Konsep Keadilan Menurut Pemikiran Klasik
Teori-teori yang mengkaji masalah keadilan secara mendalam telah dilakukan sejak jaman Yunani kuno. Konsep keadilan pada masa itu, berasal dari pemikiran tentang sikap atau perilaku manusia terhadap sesamanya dan terhadap alam lingkungannya, pemikiran tersebut dilakukan oleh kalangan filosof. Inti dari berbagai pemikiran filsafat itu terdiri dari berbagai obyek yang dapat dibagi kedalam dua golongan. Pertama obyek materia yaitu segala sesuatu yang ada atau yang mungkin ada, yakni kesemestaan, baik yang konkrit alamiah maupun yang abstrak non material seperti jiwa atau rohani termasuk juga nilai-nilai yang abstrak seperti nilai kebenaran, nilai keadilan, hakekat demokrasi dan lain sebagainya. Kedua obyek forma yaitu sudut pandang atau tujuan dari pemikiran dan penyelidikan atas obyek materia, yakni mengerti sedalam-dalamnya, menemukan kebenaran atau hakekat dari sesuatu yang diselidiki sebagai obyek materia[1].
Salah satu diantara teori keadilan yang dimaksud antara lain teori keadilan dari Plato yang menekankan pada harmoni atau keselarasan. Plato mendefinisikan keadilan sebagai “the supreme virtue of the good state”, sedang orang yang adil adalah “the self diciplined man whose passions are controlled by reasson”. Bagi Plato keadilan tidak dihubungkan secara langsung dengan hukum. Baginya keadilan dan tata hukum merupakan substansi umum dari suatu masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya.
Dalam konsep Plato tentang keadilan dikenal adanya keadilan individual dan keadilan dalam negara. Untuk menemukan pengertian yang benar mengenai keadilan individual, terlebih dahulu harus ditemukan sifat-sifat dasar dari keadilan itu dalam negara, untuk itu Plato mengatakan[2]: “let us enquire first what it is the cities, then we will examine it in the single man, looking for the likeness of the larger in the shape of the smaller”. Walaupun Plato mengatakan demikian, bukan berarti bahwa keadilan individual identik dengan keadilan dalam negara. Hanya saja Plato melihat bahwa keadilan timbul karena penyesuaian yang memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu masyarakat. Keadilan terwujud dalam suatu masyarakat bilamana setiap anggota melakukan secara baik menurut kemampuannya fungsi yang sesuai atau yang selaras baginya.
Jadi fungsi dari penguasa ialah membagi bagikan fungsi-fungsi dalam negara kepada masing-masing orang sesuai dengan asas keserasian. Pembagian kerja sesuai dengan bakat, bidang keahlian dan keterampilan setiap orang itulah yang disebut dengan keadilan. Konsepsi keadilan Plato yang demikian ini dirumuskan dalam ungkapan “giving each man his due” yaitu memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya. Untuk itu hukum perlu ditegakkan dan Undang-undang perlu dibuat.
Dalam kaitannya dengan hukum, obyek materianya adalah masalah nilai keadilan sebagai inti dari asas perlindungan hukum, sedangkan obyek formanya adalah sudut pandang normatif yuridis dengan maksud menemukan prinsip dasar yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan masalah yang timbul di bidang penggunaan nilai keadilan dimaksud. Tentang nilai keadilan yang dimaksud terutama yang berkenaan dengan obyeknya yaitu hak yang harus diberikan kepada warga masyarakat. Biasanya hak ini dinilai dan diperlakukan dari berbagai aspek pertimbangan politik dan budaya, namun intinya tetap tidak berubah yaitu suum cuique tribuere.
Dari ungkapan di atas, terlihat dengan jelas Plato memandang suatu masalah yang memerlukan pengaturan dengan undang-undang harus mencerminkan rasa keadilan, sebab bagi Plato hukum dan undang-undang bukanlah semata-mata untuk memelihara ketertiban dan menjaga stabilitas negara, melainkan yang paling pokok dari undang-undang adalah untuk membimbing masyarakat mencapai keutamaan, sehingga layak menjadi warga negara dari negara yang ideal. Jadi hukum dan undang-undang bersangkut paut erat dengan kehidupan moral dari setiap warga masyarakat.
