Pengertian Dan Elemen-Elemen Experiential Marketing Menurut Ahli
Menurut
Pine II dan Gilmore (1999) terdapat 4 tingkatan dalam ilmu pemasaran
(economic value) yakni commodities, goods, service dan experience yang
masing-masing tingkatan memiliki arti dan pengaruh masing-masing yang
berkaitan dengan kepuasan konsumen.
a. Commodities
Komoditi
atau komoditas merupakan bahan material yang diambil secara langsung
dari alam misalnya flora, fauna, air, udara, tanah serta mineral. Pada
umumnya komoditi diproses lebih lanjut sehingga diperoleh suatu
karakteristik tertentu dan lebih bermanfaat dan mempunyai nilai jual
jika dilakukan pengolahan lebih lanjut.
b. Goods
Goods
merupakan komoditi sebagai bahan mentahnya atau merupakan barang
setengah jadi dan siap dijual. Harga goods itu sendiri ditentukan
berdasarkan pada biaya produksi.
c. Services
Service
lebih kenal dengan jasa yang dipergunakan untuk memenuhi keinginan
konsumen. Konsumen pada umumnya menilai manfaat dari service adalah
lebih tinggi dari yang konsumen ekspektasikan atau harapkan (kepuasan).
d. Experience
Experience
adalah suatu kejadian yang terjadi apabila badan usaha dengan sengaja
menggunakan services sebagai prasarana dan goods menjadi penyangga untuk
dapat menarik hati atau minat konsumen secara individual dan emosi.
Badan usaha berusaha mengikat pengalaman disekeliling goods maupun
services yang ada untuk dapat menarik konsumen lebih banyak. Konsumen
secara umum menilai pengalaman berdasarkan pada ingatan atas kejadian
yang menarik hati.
Pergerakan
economic value dari keempat tingkatan yang ada mulai dari commodities,
goods, service dan experience akan meningkat secara besar dalam value
karena konsumen menemukan bahwa dalam tiap tingkatan tersebut lebih
relevan terhadap apa yang diinginkannya. Setiap badan usaha memiliki
tingkat experience yang berbeda-beda sehingga mereka lebih mudah
mendiferensiasikan apa yang mereka tawarkan. Pendekatan yang dapat
digunakan oleh badan usaha untuk dapat menggerakan economic value menuju
pada tingkatan experiential yaitu dengan menambah elemen-elemen yang
dapat mempertinggi interaksi yang berkaitan secara langsung dengan panca
indra melalui penglihatan, suara, sentuhan, rasa dan bau dari konsumen
tersebut. Tahapan-tahapan dalam pergerakan economic value adalah
mengolah barang atau bahan baku (extract commodities), tahap membuat
barang atau produk (make goods), tahap memberikan pelayanan (deliver
services) dan tahap pengalaman (stage experience) yang mempunyai arti
memberikan pengalaman yang bersifat memorable (selalu diingat dan
dikenang dalam pikiran).
1. Pengertian Experiential Marketing
Experiential sendiri berasal dari kata experience yang berarti sebuah pengalaman. Definisi experience menurut Schmitt (1999:60):
“Experiences are private events that occur in response to some stimulation.”
Definisinya pengalaman merupakan peristiwa-peristiwa pribadi yang terjadi dikarenakan adanya stimulus tertentu.
Pine
II dan Gilmore (1999:12) berpendapat bahwa “Experience are event that
engage individuals in a personal way” yang berarti pengalaman adalah
suatu kejadian yang terjadi dan mengikat pada setiap individu secara
personal.
Sedangkan
pengertian marketing menurut Evans and Berman (1992:8): “Marketing is
the anticipation, management and satisfaction of demand through the
exchange process” artinya bahwa marketing adalah suatu aktivitas untuk
melakukan antisipasi, pengelolaan dan pencapaian kepuasan konsumen
melalui proses pertukaran.
Bisa
dikatakan bahwa pengertian Experiential Marketing adalah suatu
aktivitas untuk melakukan antisipasi, pengelolaan dan pencapaian
kepuasan konsumen melalui proses pertukaran yang merupakan
peristiwa-peristiwa pribadi yang terjadi sebagai tanggapan atau beberapa
stimulus.
