Jenis-Jenis Sastra Jawa Modern Berdasarkan Bentuknya
Seperti
telah disinggung di atas, karya sastra berdasarkan bentuknya, secara
sederhana dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yakni karya sastra prosa,
puisi dan drama. Sesungguhnya klasifikasi berdasarkan bentuknya semacam
ini hanyalah sekedar mempermudah pembatasan pembicaraanya agar kerangka
berpikirnya tidak terlalu luas. Pada kenyataan di lapangan, ditemukan
karya-karya yang berada di antara dua jenis atau bahkan di antara tiga
jenis. Hal itu perlu disampaikan di sini agar jangan sampai mengarahkan
pada cara berpikir yang kaku bertumpu pada pola-pola jenis tertentu,
mengingat pemaknaan karya sastra dapat dilakukan dari berbagai sudut
pandang.
Dengan
demikian secara sederhana, berdasarkan bentuk penulisannya, sastra Jawa
modern juga dapat diklasifikasikan ke dalam jenis prosa, puisi dan
drama.
Jenis
prosa dalam bahasa Jawa sering disebut gancaran. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa jenis ini bercirikan penekanannya pada ceritaan atau
narasi dengan bahasa yang berupa kalimat-kalimat formal. Adapun jenis
puisi, secara sederhana bercirikan penekanannya pada diksi atau pilihan
kata, dan disajikan dengan bahasa estetis yang biasanya tertulis dalam
larik-larik Sedangkan jenis drama menekankan pada teknik lakuan dan
dialog-dialog yangmembentangkan alur.
1. Sastra Prosa Jawa Modern
Prosa,
bila klasifikasinya didasarkan pada penekanan adanya alur atau narasi,
atau dengan kata lain prosa itu identik dengan narasi, maka dalam sastra
Jawa menjadi ambigu. Hal ini dikarenakan banyak karya sastra Jawa yang
berjenis naratif tetapi disusun dalam bentuk tembang. Padahal, bentuk
tembang pada umumnya dikategorikan sebagai puisi. Sebagai contoh adalah
karya roman pewayangan banyak yang dikisahkan melalui bentuk tembang
macapat. Demikian pula sastra babad yang notabene berisi sejarah
(narasi, kisahan), juga banyak yang ditulis dalam bentuk tembang
macapat. Oleh karena itu yang dimaksud prosa di sini, dikhususkan pada
jenis sastra prosa Jawa modern yang dalam istilah Jawa sering disebut
sebagai jenis gancaran.
Jenis
gancaran ditandai dengan struktur bahasa Jawa formal konvensional yang
dari segi linguistik cenderung mempertimbangkan struktur subyek (jejer)
-predikat (wasesa)- dan obyek (lisan). Disamping itu tidak memperhatikan
berbagai aturan dalam hubungannya dengan bait-bait, baris-baris, atau
bunyi-bunyi persajakan tertentu.
Dalam
khasanah sastra Jawa banyak karya sastra yang ditulis dalam bentuk
tembang yang kemudian ditulis kembali dalam bentuk gancaran, atau
sebaliknya dari bentuk gancaran ditulis kembali dalam bentuk tembang.
Dengan demikian, dari segi isinya jenis prosa gancaran tidak banyak
berbeda dengan yang berjenis puisi. Oleh karena itu sastra prosa Jawa
modern pada dasarnya juga telah menghasilkan tema-tema yang telah
disebutkan diatas, yakni sejarah, ajaran, wiracarita (wayang dan
sebagainya), mistik, dongeng, hantu (jagading lelembut), primbon,
cerkak, novel, dan sebagainya
a. Sekilas Perkembangan Sastra Prosa Jawa Modern
Dari
sisi perkembangannya, pada mulanya bentuk-bentuk karya sastra prosa
Jawa modern relatif miskin, sebagian hasil karya prosa yang ada, nilai
susastranya dan tingkat kefiksiannya kurang. Hal ini antara lain
disebabkan sebagai berikut.
Pertama,
semula karya sastra Jawa modern pada umumnya ditulis dalam bentuk puisi
berupa tembang gedhe, tembang tengahan dan tembang macapat. Karya-karya
yang sering digolongkan dalam sastra Jawa modern atau berbahasa Jawa
baru, tetapi bersifat tradisional, adalah karya-karya dalam bentuk
tembang ini, terutama pada jenis-jenis yang berisi babad, niti, wayang,
dan suluk. Jenis-jenis ini pada abad ke-20 sudah jarang diproduksi,
bahkan relatif sedikit yang direproduksi, baik dalam bentuk cetak maupun
carik (tulisan tangan).
