Friday, 24 March 2017

Al-Qur’an Sebagai Paradigma : Interpretasi Untuk Aksi

Al-Qur’an Sebagai Paradigma : Interpretasi Untuk Aksi
Uraian-uraian tentang Islam di Indonesia yang disoroti oleh Kunto lewat pendekatan historis-sosiologis, sebenarnya ingin diarahkan pada suatu grand project, yaitu menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma Islam. Paradigma ini dimaksudkan untuk membangun teori-teori sosial khas Islam yang disebutnya ilmu-ilmu sosial profetik. Paradigma ini dimaksudkan sebagai mode of thought, mode of inquiry, yang kemudian menghasilkan mode of knowing. Dengan pengertian paradigmatik ini, dari al-Qur’an dapat diharapkan suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan memahami realitas sebagaimana al-Quir’an memahaminya.[9] Demikian lebih lanjut, Kunto menjelaskan:

Paradigma al-Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan itu pada mulanya dibangun dengan tujuan agar kita memeiliki “hikmah” untuk membentuk perilaku yang sejalan dengan sistem Islam, termasuk sistem ilmu pengetahuannya. Jadi, disamping memberikan gambaran aksiologis, paradigma al-Qur’an juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis.

Sebagai contoh, kata Kunto, statemen-statemen yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits adalah nilai-nilai normatif. Nilai-nilai normatif ini ada dua, yaitu niali-nilai praktis yang dapat diaktualkan dalam perilaku sehari-hari dan nilai-nilai yang harus diterjemahkan dulu dalam bentuk teori sebelum diterapkan dalam perilaku.Nilai-nilai pertama menurutnya telah dikembangkan dalam bentuk ilmu fiqh, sedang yang kedua perlu ditransformasikan dalam bentuk ilmu-ilmu sosial Islam. Cara yang kedua ini lebih relevan pada saat ini, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks masyarakat industri. Sampai sekarang ini menurut Konto, kita kekurang ini. Kita memang sudah didesak untuk segera memikirkan metode transformasi nilai Islam pada level yang empiris melalui diciptakannya ilmu-ilmu sosial Islam.

Tampaknya pemikiran Kunto tentang paradigma al-Qur’an ini dipengaruhi oleh pemikiran Fazlur Rahman[13] tentang operasi metodologi tafsir. Cara kerja metodologis penafsiran Rahman yang berusaha memehami al-Qur’an, aktivitas Nabi dan latar sosio-historisnya diarahkan pada perumusan kembali suatu Islam yang utuh, koheren serta berorientasi kepada masa kini. untuk itu menurut Rahman[14] perlu lebih dahulu perumusan pandangan dunia al-Qur’an.

Sehubungan dengan perumusan worldview al-Qur’an ini, Rahman mengemukakan bahwa prinsip penafsiran dengan latar belakang sosio-historis tidak diterapkan dengan cara yang sama dengan perumusan etika al-Qur’an, atau oleh Kunto disebut nilai normatif praktis. Menurut Rahman, untuk pertanyaan-pertanyaan teologis atau metafisis, latar belakang spesisfik turunnya wahyu tidak dibutuhkan. Hanya saja dalam merumuskan pandangan dunia al-Qur’an tersebut, Rahman tampaknya lebih cenderung menggunakan prosedur sintesis.

Menurut Kunto salah satu pendekatan yang menurutnya perlu diperkenalkan dalam rangka mendapatkan pemahaman yang konprehensif terhadap al-Qur’an adalah apa yang dinamakan pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap bahwa pada dasarnya kandungan al-Qur’an itu terdiri dari dua bagian, pertama berisi konsep-konsep yang disebut ideal-type, dan kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal yang disebut arche-type

Dalam bagian yang berisi konsep-konsep, al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang konprehensif mengenai ajaran Islam. Sedang dalam bagian yang berisi kisah-kisah historis, al-Qur’an ingin mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh wisdom. Dengan pendekatan sintetik dimaksudkan untuk menonjolkan nilai subjektif-normatifnya, dengan tujuan mengembangkan perspektif etik dan moral individual. Sedangkan dengan pendekatan analitik dimaksudkan untuk menterjemahkan nilai-nilai normatif ke dalam level objektif. Ini berarti al-Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruk-konstruk teoritis.