2. Elemen-Elemen Experiential Marketing
Elemen-Elemen Experiential Marketing (Schmitt,1999) terdiri dari:
1.
Sense, ‘Sense’ berkaitan dengan gaya (styles) dan simbol-simbol verbal
dan visual yang mampu menciptakan keutuhan sebuah kesan. Untuk
menciptakan kesan yang kuat, baik melalui iklan, packaging ataupun
website, seorang pemasar perlu memilih warna yang tepat sejalan dengan
company profile. Pilihan warna ini harus menarik untuk membangkitkan
perhatian pelanggannya. Sebagai contoh warna kuning atau merah biasanya
lebih baik daripada biru atau abu-abu. Meskipun kedua warna terakhir ini
merupakan warna yang umum dalam sebuah perusahaan karena merupakan
simbol daerah yang ‘aman’, tetapi warna ini bukanlah warna yang sangat
baik untuk menarik perhatian pelanggan. Pemilihan warna harus sesuai
dengan kriteria dan image perusahaan. Selain itu pilihan gaya (styles)
yang tepat juga tak kalah pentingnya. Perpaduan antara bentuk, warna dan
elemen-elemen yang lain membentuk berbagai macam gaya (styles) antara
lain minimalis, ornamentalis, dinamis dan statis. Sebagai contoh adanya
hotel dengan bermacam-macam gaya. Business hotel tentunya berbeda dengan
resort hotel dari pemilihan warna, lokasi, furniture maupun gaya
arsitekturnya.
2.
Feel, Perasaan di sini sangatlah berbeda dengan kesan sensorik karena
hal ini berkaitan dengan suasana hati dan emosi jiwa seseorang. Ini
bukan sekedar menyangkut keindahan, tetapi suasana hati dan emosi jiwa
yang mampu membangkitkan kebahagiaan atau bahkan kesedihan. Perusahaan
Hallmark adalah contohnya. Pada saat menjelang Natal, Hallmark
meluncurkan iklan TV yang menceritakan tentang seorang anak laki-laki
yang hampir tidak dapat pulang berkumpul dengan keluarganya di hari
Natal karena kendala salju yang tebal. Dia akhirnya dapat mewujudkan
keinginannya pada saat adik laki- lakinya mulai menyanyikan Christmas
Carols sehingga seluruh keluarga merasa bahagia dapat berkumpul bersama.
Hallmark mampu menyampaikan ‘feel’ Natal sebagai momen untuk berbagi
kasih bersama seluruh anggota keluarga.
3.
Think, Dengan berpikir (think) dapat merangsang kemampuan intelektual
dan kreativitas seseorang. Sebagai contoh, perusahaan komputer Apple
melakukan kampanye iklan komputer yang tidak umum. Iklan ini tidak
menampilkan adanya computer tetapi menampilkan tokoh-tokoh heroic abad
20 mulai dari Einstein hingga John Lennon. Hal ini dilakukan Apple untuk
memperbaiki kinerja pemasarannya disamping untuk menarik pelanggannya
agar berpikir lebih luas dan berbeda mengenai perusahaan dan produknya.
Contoh lainnya adalah Benetton yang menampilkan serangkaian iklan foto
jurnalistik yang berupa foto-foto sederetan orang yang meninggal. Iklan
ini terlalu mengejutkan. Oleh karena itu pemasar perlu berhati-hati
dalam melakukan pendekatan ‘Think’ dan tidak terlalu provokatif serta
berlebihan karena dapat merugikan. Dengan membuat pelanggan berpikir
beda hal ini akan berakibat mereka mengambil posisi yang berbeda pula.
Kadangkala posisi yang diambil ini bertentangan dengan harapan pemasar.
4.
Act berkaitan dengan perilaku yang nyata dan gaya hidup seseorang. Hal
ini berhubungan dengan bagaimana membuat orang berbuat sesuatu dan
mengekspresikan gaya hidupnya. Riset pasar menunjukkan banyak orang
membeli Volkswagen Beetle sebagai mobil kedua setelah BMW atau Lexus.