Kedua,
bentuk prosanya, semula atau sebelum abad ke-20-an, terbatas, seperti
halnya hasil karya primbon, jurnalistik, baik dalam bentuk laporan
perjalanan maupun biografi tokoh-tokoh tertentu atau jenis lainnya,
surat-surat pribadi dan beberapa jenis lainnya yang tidak begitu
populer.
Ketiga,
hasil karya prosanya berupa bangunan kembali dari karya sastra yang
telah ada yakni karya-karya versi prosa dari beberapa karya sastra Jawa
klasik (istilah J.J. Ras) yang kebanyakan semula ditulis dalam bentuk
tembang gedhe, tembang tengahan atau tembang macapat.
Keempat,
karya-karya prosa yang muncul sebelum tahun 1900-an, sangat menekankan
dedaktik atau ajaran moral, yang dari satu sisi, oleh J.J.Ras (1985: 13)
dinilai merusakkan (estetika), sehingga tampak keindahan bentuknya
tidak terlalu dipertimbangkan karena lebih menekankan isinya.
Bentuk
prosa sebagaimana karya prosa yang merupakan hasil pengaruh dari sastra
Barat, yakni novel, novelet dan cerita pendek, pada akhir abad ke-19
masih asing dan langka. Karya sastra prosa Jawa yang bentuknya novel
atau protonovel baru tercatat karya R. Ng. Ranggawarsita yakni Serat
Witaradya. Kemudian pada tahun 1909, R. Martadarsana menulis Topeng Mas I
dan Topeng Mas II. Selanjutnya Ki Padmasusastra menulis berjudul Serat
Rangsang Tuban berupa novel kebatinan (Surakarta, 1912). Bentuk novel
awal lainnya, karya Pakubuwana X dan R. Ng. Purbadipura, berjudul
Srikarongron. Kemudian R. Ng. Mangunwidjaja, taun 1916 menulis Serat
Trilaksita, dan Koeswadihardja menulis Serat Tjarijosipun rara Kadreman.
Awal
mula perkembangan novel tidak terlepas dari peranan munculnya penerbit
Balai Pustaka. J.J. Ras (1985: 8-17) mencatat hasil-hasil karya sastra
yang dimotori oleh penerbit tersebut dan beberapa lembaga swasta. Dari
hasil-hasil yang tercatat semula, yakni pada dasawarsa pertama abad
ke-20 , antara lain berupa buku-buku kecil dan dengan halaman yang
relatif pendek, beisi ajaran-ajaran moral yang ditulis secara fulgar,
belum memperhitungkan keindahan permainan unsur-unsur struktur fiksi.
Pada
tahun 1920 terbitlah Serat Riyanta karya R.B. Sulardi yang merupakan
novel Jawa awal yang relatif bagus. J.J. Ras mencatat bahwa buku ini
merupakan buku pertama yang tidak dirusakkan oleh kecenderungan didaktik
atau ajaran moral, yang berisi kisah dengan alur yang benar-benar bagus
yang dibangun di sekitar tema yang jelas pula. Temanya dikaitkan dengan
masalah sosial, yakni pemberontakan generasi muda terhadap perkawinan
adat yang banyak dilalui oleh para orang tua dengan cara menjodohkan
anak-anaknya.
Setelah
terbitnya novel Serat Riyanta, lalu bermunculan karya sastra berbentuk
novel atau novelet. Pada sekitar tahun 1960-an, demi memenuhi tuntutan
keperluan bacaan masyarakat, banyak muncul novel-novel yang sangat
pendek (novelet), diterbitkan dalam bentuk stensilan menjadi buku
kecil-kecil dan tipis-tipis, dengan tema-tema percintaan dan banyak
dibumbui oleh adegan-adegan cremedan (berbau porno), setidak-tidaknya
dari kacamata para pembaca jaman munculnya karya-karya yang
bersangkutan. Dewasa ini novel-novel Jawa pada umumnya berisi ceritera
kehidupan sehari-hari pada masyarakat modern saat ini, yang tidak
bersifat istanasentris.
Karya
cerita pendek Jawa yang dikenal dengan nama cerkak (crita cekak) mulai
muncul pada tahun 1935 dalam majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat
oleh Sambo dengan judul Netepi Kwajiban, dan tahun 1936 dalam majalah
Kejawen (Ras, 1985: 18). Jenis ini muncul dalam hubungannya dengan
keperluan praktis untuk mengisi kolom dan halaman majalah berbahasa
Jawa, sehingga kebanyakan ditulis oleh anggota redaksi majalah yang
bersangkutan. Tidak berlebihan bila ditulis dengan anonim atau dengan
nama samaran.
