Pengertian Kemandirian
Kehidupan manusia saat ini semakin dihadapkan dengan permasalahan kompleks. Keadaan ini menuntut setiap individu untuk mampu memecahkan permasalahan yang dihadapi tanpa harus tergantung dengan orang lain dan berani menentukan sikap yang tepat. Salah satu aspek penting yang diperlukan adalah mandiri dalam bersikap dan bertindak.
Walgito (1993) menyatakan bahwa perkembangan sifat mandiri adalah satu hal penting dalam perkembangan anak remaja yang dipengaruhi oleh pembentukan kepercayaan diri. Kepercayaan diri ini selanjutnya merupakan dasar bagi perkembangan sikap yang lain seperti halnya sikap kreatif dan tanggung jawab. Sejalan dengan pernyataan ini adalah pendapat Misiak dan Sexton (Hadipranata dkk., 2000) bahwa hal-hal yang ikut mendukung seseorang disebut mandiri adalah mereka yang mempunyai kepercayaan diri, yakin akan kemampuannya dan tidak suka meminta bantuan pada pihak lain.
Menurut Basri (1995) kemandirian berasal dari kata "mandiri", yang dalam bahasa Jawa berarti berdiri sendiri. Basri (1995) menyatakan bahwa dalam arti psikologi, kemandirian mempunyai pengertian sebagai keadaan seseorang dalam kehidupannya yang mampu memutuskan atau mengeijakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Kemampuan tersebut hanya akan diperoleh jika seseorang mampu untuk memikirkan secara seksama tentang sesuatu yang dikeijakannya dan diputuskannya, baik dari segi manfaat atau kerugian yang akan dialaminya.
Siswoyo (Zakiyah, 2000) mendefinisikan kemandirian sebagai suatu karakteristik individu yang mengaktualisasikan dirinya, menjadi dirinya seoptimal murtgkin, dan ketergantungan pada tingkat yang relatif kecil. Orang-orang yang demikian relatif bebas dari lingkungan fisik dan sosialnya. Meskipun mereka tergantung pada lingkungan untuk memuaskan kebutuhan dasar, sekali kebutuhan
terpenuhi mereka bebas untuk melakukan caranya sendiri dan mengembangkan potensinya.
Widjaja (Hadipranata, 2000) menyatakan bahwa ada hubungan negatif dan bermakna antara kepercayaan diri dengan mencari bantuan kepada pihak lain.
Jadi, seseorang yang berkepribadian diri kuat berarti tinggi tingkat kemandiriannya dan sebaliknya, seseorang yang berkepribadian diri lemah, berarti tingkat kemandiriannya rendah. Penjelasan lebih lanjut mengenai pendapat ini adalah uraian dari beberapa tokoh psikologi pertumbuhan, seperti Maslow, Rogers, Allport (1995) dan beberapa tokoh dalam psikologi kepribadian, seperti Murray dan Adler (1993).
Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang yang berkepribadian diri kuat mempunyai beberapa ciri, yaitu :
- Mempunyai keinginan untuk berprestasi,
- Mempunyai keinginan untuk bebas dan mandiri,
- Mempunyai keinginan untuk berafiliasi,
- Mampu berempati dengan baik, dan
- Mempunyai rasa tanggung jawab.
Sedangkan seseorang yang berkepribadian diri lemah mempunyai ciri-ciri yang berlawanan atau kualitas yang lebih rendah dari ciri-ciri yang tersebut diatas.
Setiap manusia mempunyai bentuk dan kualitas kepribadian yang berbeda. Schaefer (1996) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kepribadian dapat dibagi menjadi dua, yaitu hereditas (nature) dan alam sekitar (nurture). Anak yang dilahirkan sudah mempunyai hereditas tertentu, selanjutnya alam sekitar, termasuk disini adalah orang tua dan masyarakat yang secara langsung atau tidak akan berperan mempengaruhi pembentukan kepribadian.
