Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Hak Asasi Manusia Internasional
A. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia
Beberapa
prinsip telah menjiwai hak-hak asasi manusia internasional.
Prinsip-prinsip terdapat di hampir semua perjanjian internasional dan
diaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas. Prinsip kesetaraan,
pelarangan diskriminasi dan kewajiban positif yang dibebankan kepada
setiap negara digunakan untuk melindungi hak-hak tertentu.
Tiga contoh di antaranya akan didiskusikan di bawah ini.
(1) Prinsip Kesetaraan
Hal
yang sangat fundamental dari hak asasi manusia kontemporer adalah ide
yang meletakkan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam
hak asasi manusia.
(a) Definisi dan Pengujian Kesetaraan
Kesetaraan
mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, di mana pada situasi sama
harus diperlakukan dengan sama, dan dengan perdebatan, di mana pada
situasi yang berbeda diperlakukan dengan berbeda pula.
(b) Tindakan Afirmatif (atau Diskriminasi Positif)
Masalah
muncul ketika seseorang berasal dari posisi yang berbeda tetapi
diperlakukan secara sama. Jika perlakuan yang sama ini terus diberikan,
maka tentu saja perbedaan ini akan terjadi terus menerus walaupun
standar hak asasi manusia telah ditingkatkan. Karena itulah penting
untuk mengambil langkah selanjutnya guna mencapai kesetaraan. Tindakan
afirmatif mengizinkan negara untuk memperlakukan secara lebih kepada
kelompok tertentu yang tidak terwakili. Misalnya, jika seorang laki-laki
dan perempuan dengan kualifikasi dan pengalaman yang sama melamar untuk
perkerjaan yang sama, tindakan afirmatif dapat dilakukan dengan
mengizinkan perempuan untuk diterima hanya dengan alasan karena lebih
banyak laki-laki yang melamar di lowongan pekerjaan tersebut daripada
perempuan.
Contoh
lain, beberapa negara mengizinkan masyarakat adat untuk mengakses
pendidikan yang lebih tinggi dengan berbagai kebijakan yang membuat
mereka diperlakukan secara lebih (favourable) dibandingkan dengan
orang-orang non adat lainnya dalam rangka untuk mencapai kesetaraan.
Contoh yang lebih detil dapat dilihat pada Pasal 4 CEDAW dan Pasal 2
CERD. Catatannya adalah bahwa tindakan afirmatif hanya dapat digunakan
dalam suatu ukuran tertentu hingga kesetaraan itu dicapai. Namun ketika
kesetaraan telah tercapai, maka tindakan ini tidak dapat dibenarkan
lagi.
(2) Prinsip Diskriminasi
Pelarangan
terhadap diskriminasi adalah salah satu bagian penting prinsip
kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan
yang diskriminatif (selain tindakan afirmatif yang dilakukan untuk
mencapai kesetaraan).
(a) Definisi dan Pengujian Diskriminasi
Apakah
diskriminasi itu? Pada efeknya, diskriminasi adalah kesenjangan
perbedaan perlakuan dari perlakuan yang seharusnya sama/setara.
(b) Diskriminasi Langsung dan Tidak Langsung
Diskriminasi
langsung adalah ketika seseorang baik langsung maupun tidak langsung
diperlakukan dengan berbeda (less favourable) daripada lainnya.
Diskriminasi tidak langsung muncul ketika dampak dari hukum atau dalam
praktek hukum merupakan bentuk diskriminasi, walaupun hal itu tidak
ditujukan untuk tujuan diskriminasi. Misalnya, pembatasan pada hak
kehamilan jelas akan berpengaruh lebih besar kepada perempuan daripada
kepada laki-laki.
(c) Alasan Diskriminasi
Hukum
hak asasi manusia internasional telah memperluas alasan diskriminasi.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan beberapa asalan
dskriminasi antara lain ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
pendapat politik atau opini lainnya, nasional atau kebangsaan,
kepemilikan akan suatu benda (property), kelahiran atau status lainnya.
Semua hal itu merupakan alasan yang tidak terbatas dan semakin banyak
pula instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk di dalamnya
orientasi seksual, umur dan cacat tubuh.
(3) Kewajiban Positif untuk Melindungi Hak-Hak Tertentu
Menurut
hukum hak asasi manusia internasional, suatu negara tidak boleh secara
sengaja mengabaikan hak-hak dan kebebasan-kebebasan. Sebaliknya negara
diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk melindungi secara aktif dan
memastikan terpenuhinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan.
(a) Arti
Untuk
kebebasan berekspresi, sebuah negara boleh memberikan kebebasan dengan
memberikan sedikit pembatasan. Satu-satunya pembatasan adalah suatu hal
yang secara hukum disebut sebagai pembatasan-pembatasan (sebagaimana
akan didiskusikan di bawah ini). Untuk hak untuk hidup, negara tidak
boleh menerima pendekatan yang pasif. Negara wajib membuat aturan hukum
dan mengambil langkah-langkah guna melindungi hak-hak dan
kebebasan-kebebasan secara positif yang dapat diterima oleh negara.
Karena alasan inilah, maka negara berkewajiban membuat aturan hukum yang
melarang pembunuhan untuk mencegah aktor non negara (non state actor)
melanggar hak untuk hidup. Penekanannya adalah bahwa negara harus
bersifat proaktif dalam menghormati hak untuk hidup dan bukan bersikap
pasif.
(b) Beberapa Contoh
Di
antara beberapa contoh yang paling umum adalah hak untuk hidup dan
pelarangan penyiksaan. Negara tidak boleh mengikuti kesalahan negara
lain yang melanggar ketentuan hak untuk hidup atau melanggar larangan
penyiksaan. Negara tidak boleh membantu negara lain untuk menghilangkan
nyawa seseorang atau melanggar larangan penyiksaan. Sebagaimana telah
didiskusikan sebelumnya, hal ini memunculkan masalah bagi suatu negara
ketika mempertimbangkan untuk menolak mengakui status pengungsi,
mendeportasi orang-orang non nasional ataupun menyetujui permintaan
ekstradiksi.
B. Sifat Mengikatnya Instrumen Hak Asasi Manusia
Terdapat
banyak cara bagi negara untuk menghindari pertanggungjawaban hukum hak
asasi manusia, walaupun negara tersebut telah meratifikasi perjanjian
internasional yang relevan. Bagian ini akan menjelaskan tiga contoh
yakni derogasi yang diaplikasikan ketika terdapat situasi darurat,
reservasi yang membatasi kewajiban-kewajiban dalam perjanjian
internasional dan limitasi (pembatasan) perjanjian internasional yang
berlaku bagi hak-hak dan kebebasan-kebebasan tertentu.
(1) Derogasi
Jika
suatu negara memasukkan derogasi dalam hukumnya, hal ini akan membuat
negara menghindari tanggung jawabnya secara hukum atas pelanggaran hak
asasi manusia tertentu. Namun terdapat beberapa hak yang tidak dapat
disimpangi atau diderogasi (non derogable) dan beberapa instrumen-pun
tidak mengizinkan adanya derogasi.
(a) Apa yang dimaksud dengan derogasi?
Derogasi adalah “pengecualian”,
yaitu suatu mekanisme di mana suatu negara menyimpangi tanggung
jawabnya secara hukum karena adanya situasi yang darurat. Umumnya suatu
negara harus mendaftarkan derogasinya kepada badan pusat
persyaratan-persyaratan yang membolehkan derogasi telah ditentukan di
dalam perjanjian internasional. Hal ini adalah klausul derogasi yang
dimuat dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Pasal 4 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa:
- Dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan keadaan darurat tersebut telah diumumkan secara resmi, Negara Pihak pada Kovenan ini dapat mengambil tindakan untuk mengurangi kewajiban mereka menurut Kovenan ini, sejauh yang sungguh-sungguh diperlukan oleh tuntutan situasi, dengan ketentuan bahwa tindakan tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban lain Negara Pihak menurut hukum internasional dan tidak menyangkut diskriminasi yang semata-mata didasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial.
- Penyimpangan terhadap Pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18 tidak boleh dilakukan menurut ketentuan ini.
- Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini yang menggunakan hak untuk melakukan penyimpangan harus segera memberi tahu Negara Pihak lainnya dengan perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ketentuan yang terhadapnya dilakukan penyimpangan dan alasan yang mendorong dilakukannya penyimpangan itu. Komunikasi lebih lanjut harus dilakukan, melalui perantaraan yang sama, tentang tanggal diakhirinya penyimpangan kewajiban itu.
Pada
umumnya perjanjian internasional memiliki ketentuan tentang derogasi
yang sama dengan ketentuan dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik.
(b) Alasan Derogasi
Alasan
yang boleh digunakan untuk membuat derogasi adalah suatu keadaan
darurat yang esensial dan mengancam kelanjutan hidup suatu negara,
ancaman esensial terhadap keamanan nasional dan disintegrasi bangsa.
saudara dan bencana alam dapat membenarkan adanya derogasi. Walaupun
begitu, derogasi hanya dapat digunakan untuk hak-hak dan
kebebasan-kebebasan yang telah ditentukan. Suatu negara dapat
menggunakan derogasi untuk satu hal tertentu, misalnya penahanan
tersangka, tetapi tidak membuat derogasi untuk klausul hak asasi manusia
secara keseluruhan. Hal ini disebabkan oleh asumsi bahwa hak asasi
manusia harus tetap diterapkan sejauh mungkin.