Dewasa
ini jenis cerkak banyak ditulis oleh para cerpenis Jawa dan tidak
terbatas pada mereka yang duduk di meja redaksi majalah. Dari segi
isinya, jenis cerkak mampu menampung tema-tema yang lebih luas daripada
jenis novel. Jenis cerkak ini dapat menceritakan kehidupan sehari-hari
para tokohnya, hingga kehidupan dunia fantasi, dapat bersifat realis dan
dapat juga surealis.
Pada
perkembangan tertentu, muncul karya prosa yang mengetengahkan tema
tertentu, yang akhirnya berkembang menjadi jenis tersendiri, yakni
jagading lelembut. Seperti telah disinggung di atas, Jagading lelembut,
adalah cerita yang mengisahkan tokoh manusia dalam hubungannya dengan
dunia hantu. Cerita semacam itu dari sisi tertentu dapat dikategorikan
sebagai dongeng.
Dalam
khasanah sastra Jawa, jagading lelembut berkembang secara khas yakni
melalui kolom-kolom atau halaman-halaman dalam rubrik majalah-majalah
berbahasa Jawa dalam bentuk mirip seperti cerkak atau cerita bersambung.
Pada mulanya rubrik jagading lelembut dimaksudkan untuk menampung
kisah-kisah nyata yang dialami atau terjadi di masyarakat. Pada
perkembangannya, jagading lelembut tidak harus berisi kisah nyata, atau
kisah nyata yang telah diberi berbagai tambahan bersifat fiktif agar
lebih menarik.
Jenis
sastra dongeng Jawa, dalam arti luas, kadang-kadang muncul dalam rubrik
majalah berbahasa Jawa, baik untuk bacaan anak-anak (dongeng bocah)
maupun untuk umum. Pada perkembangan terakhir karya-karya novel juga
lebih banyak terbit dalam terbitan majalah-majalah berbahasa Jawa, yakni
dalam bentuk cerita bersambung. Demikian pula jenis cerpen Jawa
(cerkak), terutama hidup sebagai sastra majalah. Oleh karena itu
beberapa kalangan mengklaim bahwa karya sastra Jawa modern tergantung
pada kehidupan majah berbahasa Jawa. Mereka menyebut karya sastra Jawa
modern sebagai sastra majalah.
Hal
tersebut di atas, ada benarnya, namun juga tidak sepenuhnya benar. Hal
ini ditandai dengan masih munculnya beberapa novel Jawa pada dekade
terakhir ini. Di samping itu, pada waktu-waktu tertentu juga muncul
lomba-lomba penulisan sastra Jawa, baik dongeng, cerkak atau novel. Pada
umumnya, hasil dari lomba-lomba inilah yang kemudian juga diterbitkan
dalam bentuk buku novel atau antologi dongeng atau cerkak.
b. Kekhasan Jenis Prosa Jawa Modern dan Kemungkinan Pendekatannya
Yang
perlu diperhatikan dalam perkembangan prosa Jawa modern, adalah konteks
sastra yang muncul pada masa-masa tertentu. Setiap jenis sastra
memiliki kekhasannya masing-masing yang sebagiannya dikarenakan konteks
sosial budaya masing-masing yang berbeda-beda. Tulisan ini tidak
bermaksud mendikte atau menggariskan secara pasti, namun hanya merupakan
catatan secara umum yang dengan sendirinya dapat saja berbeda dengan
kenyataan khusus di lapangan.
Pada
jenis kisah perjalanan, jenis biografi, dan sastra dedaktik moral,
tentu saja masalah permainan unsur-unsur strukturalnya tidak begitu
ditekankan, namun lebih mementingkan tema dan amanatnya. Dengan demikian
pendekatannya cenderung secara tematik, pragmatik atau filosofis ke
arah moral dan sosial.
Pada
karya-karya prosa yang merupakan bangunan kembali dari karya-karya
sebelumnya, tentu saja hasil kecermatan studi banding sangat diperlukan,
baik secara filologis, intertekstual maupun perbandingan tematik.
Melalui perbandingan dengan naskah-naskah sebelumnya atau sumbernya,
tentu didapatkan kejelasan makna secara lebih memadahi, baik dalam
hubungannya dengan amanat yang ditawarkan oleh penyalin, maupun dalam
hubungannya dengan pandangan masyarakat tertentu pada era tertentu.