Bigner (Hadipranata, 2000) mengungkapkan bahwa faktor hubungan anak dengan orang tua mempunyai peran penting sebagai peletak dasar bagi pembentukan kepribadian, termasuk kemandirian, percaya diri dan beberapa yang lain. Sejalan dengan hal tersebut adalah hasil penelitian dari Thomas dan Chess (Masrun dkk., 1986), bahwa temperamen dasar anak-anak dapat terbentuk dari pola interaksi dengan orang tua dan keluarganya. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh juga pada perkembangan kepribadian anak.
Seorang tokoh psikologi perkembangan, Havighurst (1992) menguraikan tentang tugas-tugas perkembangan remaja yang dapat dikatakan bersifat universal.
Alasannya adalah dialami oleh setiap individu dalam tahap-tahap perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan remaja tersebut lebih banyak mengandung aspek-aspek kemandirian. Aspek-aspek tersebut adalah :
- Percaya pada diri sendiri,
- Tidak mudah terpengaruh,
- Tegas dalam bertindak,
- Tenentukan sikap sendiri, dan
- Gigih dalam menghadapi dan menyelesaikan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah salah satu hal yang dituju dalam perkembangan hidup manusia. Kemandirian didefinisikan sebagai keinginan untuk merasa bebas, berbuat sesuatu atas dorongan sendiri, merasa yakin akan kemampuannya, mampu mengatasi masalah, memutuskan atau mengeijakan sesuatu tanpa bantuan orang lain. Sikap mandiri ini dapat terbentuk dari pola interaksi anak dengan orang tua dan keluarganya, sebagai pondasi awal. Sikap mandiri ini perlu diarahkan pada hal-hal yang positif, misalnya untuk melaksanakan tugas sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Ciri-ciri Kemandirian
Danuri (Zakiyah, 2000) menyatakan bahwa seseorang dikatakan mandiri apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Adanya tendensi untuk berperilaku bebas dan berinisiatif, mampu bersikap dan berpendapat.
- Adanya tendensi untuk percaya diri dan tidak tergantung pada orang lain.
- Adanya sikap original (keaslian) yang bukan sekedar menerima orang lain.
- Tidak mengharapkan pengarahan dari orang lain.
- Adanya tendensi untuk mencoba segala sesuatunya sendiri
Suyoto dkk. (Zakiyah, 2000) mengungkapkan bahwa anak dikatakan mandiri apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
- Menemukan dirinya atau identitas dirinya.
- Memiliki inisiatif.
- Bertanggung jawab atas tindakannya.
- Mencukupi kebutuhan dirinya.
- Mampu membebaskan diri dari keterikatan yang tidak perlu.
- Membuat pertimbangan-pertimbangan sendiri dalam bertindak.
- Mampu mengambil keputusan sendiri dalam bentuk kemampuan memilih.
Kemandirian sebagai salah satu unsur dalam kepribadian, menurut Masrun (Zakiyah, 2000) dapat dicirikan sebagai pribadi yang memiliki ciri-ciri:
- Bebas,
- Progresif dan ulet,
- Inisiatif,
- Pengendalian dari dalam (internal locus of control), dan
- Kemantapan diri.
Kemandirian ini oleh Zakiyah (2000) dicirikan sebagai pribadi yang mempunyai beberapa ciri, yaitu :
a. Memiliki kebebasan untuk berinisiatif.
Mempunyai kebebasan untuk berpendapat dan menuangkan ide-ide baru serta mencoba sesuatu hal baru yang mungkin belum dilakukan orang lain.
b. Memiliki rasa percaya diri.
Memiliki kepercayaan diri bahwa segala masalah yang dihadapi mampu untuk diatasi dan tidak mempunyai perasaan ragu-ragu dalam mempertimbangkan sesuatu.
c. Mampu mengambil keputusan.
Berusaha mengambil keputusan sendiri dalam mengatasi masalah yang dihadapi tanpa bergantung orang lain.
d. Mampu bertanggung jawab.
Segala hal yang dikeijakan dapat dipertanggungjawabkan pada diri sendiri dan orang lain.
e. Mampu mengendalikan diri.