Bentuk
paling kontroversial penggunaan derogasi adalah derogasi atas
Undang-Undang Anti-Terorisme. Banyak kasus yang dibawa ke Pengadilan HAM
Eropa menyangkut hak Inggris dan Turki untuk membatasi hak penahanan
tersangka kasus terorisme. Badan-badan international memberikan ruang
penilaian (margin of appresiasion atau diskresi) untuk menentukan
‘bentuk ancaman’ terhadap keamanan nasional. Akhir-akhir ini penggunaan
derogasi meningkat dengan pesat sehingga memaksa badan-badan pemantau
internasional untuk mereview derogasi tersebut. Inggris telah dikritik
selama puluhan tahun atas derogasinya yang berkenaan dengan penahanan
terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai anggota IRA di Irlandia
utara. Kekhawatiran lain adalah tentang derogasi umum yang dilakukan
berbagai negara dalam proses legislasi anti-terorisme setelah serangan
World Trade Centre (WTC) di New York dan Pentagon Washington pada 11
September 2001 di Amerika Serikat.
(c) Efek Derogasi
Derogasi
memungkinkan suatu negara untuk dapat meloloskan diri dari pelanggaran
terhadap bagian tertentu suatu perjanjian internasional. Derogasi yang
sah atas penahanan berarti tidak ada satu pun individu yang dapat
mengajukan pengaduan terhadap negara atas penahanan yang tidak sesuai
dengan hukum, dan tidak ada badan pemantau international yang dapat
menyelidiki kesahihan penahanan yang dilakukan oleh negara tersebut.
(2) Reservasi
(a) Apa yang dimaksud Reservasi?
Mengutip
Pasal 2 ayat (1) huruf (d) Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum
Perjanjian (yang mengkodifikasikan dan memajukan Hukum Perjanjian
Internasional), ‘‘reservasi” adalah pernyataan unilateral, dalam rumus
dan nama apapun, yang dibuat oleh sebuah negara ketika menandatangani,
meratifikasi, menerima, menyetujui atau mengaksepsi suatu perjanjian
internasional, di mana negara tersebut bermaksud mengecualikan atau
memodifikasi efek hukum dari ketentuan tertentu dalam perjanjian
internasional yang akan diaplikasikan di negara tersebut. Negara harus
melakukan reservasi ketika meratifikasi satu perjanjian internasional.
Reservasi diberitahukan kepada seluruh negara pihak dan negara-negara
ini dapat menyatakan keberatannya jika reservasi dinilai tidak sesuai
dengan objek dan tujuan dari perjanjian internasional.
Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang menggunakan
istilah ‘pensyaratan’ sebagai padanan bahasa Indonesia istilah bahasa
Inggris ‘reservation’ memberikan
definisi istilah reservasi sebagai ‘pernyataan sepihak suatu negara
untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian
internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani,
menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional
yang bersifat multilateral’ (Pasal 1 angka 5). Penggunaan istilah ‘pensyaratan’,
yang berarti ‘penetapan syarat’ sebagai padanan istilah ‘reservation’
sesungguhnya menyesatkan, karena ‘making reservation or reservations’
(membuat reservasi) bukan berarti ‘setting a condition or conditions’ (menetapkan
syarat atau syarat-syarat). Oleh karena itu, meskipun istilah
‘pensyaratan’ sudah merupakan istilah undang-undang, namun karena
istilah ini merancukan maksud istilah padanannya dalam bahasa Inggris,
maka lebih baik istilah ‘reservation’ dimaknai dengan ‘reservasi’ dalam bahasa Indonesia, meskipun istilah ini sendiri masih harus dibakukan.
Setiap
negara pada waktu menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui,
atau mengaksesi perjanjian internasional dapat membuat reservasi,
kecuali dalam hal-hal berikut: (a) reservasi secara eksplisit dinyatakan
dilarang oleh perjanjian internasional yang bersangkutan untuk
keseluruhan atau ketentuan tertentu dari perjanjian internasional yang
bersangkutan; (b) perjanjian internasional yang bersangkutan menetapkan
bahwa hanya reservasi khusus yang dapat dibuat; dan (c) reservasi tidak
sesuai dengan sasaran dan maksud perjanjian internasional yang
bersangkutan (lihat: Pasal 19 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian
Internasional, 1969).
Indonesia,
selama ini, selalu membuat reservasi terhadap ketentuan perjanjian
internasional yang diratifikasi atau diaksesi yang berkaitan dengan
penyelesaian perselisihan yang disebabkan oleh perbedaan penafsiran dan
penerapan perjanjian internasional yang bersangkutan. Reservasi
dilakukan dengan menyatakan bahwa pemerintah Indonesia hanya bersedia
menyelesaikan perselisihan melalui Mahkamah Internasional (International
Court of Justice) (ICJ) apabila perselisihan itu tidak dapat
diselesaikan melalui perundingan atau proses non yudisial lain yang
ditetapkan oleh perjanjian internasional yang bersangkutan. Hal ini
dilakukan dengan ketentuan bahwa perujukan ke Mahkamah Internasional
hanya dapat dilakukan atas persetujuan semua pihak dalam perselisihan.
Reservasi demikian dibuat oleh Indonesia, antara lain, pada Pasal 22
Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Rasial (International Convention on the Elimination of All Form of
Racial Discrimination) (ICERD), 1965, Pasal 29 ayat (1) Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention
on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women)
(ICEDAW), 1979, dan Pasal 30 ayat (1) Konvensi tentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
Merendahkan Martabat (Convention against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) (CAT), 1984.
Sebagai
contoh, berikut bunyi reservasi terhadap Pasal 22 Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial,
1965 sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 29 Tahun
1999 tentang pengesahan Konvensi tersebut dan yang kemudian dituangkan
dalam Piagam Aksesi yang bersangkutan serta terhadap Pasal 30 ayat (1)
Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam,
Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat, 1984, sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan
konvensi tersebut dan yang kemudian dituangkan dalam Piagam Ratifikasi
yang bersangkutan.
- Pensyaratan terhadap Pasal 22 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965 Pemerintah Indonesia menyatakan tidak terikat pada ketentuan Pasal 22 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965 dan berpendirian bahwa apabila terjadi persengketaan akibat perbedaan penafsiran atau penerapan isinya yang tidak terselesaikan melalui saluran sebagaimana diatur dalam pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional hanya berdasarkan kesepakatan para pihak yang bersengketa. ‘Reservation to Article 22 [of the] International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1965: The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provision of Article 22 and takes the position that disputes relating to the interpretation and applicaton of the International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 which can not be settled through the channel provided for in the said Article, may be referred to the International Court of Justice only with the consent of all parties to the disputes’);
- Deklarasi terhadap Pasal 20 dan Pensyaratan terhadap Pasal 30 ayat (1) Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan [atau] Merendahkan Martabat Manusia Pemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak terikat pada ketentuan Pasal 30 ayat (1) Konvensi dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan penafsiran atau penerapan isi Konvensi yang tidak terselesaikan melalui jalur sebagaimana diatur dalam ayat (1) pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional yang berdasarkan kesepakatan para Pihak yang berselisih’. ‘Declaration to Article 20 and Reservation to Article 20, and Reservation to Article 30, Paragraph 1 [of the] Convention against Torture dan Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment: Reservation: The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provision of Article 30, paragraph 1, and takes the position that disputes relating to the interpretation and application of the Convention which can not be settled through the channel provided for in paragraph 1 of the said article, may be referred to the International Court of Justice only with the consent of all parties to the disputes’).
Di
depan dikemukakan bahwa reservasi tidak dapat dibuat, antara lain,
apabila perjanjian internasional yang bersangkutan secara eksplisit
melarang dibuatnya reservasi terhadap perjanjian internasional yang
bersangkutan secara keseluruhan atau terhadap ketentuan-ketentuan
tertentu perjanjian internasional tersebut. Perjanjian internasional
yang secara eksplisit melarang dibuatnya reservasi terhadap keseluruhan
perjanjian internasional yang bersangkutan dapat disebut, antara lain,
Konvensi Tambahan tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan
Lembaga dan Praktik yang Sama dengan Perbudakan (Supplementary Convention on the Abolition of Slavery, the Slave Trade, and Institutions and Practices Similar to Slavery), 1956 (lihat: Pasal 9) dan Statuta Mahkamah Pidana Internasional (Statute of the International Criminal Court),
1998, yang terkenal dengan singkatannya ‘Statuta Roma’ (The Rome
Statute), karena perjanjian internasional ini dibuat di Roma (lihat:
Pasal 120).
Sejumlah
perjanjian internasional lainnya, terutama yang berkaitan dengan hak
asasi manusia dan kebebasan fundamental sama sekali tidak memuat
ketentuan tentang reservasi, seperti Kovenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB) atau International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), 1966 dan Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) atau International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), 1966. Kebanyakan
perjanjian internasional memuat ketentuan eksplisit tentang
diperbolehkannya pembuatan reservasi dan menunjuk ketentuan-ketentuan
tertentu yang tidak boleh direservasi, seperti Konvensi mengenai Status
Pengungsi (KSP) (Convention relating to the Status of Refugees) (CSR),
1951 (lihat: Pasal 42) dan Protokol mengenai Status Pengungsi (PSP)
(Protocol relating to the Status of Refugees) (PSR), 1967 (lihat Pasal
VII), atau hanya menyatakan bahwa atau secara implisit membuka
kemungkinan dibuatnya reservasi serta dengan menentukan bahwa reservasi
yang tidak sesuai dengan sasaran dan maksud perjanjian internasional
yang bersangkutan dilarang, seperti Konvensi Internasional tentang
Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Keluarga Mereka (KIPM)
(International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant
Workers and Their Families) (ICMW), 1990 (lihat: Pasal 91).