Pada
jenis jagading lelembut dan dongeng lainnya, tentu saja dapat
diterapkan pendekatan seperti yang dilakukan pada jenis-jenis folklore.
Dengan demikian pengkajian motif-motif tertentu atau tema-tema tertentu,
pengkajian jenis-jenis tokoh tertentu, pengkajian fungsi terhadap
masyarakatnya atau latar belakang budayanya sangat diperlukan.
Adapun
pada jenis-jenis sastra prosa yang merupakan hasil pengaruh dari jenis
sastra dan teori sastra Barat, baik novel, novelet, maupun cerkak, sifat
permainan unsur-unsur strukturalnya sangat penting untuk diperhatikan.
Dengan demikian pendekatan formal harus ditekankan dan dibutuhkan
pengetahuan tentang teori struktural untuk mendekatinya, sebelum
dikembangkan pada pengkajian yang lain.
c. Unsur-unsur Struktur Sastra Prosa Jawa Modern
Unsur-unsur
struktur sastra, khususnya sastra prosa Jawa modern, tidak berbeda
dengan unsur-unsur yang ditemukan pada karya-karya sastra prosa pada
umumnya, yakni yang menyangkut unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Unsur-unsur intrinsik, yakni unsur-umsur yang membangun struktur sastra
itu sendiri atau secara langsung membangun cerita. Adapun unsur
ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu,
tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau organisme karya
sastra (Nurgiyantoro, 1995: 23). Pemahaman unsur ekstrinsik akan
membantu dalam hal pemahaman karya sastra, karena terciptanya karya
sastra tidak berasal dari situasi kekosongan budaya. Unsur-unsur
ekstrinsik antara lain visi dan misi pengarang, lingkungan alam dan
lingkungan sosial pengarang, termasuk ekonomi dan politik yang terjadi,
dsb.
Pada
kenyataannya sering kali pemisahan antara unsur intrinsik dan
ekstrinsik menemui kesulitan. Hal ini terutama dikarenakan bahasa,
sebagai sarana sastra, mengandung bentuk dan isi sekaligus. Dari segi
bentuknya, bahasa menyampaikan informasi seperti apa yang ada dalam kata
atau frasa atau kalimat dst. yang ada dalam bahasa itu. Dari segi
isinya, informasi yang ada itu sering kali bersifat tidak eksplisit atau
simbolis, yang pemaknaannya harus dicari dari latar belakang sosial
budayanya. Di samping itu, antara bahasa dan sastra sama-sama merupakan
sistem semiotik (simbol makna) yang kadang-kadang tidak jelas
batas-batasnya. Dengan kata lain, dalam menguraikan unsur-unsur
intrinsik sering kali harus menengok ke latar belakang sosial budaya
pengarang maupun pembacanya, sehingga mau tidak mau harus mencari
unsur-unsur ekstrinsiknya. Sebagai contoh konkrit, dalam menguraikan
penokohan, sering kali orang harus berangkat dari sistem nilai etika dan
moralitas yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan. Bila dalam
sastra Jawa dinyatakan bahwa seorang pria akan dan harus memilih calon
istrinya dengan mempertimbangkan bobot, bibit, bebet dan dalam karya
sastra yang bersangkutan istilah itu tidak pernah dijelaskan lagi, maka
konsep bobot, bibit, bebet tersebut harus dicari penjelasannya dari
konteks sosial budaya Jawa. Dan sebagainya dan sebagainya.
Unsur-unsur
intrinsik yang membangun sastra prosa atau prosa fiksi antara lain
peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang
penceritaan, bahasa atau gaya bahasa, dan sebagainya (Nurgiyantoro,
1995). Stanton (1965; via Suwondo, 1994) juga mendeskripsikan
unsur-unsur struktur fiksi yang terdiri atas tema, fakta cerita, dan
sarana sastra.
1) Tema
Tema
adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan
berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu,
takut, maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, sering tema
dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita (Tentang tema dan
klasifikasinya lihat: Nurgiyantoro, 1995, Oemarjati, 1962; Hutagalung
1967, dsb.).