Pembahasan yang lebih rinci mengenai konsep keadilan dikemukakan oleh Aristoteles. Jika Plato menekankan teorinya pada keharmonisan atau keselarasan, Aristoteles menekankan teorinya pada perimbangan atau proporsi. Menurutnya di dalam negara segala sesuatunya harus diarahkan pada cita-cita yang mulia yaitu kebaikan dan kebaikan itu harus terlihat lewat keadilan dan kebenaran. Penekanan perimbangan atau proporsi pada teori keadilan Aristoteles, dapat dilihat dari apa yang dilakukannya bahwa kesamaan hak itu haruslah sama diantara orang-orang yang sama[3]. Maksudnya pada satu sisi memang benar bila dikatakan bahwa keadilan berarti juga kesamaan hak, namun pada sisi lain harus dipahami pula bahwa keadilan juga berarti ketidaksamaan hak. Jadi teori keadilan Aristoteles berdasar pada prinsip persamaan. Dalam versi modern teori itu dirumuskan dengan ungkapan bahwa keadilan terlaksana bila hal-hal yang sama diperlukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama diperlakukan secara tidak sama.
Aristoteles membedakan keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan komutatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, jadi sifatnya proporsional. Di sini yang dinilai adil adalah apabila setiap orang mendapatkan apa yang menjadi haknya secara proporsional. Jadi keadilan distributif berkenaan dengan penentuan hak dan pembagian hak yang adil dalam hubungan antara masyarakat dengan negara, dalam arti apa yang seharusnya diberikan oleh negara kepada warganya.
Hak yang diberikan dapat berupa benda yang tak bisa dibagi (undivided goods) yakni kemanfaatan bersama misalnya perlindungan, fasilitas publik baik yang bersifat administratif maupun fisik dan berbagai hak lain, di mana warga negara atau warga masyarakat dapat menikmati tanpa harus menggangu hak orang lain dalam proses penikmatan tersebut. Selain itu juga benda yang habis dibagi (divided goods) yaitu hak-hak atau benda-benda yang dapat ditentukan dan dapat diberikan demi pemenuhan kebutuhan individu pada warga dan keluarganya, sepanjang negara mampu untuk memberikan apa yang dibutuhkan para warganya secara adil, atau dengan kata lain dimana terdapat keadilan distributif, maka keadaan tersebut akan mendekati dengan apa yang disebut keadaan dimana tercapainya keadilan sosial bagi masyarakat.
Sebaliknya keadilan komutatif menyangkut mengenai masalah penentuan hak yang adil diantara beberapa manusia pribadi yang setara, baik diantara manusia pribadi fisik maupun antara pribadi non fisik. Dalam hubungan ini maka suatu perserikatan atau perkumpulan lain sepanjang tidak dalam arti hubungan antara lembaga tersebut dengan para anggotanya, akan tetapi hubungan antara perserikatan dengan perserikatan atau hubungan antara perserikatan dengan manusia fisik lainnya, maka penentuan hak yang adil dalam hubungan ini masuk dalam pengertian keadilan komutatif.