(b) Akibat Reservasi
Efek
reservasi adalah membatasi tanggung jawab suatu negara--reservasi yang
sah berarti bahwa suatu negara tidak terikat dengan pasal ataupun ayat
tertentu dari suatu perjanjian internasional. Tidak seorang pun dapat
menggugat negara terhadap ketentuan ini, walaupun badan-badan
pemantau perjanjian internasional biasanya meminta negara untuk
mempertimbangkan penarikan kembali reservasi perjanjian internasional.
(3) Deklarasi
Deklarasi
dapat dibuat oleh negara-negara. Walaupun biasanya mengindikasikan
pemahaman nasional dari sebuah hak (misalnya, bahwa hak untuk hidup
mulai setelah lahir), beberapa negara menggunakan istilah deklarasi
ketika efek dari satu tindakan adalah reservasi.
Misalnya
deklarasi yang dilakukan oleh Yordania pada ratifikasi Konvensi tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Yordania
tidak menganggap dirinya terikat pada ketentuan-ketentuan berikut:
- Pasal 9 ayat (2);
- Pasal 15 ayat (4) ( tempat tinggal istri adalah sama dengan suaminya);
- Pasal 16 ayat (1) huruf (c), mengenai hak-hak yang timbul dari pembukaan perkawinan yang berkenaan dengan perawatan dan kompensasi.
- Pasal 16 ayat (1) huruf (d) dan (g)”.
Deklarasi
ini jelas adalah sebuah reservasi-suatu tes untuk menentukan objek dan
juga efek dari tindakan, terlepas dari istilah yang digunakan.
Konvensi
Wina tentang Perjanjian Internasional, 1969, tidak memuat ketentuan
tentang ‘deklarasi’ terhadap suatu perjanjian internasional
multilateral, dan karenanya, tidak pula memuat secara khusus pengertian
istilah tersebut. Oleh karena itu, suatu pernyataan, yang meskipun
menggunakan nama ‘deklarasi’, apabila pernyataan itu menunjukkan
kehendak suatu negara untuk meniadakan atau memodifikasi akibat hukum
ketentuan tertentu, perjanjian internasional tersebut pada waktu negara
yang bersangkutan menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui,
atau mengaksesi perjanjian internasional yang bersangkutan, maka
pernyataan demikian, walaupun dinamakan ‘deklarasi’, pada hakikatnya,
adalah suatu ‘reservasi’ sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Wina
tentang Perjanjian Internasional, 1969. Sepanjang suatu pernyataan
dengan nama ‘deklarasi’ tidak menunjukkan kehendak suatu negara
sebagaimana tersebut di depan maka pernyataan demikian, yang diberi
judul ‘deklarasi’, merupakan deklarasi dalam arti umum, bukan deklarasi
sebagai istilah hukum perjanjian internasional menurut Konvensi Wina
tentang Hukum Perjanjian Internasional, 1969.
Beberapa
perjanjian internasional memuat ketentuan yang memungkinkan negara
untuk menyampaikan deklarasi yang menyatakan bahwa negara tersebut
memperluas berlakunya perjanjian internasional yang bersangkutan ke
wilayah yang hubungan luar negerinya menjadi tanggung jawab negara
tersebut, pada saat menandatangani, meratifikasi, atau mengaksesi
perjanjian internasional yang bersangkutan (lihat, misalnya: Pasal 40
ayat (1) Konvensi mengenai Status Pengungsi, 1951, Pasal 36 ayat (1)
Konvensi mengenai Status Orang Tanpa Kewarganegaraan 1954, dan Pasal 7
ayat (4) Protokol mengenai Status Pengungsi, 1967). Deklarasi demikian
memang dimungkinkan, bahkan dikehendaki pembuatannya oleh perjanjian
internasional yang bersangkutan dan untuk maksud yang jelas pula
sebagaimana diatur di dalamnya. Selain itu, terdapat juga perjanjian
internasional yang memungkinkan negara pihak untuk membuat deklarasi,
kapan saja, yang mengakui kewenangan badan pemantau perjanjian
internasional yang bersangkutan untuk menerima dan membahas komunikasi
di mana suatu negara pihak mengklaim bahwa suatu negara pihak lain tidak
memenuhi kewajibannya menurut perjanjian internasional tersebut (lihat,
misalnya Pasal 41 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik,
1966 dan Pasal 21 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat,
1984).
Apakah
akibat hukum deklarasi yang dibuat oleh suatu negara pada waktu
menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesi pada
suatu perjanjian internasional, yang tidak dapat dianggap sebagai
reservasi karena isinya, stricto sensu, tidak dapat dianggap sebagai
meniadakan atau memodifikasi akibat hukum ketentuan tertentu perjanjian
internasional yang bersangkutan dalam penerapannya bagi negara pembuat
deklarasi tersebut ?
Sebagaimana
sudah dikemukakan sebelumnya, kemungkinan pembuatan deklarasi seperti
di atas tidak diatur dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian
Internasional, 1969. Meskipun demikian Indonesia menganggap berhak
membuat deklarasi demikian dan posisi ini tercermin dalam Undangundang
Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, khususnya Pasal 1
angka 6 yang menetapkan definisi istilah ‘pernyataan’ (‘declaration’)
sebagai ‘pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau
penafsiran mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional yang
dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan
perjanjian internasional yang bersifat multilateral, guna memperjelas
makna ketentuan tersebut dan tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi hak
dan kewajiban negara dalam perjanjian internasional. Ketentuan yang
tercantum dalam peraturan perundang-undangan nasional ini merupakan
pengukuhan menurut hukum nasional pendirian Indonesia yang sudah dianut
sebelumnya. Sebagai contoh dapat dilihat, antara lain, ‘pernyataan’
(‘declaration’) yang dibuat oleh Indonesia ketika meratifikasi Konvensi
menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,
Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, 1984 yang berbunyi sebagai
berikut:
Pernyataan :
Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 ayat
(1), ayat (2) dan ayat (3) Konvensi akan dilaksanakan dengan memenuhi
prinsip-prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu negara.
‘Declaration : The
Government of the Republic of Indonesia declares that the provisions of
paragraphs 1, 2 and 3 of Article 20 of the Convention will have to be
implemented in strict compliance with the principles of the sovereignty
and territorial integrity of States’.
Pernyataan
tersebut dicantumkan dalam lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998
yang mengesahkan konvensi tersebut di atas yang diundangkan pada 28
September 1998, jadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2000 tentang Perjanjian Internasional pada 23 Oktober 2000 (dan yang
kemudian dituangkan dalam Piagam Ratifikasi yang bersangkutan yang
diserahkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai
lembaga penyimpan konvensi tersebut di atas).
Posisi
yang sama diambil oleh Indonesia selaras dengan ketentuan Pasal 1 angka
6 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
pada waktu mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan
Politik, 1966 (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005). Pernyataan tersebut
berbunyi, masing-masing, sebagai berikut
(a) Pernyataan terhadap Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Merujuk
Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya, Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa, sejalan dengan
Deklarasi mengenai Pemberian Kemerdekaan Kepada Negara dan Rakyat
Terjajah, dan Deklarasi Tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional
Mengenai Hubungan Persahabatan dan Kerjasama Antar Negara, serta
pasalpasal terkait.
Deklarasi
dan Program Aksi Wina 1993, istilah ‘hak untuk menentukan nasib
sendiri’ sebagaimana yang tercantum dalam pasal ini tidak berlaku untuk
bagian rakyat dalam suatu negara merdeka yang berdaulat dan tidak dapat
diartikan sebagai mensahkan atau mendorong tindakan-tindakan yang akan
memecah belah atau merusak, seluruh atau sebagian, dari integritas atau
kesatuan wilayah politik dari negara yang berdaulat dan merdeka.
Declaration
to Article 1 of the International Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights: With reference to Article 1 of the International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, the Government of the
Republic of Indonesia declares that, consistent with the Declaration on
the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, and the
Declaration on Principles of International Law concerning Friendly
Relations and Cooperation Among States, and the relevant paragraph of
the Vienna Declaration and Program of Action of 1993, the words ‘the
right of self-determination’ appearing in this article do not apply to a
section of people within a sovereign independent state and can not be
construed as authorizing or encouraging any action which would dismember
or impair, totally or in part, the territorial integrity of political
unity of sovereign and independent states’.);
(b) Pernyataan terhadap Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
Merujuk
Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Pemerintah
Republik Indonesia menyatakan bahwa, sejalan dengan Deklarasi mengenai
Pemberian Kemerdekaan Kepada Negara dan Rakyat Terjajah, dan Deklarasi
Tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional Mengenai Hubungan
Persahabatan dan Kerjasama Antar Negara, serta pasal-pasal terkait dari
Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993, istilah ‘hak untuk menentukan
nasib sendiri’ sebagaimana yang tercantum pada pasal ini tidak berlaku
untuk bagian rakyat dalam suatu negara merdeka yang berdaulat dan tidak
dapat diartikan sebagai mensahkan atau mendorong tindakan-tindakan yang
akan memecah belah atau merusak, seluruh atau sebagian, dari integritas
wilayah atau kesatuan politik dari negara yang berdaulat dan merdeka.
