imajiner yang meliputi fisik dan bentuk nonfisik atau abstrak48, dari berbagi corak keistemewaan serta kekurangan dari indra ini adalah ternyata ia tidak memadai untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, oleh karena itu dibutuhkan bantuan alat atau sumber lain untuk mengetahui tentang sesuatu sebagaimana adanya,

Al- Gazali dalam kitabnya “Miskah al-Anwar” memandang akal lebih patut di sebut cahaya dari pada indra dengan kata lain akal lebih patut di sebut sebagi sumber ilmu dari pada indra misalnya misalnya dengan indra kita bisa melihat separuh dari bulan yang terlihat dalam hal ini akalah yang dapat meyempurnakan bentuk bulan sebagai bola dan dengan akal pula kita bisa tahu bahwa pensil dalm gelas yang penuh dengan air itu lurus sekalipun tampak.

Sementara akal sebagai sumber pengetahuan, dimaknai oleh filosof muslim sebagai akal praksis dan akal teoritis. Akal teoritis adalah berhubungan dengan pengetahuan sedangkan akal praksis berhubungan dengan etika, disini akan di bahas keistimewaan atau kelebihan serta kekurangan akal sebagai pemasok alat pengetahuan.

Untuk menutupi kekurangan akal manusia dilengkapi oleh tuhan dengan intuisi atau hati (Qalb) sehingga akan lengkaplah seluruh perangkap ilmu bagi manusia. Ketika akal tidak mampu memahami wilayah kehidupan emosional manusia, hati kemudian dapat memahaminya. Hati yang terlatih akan dapat memahami perasaan seseorang hanya misalnya dengan mendenmgar suara atau memandang matanya.

Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran hati bisa menerobos kealam ketidaksadaran atau alam ghaib dalam bahasa agama, sehingga bisa mengalami pemgalaman non inderawi, bahkan bisa berkomunikasi dengan mahluk-mahluk ghaib seperti malaikat, jin bahkan tuhan sendiri seperti yag dialami oleh para nabi. 

Ibarat radar hati manusia terkadang mampu menangkap sinyal dari langit dengan begitu terang betapapun redupnya sinar itu dari sudut pandang akal. Pengetahuan hati adalah pengetahuan eksistensial atau pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman, ia juga disebut pengetahuan presence, karena objeknya di pandang hadir dalam diri atau jiwa seseorang dan ini tidak mungkin bisa di pahami oleh akal, akal hanya mungkin mengerti cinta lewat mulut atau teori-teori tapi hati memahaminya langsung bukan lewat teori tapi hati mendalaminya sendiri sehingga ia tahu karena ia telah merasakan bukan tahu lewat omongan.

Dari kerangka berfikir seperti itu epiestemologi Islam telah berhasil menyusun klasifikasi ilmu yang komprehensif dan disusun secara hierarkis yaitu metafisis yang menmpati posisi tertinggi disusul oleh matematika dan terahir ilmu-ilmu fisik atau fisika.

Dari trikotomi seperti itu lahir berbagai disiplin ilmu rasional dalam dunia Islam seperti ontologi, teologi, kosmologi, anggelologi dan eskatologi yang termasuk dalam kategori ilmu-ilmu metafisik. Geometri, aljabbar, aritmatika, musik dan trigonometri yang termasuk didalamnya kategori ilmu-ilmu matematika. Dan fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, optika yang termasuk dalam kategori ilmu-ilmu fisik.

Jika klasifikasi ilmu berkaitan dengan pertanyaan apa yang dapat dikaji atau melalui apa dapat diketahui, maka metode ilmu berkaitan dengan pertanyaan bagaima dapat mengetahui sebuah objek pengetahuan, pertanyaan bagaimana untuk mengetahui objek-objek ilmu tentu sangat penting bagi setiap teori pengetahauan karena dengan begitu kita bisa mengetahui langkah-langkah dan prosedur apa yang dapat di ambil oleh seorang ilmuan untuk sampai pada pengetahuan tentang sebuah objek sebagiman adanya. 

Seperti apa yang pernah di lontarkan Ziaudin Sardar sementara para ilmuwan Barat menggunakn hanya pada satu macam metode ilmiah yaitu observasi, para pemikir muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hierarki objek-objeknya yaitu;
  1. metode observasi sebagaimana yang telah digunakan oleh teori Barat atau biasa di sebut dengan Bayaniatau Tajribi,
  2. metode logis atau demontratif yang disebut dengan Burhani,
  3.  metode intuitif atau yang biasa disebut dengan Irfani yang masing-masing bersumber pada indra,akal dan hati.
1. Metode observasi
Metode observasi adalah metode eksperimen yang berkaitan dengan pengamatan indrawi yang tentunya sanat cocok atau sesuai dengan objekobjek fisik, al kindi misalnya di kenal bukan hanya sebagai seorang filosof melainkan ilmuan yang menggunakan metode observasi di laboratium kimia dan fisikanya.