Mampu untuk mengendalikan diri dalam melakukan suatu tindakan dan apabila melakukan suatu kesalahan akan cepat menyadarinya.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dapat disimpulkan mengenai rincian aspek-aspek kemandirian, yaitu :
- Kemampuan mengambil inisiatif,
- Kemampuan mengeijakan sendiri tugas-tugas rutin,
- Kemampuan mengatasi rintangan dari lingkungan,
- Kemampuan mendapatkan kepuasan dari bekeija,
- Kemampuan mengarahkan tingkah laku menuju kesempurnaan, dan
- Kemampuan menetapkan sendiri keinginan dan tujuannya.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian
Terbentuknya kemandirian ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor kodrati dan faktor dari lingkungan (Masrun dkk., 1986).
a. Faktor-faktor Kodrati
1). Urutan Kelahiran
Pengaruh dari urutan kelahiran ini, sebenaraya lebih pada perbedaan perlakuan orang tua dan saudara yang diterima oleh masing-masing anak, demikian pula harapan-harapan yang diberikan terhadap mereka (Hurlock, 1999).
Posisi kelahiran sebagai anak pertama memungkinkan baginya untuk mempunyai hubungan dengan orang tua yang lebih dekat dibandingkan saudara-saudara yang lahir kemudian (Hurlock Susilowati, 1988). Penyebab dari kondisi ini dapat dijelaskan dengan teori Adler (1993) tentang urutan kelahiran (birth order), bahwa anak tertua dengan posisi bertahan, anak nomor dua dan seterusnya dengan tuntutan untuk dapat menduduki posisi kakaknya, sedangkan anak bungsu dihadapkan pada masalah bagaimana ia memperoleh perhatian orang tua disaat peluangnya lebih kecil dibandingkan dengan kakak-kakaknya. Sebagai akibatnya, bagi anak sulung yang berhasil menyesuaikan dirinya sebagai kakak, ia akan tumbuh sebagai pribadi yang mandiri, sedangkan apabila gagal akan cenderung tumbuh menjadi pribadi yang kurang mandiri.
2). Jenis
Sebenarnya, sejak masih bayi anak tidak mendapatkan perlakuan yang berbeda dalam hal latihan kemandirian, antara bayi laki-laki dan perempuan.
Conger (Susilowati, 1988) menyatakan bahwa saat menginjak usia 4-5 tahun dan berlanjut hingga masa remaja, terdapat suatu pola yang menuntut anak wanita lebih berlaku merawat dan patuh, sedangkan anak laki-laki dituntut untuk lebih percaya diri dan lebih mengutamakan prestasi Monks (Susilowati, 1988) menyatakan bahwa dalam hasil penelitiannya disebutkan, untuk situasi di Indonesia, terutama di Jawa, anak wanita diharapkan untuk lebih mencintai rumah dan keluarganya. Agama Islam, dalam hal ini telah menerangkan bahwa pada dasarnya Allah memberikan potensi yang sama pada manusia, baik laki-laki maupun perempuan (Ulwan, 1988).
Selanjutnya potensi ini akan berkembang karena pengaruh peran yang berbeda antara lakilaki dengan perempuan. Ulwan (1988) menyatakan bahwa sosok laki-laki adalah penanggung jawab utama dalam pemenuhan nafkah keluarga, sehingga ia dituntut dari awal perkembangannya untuk tumbuh menjadi sosokyang mampu berdiri sendiri untuk kesiapan melaksanakan perannya nanti.
Berbeda halnya dengan sosok wanita, dengan perangainya yang lembut, nantinya bertanggung jawab terhadap anak dan urusan rumah tangga dituntut untuk pandai merawat rumah dan patuh pada suaminya. Untuk pemenuhan nafkah, peran wanita (istri) hanya sebagai penambah nafkah ketika kondisi memang menuntutnya. Hal ini tidak menuntut kemungkinan seorang wanita untuk tetap belajar mengembangkan sikap mandiri dalam segala aspek kehidupannya.