Declaration
to Article 1 of the International Covenant on Civil and Political
Rights: With reference to Article 1 of the International Covenant on
Civil and Political Rights, the Government of the Republic of Indonesia
declares that, consistent with the Declaration on the Granting of
Independence to Colonial Countries and Peoples, and the Declaration on
Principles of International Law concerning Friendly Relations and
Cooperation Among States, and the relevant paragraph of the Vienna
Declaration and Program of Action of 1993, the words ‘the right to
self-determination’ appearing in this article do not apply to a section
of people within a sovereign independent state and can not be construed
as authorizing or encouraging any action which would dismember or
impair, totally or in part, the territorial integrity or political unity
of sovereign and independent states’).
Deklarasi
(declaration) sebagaimana dibuat oleh Indonesia dalam proses menjadi
pihaknya pada suatu perjanjian internasional merupakan praktik yang
dianut oleh banyak negara lain, yang kadang-kadang diberi judul
‘deklarasi’ (‘declaration’) (Indonesia menggunakan istilah ‘pernyataan’,
bukan ‘deklarasi’), atau ‘deklarasi interpretatif’ (‘interpretative
declaration’), atau ‘pernyataan interpretatif’ (‘interpretative
statement’).
(4) Hak-Hak Terbatas
Sebagaimana
tidak semua hak dapat diderogasi, tidak semua hak juga bersifat
absolut. Beberapa hak mengandung fleksibilitas. Namun hal ini tidak
membuat hak tersebut menjadi tidak penting dibandingkan dengan hak
lainnya. Ini hanya merupakan sebuah kebutuhan praktis dan hukum
(a) Apa itu hak-hak terbatas?
Cara
yang paling mudah untuk memahami hak-hak terbatas adalah dengan
menggunakan contoh. Pasal 8 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya mensyaratkan negara untuk memastikan bahwa semua
orang dapat membentuk dan bergabung dengan organisasi buruh. Dalam
situasi yang ekstrim, hal ini dapat mengakibatkan masalah yang serius
bagi negara, jadi Pasal 8 ayat (1) huruf (c) menyatakan bahwa ”hak
serikat buruh untuk beraktifitas secara bebas tidak terikat pada
batasan-batasan kecuali batasan yang ditetapkan oleh hukum yang perlu
dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional atau
ketertiban umum atau untuk melindungi hak-hak dan kebebasan-kebebasan
orang lain”. Jadi negara, contohnya, dapat membatasi aktivitas publik
dari serikat buruh dengan tujuan untuk menata ketertiban umum.
Pembatasan sering dikenakan untuk mengatur benturan hak-hak, sebagai
contoh kebebasan berekspresi adalah suatu kebebasan dasar dalam
masyarakat demokratis, walaupun begitu, jika seseorang diizinkan untuk
mengatakan hal apapun pada orang lain, maka akan menimbulkan pelanggaran
terhadap hak dan kebebasan lainnya. Karena itulah kebebasan ini harus
mempunyai pembatasan demi menghormati hak dan reputasi orang lain atau
untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau
moral
(b) Efek Pembatasan
Pembatasan
biasanya harus dicantumkan dalam hukum nasional. Karena itulah, semua
orang dianggap mengetahui pembatasan itu dan pelaksanaanya tidak boleh
sewenang-wenang. Di samping itu, pembatasan ini harus dibuat untuk
tujuan yang ditentukan dan pembatasan pada hak dan kebebasan hanya boleh
dilakukan sepanjang diperlukan bagi pemenuhan tujuan yang sudah
ditentukan secara sah. Pembatasan ini memungkinkan kekuasaan negara
untuk menetapkan jangkauan pelaksanaan hak atau kebebasan yang
dibolehkan. Hal yang paling serius adalah menyangkut penyeimbangan
kepentingan atau hak yang saling bersaingan.
(5) Hak yang Tidak Dapat Diderogasi
Seperti
disebut pada bagian derogasi, bahwa tidak semua hak dapat diderogasi.
Piagam Afrika tentang Hak Manusia dan Rakyat menganut faham tidak ada
satu pun hak yang dapat diderogasi. Sementara menurut Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tidak ada derogasi yang
diizinkan untuk beberapa ketentuan tertentu yaitu hak untuk hidup,
pelarangan penyiksaan, larangan perbudakan dan peraturan
perundang-undangan pidana yang menyangkut persoalan masa lalu dan
kebebasan pikiran, hati nurani dan agama. Hak-hak tersebut tidak dapat
diderogasi dan seringkali dianggap lebih penting daripada hak yang dapat
diderogasi. Hal ini tidak dapat dianggap demikian, melainkan negara
memerlukan beberapa fleksibilitas ketika menerapkan hak-hak yang dapat
diderogasi jika keadaan darurat nasional terjadi.
Selain
itu, sekedar sebagai tambahan bahwa hukum humaniter internasional dan
tanggung jawab menurut hukum kriminal internasional berlaku terlepas
dari keadaan darurat suatu negara. Hukum humaniter internasional berada
berdampingan dengan hukum hak asasi manusia internasional untuk
melindungi warga sipil. Namun perlu dicatat bahwa dua sistem hukum ini
berbeda menurut hukum humaniter, bisa ditahan selama berlangsungnya
konflik, sedangkan menurut hukum hak asasi manusia internasional,
penahanan tanpa pemeriksaan pengadilan adalah dilarang. Para kombatan
dapat kehilangan hak untuk hidup mereka menurut hukum humaniter namun
tidak demikian halnya menurut hukum hak asasi manusia.
(6) Hirarki Hak
Beberapa
komentator berpendapat bahwa terdapat hirarki hak. Hak yang tidak dapat
diderogasi berada di tingkatan paling atas dan hak-hak terbatas pada
tingkatan paling bawah. Walaupun begitu, semua hak asasi manusia
bertujuan untuk menciptakan budaya saling menghormati di dalam
negara-negara. Hak asasi manusia tidak dapat dibagi-bagi, saling
bergantung, dan universal. Karena itulah, tidak mungkin ada hirarki
hak-hak. Hak mana yang paling penting adalah suatu keputusan yang
subjektif dan secara radikal berbeda di satu negara dengan negara
lainnya, serta bagi satu invidu dan individu lainnya, dan satu waktu dan
waktu lainnya.
C. Subyek Hukum Hak Asasi Manusia
Siapakah yang menjadi subjek hukum internasional? Suatu
subjek hukum adalah sebuah entitas (seorang individu secara fisik,
sekelompok orang, sebuah perusahaan atau organisasi) yang memiliki hak
dan kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada prinsipnya, suatu
subjek hukum internasional dapat menerapkan haknya atau mengajukan
perkara ke hadapan pengadilan internasional, ia juga dapat mengikatkan
dirinya dengan subyek hukum lainnya melalui perjanjian, dan subyek hukum
lainnya dapat melakukan kontrol (dalam konteks dan tingkatan tertentu)
terhadap bagaimana sebuah subyek hukum melaksanakan wewenang dan
tanggung jawabnya. Negara merupakan fokus utama hukum internasional.
Organisasi internasional seperti PBB dan juga individu dapat menjadi
subjek hukum internasional.
Peraturan
yang sama juga berlaku bagi hukum hak asasi manusia internasional,
karena dasar dari hukum hak asasi manusia internasional adalah hukum
internasional.
(1) Aktor Negara Pemangku Kewajiban
Negara
merupakan subyek utama hukum internasional dan dengan demikian juga
merupakan subyek hukum hak asasi manusia. Definisi negara tidak berubah
dan selalu diidentifikasi sama dalam berbagai produk hukum internasional
serta mempunyai empat karakteristik yaitu
- Populasi tetap;
- Wilayah yang tetap;
- Pemerintahan;
- Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara-negara lain.
Suatu
negara yang menjadi anggota suatu komunitas internasional memperoleh
apa yang disebut sebagai international personality. Subyeksubyek hukum
tidak memiliki hak dan kewajiban yang sama secara otomatis. Hak dan
kewajiban internasional melibatkan dan mensyaratkan adanya status
sebagai international personality, tetapi mendapatkan status
international personality tidak secara otomatis berarti mendapatkan hak
dan kewajiban secara keseluruhan.
Dalam
konteks hak asasi manusia, negara menjadi subyek hukum utama, karena
negara merupakan entitas utama yang bertanggung jawab melindungi,
menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia, setidaknya untuk waga
negaranya masing-masing. Ironisnya, sejarah mencatat pelanggaran hak
asasi manusia biasanya justru dilakukan oleh negara, baik secara
langsung melalui tindakan-tindakan yang termasuk pelanggaran hak asasi
manusia terhadap warga negaranya atau warga negara lain, maupun secara
tidak langsung melalui kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik baik di
level nasional maupun internasional yang berdampak pada tidak
dipenuhinya atau ditiadakannya hak asasi manusia warga negaranya atau
warga negara lain.
Dalam
pemahaman umum dalam hukum kebiasaan internasional, sebuah negara
dianggap melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation
of human rights) jika (1) negara tidak berupaya melindungi atau justru
meniadakan hak-hak warganya yang digolongkan sebagai non-derogable
rights; atau (2) negara yang bersangkutan membiarkan terjadinya atau
justru melakukan melalui aparat-aparatnya tindak internasional
(international crimes) atau serius (serious crimes) yaitu genosida,
terhadap kemanusiaan dan ; dan atau negara tersebut gagal atau tidak mau
menuntut pertanggungjawaban dari para aparat negara pelaku tersebut.