Obyek dari hak pihak lain dalam keadilan komutatif adalah apa yang menjadi hak milik seseorang dari awalnya dan harus kembali kepadanya dalam proses keadilan komutatif. Obyek hak milik ini bermacam-macam mulai dari kepentingan fisik dan moral, hubungan dan kualitas dari berbagai hal, baik yang bersifat kekeluargaan maupun yang bersifat ekonomis, hasil kerja fisik dan intelektual, sampai kepada hal-hal yang semula belum dipunyai atau dimiliki akan tetapi kemudian diperoleh melalui cara-cara yang sah. Ini semua memberikan kewajiban kepada pihak lain untuk menghormatinya dan pemberian sanksi berupa ganti rugi bila hak tersebut dikurangi, dirusak atau dibuat tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Di dalam konsep keadilan distributif muncul pertanyaan atau masalah tentang kapan timbulnya hak tersebut dan bagaimana pembagian hak itu, apa harus merata atau harus proporsional?. Berbeda dengan keadilan komutatif yang timbul dari hak yang semula ada pada seseorang atau yang diperolehnya secara sah dalam proses keadilan komutatif, maka dalam keadilan distributif dasarnya atau perolehan hak tersebut semata-mata timbul dari keadaan di mana seseorang itu menjadi anggota atau warga dari suatu negara. Tidak seharusnya mereka yang bukan warga negara memperoleh kemanfaatan kecuali dalam hubungan yang bersifat timbal balik terutama dalam hubungan internasional antar negara-negara modern, sehingga seseorang asing dapat pula menikmati hak-hak atau fasilitas lain dari suatu negara yang dikunjunginya.
Mengenai persamaan ini, berkembang suatu pengertian bahwa persamaan bukan hanya menyangkut dengan seberapa jauh konstribusi warga negara terhadap negara atau sifat dari kontribusi tersebut, akan tetapi juga telah berkembang konsep persamaan dalam hal kemampuan, atau besar kecilnya halangan yang dialami oleh warga negara dalam memberikan konstribusinya. Orang-orang yang tidak mempunyai modal, tidak berpendidikan, cacat tubuh dan sebagainya yang tetap menjadi warga negara harus mendapat jaminan dalam keadilan distributif untuk memperoleh bagian, minimal dapat memberikan kesejahteraan hidup baginya dan keluarganya. Hal ini merupakan bagian dari prinsip hak asasi manusia yang telah memperoleh pengakuan internasional. Dalam hal yang demikian tentu saja konsep persamaan itu diartikan dalam bentuk yang proporsional, karena tidak mungkin diberikan hak-hak yang secara aritmatik sama mengingat kontribusinya berbeda. Keadilan komutatif bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum, sebab disini dituntut adanya kesamaan dan yang dinilai adil ialah apabila setiap orang dinilai sama oleh karena itu sifatnya mutlak.
Dari konstruksi konsep keadilan Aristoteles tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa keadilan distributif merupakan tugas dari pemerintah kepada warganya untuk menentukan apa yang dapat dituntut oleh warga negara dalam negaranya. Konstruksi keadilan yang demikian ini membebankan kewajiban bagi pembentuk Undang-undang untuk memperhatikannya dalam merumuskan konsep keadilan kedalam suatu Undang-undang.
Secara teoritis konsep keadilan Plato berdasar pada aliran filsafat idealisme, sedangkan konsep keadilan Aristoteles bertolak dari aliran filsafat realisme. Filsafat Plato mendasarkan diri pada alam ide yang bersifat mutlak dan abadi. Landasan filsafatnya ialah percaya dan menerima sepenuhnya alam nyata sebagai obyektifitas. Dalam pandangan filsafat ini alam nyata diterima sepenuhnya sebagai suatu totalitas yang menjadi sumber dari segala apa yang ada[4]. Alam nyata tersusun dan bertalian secara hirarkis serta membentuk suatu totalitas yang di dalamnya makna dan ketertiban dapat dicapai manusia melalui akal pikirannya. Akal merupakan alat untuk mengetahui dan pengetahuan tersebut memberikan norma-norma mengenai baik buruk yang berguna untuk manusia, seperti dikatakan oleh Plato keadilan ialah susunan ketertiban dari orang-orang yang menguasai diri sendiri[5]. Sebaliknya Aristoteles menekankan filsafatnya pada kesadaran, maksudnya dalam pandangan Aristoteles titik sentralnya adalah kesadaran yang ada pada subyek yang berpikir.