3). Umur
Sutton (dalam Susilowati, 1988) menyebutkan bahwa dengan bertambahnya umur serta lewat proses belajar orang semakin tidak tergantung dan mampu secara mandiri menentukan hidupnya. Hal ini teijadi karena anak-anak yang muda lebih tunduk pada pengawasan orang tua dan pengawasan ini akan berangsur-angsur berkurang sejalan dengan bertambahnya usia. Menurut Jung (Lina dan Rosyid, 1997) locus of control internal dicirikan dengan seseorang yang mempunyai keyakinan bahwa individu sendirilah yang bertanggung jawab atas kesuksesan atau kegagalan yang dialaminya. Karakteristik ini sejalan dengan indikasi orang yang mandiri, yaitu yakin akan kemampuan dirinya untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
Faktor-faktor dari Lingkungan
1). Tingkat Demokratik Orang Tua
Blair dan Burton (Masrun dkk., 1986) menyatakan bahwa peran keluarga, terutama orang tua yang demokratik akan memberi kesempatan kepada anak-anaknya untuk bergabung dengan aktivitas sebayanya, tanpa kehilangan rasa aman dan teijamin di rumahnya. Hal ini akan mendukung terbentuknya anak yang mandiri.
Sebuah penelitian yang dilaksanakan oleh Mulyati (1997) memperoleh beberapa hasil, diantaranya adalah pola asuh demokratik mampu memberikan sumbangan terhadap kompetensi interpersonal anak. Kompetensi interpersonal ini oleh Buhrmester dkk. (Mulyati, 1997) dibagi menjadi lima aspek, yaitu : inisiatif, keterbukaan (self-disclosure), asertivitas, dukungan emosional (emosional support) dan pengatasan konflik. Kelima aspek ini diharapkan dapat berfiingsi secara aktif dan mendukung individu untuk mandiri.
2). Kebudayaan
Lingkungan budaya seseorang berpengaruh terhadap tingkat kemandiriannya. Menurut Nuryoto (1992) lingkungan budaya diartikan sebagai lingkungan tempat hidup sehari-hari, dengan tradisi, kebiasaan, gaya hidup tertentu dan beragam untuk tiap daerah. Dicontohkan oleh Nuryoto (1992) dengan gambaran yang berbeda antara kehidupan remaja di kota yang lebih kompleks, lebih dinamis dan mobilitasnya lebih tinggi dibandingkan remaja di desa yang bersifat agraris, tenang dan mobilitas
penduduk tidak terlalu tinggi. Berdasarkan contoh tersebut terlihat bahwa gaya hidup dan kebutuhan hidup remaja di kota dengan di desa berbeda. Hal ini adalah gambaran tentang perbedaan budaya yang akan mempengaruhi tingkah laku anggota masyarakatnya dan akan berpengaruh juga pada tingkat kemandirian individu. Menurut Monks (Susilowati, 1988), lingkungan budaya ini selanjutnya akan memberikan pola-pola latihan kemandirian yang tertentu, yang akhirnya ikut berperan membentuk generasi berikutnya.
3). Pendidikan
Pendidikan yang dimaksud adalah lingkungan pendidikan seseorang, baik di sekolah sebagai pendidikan formal, maupun di keluarga sebagai pendidikan non formal (Wahjuningsih, 1994). Faktor pendidikan ini mengandung pengertian bahwa penting sekali peran serta yang aktif dari guru dan orang tua dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai pada seseorang. Nilai-nilai, menurut Schaefer (1996) akan membantu membentuk kepribadian seseorang. Termasuk didalamnya adalah sikap kreatif, peduli, menghargai dan juga mandiri.
Pelaksanaan pendidikan di keluarga ini berkaitan erat dengan berbagai kemungkinan yang dihadapi, misalnya keberadaan keluarga dengan satu orang tua dan keluarga dengan orang tua lengkap. Faktor pendidikan ini yang kemudian digunakan sebagai salah satu faktor yang ikut mempengaruhi terbentuknya sikap mandiri seseorang.
4). Pekeijaan
Flippo (Masrun dkk., 1986) menyatakan bahwa orang cenderung tidak mandiri bila dihadapkan pada situasi keija yang tidak sesuai dengan kebutuhan dirinya, maka ia cenderung akan mencari pekeijaan lain yang lebih ada kebebasan dan kemandirian. Centers (Masrun dkk., 1986) menyatakan bahwa yang membuat orang puas dengan pekerjaannya antara lain adalah kesesuaian dengan minatnya, prestis yang melekat pada pekeijaan, kreativitas yang dituntut dalam keijanya, serta kebebasan dan kemandirian.