Selain karena power-relations seperti
dijelaskan di atas, negara juga merupakan international person yang
menjadi pihak dari berbagai perjanjian internasional mengenai hak asasi
manusia, baik yang berupa kovenan, konvensi, statuta, atau bentuk
perjanjian lainnya, beserta segala wewenang dan tanggung jawab yang
melekat padanya sebagai Negara Pihak dari perjanjian tersebut.
Selain
negara, organisasi internasional seperti PBB, NATO, Komisi Eropa,
ASEAN, dan lainnya, dalam perkembangan kontemporer hukum internasional
juga seringkali dianggap sebagai subyek hukum internasional dan hukum
hak asasi manusia internasional, dan diletakkan sebagai aktor negara
(state-actors). Hal ini terutama, selain karena alasan bahwa organisasi
internasional beranggotakan negara-negara, adalah karena perkembangan
dalam hukum hak asasi manusia internasional dengan bermunculannya
berbagai mekanisme hak asasi manusia baik di tingkat internasional
maupun regional yang secara politis dan administratif berada di bawah
atau dibentuk melalui organisasi internasional tersebut.
Bagi
sebuah organisasi internasional, bukan hanya organisasi tersebut yang
menjadi subyek hukum internasional, 1) tetapi para anggotanyapun juga
menjadi sebyuk hukum internasional. Ini berarti bahwa secara teoritis
suatu tindak pelanggaran internasional yang dilakukan oleh negara
anggota suatu organisasi internasional dapat menimbulkan
pertanggungjawaban bagi organisasi dan negara itu sendiri. Suatu
organisasi internasional bertanggungjawab atas tindakan pelanggaran
internasional yang dilakukan oleh negara anggota apabila organisasi
tersebut menyetujui suatu keputusan yang mengikat negara anggota untuk
melakukan tindakan semacam itu, atau organisasi tersebut memberi
kewenangan pada negara anggota untuk melakukannya. Ada ketidakjelasan
dalam beberapa hal, seperti pembagian tanggungjawab antara organisasi
internasional dengan para negara anggotanya. Diperlukan analisis lebih
lanjut yang mempertimbangkan isi, sifat, dan keadaan tindakan yang
dilakukan oleh negara anggota, serta peraturan organisasi
internasional.
(2) Aktor Non-Negara – Pemangku Kewajiban
Pada
awalnya, hukum internasional merupakan hukum antar-negara. Namun tidak
boleh dilupakan, bagaimanapun juga masalah perlindungan hak asasi
manusia bukan lagi merupakan objek dari kebijakan negara berdaulat. Oleh
karena itu, masalah tersebut harus dipertimbangkan oleh negara dan
lembaga internasional lainnya dalam batasan kewenangan lembaga
internasional. Tetapi, bahkan kemunculan organisasi antar-negara dan
beragam kesatuan yang menyerupai negara (seperti Vatikan, sovereign
order, dll), dan gerakan pembebasan nasional telah mengubah “kemurnian”
karakter norma hukum internasional antar-negara. Adalah mungkin
untuk mendefinisikan seseorang atau suatu kesatuan di luar negara yang
memiliki hak dan kewajiban yang timbul dari norma hukum internasional
sebagai suatu subjek hukum internasional.
Dalam
kasus ini, skala subjek hukum internasional menjadi lebih luas. Sebagai
contoh, hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional terbentuk
bukan hanya oleh organisasi antar negara saja, tetapi juga oleh
organ-organ mereka dan juga pejabat-pejabat yang bertanggungjawab, dan
juga oleh sejumlah organisasi ekonomi internasional dan organisasi
non-pemerintah. Walaupun mereka tidak berperan serta secara langsung
dalam pembentukan norma hukum internasional dan dalam menjamin
pemenuhannya (walaupun tentu saja mereka dapat berperan serta secara
tidak langsung, baik dalam membentuk hukum internasional, seperti Komisi
Hukum Internasional atau dalam menjamin penegakan prinsip dan norma
hukum internasional, Amnesti Internasional sebagai contohnya), mereka
juga tetap memiliki hak dan kewajiban yang secara langsung timbul dari
norma hukum internasional walaupun dibatasi oleh ruang lingkup yang
ada.
(a) Korporasi Multinasional (Multinational Corporations)
Periode
yang ini juga mencakup pembentukan PBB dan sejumlah organisasi
internasional lainnya dan pengembangan sejumlah perjanjian mengenai hak
asasi manusia yang keseluruhannya merupakan suatu paradigma subyek hukum
internasional. Di negara-negara asing, sebagian orang berpendapat bahwa
perusahaan transnasional juga merupakan subyek hukum internasional, dan
dasar utamanya adalah ketentuan dalam Code of Conduct for Transnational Corporations.
Perlu
dicatat bahwa perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia
terkait erat dengan kebijakan di bidang ekonomi dan politik, khususnya
dalam suatu negara. Dewasa ini, seringkali kebijakan tersebut tidak
sepenuhnya dibuat oleh negara, melainkan dibuat bersama atau atas
instruksi lembaga dana internasional dan kepentingan investasi
perusahaan multinasional, terutama di negara-negara berkembang. Atas
dasar inilah, muncul anggapan bahwa kebijakan ekonomi politik yang
melanggar atau meniadakan penegakan hak asasi manusia tidak sepenuhnya
menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga tanggung jawab kekuatan
ekonomi politik semacam lembaga dana internasional dan khususnya
perusahaan multinasional.
Selain
itu, dalam konteks relasi kekuasaan, beberapa perusahaan multinasional
dianggap mempunyai “kekuasaan” yang melebihi negara, sehingga mempunyai
potensi sebagai pelanggar hak asasi manusia secara langsung (karena
seringkali mereka juga mempunyai kekuatan keamanan setara kekuatan
militer), maupun secara tidak langsung melalui kebijakan suatu negara
yang mengupayakan kepentingan investasi dari perusahaan multinasional
tersebut.
(B) Individu
Selain
itu, mekanisme penegakan hukum hak asasi internasional juga meletakkan
individu sebagai subyek hukum, tidak hanya sebagai pemilik hak tapi juga
pemikul tanggung jawab, melalui sebuah konsep yang disebut sebagai
individual criminal responsibility, serta konsep command responsibility.
ICTY (International Criminal Tribunal for former Yugoslavia) pula yang
memperkenalkan praktek penerapan command responsibility dalam pengadilan
pidana.
(3) Aktor Non-Negara – Pemangku Hak
Selain
subyek hukum hak asasi manusia sebagai pemilik wewenang dan tanggung
jawab, pemilik hak juga dianggap sebagai subyek dalam hukum hak asasi
manusia internasional. Yang termasuk pemilik hak di sini tentu saja
adalah individu, dan kelompok-kelompok individu, khususnya yang
dikategorikan sebagai kelompok rentan pelanggaran hak asasi manusia.
(a) Individu
Dalam
perkembangan wacana mengenai subyek hukum internasional dewasa ini,
terdapat kecenderungan untuk bergeser dari hukum internasional yang
berorientasi pada negara. Negara-negara telah mulai menciptakan
norma-norma yang lebih ditujukan bagi kesatuan dan individu lainnya
untuk mengatur pola hubungannya: legal person, termasuk perusahaan pada
umumnya, organisasi non-pemerintah internasional, individu-individu yang
bertanggungjawab dalam suatu organisasi internasional dan individu itu
sendiri.
Dan
walaupun norma-norma yang bertujuan untuk menegaskan kedudukan hukum
dari individu dan legal person, tidak diterapkan secara langsung pada
mereka melainkan merupakan sebuah transkripsi yang membutuhkan
implementasi melalui norma hukum domestik, individu mulai memiliki
hubungan langsung dengan hukum internasional. Level hukum hak asasi
manusia internasional sekarang ini dapat dianggap sebagai periode
transisi yang mengarah pada suatu ketertiban hukum dunia baru di mana
individu akan mengambil peranan yang lebih penting sebagai subjek
hak-hak, tanggungjawab dan tugas internasional. Laporan Special
Rapporteur di sesi ke empat puluh dari Sub Komisi Pencegahan
Diskriminasi dan Perlindungan terhadap Minoritas yang menunjukkan bahwa
dari sisi teoritis dan khususnya dari sisi praktis, individu merupakan
pemikul hak dan tanggungjawab internasional, bahwa dia memiliki
kapasitas prosedural terbatas yang diatur langsung oleh hukum
internasional, dan bahwa individu harus dianggap setidaknya sejajar
dengan negara sebagai subjek hukum internasional kontemporer.
Beberapa
perjanjian hak asasi manusia memberi kesempatan kepada individu untuk
mengajukan pengaduan secara langsung ke hadapan badanbadan
internasional, beberapa perjanjian lain, seperti Konvensi Genosida dan
Konvensi tentang Penghapusan dan Hukuman Terhadap Apartheid, menetapkan
tanggung jawab individu terhadap para pejabat negara untuk pelaksanaan
hak asasi manusia yang dilindungi oleh konvensi-konvensi tersebut,
sekaligus menetapkan prosedur di mana tanggung jawab ini dapat
diberlakukan secara langsung oleh negara-negara pihak terhadap
individuindividu tersebut.