Mereka mempunyai gaya hidup tertentu; mereka ingin mengendarai mobil
yang lebih enak untuk dikendarai daripada mobil pertama mereka yang
lebih profesional. Jadi ‘Act’ di sini meliputi perilaku yang nyata atau
gaya hidup yang lebih luas. Ada berbagai cara untuk mengkomunikasikan
‘Act’. Dalam Web pemasar dapat menggunakan flash animations; di TV
dengan iklan pendek. Sedangkan di lingkungan sosial dapat dilakukan
dengan gambar hidup yang dapat bergerak dengan cepat. Media cetak
bukanlah pilihan yang baik untuk ini. Pemilihan sarananya harus
hati-hati dan tepat sehingga dapat membangkitkan pengalaman yang
diinginkan.
5.
Relate berkaitan dengan budaya seseorang dan kelompok referensinya yang
dapat menciptakan identitas sosial. Seorang pemasar harus mampu
menciptakan identitas sosial (generasi, kebangsaan, etnis) bagi
pelanggannya dengan produk atau jasa yang ditawarkan. Pemasar dapat
menggunakan simbol budaya dalam kampanye iklan dan desain Web yang mampu
mengidentifikasikan kelompok pelanggan tertentu. Harley-Davidson
merupakan contoh kampanye ‘Relate’ yang mampu menarik beribu-ribu
pengendara motor besar di Amerika dalam rally di penjuru negara itu.
Pelanggannya kebanyakan mempunyai tattoo berupa logo Harley-Davidson di
lengan atau bahkan di seluruh tubuhnya. Mereka menunjukkan kelompok
referensi tertentu dengan apa yang dimilikinya.
3. Karakteristik Experiential Marketing
Schmitt (1999:12) membagi Experiential Marketing menjadi 4 karakteristik, yaitu:
a. Fokus pada pengalaman konsumen
Suatu
pengalaman terjadi sebagai pertemuan, menjalani atau melewati situasi
tertentu yang memberikan nilai-nilai indrawi, emosional, kognitif,
perilaku dan relasional yang menggantikan nilai-nilai fungsional. Dengan
adanya pengalaman tersebut dapat menghubungkan badan usaha beserta
produknya dengan gaya hidup konsumen yang mendorong terjadinya pembelian
pribadi dan dalam lingkup usahanya.
b. Menguji situasi konsumen
Berdasarkan
pengalaman yang telah ada konsumen tidak hanya menginginkan suatu
produk dilihat dari keseluruhan situasi pada saat mengkonsumsi produk
tersebut tetapi juga dari pengalaman yang didapatkan pada saat
mengkonsumsi produk tersebut.
c. Mengenali aspek rasional dan emosional sebagai pemicu dari konsumsi
Dalam
Experiential Marketing, konsumen bukan hanya dilihat dari sisi rasional
saja melainkan juga dari sisi emosionalnya. Jangan memperlakukan
konsumen hanya sebagai pembuat keputusan yang rasional tetapi konsumen
lebih menginginkan untuk dihibur, dirangsang serta dipengaruhi secara
emosional dan ditantang secara kreatif.
d. Metode dan perangkat bersifat elektik
Metode
dan perangkat untuk mengukur pengalaman seseorang lebih bersifat
elektik. Maksudnya lebih bergantung pada objek yang akan diukur atau
lebih mengacu pada setiap situasi yang terjadi daripada menggunakan
suatu standar yang sama. Pada Experiential Marketing, merek bukan hanya
sebagai pengenal badan usaha saja, melainkan lebih sebagai pemberi
pengalaman positif pada konsumen sehingga dapat menimbulkan loyalitas
pada konsumen.
4. Manfaat Experiential Marketing
Fokus
utama dari suatu Experiential Marketing adalah pada tanggapan panca
indra, pengaruh, tindakan serta hubungan. Oleh karena itu suatu badan
usaha harus dapat menciptakan experiential brands yang dihubungkan
dengan kehidupan nyata dari konsumen. Experiential Marketing
dimanfaatkan secara efektif apabila diterapkan pada situasi tertentu.
Ada manfaat yang dirasakan suatu badan usaha menurut pandangan Schmitt
(1999:34) menerapkan Experiential Marketing antara lain:
- untuk membangkitkan kembali merek yang sedang merosot
- untuk membedakan satu produk dengan produk pesaing
- untuk menciptakan citra dan identitas sebuah perusahaan
- untuk mempromosikan inovasi
- untuk membujuk percobaan, pembelian dan loyalitas konsumen.