Untuk dapat menjadikan al-Qur’an sebagai paradigma dan kemudian merumuskan nilai-nilai normatifnya ke dalam teori-teori sosial, menurut Kunto, diperlukan adanya lima program reinterpretasi, yaitu:
  1. Pengembangan penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan al-Qur’an. Ketentuan larangan berfoya-foya misalnya, bukan diarahkan kepada individualnya, tetapi kepada struktur sosial yang menjadi penyebabnya.
  2. Reorientasi cara berpikir dari subjektif ke objektif. Tujuan dilakukannya reorientasi berpikir secara objektif ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektifnya. Misalnya zakat yang secara subjektif adalah untuk membersih diri, tetapi juga untuk tertcapainya kesejahteraan umat.
  3. Mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis, misalnya konsep fuqara dan masakin yang normatif dapat diformulasikan menjadi teori-teori sosial.
  4. Mengubah pehaman yang a historis menjadi historis. Kisah-kisah dalam al-Qur’an yang selama ini dipandang a historis, sebenarnya menceriterakan peristiwa yang benar-benar historis, seperti kaum tertindas pada zaman nabi Musa dan lain-lain.
  5. Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi formulasi yang spesifik dan empiris. Dalam hal konsep umum tentang kecaman terhadap sirkulasi kekayaan yang hanya berputar pada orang-orang kaya harus dapat diterjemahkan ke dalam formulasi-formulasi spesifik dan empiris ke dalam realitas yang kita hadapi sekarang. Dengan menterjemahkan pernyataan umum secara spesifik untuk menatap gejala yang empiris, pemahaman terhadap Islam akan selalu menjadi kontekstual, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran mengenai realitas sosial dan pada gilirannya akan menyebabkan Islam menjadi agamayang lebih mengakar di tengah-tengah gejolak sisal.
Dari uraian tentang paradigma al-Qur’an dan program reinterpretasi, bisa dilihat bahwa Kunto ingin merintis metode baru penafsiran al-Qur’an. Metode tafsir yang ditawarkan adalah memandang al-Qur’an sebagai akumulasi konsep-konsep normatif. Nilai-nilai yang ada di dalamnya bersifat transendental yang bebas dari konteks dan bias-bias yang mengitarinya. Tampaknya di sini, dia berpegang pada kaidah al-‘ibrah bi umum al-lafaz la bi khusus as-sabab.

Dari konsep-konsep al-Qur’an, menurutnya dapat diciptakan teori-teori “ilmu sosial profetik” yang pada dasarnya bersifat transformatif. Yang dimaksud transformatif di sini oleh Kunto adalah perubahan sosial, baik cara berpikir, sikap dan perilaku secara individual maupun sosial.

Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Baker A. Bagder, ilmu-ilmu sosial telah mendapatkan penghargaan tertinggi di dunia modern karena diyakini bahwa ia menampilkan analisis terhadap peristiwa-peristiwa kontemporer dalam masyarakat. Para pejabat mengambil keputusan dan para perencana program yang menaruh perhatian pada masalah sosial meminta bantuan kepada para pakar ilmu sosial. Para ahli ilmu sosial sendiri mengambil alih berbagai metodologi penelitian ilmu-ilmu kealaman.

Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial tidak lagi dikategorikan dengan ilmu-ilmu humaniora dan tidak juga di anggap membawa pendapat-pendapat yang bersifat impresionistik, intuitif ataupun subyektif.

Salah satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi atau filsafat sosial menghadapai suatu pertanyaan pokok, yaitu bagaimana mengubah masyarakat dari kondisinya sekarang menuju keadaan yang lebih dekat dengan tataanan idealnya. Elaborasi terhadaap pertanyaan pokok semacam ini biasanya menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada masa kini,dan sekaligus memberikan insight mengenai perubahan dan transformasinya. Karena teori-teori yang diderivasi dari ideologi-ideologi sosial sangat berkepentingan terhadap terjadinya transformasi sosial, maka dapat dikatakan bahwa hampir semua teori sosial tersebut bersifat transformatif.