(b) Kelompok Lain
Selain
individu, generasi ketiga hak asasi manusia juga memperkenalkan apa
yang disebut sebagai hak kelompok, yang pada awalnya hanya bersifat
afirmatif terhadap pemenuhan hak ekonomi sosial dan budaya, namun pada
perkembangannya juga meliputi hak sipil dan politik karena kedua “jenis”
hak tersebut memang saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Yang
dimaksud sebagai kelompok di sini memang bersifat progresif, mengikuti
perkembangan wacana hukum hak asasi manusia internasional. Tetapi
setidaknya ada tiga kelompok utama yang diakui sebagai subyek hukum hak
asasi manusia internasional, yaitu indigenous people, refugees, dan
minorities. Berbagai perjanjian internasional hak asasi manusia, serta
keputusankeputusan penting pengadilan, juga adanya mekanisme khusus
dalam PBB baik yang berupa komite, special rapporteur, working groups,
maupun independent experts menguatkan keberadaan tiga kelompok ini
sebagai subyek dalam hukum hak asasi manusia internasional.
D. Sumber-Sumber dan Sifat Dasar Hak Asasi Manusia
(1) Sumber-Sumber Hukum
Sumber
hukum internasional merupakan bahan dan proses di mana aturan dan
kaidah-kaidah yang mengatur komunitas internasional dikembangkan.
Kaidah-kaidah tersebut telah dipengaruhi oleh sejumlah teori politik dan
hukum. Pada abad ke-19, telah diketahui oleh kaum positivis hukum bahwa
seorang penguasa dapat membatasi kewenangannya untuk bertindak dengan
memberikan persetujuan terhadap sebuah perjanjian (treaty) sesuai dengan
kaidah pacta sunt servanda. Pandangan konsesual terhadap hukum
internasional ini tercermin dalam Statuta Pengadilan Permanen Peradilan
Internasional tahun 1920 dan termaktub dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta
Pengadilan Internasional.
Hukum
internasional konvensional diturunkan dari perjanjian internasional dan
dapat berbentuk apapun yang disepakati oleh negara-negara yang terlibat
dalam perjanjian tersebut. Perjanjian bisa dibuat berdasarkan hal
apapun kecuali sampai pada batas di mana perjanjian tersebut berlawanan
dengan hukum internasional yang mencakup standard dasar tindakan
internasional atau kewajiban dari negara anggota dibawah Piagam PBB.
Perjanjian internasional menciptakan hukum bagi pihak-pihak yang
terlibat dalam kesepakatan. Prinsip umum yang diterima dan dipraktekkan
secara mayoritas oleh berbagai sistem hukum nasional merupakan sumber
sekunder bagi hukum internasional. Beberapa keadaan di mana tidak
satupun hukum konvensional maupun tradisional bisa diterapkan.
Dalam
kasus ini prinsip umum bisa dianggap sebagai peraturan hukum
internasional karena merupakan prinsip dasar yang umum diterima di
beberapa sistem hukum besar di dunia dan tidak bisa dianggap sebagai
klaim internasional. Perjanjian-perjanjian itu juga bisa menghasilkan
hukum kebiasaan internasional (customary international law) ketika
dimaksudkan untuk ditaati secara menyeluruh dan diterima secara luas.
Hukum kebiasaan dan hukum yang dibentuk oleh perjanjian internasional
memiliki keabsahan yang sama dengan hukum internasional. Para pihak
dapat meminta kehadiran pihak berwenang yang paling tinggi sebagai salah
satu sumber penyelesaian dari pertikaian berkaitan dengan perjanjian.
Namun, beberapa peraturan hukum internasional diakui oleh komunitas
internasional sebagai peremptory, tidak mengizinkan adanya derogasi.
Aturan semacam itu bisa dirubah atau dimodifikasi hanya oleh norma
peremptory dari hukum internasional. Mengenai pertanyaan preferensi
antara sumber-sumber hukum internasional, aturan-aturan yang diciptakan
melalui perjanjian akan diutamakan jika instrumen semacam itu ada. Juga
dimungkinkan, meskipun jarang terjadi, bagi sebuah perjanjian untuk
dimodifikasi oleh praktik-praktik yang muncul antara pihak-pihak yang
terlibat dalam perjanjian itu. Keadaan lain di mana sebuah peraturan
akan mengambil alih peraturan perjanjian internasional adalah ketika
aturan itu memiliki status khusus jus cogens.
(a) Hukum Kebiasaan Internasional
Dalam
hukum internasional, customary international law (hukum kebiasaan
internasional) adalah hukum negara atau norma-norma hukum yang dibentuk
melalui pertukaran kebiasaan antara negara-negara dalam kurun waktu
tertentu, baik yang berdasarkan diplomasi atau agresi. Secara khusus,
kewajiban hukum dianggap muncul antara negara-negara untuk mengangkat
urusan-urusan mereka secara konsisten dengan tindakan yang diterima di
masa lampau. Kebiasan-kebiasaan ini bisa juga berubah berdasarkan
penerimaan atau penolakan dari negara-negara dengan tindakan tertentu.
Customary
international law juga bisa dibedakan dengan hukum perjanjian yang
terdiri dari perjanjian-perjanjian (treaties) eksplisit antar negara
untuk mengasumsikan kewajiban. Namun, berbagai perjanjian merupakan
usahausaha untu mengkodifikasi hukum tradisional yang telah ada
sebelumnya. Sebagai tambahan dari perjanjian dan treaty yang terlihat
maupun yang diratifikasi yang menciptakan hukum internasional,
pengadilan internasional, para sarjana hukum, ahli hukum, PBB dan
negara-negara anggotanya, dengan mengacu pada customary international
law, menggabungkannya dengan prinsip-prinsip umum hukum, menjadikannya
sumber-sumber utama hukum internasional. Mayoritas terbesar pemerintah
di dunia ini menerima secara prinsip keberadaan customary international
law, meskipun ada beberapa pendapat berbeda terhadap aturan-aturan yang
ada di dalamnya. Customary international law terdiri dari peraturan
hukum yang diturunkan dari tindakan–tindakan konsisten negara-negara
yang melakukannya karena percaya bahwa hukum mensyaratkan mereka untuk
bertindak sedemikian.
Hal
ini mengikuti bahwa customary international law dapat dibedakan dengan
pengulangan yang meluas dari negara dengan tindakan internasional serupa
selama kurun waktu tertentu (tindakan negara), tindakan-tindakan harus
muncul sebagai kewajiban (opinio juris), tindakantindakan harus diambil
oleh sejumlah besar negara dan tidak bisa ditolak oleh sejumlah besar
negara. Customary international law dihasilkan dari praktik umum dan
konsisten sejumlah negara yang mengikuti kewajiban hukumnya, sedemikian
sehingga hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan. Jika hal itu terjadi,
tidaklah menjadi kewajiban bagi sebuah negara untuk menandatangani
perjanjian untuk menerapkan customary international law. Dengan kata
lain, customary international law harus diturunkan dari konsensus yang
jelas di antara para negara, seperti yang terlihat pada tindakan meluas
dan rasa kewajiban yang nyata. Customary international law karenanya
dapat dinyatakan oleh mayoritas negara-negara dengan tujuannya sendiri,
hal ini bisa dibedakan melalui praktik meluas yang sesungguhnya.
Beberapa prinsip hukum kebiasaan internasional telah mencapai kekuatan
sebagai norma peremptory yang tidak bisa dilanggar ataupun dirubah
kecuali oleh norma dengan kekuatan serupa.
Tidak
seperti hukum perjanjian pada umumnya yang mesyaratkan secara
tradisional adanya treaty dan memungkinkan perubahan kewajiban antar
negara melalui perjanjian, norma peremptory tidak bisa dilanggar oleh
negara manapun. Di bawah Vienna Convention on the Law and Treaties,
perjanjian apapun yang berlawanan dengan norma peremptory tidak sah dan
dianggap tidak ada. Treaty memungkinan munculnya norma peremptory baru,
namun treaty itu sendiri bukanlah norma peremptory.
(b) Hukum Perjanjian Internasional (Treaty)
Sebuah
perjanjian merupakan perjanjian yang mengikat di bawah hukum
internasional yang dibuat para pelaku hukum internasional, yaitu negara
dan organisasi internasional. Setelah menandatangani instrumen nasional,
pihak yang sepakat untuk melibatkan diri mereka secara baik untuk
memastikan bahwa tidak ada satu hal pun yang akan dilakukan yang dapat
melawan tujuan dan obyek perjanjian internasional, menangguhkan
ratifikasi. Treaty dinamai dengan berbagai nama: treaty, perjanjian
internasional, protokol, kovenan, konvensi, pertukaran surat, pertukaran
catatan, dll. Tanpa mengindahkan nama yang dipilih, semua perjanjian
internasional ini di bawah hukum internasional berdiri sejajar dan
peraturan-peraturannya bernilai sama. Dapat atau tidaknya semua
perjanjian internasional itu dianggap sebagai sumber hukum, kesemuanya
merupakan sumber kewajiban bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Pasal 38 ayat (1) huruf (a) dari Statuta Peradilan Internasional tahun
1946, yang menggunakan istilah “konvensi internasional”, memusatkan pada
perjanjian internasional sebagai sumber kewajiban kontraktual namun
juga mengakui kemungkinan sebuah negara menyatakan menerima kewajiban
suatu perjanjian internasional meskipun bukanlah merupakan pihak secara
formal.