Loyalitas Pelanggan
Kesetiaan
konsumen tidak terbentuk dalam waktu singkat tetapi melalui proses
belajar dan berdasarkan hasil pengalaman dari konsumen itu sendiri dari
pembelian konsisten sepanjang waktu. Bila yang didapat sudah sesuai
dengan harapan, maka proses pembelian ini terus berulang. Hal ini dapat
dikatakan behwa telah timbul adanya kesetiaan konsumen. Bila dari
pengalamannya, konsumen tidak mendapatkan merek yang memuaskan maka ia
tidak akan berhenti untuk mencoba merek-merek yang lain sampai ia
mendapatkan produk atau jasa yang memenuhi kriteria mereka.
Menurut
Wulf, Gaby dan Lacobucci (2001:36) loyalitas merupakan besarnya
konsumsi dan frekuensi pembelian dilakukan oleh seorang konsumen
terhadap suatu perusahaan. Dan mereka berhasil menemukan bahwa kualitas
keterhubungan yang terdiri dari kepuasan, kepercayaan dan komitmen
mempunyai hubungan yang positif dengan loyalitas.
Loyalitas
memberi pengertian yang sama atas loyalitas merek dan loyalitas
pelanggan. Memang benar bahwa loyalitas merek mencerminkan loyalitas
pelanggan terhadap merek tertentu, tetapi apabila pelanggan dimengerti
sama dengan konsumen, maka loyalitas konsumen lebih luas cakupannya
daripada loyalitas merek, karena loyalitas konsumen mencakup loyalitas
terhadap merek (Dharmmesta,1999:75). Loyalitas adalah tentang presentase
dari orang yang pernah membeli dalam kerangka waktu tertentu dan
melakukan pembelian ulang sejak pembelian yang pertama.
Dalam mengukur kesetiaan, Zeithaml(1996:38) menyatakan dengan beberapa atribut yaitu :
- mengatakan hal yang positif tentang perusahaan kepada orang lain;
- merekomendasikan perusahaan kepada orang lain yang meminta saran;
- mempertimbangkan bahwa perusahaan merupakan pilihan pertama dalam melakukan pembelian jasa;
- melakukan lebih banyak bisnis atau pembelian dengan perusahaan beberapa tahun mendatang.
Adapun
pendapat dari Oliver (1999:53) yang mendefinisikan loyalitas konsumen
dengan suatu keadaan dimana terdapat komitmen yang kuat dalam pembelian
ulang dan penggunaan kembali barang dan jasa perusahaan. Untuk itu
terdapat konsep loyalitas yang ditawarkan Oliver (1999:35-37) mengenai
tingkat loyalitas konsumen terdiri dari empat tahap yakni:
1. Loyalitas Kognitif
Tahap
dimana pengetahuan langsung maupun tidak langsung konsumen akan merek,
dan manfaatnya, dan dilanjutkan ke pembelian berdasarkan pada keyakinan
akan superioritas yang ditawarkan. Pada tahap ini dasar kesetiaan adalah
informasi tentang produk atau jasa yang tersedia bagi konsumen.
2. Loyalitas Afektif
Sikap
favorable konsumen terhadap merek yang merupakan hasil dari konfirmasi
yang berulang dari harapannya selama tahap cognitively loyalty
berlangsung. Pada tahap ini dasar kesetiaannya adalah pada sikap dan
komitmen konsumen terhadap produk dan jasa.
3. Loyalitas Konatif
Intensi membeli ulang sangat kuat dan memiliki keterlibatan tinggi yang merupakan dorongan motivasi.
4. Loyalitas Tindakan
Menghubungkan penambahan yang baik untuk tindakan serta keinginan untuk mengatasi kesulitan seperti pada tindakan kesetiaan.
Tjiptono (2001:85) mengemukakan enam indikator yang bisa digunakan untuk mengukur loyalitas konsumen yaitu
1) Pembelian ulang;
2) kebiasaan mengkonsumsi merek tersebut;
3) selalu menyukai merek tersebut;
4) tetap memilih merek tersebut;
5) yakin bahwa merek tersebut yang terbaik;
6) merekomendasikan merek tersebut pada orang lain.
No comments:
Post a Comment