Gagasan Plato tentang keadilan ditransformasikan oleh Agustinus menjadi suatu konsepsi yang religius. Bagi Agustinus hakekat keadilan ialah adanya relasi yang tepat dan benar antara manusia dengan Tuhan, oleh sebab itu keadilan adalah suatu yang paling hakiki dalam bernegara dan keadilan itu hanya dapat terlaksana dalam kerajaan Ilahi yang merupakan gudang dari keadilan. Tuhan adalah sumber keadilan yang sesungguhnya, oleh sebab itu apabila seseorang memiliki hubungan yang baik dan benar dengan Tuhan maka ia akan dipenuhi oleh kebenaran dan keadilan.
Konsep keadilan yang bersifat religius dari Agustinus kemudian diperluas oleh Thomas Aquinas. Jika dalam konsepsi Agustinus keadilan hanya diperoleh dalam kerajaan Ilalhi yang perwujudannya di muka bumi dijalankan oleh Gereja, maka Thomas Aquinas mengakui adanya persekutuan lain di samping gereja yang bertugas memajukan keadilan yakni negara. Oleh karena itu Thomas Aquinas membedakan keadilan kepada keadilan Ilahi dan keadilan manusiawi, namun tidak boleh ada pertentangan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan duniawi. Dengan demikian konsep keadilan yang ditetapkan oleh ajaran agama, sepenuhnya sesuai dengan suara akal manusia sebagaimana terdapat dalam hukum alam. Jadi sahnya hukum selalu digantungkan pada kesesuaiannya dengan hukum atau keadilan alamiah. Sedangkan definisi yang diberikan pada keadilan berbunyi “justitia est contstans et perpetua voluntas jus suum cuique tribuendi” (keadilan adalah kecenderungan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya). Konsep justitia ini kemudian dianggap sebagai sifat pembawaan atau sudah dengan sendirinya melekat pada setiap hukum.
Konsep Keadilan Menurut Pemikiran Modern
Konsep keadilan pada jaman modern diwarnai dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran tentang kebebasan, antara lain munculnya aliran liberalisme yaitu suatu aliran yang tumbuh di dunia barat pada awal abab ke-XVII Masehi. Aliran ini mendasarkan diri pada nilai-nilai dalam ajaran etika dari mazhab Stoa khususnya individualisme, sanksi moral dan penggunaan akal. Dalam bidang politik dianut konsepsi tentang pemerintahan demokrasi yang dapat menjamin tercapainya kebebasan. Tradisi liberalisme sangat menekankan kemerdekaan individu. Istilah liberalisme erat kaitannya dengan kebebasan, titik tolak pada kebebasan merupakan garis utama dalam semua pemikiran liberal[6].
Dalam konteks kebebasan tersebut, di dalam konsepsi liberalisme terkandung cita toleransi dan kebebasan hati nurani. Bagi kaum liberalis keadilan adalah ketertiban dari kebebasan atau bahkan realisasi dari kebebasan itu sendiri. Teori keadilan kaum liberalis dibangun di atas dua keyakinan. Pertama, manusia menurut sifat dasarnya adalah makhluk moral. Kedua, ada aturan-aturan yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkan dirinya sebagai pelaku moral. Berdasarkan hal ini keadilan dipahami sebagai suatu ketertiban rasional yang di dalamnya hukum alamiah ditaati dan sifat dasar manusia diwujudkan.
Berbeda dengan kaum liberal, penganut utilitarianisme menolak digunakannya ide hukum alam dan suara akal dalam teori mereka. Konsep keadilan pada aliran ini didasarkan pada asas kemanfaatan dan kepentingan manusia. Keadilan mempunyai ciri sebagai suatu kebajikan yang sepenuhnya ditentukan oleh kemanfaatannya, yaitu kemampuannya menghasilkan kesenangan yang terbesar bagi orang banyak.