Perjanjian
internasional bisa secara gamblang dibandingkan dengan kontrak,
keduanya merupakan kesepakatan dari pihak-pihak terkait untuk menerima
kewajiban di antara keduanya, dan salah satu pihak yang gagal memenuhi
kewajibannya bisa dimintai pertanggungjawaban di bawah hukum
internasional akan pelanggaran tersebut. Prinsip utama dari hukum
perjanjian terlihat dalam maxim pacta sunt servanda “pakta-pakta haruslah dihormati.” Namun,
di beberapa negara, perjanjian internasional dianggap sejajar dengan
perundang-undangan domestik. Agar aturan berbasis perjanjian
internasional menjadi sumber hukum, maka aturan itu harus mampu
mempengaruhi pihak yang tidak terlibat atau berdampak bagi pihak-pihak
terlibat secara lebih luas daripada pihak-pihak yang secara khusus
terkena perjanjian internasional itu sendiri.
Beberapa
perjanjian internasional merupakan hasil dari kodifikasi hukum
kebiasaan internasional yang ada, misalnya, hukum yang mengatur hal-hal
umum secara global dan jus ad bellum. Karena tujuannya membuat kode
penerapan secara umum, efektifitasnya tergantung pada serangkaian negara
yang meratifikasi atau menyepakati konvensi tertentu. Secara relatif,
instrumen semacam itu meminta sejumlah pihak untuk mengakuinya sebagai
hukum internasional dalam hukum domestik mereka sendiri. Banyak
perjanjian internasional yang memungkinkan sebuah negara untuk
membatalkan kepihakannya selama hal tersebut mematuhi tata laksana
tertentu dalam pemberitahuannya. Namun, banyak juga perjanjian
internasional yang melarang pembatalan. Jika pembatalan sebuah negara
disetujui, maka kewajibannya di bawah perjanjian internasional tersebut
dianggap selesai. Ketika sebuah negara membatalkan diri dari sebuah
perjanjian internasional multilateral, perjanjian internasional itu
masih berlaku bagi pihak lain, kecuali tentu saja bila ditafsirkan
sebagai perjanjian internasional antar pihak negara yang masih tersisa
dalam perjanjian internasional tersebut.
(c) Kesepakatan Bilateral dan Regional
Kesepakatan
multilateral memiliki beberapa pihak dan menghasilkan hak serta
kewajiban bagi pihak-pihak terkait. Kesepakatan multilateral seringkali,
namun tidak selalu, membuka diri bagi negara manapun dan mengikat
secara regional. Kesepakatan semacam itu secara umum dikenal sebagai
“perjanjian”. Di sisi lain, kesepakatan bilateral dinegosiasikan di
antara sejumlah kecil negara, biasanya hanya dua yang menelurkan hak
serta kewajiban hukum di antara dua negara tersebut saja. Namun mungkin
saja kesepakatan bilateral memiliki lebih dari dua pihak, misalnya
kesepakatan bilateral antara Swiss dan Uni Eropa setelah penolakan Swiss
terhadap Wilayah Ekonomi Eropa. Kesepakatan ini masih dianggap
bilateral bukan multilateral. Pihak-pihak terkait dalam kesepakatan itu
dibagi menjadi dua kelompok, Swiss di satu pihak dan Uni Eropa serta
anggota-anggotanya di pihak lain. Sekarang ini terdapat lebih dari dua
puluh pejanjian multilateral penting yang mengatur tentang hak asasi
manusia, yang berisi kewajibankewajiban yang secara hukum mengikat
negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut.
Di
antaranya yang paling penting adalah Piagam PBB itu sendiri. Piagam ini
mengikat hampir seluruh negara di dunia dan setidaknya menetapkan
kewajiban umum anggota PBB untuk menghormati dan memajukan hak asasi
manusia. Kewajiban hak asasi manusia yang lebih khusus diatur dalam
serangkaian perjanjian hak asasi manusia internasional yang disponsori
PBB, seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
(KIHSP), Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
(KIHESB), Konvensi Internasional Menentang Penyiksaan, Konvensi
Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan
sebagainya. Perjanjian lain yang relevan dan tidak kalah penting juga
disepakati di bawah ILO, UNESCO, dan badan-badan PBB yang lain.
Ada juga beberapa perjanjian regional dan organisasi yang mengatur hak asasi manusia seperti Cairo
Declaration on Human Rights in Islam; European Convention on Human
Rights (4 Nov 1950) and all Protocols, American Convention on Human
Rights (22 Nov 1969); Additional Protocol to the American Convention on
Human Rights in the Area of Economic, Social and Cultural Rights
“Protocol of San Salvador” (17 Nov 1988); Protocol to the American
Convention on Human Rights to Abolish the Death Penalty (7 June 1990);
Inter-American Convention to Prevent and Punish Torture (9 Dec 1985);
European Convention for the Prevention of Torture and Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (Strasbourg 26 Nov 1987), Protocol
Number 1 to the European Convention for the Prevention of Torture and
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, and Protocol Number 2 to
the European Convention for the Prevention of Torture and Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment (Strasbourg 4 Nov 1993) ; European
Charter for Regional or Minority Languages (Strasbourg 5 Nov 1992);
Inter-American Convention on Forced Disappearance of Persons (9 June
1994); European Framework Convention for the Protection of National
Minorities (Strasbourg 1 Feb 1995); Council of Europe: Convention on
Human Rights and Biomedicine (4 April 1997).
Ada
juga beberapa mekanisme hak asasi manusia regional untuk melindungi hak
asasi manusia termasuk Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, yang
merupakan satu-satunya hukum internasional dengan kewenangan untuk
mengurusi kasus-kasus yang diajukan secara individual (bukan negara) dan
Komisi Hak Asasi Manusia Afrika; Inter-American Commission on Human
Rights; Inter-American Court of Human Rights.
(2) Sumber-Sumber yang Tidak Mengikat Secara Hukum
(a) Deklarasi Organisasi-Organisasi Inernasional dan Regional
Terdapat
sejumlah besar deklarasi internasional, resolusi, dan rekomendasi yang
relevan yang menjadi acuan dalam perlindungan dan penegakan hak asasi
manusia yang disahkan oleh PBB atau organisasi internasional lain, atau
melalui sebuah konferensi internasional. Meskipun instrumen-instrumen
ini tidak mengikat secara hukum, instrumeninstrumen ini setidaknya
menetapkan standar-standar yang diakui secara luas dan seringkali
digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah hak asasi manusia di forum
internasional. Yang paling penting di antaranya adalah Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia yang disahkan secara aklamasi oleh Majelis
Umum PBB tahun 1948, yang juga menjadi kerangka dasar bagi banyak
instrumen turunannya berupa perjanjian-perjanjian hak asasi manusia.
Satu lagi yang juga dianggap sebagai deklarasi yang sangat penting
adalah hasil dari konferensi mengenai keamanan dan kerjasama di Eropa
tahun 1975 (Deklarasi Helsinki), yang punya pengaruh politik sangat kuat
dalam upaya perlindungan hak asasi manusia, khususnya di Eropa. Contoh
lainnya termasuk Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau
Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat,
Deklarasi Hak Anak, serta Deklarasi tentang Standar Perlakuan Minimum
terhadap Tahanan/Narapidana.
(b) Kebijakan dan Praktek Internasional
Sumber
hukum hak asasi manusia yang juga bersifat tidak mengikat namun dapat
dijadikan rujukan komparatif adalah berbagai keputusan dan tindakan oleh
ogan-organ PBB atau badan-badan internasional lainnya guna mendukung
usaha-usaha khusus dalam menegakkan dan melindungi hak asasi manusia.
Contohnya mencakup pendapat atau rekomendasi Mahkamah Internasional
(International Court of Justice, ICJ) mengenai keberlanjutan kehadiran
Afrika Selatan di Namibia (Afrika Barat Daya); Resolusi Dewan Keamanan
yang menetapkan sanksi-sanksi misalnya terhadap Rhodesia tahun 1968 dan
Afrika Selatan tahun 1977; Resolusi Majelis Umum PBB mengenai masalah
hak asasi manusia, misalnya, di Afrika Selatan, Chile, dan Timur Tengah;
Resolusi dan Kebijakan badan-badan PBB lainnya yang mengatur hak asasi
manusia; pembentukan Komite HAM PBB berdasarkan Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil dan Politik; Rekomendasi Komite Ahli yang dibentuk
berdasarkan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial;
berbagai keputusan yang dikeluarkan oleh Komisi Eropa dan Mahkamah Eropa
dalam bidang hak asasi manusia; serta Laporan Investigasi yang dibuat
oleh Komisi Inter-Amerika tentang hak asasi manusia.
(c) Kebijakan dan Praktek Nasional
Terdapat
juga hukum, peraturan, keputusan pengadilan nasional, dan keputusan
pemerintah di berbagai negara yang berkaitan dengan pelaksanaan
tujuan-tujuan hak asasi manusia internasional baik yang berlaku domestik
maupun dalam konteks hubungan dengan negara lain.