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas adalah terlihat begitu pentingnya peran kemandirian bagi seseorang, terutama dalam menghadapi kehidupan yang semakin kompleks.Terbentuknya kemandirian ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Masrun dkk. (1986) membagi faktorfaktor tersebut menjadi dua, yaitu faktor kodrati dan faktor lingkungan. Faktor-faktor kodrati dapat diuraikan menjadi tiga, yaitu : urutan kelahiran, dan umur. Sedangkan faktor-faktor dari lingkungan dapat diuraikan menjadi empat, yaitu : tingkat demokratik orang tua, kebudayaan, pendidikan dan pekeijaan.
Pendidikan, sebagai salah satu faktor yang berasal dari lingkungan dapat dibagi menjadi dua, yaitu pendidikan formal (dari sekolah) dan pendidikan non formal (keluarga dan masyarakat). Ghozali (2001) menganggap penting arti keluarga sebagai pendidikan non formal dan ikut mempengaruhi terbentuk dan berkembangnya kemandirian ini. Alasannya adalah keluarga sebagai peletak dasar terbentuknya kepribadian anak yang kemudian akan dipengaruhi juga dengan berbagai kemungkinan peristiwa atau pengalaman hidup yang teijadi didalamnya akan ikut mewarnai kepribadian ini, seperti pernyataan Robinson dan Shaver (Masrun dkk 1986).
Achir (1992) menyatakan bahwa berbagai kemungkinan peristiwa atau pengalaman hidup dapat bersifat positif, negatif, menyenangkan atau menyedihkan. Dalam tiap keluarga berbagai kemungkinan ini dapat bervariasi bentuknya. Contohnya adalah kematian, kelahiran, sakit, perceraian, perpisahan, pertemuan dan lain sebagainya. Kelengkapan orang tua yang akan diteliti lebih lanjut adalah keluarga dengan satu orang tua dan keluarga dengan orang tua lengkap. Pengertian keluarga dengan satu orang tua, oleh Scaar (Indati, 1996) dan Helmi (2000) adalah keluarga yang pengasuhan anak-anaknya dilakukan oleh salah satu orang tua, ayah atau ibu, atau saudara lainnya. Sedangkan pengertian keluarga dengan orang tua lengkap adalah keluarga yang pengasuhan anak-anaknya dilakukan oleh kedua orang tua.
4. Perkembangan Kemandirian
Berdiri diatas kaki sendiri; otonom; mandiri oleh Schaefer (1996) didefinisikan sebagai keinginan untuk menguasai dan mengendalikan tindakan tindakan sendiri dan bebas dari pengendalian luar. Schaefer (1996) menyebutkan tujuan dari sikap mandiri yaitu untuk menjadi seorang manusia yang dapat mengatur diri sendiri, dapat mengambil inisiatif, dan mengatasi permasalahannya.
Tujuan tersebut dapat dicapai jika seorang anak diberi makin banyak kesempatan menjelajahi dan mencoba berbagai hal dalam batas-batas tertentu sesuai dengan kemampuannya.
Menurut Schaefer (1996), proses otonom yang bertahap ini disebut juga "hukum struktur yang berkurang". Mengacu dari diagram di atas dan dari hukum tersebut dapat dijelaskan bahwa :
- Dalam keadaan seorang anak tumbuh makin besar, orang tua semakin sedikit mewajibkan aturan-aturan dan pembatasan-pembatasan.
- Pendekatan yang lebih layak dilakukan adalah memperbesar tingkat mandiri anak-anak dengan bertahap, dengan tetap memberi kebebasan dan ketidaktergantungan yang lebih besar.
Sebagai contoh, anak haruslah secara normal diberikan kebebasan yang bertahap sesuai dengan umur untuk mengurus dan mengatasi masalah mereka sendiri, umpamanya mengurus barang pribadinya, menggunakan waktu luangnya, cara berpakaian dan lain sebagainya.