Teori ini dikritik oleh anti utilitarianisme yang dipelopori oleh Dworkin dan Nozick. Menurut mereka utilitarianisme yang memperioritaskan kesejahteraan mayoritas, menyebabkan minoritas atau individu-individu yang prefensinya tidak diwakili oleh mayoritas di dalam suatu negara akan dihiraukan dan sebagai akibatnya mereka dirugikan atau kehilangan hak-haknya[7]. Bagi penentang utilitrian, keadilan menolak argumen yang menyatakan bahwa hilangnya kebebasan sebagian orang dapat dibenarkan atas asas manfaat yang lebih besar yang dinikmati oleh orang-orang lain. Oleh karena itu dalam suatu masyarakat yang adil, kebebasan warganegara yang sederajat tetap tidak berubah, hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik ataupun pada pertimbangan kepentingan sosial[8].
Kritik Nozick terhadap utilitarianisme adalah bahwa utilitarianisme mengorbankan kebebasan individu untuk kepentingan mayoritas, utilitarianesme tidak mempertimbangkan fakta bahwa kehidupan seorang individu adalah satu-satunya kehidupan yang ia miliki. Kritik ini didasarkan pada pandangan politik yang dianut Nozick yang menuntut suatu komitmen ontologis terhadap moralitas dan organisasi sosial tertentu yang disebutnya dengan negara minimalis. Menurutnya negara minimalis ini bukan hanya berdasarkan pada ajaran-ajaran moral tertentu, akan tetapi negara itu juga merupakan ajaran moral. Oleh karena itu apabila memiliki negara yang fungsinya lebih luas dan tidak terbatas hanya sebagai penjaga malam, serta mengutamakan kepentingan mayoritas, berarti mencabut terlalu banyak kebebasan warga negara, hal itu bertentangan dengan moral dan keadilan.
Menurut Hampstead[9] serangan Nozick terutama ditujukan kepada rumus bahwa negara diperlukan atau merupakan alat terbaik untuk melakukan keadilan distributif. Terhadap ini Nozick mengatakan bahwa bila tiap orang memegang atau mempertahankan haknya yang diperoleh dengan sah, maka secara total distribusi dari hak-hak itu juga adil. Dalam keadaan yang demikian sudah barang tentu tidak ada tempat bagi negara melakukan campur tangan, apalagi memberi rumusan-rumusan atau prinsip-prinsip yang harus dianut dalam distribusi hak diantara warga negara. Negara cukup berfungsi sebagai penjaga malam, penjaga terhadap usaha pencurian dan menjaga hal-hal lain yang berhubungan dengan tindakan untuk mempertahankan hak-hak warga negara.
Kelemahan teori Nozick yang kental dengan warna indivudualistik dan liberal ini terletak dalam penerapannya, yaitu sangat sulit untuk melakukan kontrol baik dalam mengontrol negara minimilis maupun dalam kegiatan masyarakat. Artinya bagaimana mengontrol para individu yang sekian banyak dalam suatu negara dan bagaimana mengontrol kegiatan para individu di dalam berbagai lapangan usaha. Ini semua tidak bisa diserahkan kepada kekuatan pasar dan kehendak para individu semata-mata. Teori Nozick tersebut juga kurang realistis karena memisahkan individu dari kondisi masyarakat masa kini dengan kondisi kapitalisme dan liberalisme yang sudah sangat berubah.
Dalam konteks pemikiran modern tentangkeadilan dalam kamus Bahasa Indonesia istilah keadilan berasal darik kata adil, artinya tidak memihak, sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Jadi keadilan diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang adil. Di dalam literatur Inggris istilah keadilan disebut dengan “justice” kata dasarnya “jus”. Perkataan “jus” berarti hukum atau hak. Dengan demikian salah satu pengertian dari “justice” adalah hukum.