Di
Amerika Serikat, misalnya, instrumen domestik ini mencakup
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Konstitusi Amerika Serikat dan
Pernyataan Hak Asasi Manusia; perundang-undangan yang melarang praktek
diskriminasi dan perbudakan serta memastikan hak-hak politik perempuan;
peraturan perundangan yang dibuat khusus untuk melaksanakan sanksi PBB
terhadap Afrika Selatan; peraturan yang melarang bantuan militer kepada
negara yang pemerintahnya diduga terlibat secara sistematik melakukan
pelanggaran hak asasi manusia yang diakui secara internasional;
keputusan-keputusan yudisial tentang aspek-aspek hukum hak asasi manusia
internasional; keputusan-keputusan pengadilan dan pemerintahan negara
bagian dan/atau distrik yang menangani berbagai aspek kegiatan korporasi
Amerika di Afrika Selatan. Demikian pula banyak negara lain, terutama
negara-negara yang menjadi pihak Konvensi Eropa tentang Hak Asasi
Manusia, mempunyai badan-badan hukum domestik yang mengeluarkan preseden
yang relevan dengan hukum hak asasi manusia internasional.
(3) Praktek Nasional Menyangkut Norma HAM yang Bersifat Mengikat
(a) Mengidentifikasi Norma-Norma Hak Asasi Manusia
Berbeda
dengan negara-negara, masyarakat bangsa-bangsa tidak mempunyai badan
pembuat undang-undang yang diberi kewenangan untuk memberlakukan hukum
yang secara langsung dan seragam mengikat semua negara. Alih-alih,
bangsa-bangsa menetapkan kewajiban-kewajiban yang mengikat secara hukum
di antara mereka sendiri dengan cara lain, yang pada pokoknya memberi
persetujuan tegas kepada suatu peraturan dengan meratifikasi suatu
perjanjian tertentu atau perjanjian internasional lainnya atau lewat
penerimaan suatu peraturan secara luas dalam sebagai hukum kebiasaan
internasional yang mengikat. Dalam praktek, sumber hukum hak asasi
manusia internasional yang paling penting dan berguna barangkali adalah
perjanjian-perjanjian internasional yang secara langsung menimbulkan
kewajiban bagi para negara pihak. Namun perlu diingat juga bahwa banyak
norma-norma hak asasi manusia yang penting justru terdapat dalam
instrumen hukum hak asasi manusia internasional di luar perjanjian, yang
sifatnya tidak mengikat secara hukum, namun tetap dapat digunakan
sebagai rujukan.
Untuk
menentukan apakah sebuah norma hak asasi manusia internasional secara
hukum relevan dengan suatu situasi hak asasi manusia tertentu di suatu
negara tertentu, penting untuk melihat:
- Apakah instrumen yang memuat norma tersebut mengandung bahasa yang tegas yang “mewajibkan” negara menghormati hak asasi manusia tertentu yang sedang menjadi persoalan.
- Apakah instrumen yang memuat norma tersebut sudah berlaku, karena seringkali beberapa instrumen, khususnya yang berbentuk perjanjian multilateral, mensyaratkan jumlah minimum ratifikasi untuk pemberlakuannya.
- Apakah negara yang bersangkutan telah meratifikasi instrumen internasional tersebut, karena biasanya penandatanganan (signatory) saja tidak cukup untuk mengikat suatu negara terhadap kewajibankewajiban suatu perjanjian multilateral.
- Apakah negara yang bersangkutan menyatakan keberatan-keberatan yang memungkinkan negara tersebut memodifikasi kewajibannya terhadap perjanjian terkait.
Dalam
konteks ini juga perlu diingat bahwa beberapa perjanjian hak asasi
manusia telah diratifikasi secara luas sehingga dianggap menjadi
instrumen hukum kebiasan internasional yang berlaku universal, dan
dianggap mengikat bahkan pada negara yang tidak meratifikasinya,
misalnya Konvensi Menentang Penyiksaan, Konvensi Genosida, dan Konvensi
Penghapusan Diskriminasi Rasial, juga Resolusi Majelis Umum PBB yang
mengakui Prinsip-prinsip Nuremberg sebagai hukum internasional. Bahkan
kalaupun instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional tertentu
tidak mengikat secara hukum pada suatu negara, baik karena negara
tersebut bukan negara pihak maupun karena instrumen tersebut tidak
dianggap sebagai instrumen hukum kebiasaan internasional, instrumen
tersebut adakalanya mempunyai kekuatan moral atau politik yang dapat
digunakan untuk menekan pemerintah suatu negara untuk mematuhi norma hak
asasi manusia tertentu.
(b) Bukti-Bukti yang Bersifat Mengikat
Hukum
internasional, termasuk hukum hak asasi manusia, terutama bisa
diterapkan pada negara-negara (nations) ketimbang pada pribadi-pribadi
(individuals). Akibatnya, peraturan internasional ini pada umumnya dapat
menjadi suatu sumber kewajiban hukum domestik bagi para pejabat suatu
negara mengenai hak-hak domestik bagi warga negaranya sendiri lewat
dimasukkannya dengan sesuatu cara ke dalam hukum domestik negara itu
sendiri. Dengan cara inilah, sebuah instrumen hukum internasional yang
mengandung norma-norma hak asasi manusia yang tadinya tidak secara
langsung mengikat, seperti misalnya Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia, dibuat mengikat dalam yurisdiksi hukum domestik negara-negara.
Secara umum, sebuah norma hak asasi manusia dibuat menjadi mengikat
secara hukum melalui dua cara:
(i) Penggunaan Norma-Norma di Pengadilan
Pengadilan-pengadilan
nasional mungkin bersifat responsif terhadap argumen bahwa hukum
domestik harus ditafsirkan sesuai dengan standar hak asasi manusia
internasional, terutama dalam kasus-kasus di mana instrumen hukum
domestik tidak sesuai atau bahkan merupakan pelanggaran terhadap hukum
hak asasi manusia internasional. Putusan pengadilan domestik yang
merujuk pada instrumen hak asasi manusia internasional sebagai
pertimbangan hukumnya, seringkali menjadi yurisprudensi praktek hukum
selanjutnya di negara tersebut, dan bukan tidak mungkin pada akhirnya
akan menjadi pemicu amandemen instrumen hukum nasional yang tidak sesuai
atau bahkan merupakan pelanggaran terhadap hukum hak asasi manusia
internasional.
(ii) Penggunaan Norma-Norma dalam Konstitusi
Negara-negara
dapat memasukkan norma-norma hak asasi manusia internasional yang
dituangkan dalam deklarasi-deklarasi hak asasi manusia ke dalam hukum
domestik mereka; hak-hak yang diberikan kemudian dapat digunakan oleh
para individu sebagai bagian dari hukum negara tersebut. Apa dan
bagaimana pemasukan itu berlangsung tergantung pada sistem dan mekanisme
hukum masing-masing negara itu sendiri, dan negara-negara berbeda dalam
hal ini. Standar hak asasi manusia yang dicerminkan dalam hukum
kebiasaan internasional juga dapat dimasukkan ke dalam hukum nasional
(sekurang-kurangnya dengan menghilangkan peraturan perundangan yang
bertentangan atau melalui praktek/kebijakan pemerintah) sebagai bagian
dari “hukum negara”. Beberapa negara bahkan mengambil langkah yang lebih
“radikal” dengan membuat konstitusi atau peraturan perundangan yang
secara eksplisit menyadur/mengutip norma-norma hak asasi manusia
internasional, misalnya Konstitusi Afrika Selatan yang dalam salah satu
bagiannya menyadur Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
(c) Praktek Negara
Hanya
negara-negara yang dianggap kuat dengan hubungan dan kepentingan
internasional yang ekstensif yang memiliki kesempatan untuk
berkontribusi dalam praktik hukum internasional. Cara-cara utama
kontribusi praktik negara antara lain muncul dalam pertemuan organisasi
internasional, terutama Sidang Umum PBB, pada saat pengambilan suara
atau dengan cara menyatakan pandangan mereka mengenai suatu hal. Selain
itu, ada beberapa keadaan di mana bisa dinyatakan bahwa satu-satunya
bukti komparatif adalah praktek suatu negara mengenai suatu kasus hak
asasi manusia dalam keadaan tertentu. Ketika mengamati praktik negara
untuk menentukan peraturan hukum internasional yang relevan, sangatlah
penting untuk mengingat setiap kegiatan tiap organ dan pihak berwenang
negara yang terkait dengan tujuan tersebut. Masih diperdebatkan secara
terus-menerus terutama dalam hal apa yang seharusnya dilakukan oleh
negara dan apa yang mereka anggap mewakili hukum. Namun dalam bentuk
paling ekstrim, hal ini bisa juga termasuk dalam menolak apa yang
dikatakan oleh negara sebagai praktik dan meletakkannya hanya pada
status bukti opinio juris. Versi yang lebih moderat akan mengevaluasi
apa yang dikatakan oleh negara sebagai referensi terhadap keadaan di
mana dan pada saat pernyataan itu dibuat.
Nosi
mengenai praktik memunculkan hukum domestik agar menjadi sebuah
kebiasaan hukum internasional mensyaratkan bahwa praktik tersebut
diikuti secara reguler, atau praktik negara tersebut haruslah “umum, konsisten dan terkait.” Melihat
besarnya komunitas internasional yang ada, praktik ini tidak harus
melibatkan seluruh negara atau seragam secara keseluruhan. Namun harus
ada tingkatan yang memadai dari partisipasi, terutama bagian negara yang
kepentingannya terkenai dan tidak adanya keberatan yang substansial.
Ada beberapa kejadian di mana International Court of Justice (ICJ) telah
menolak tuntutan bahwa aturan dalam suatu negara berlaku, dengan
pertimbangan karena ketidakadaan konsistensi dalam praktik tersebut.
No comments:
Post a Comment