Menurut Rheingold dan Eckerman (Masrun dkk., 1986) perkembangan kemandirian ini diawali dengan kemampuan bayi untuk bergerak dan memisahkan dirinya dengan ibunya. Pemisahan ini sebagai suatu peristiwa psikologis yang sangat penting, sebab memberikan kesempatan luas bagi bayi untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Hal tersebut adalah suatu gambaran yang secara alami teijadi. Apabila hal ini beijalan dengan tidak alami, akan menimbulkan kecemasan yang diakibatkan oleh pemisahan tersebut (.separation anxiety).
Johnson dan Medinnus (Susilowati, 1988) menyebutkan bahwa kemandirian seorang anak merupakan tanda rasa aman yang ia miliki. Anak yang kekurangan kehangatan dan afeksi yang cukup memuaskan dari orangtuanya membuat anak kurang mampu membangun kemandirian emosi (emotional independency).
Martin dan Stedler (Masrun dkk., 1986) menyebutkan bahwa kebutuhan akan persetujuan dari orang tua {parental approval) akan memotivasi sebagian anak untuk bertingkah laku mandiri. Hal tersebut dapat dicontohkan dengan seorang bayi yang bisa memegang botol sendiri, kemudian orang tuanya memberikan reward berupa pujian, seperti " wah, sekarang Adik pintar ya, dapat memegang botol sendiri !". Ungkapan ini dapat menyebabkan anak tersebut berkeinginan untuk mengulanginya lagi.
Memasuki usia 2-3 tahun anak biasanya menunjukkan perilaku menentang. Menurut Watson dan Lindgren (Masrun dkk., 1986) perilaku menentang tersebut menunjukkan bahwa anak mulai sadar akan "aku" nya, kemudian ia akan melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya atau dengan kata lain ia mulai belajar mandiri. Pada umur ini anak juga mulai belajar untuk menyesuaikan ketergantungannya dan kemandiriannya.
Heather (Susilowati, 1988) menyatakan bahwa tahap demi tahap dilalui, hingga anak memasuki masa remaja. Pada masa ini mereka dituntut untuk dapat melaksanakan beberapa tugas perkembangan, diantaranya adalah dapat membangun hubungan dengan teman sebaya dan dapat melaksanakan peran
jenisnya. Pada tahap ini anak sudah bersikap mandiri dalam perlindungan orang tuanya, dimana sikap mandiri ini merupakan salah satu tugas pokok yang harus dipenuhi dalam tahap perkembangan remaja. Sikap mandiri ini akan meningkat sejalan dengan bertambahnya usia seseorang. Hurlock (Masrun dkk., 1986) berpendapat bahwa keinginan untuk mandiri yang tampak ringan pada masa kanak-kanak akan berubah menjadi suatu minat pribadi (personal interest) yang mendesak dan akan berlanjut hingga masa remaja akhir. Hal ini didukung oleh pernyataan Nuryoto (1992), bahwa kemandirian merupakan salah satu kemampuan psikologis yang seharusnya sudah dimiliki sempurna oleh remaja akhir. Kemandirian remaja, menurut Nuryoto (1992) akan tercapai bila terlihat adanya sikap lepas dari orang tua, bebas menentukan sendiri sikapnya, tidak mudah terpengaruh, konsekuen terhadap kata-kata dan tindakannya serta tidak kekanak-kanakan.
Manifestasi dari keinginan untuk mandiri kadang berbentuk menentang dan radikal (Blair dan Burto Susilowati, 1988). Bentuk manifestasi dari keinginan untuk mandiri yang kadang menentang dan radikal ini banyak terlihat dalam fenomena sekarang. Contohnya adalah beberapa remaja yang belum berhak menggunakan sepeda motor atau belum berumur 17 tahun keatas kadang nekad melanggarnya dan sebagai akibatnya ada yang sampai terkena tilang dan bahkan ketika nasib buruk teijadi, kecelakaan misalnya, maka mereka dapat disalahkan dan membuat repot orang tuanya.
Dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kemandirian adalah salah satu aspek kepribadian yang penting artinya untuk mendukung keberhasilan individu dalam melaksanakan tugas sehari-hari. Setiap individu mengalami perkembangan kemandirian ini secara bertahap, sejak lahir dan diharapkan terbentuk sempurna pada masa remaja akhir.
No comments:
Post a Comment