Dari makna keadilan sebagai hukum, kemudian berkembang arti dari kata “justice” sebagai “lawfullness” yaitu keabsahan menurut hukum. Pengertian lain yang melekat pada keadilan dalam makna yang lebih luas adalah “fairness” yang sepadan dengan kelayakan. Ciri adil dalam arti layak atau pantas, dapat dilihat dari istilah-istilah yang digunakan dalam ilmu hukum. Misalnya “priciple of fair play” yang merupakan salah satu asas-asas umum pemerintahan yang baik, “fair wage” diartikan sebagai upah yang layak yang sering ditemui dalam istilah hukum ketenagakerjaan. Hal yang sama dikemukakan dalam konsep keadilan Aristoteles yang disebutnya dengan “fairness in human action”, Keadilan adalah kelayakan dalam tindakan manusia.
Bertolak dari peristilahan di atas, di dalam literatur ilmu hukum konsep keadilan mempunyai banyak pengertian sesuai dengan teori-teori dan pengertian tentang keadilan yang dikemukakan para ahli. Telaah pustaka menunjukkan bahwa masalah keadilan sejak dahulu telah menjadi bahan kajian baik dikalangan ahli filsafat maupun dikalangan agamawan, politikus maupun para pemikir atau ahli hukum sendiri. Akan tetapi sampai saat ini apabila timbul pertanyaan tetang keadilan, misalnya apa itu keadilan? Ukuran apa yang digunakan untuk menentukan sesuatu itu adil atau tidak? Akan timbul berbagai jawaban dan jawaban itu biasanya tidak pernah atau jarang memuaskan sehingga terus menjadi perdebatan, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berbagai rumusan mengenai keadialn merupakan rumusan yang relatif. Persoalan ini pada akhirnya mendorong banyak kalangan untuk mengambil jalan pintas dengan menyerahkan perumusan keadilan kepada pembentuk undang-undang yang akan merumuskannya berdasarkan pertimbangan mereka sendiri.
Dari sekian banyak pengertian dan teori-teori yang dikemukakan para ahli, pada umumnya menyangkut mengenai hak dan kebebasan, peluang dan kekuasaan pendapat dan kemakmuran. Berbagai definisi keadilan yang menunjuk pada hal di atas antara lain dapat dilihat dari pengertian keadilan sebagai:[10]
- “the constant and perpetual disposition to render every man his due”;
- “the end of civil society;
- “the right to obtain a hearing and decision by a court which is free of prejudice and improper influence”;
- “all recognized equitable rights as well as technical legal right”;
- “the dictate of right according to the consent of mankind generally”;
- “conformity with the principle of integrity, rectitude and just dealing”;
Pengertian yang sama dikemukakan oleh Rudolph Heimanson yang mendefinisikan keadilan sebagai: redressing a wrong, finding a balance between legitimate but conflicting interest”[11].
Definisi ini menggambarkan bahwa nilai keadilan melekat pada tujuan hukum. Ide keadilan dicerminkan oleh keputusan yang menentang dilakukannya hukuman yang kejam, melarang penghukuman untuk kedua kalinya terhadap kesalahan yang sama. Menolak diterapkannya peraturan hukum yang menjatuhkan pidana terhadap tindakan yang dilakukan sebelum ada peraturan yang mengaturnya, menolak pembentukan undang-undang yang menghapus hak-hak dan harta benda seseorang. Teori lain yang menyatakan bahwa keadilan melekat pada tujuan hukum dikemukakan oleh Tourtoulon[12] yang dengan tegas menyatakan “lex injusta non est lex” yaitu hukum yang tidak adil bukanlah hukum. sebaliknya ide keadilan itu menuntut pemberian kepada setiap orang hak perlindungan dan pembelaan diri.
Pada dasarnya makna dari suatu pengertian atau definisi keadilan berupaya memberi pemahaman untuk mengenal apa itu keadilan. Dari definisi tersebut akan diketahui ciri-ciri suatu gejala yang memberi identitas atau tanda tentang keadilan. Akan tetapi tugas untuk menjelaskan apa itu keadilan? Sifat dasar dan asal mula keadilan, atau mengapa suatu gejala tertentu disebut keadilan bukan merupakan tugas definisi keadilan, melainkan hanya dapat diterangkan dengan bantuan teori keadilan.
No comments:
Post a Comment