Muslim Abdurrahman pernah menawarkan teologi transformatif, yaitu menekankan hubungan dialogis antara teks dengan konteks dan tidak cenderung melakukan pemaksaan realitas menurut model ideal –suatu upaya untuk menghidupkan teks dalam realitas empiris dan mengubah keadaan masyarakat ke arah transformasi sosial yang diridhoi Allah SWT. Pengembangan teologi transformatif menurutnya merupakan upaya untuk mengatasi perdebatan tentang pilihan antara pendekatan budaya atau pendekatan struktural dalam pengembangan masyarakat.

Ilmu-ilmu sosial profetik yang ditawarkan Kunto pada mulanya lebih bersifat tawaran alternatif, karena dia kurang sependapat dengan istilah teologi transformatifnya Muslim. Dia mengatakan bahwa dilingkungan kita, gagasan mengenai pembaruan teologi dan sejenisnya tampak belum dapat diterima. Ini terjadi karena beberapa alasan, terutama berkenaan dengan konsep teologi itu sendiri. Umat Islam memehami teologi dengan persepsi yang berbeda-beda, sebgaian besar mengartikan konsep tersebut sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang ketuhanan (tauhid). Mereka menganggap masalah teologi sudah selesai dan tidak perlu dirombak.

Ini berbeda dengan persepsi penganjur pembaruan teologi yang mengartikan teologi sebagai usaha untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan baik secara individual maupun kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan yang empiris menurut perspektif ketuhanan. Yang mereka tawarkan bukan rekomendasi untuk mengubah doktrin, tetapi mengubah interpretasi terhadapnya, agar ajaran agama diberi tafsir baru dalam rangka memahami realitas. Istilah “teologi” menurut Kunto sebaiknya diganti dengan “ilmu sosial” yaitu mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen seperti pada teologi, tapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.

Optimisme Kunto untuk membangun paradigma baru ilmu sosial ini didasari oleh keyakinan bahwa ilmu itu bersifat relatif, atau dalam bahasa Thomas Khun “paradigmatik”, Marx, bersifat ideologis dan Wittgenstain, bersifat cagar bahasa. Dalam pandangan Kunto, ilmu-ilmu sosial sekarang mengalami kemandekan, fungsinya hanya terbatas pada memberi penjelasan terhadap gejala-gejala saja. Ini menurutnya tidak cukup. Ilmu-ilmu sosial disamping menjelaskan, juga harus dapat memberi petunjuk ke arah transformasi, sesuai dengan cita-cita profetiknya, yaitu humanisasi atau emansipasi, liberalisasi dan transendental.

Ikhtitam
Gagasan-gagasan Kuntowijoyo tentang Islam di Indonesia merupakan salah satu fenomena yang unik, menarik dan sangat mengesankan untuk ukuran intelektual yang dibesarkan bukan dari latar belakang taradisi keagamaan santri, meminjam klasifikasi Gertz. Meskipun pengetahuan keagamaannya lebih banyak diperoleh lewat studi-studi non-formal, namun kecintaannya terhadap Islam dan kuatnya basic keilmuan sejarah dan sosial, telah mendorongnya untuk merumuskan sebuah alternatif keberagamaan yang bersifat profetik dan transformatif.

Al-Qur’an, yang oleh Kunto dijadikan sebagai paradigma ilmu-ilmu sosial, tidaklah semata-mata dipahami dari sisi normativitas kewahyuan Islam, yaitu dengan melaksanakan tuntutan-tuntutan ritual-ubudiyah keagamaan saja, tapi juga dan bahkan ini yang terpenting adalah memanifestasikan nilai-nilai historisitas al-Qur’an, dengan cara mengelaborasi ajaran-ajaran agama ke dalam bentuk teori sosial, sehingga lingkupnya tidak lagi pada aspek-aspek normatif yang bersifat permanen, tapi pada aspek-aspek yang bersifat empiris, historis dan temporal.

Dari pemahaman seperti ini, meskipun tawaran teori-teori sosial Qur’ani ini tidak mudah untuk direalisasikan dalam realitas empiris, namun Kunto –dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya--paling tidak telah membuka dan merintis sebuah pendekatan baru dalam studi-studi keislaman, lewat kajian-kajian saintis, yang oleh Arkoun dianggap sebagai sebuah keniscayaan untuk umat Islam kontemporer.

1 comment:

  1. Masya Allah bahasanya majmul, ilmiah sekali mantaaab bang

    ReplyDelete