2. Metode demontratif
Metode demontratif atau burhani pada dasarnya adalah metode logika atau penalaran rasional yang di gunakan untuk menguji kebenaran dan kekliruan dari sebuah penyataan atau teori-teori ilmiah dan filosofis dengan cara memperhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah.

Menurut para filosof metode burhani di gunakan dalm penelitian ilmiah dan filosofis sekalipun di ketahui bahwa kadang-kadang mereka juga menggunakan metode dealikta yang biasanya di gunakan oleh para teologi perbedaan antar keduanya terletak pada dasar premis mereka, premis demonstratisf didasarkan pada pengetahuan ilmiah sementara premis-premis dealikta opini

3. Metode intuitif
Kalau metode bayani berkaitan dengan indrawi, metode burhani berkaitan dengan akal maka intuitif sesuai dengan namanya berkaitan dengan intuisiatau hati (qalb).

Metode pendekatan intuitif biasanya juga disebut metode dzauqi ada juga yang menyebut presensial karena objek-objeknya hadir dalam jiwa seseorang bisa dialami langsung oleh pelakunya, modus ilmu seperti ini biasanya disebut ilmu hudhuri (knowlegde by presense).

Dalam dunia Islam dihiasi oleh karya-karya mistik yang agung dan sangat inspirasional seperti Fushus al-Hikam dan al-Futuhat al-Makiyah karangan ibn Arabi, Manthiq at-Thoir karangan Faridudin Atthar, al-Matsnawi al-Ma’nawi karya Jalaludin ar Rumi.

Dalam sains Islam juga tidak bebas nila. Hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh Munawar Ahmad Anees, yang menyatakan bahwa sains Islam bukanlah:
  1. Sains yang diislamkan, karena epistemologi dan metodologinya adalah produk ajaran Islam yang tidak bisa direduksi ke dalam pandangan Barat yang sempit.
  2. Reduktif, karena paradigma makro absolut Tauhid mengikat semua pengetahuan dalam sebuah kesatuan organik.
  3. Anakronistik (menyalahi zaman), karena ia diperlengkapi dengan kesadaran masa depan yang disampaikan melalui sarana dan tujuan sains.
  4. Dominan secara metalologis, karena ia mengizinkan pengembangan metode bebas secara mutlak di dalam nonma-norma Islam yang universal.
  5. Terkotak-kotak, karena la meningkatkan polimathy yang bertentangan dengan spesialisasi disiplin ilmu yang sempit.
  6. Ketidakadilan, karena epistemologi dan metodologinya bermakna distribusi keadilan dengan sebuah konteks sosial yang pasti.
  7. Sempit, karena nilai-nilai sains Islam yang tak dapat dipindahkan itu menjadi cermin dari image nilai-nilai Islam.
  8. Ketidakseseraian secara sosial, lantaran "objektivitas subjektifnya" berada dalam konteks produk sains secara sosial.
  9. Bucaillisme, oleh karena la adalah pikiran logika yang keliru. 
  10. Pemujaan, karena ia tidak membuat pengesahan epistemik terhadap Ilmu Gaib, Astrologi, Mistisisme dan ilmu-ilmu sejenisnya.
Hal ini tentu berbeda dengan dinamika epstemologi di Barat, yang secara tegas menyatakan bahwa sains bebas nilai (values free). Karena sains bebas nilai ini lah, kemudian makna Islamisasi pengetahuan diarahkan pada nilaisasi ilmu. Artinya, nilai yang membentuk upaya sains dan teknologi haruslah nilai Islami, yang dalam istilah singkatnya disebut sebagai konsep sains Islam.

Namun demikian, kesulitan yang paling mendasar justru pada sekitar abad ke-16 – 17. pada masa ini, muncul epistemologi dikotomik antara “sains agama” (‘ulum syari’ah) atau “sains-sains tradisional” (‘ulum naqliyyah) dan “sains rasional” (‘ulum ‘aqliyyah atau ghair syar’iyyah), pada puncaknya adalah ketika al-Ghozali mengkategorikan fardhu ‘ain bagi sains agama (hati) dan fardhu kifayah bagi sains rasional (akal).

No comments:

Post a Comment