2) Fakta Cerita
Fakta
cerita yang meliputi alur, tokoh dan latar, merupakan unsur fiksi yang
secara faktual dapat dibayangkan peristiwanya, eksistensinya, dalam
sebuah novel (fiksi). Oleh karena itu ketiganya juga disebut struktur
faktual (factual structure) atau derajat faktual (factual level) sebuah
cerita. Ketiga unsur tersebut harus dipandang sebagai satu kesatuan
dalam rangkaian keseluruhan cerita, bukan sebagai sesuatu yang berdiri
sendiri dan terpisah satu dengan yang lain.
a) Plot (Alur)
Alur
sering disebut juga plot cerita, sering juga disebut struktur naratif
atau sujet. Dalam hal ini yang harus dicermati ialah bahwa plot bukan
sekedar jalan cerita atau urutan peristiwa secara kronologis, namun
rangkaian peristiwa yang ditandai dengan hubungan sebab-akibat. Hal ini
misalnya pernah dikemukakan oleh Stanton, oleh Forster, dsb. Menurut
Stanton (1965: 14, via Nurgiyantoro, 1995) plot adalah cerita yang
berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara
sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan
terjadinya peristiwa yang lain. Senada dengan itu Forster juga
menyatakan bahwa plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai
penekanan pada adanya hubungan kausalitas (bdk Oemarjati, 1962: 94;
Lubis, 1960: 16)
Menurut
Forster (via Nurgiyantoro, 1995) plot memiliki sifat misterius dan
intelektual. Misterius maksudnya bahwa dalam plot itu belum tentu
langsung diselesaikan secara cepat tapi sedikit demi sedikit, atau
peristiwanya sengaja dipisahkan pada bagian yang berjauhan urutan
penceritaannya, atau ditunda pengungkapan kunci permasalahannya, atau
justru dibalik urutan waktu kejadiannya. Hal yang demikian itu yang
menimbulkan keingintahuan pembaca untuk membaca terus karya sastra yang
bersangkutan hingga selesai. Harapan dan rasa ingin tahu pembaca
terhadap kelanjutan plot yang misterius itu sering disebut suspense.
Sedang yang dimaksud dengan intelektual ialah bahwa dalam plot
terkandung logika tentang hubungan sebab akibat yang harus disikapi
dengan intelek dan kritis oleh pembaca agar pembaca yang bersangkutan
mampu memahami permainan plot pada karya sastra yang dibacanya. Dalam
hubungannya dengan analisis struktural justru permainan plot itu harus
dijelaskan secara rinci sehingga dapat dengan mudah dijelaskan
hubungannya dengan anasir-anasir selain plot dalam rangka pemahaman
makna secara keseluruhan.
Membicarakan
plot pada dasarnya membicarakan tentang berbagai peristiwa dan konflik.
Yang disebut peristiwa ialah peralihan dari keadaan yang satu kepada
keadaan yang lain. Peristiwa, setidak-tidaknya dapat dibagi menjadi
tiga, yakni peristiwa fungsional, kaitan dan acuan. Peristiwa fungsional
merupakan peristiwa yang menentukan dan atau mempengaruhi perkembangan
alur atau plot. Peristiwa kaitan adalah perstiwa-peristiwa yang
mengaitkan antar peristiwa-peristiwa penting (fungsional) dalam
pengurutan plot. Sedang peristiwa acuan merupakan peristiwa-peristiwa
yang tidak berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan alur,
tetapi mengacu pada unsur-unsur lain, misalnya watak tokoh, suasana yang
berpengaruh pada watak tokoh, dsb (Luxemburg, dkk.1989).
Nurgiyantoro
mencatat bahwa anatar peristiwa itu di samping mempunyai hubungan logis
juga mempunyai sifat hierarkhis logis, tingkat kepentingannya,
keutamaannya, atau fungsionalitasnya. Roland Barthes menyebut peristiwa
yang dipentingkan atau diutamakan sebagai peristiwa utama atau peristiwa
mayor; sedang yang tidak dipentingkan disebut peristiwa minor atau
peristiwa pelengkap. Senada dengan itu Chatman menyebut peristiwa utama
sebagai kernel, sedang peristiwa pelengkap sebagai satelit
(Nurgiyantoro, 1995: 120). Perbedaan peristiwa-peristiwa tersebut akan
tampak jelas bila sebuah karya fiksi diringkas (Luxemburg, dkk, 1989).
Semakin tidak penting peristiwa itu akan semakin besar kemungkinannya
untuk tidak dituliskan kembali dalam ringkasan.
Konflik
menyaran pada sesuatu yang tidak menyenangkan yang terjadi dan atau
dialami oleh tokoh cerita. Bila tokoh itu memiliki kebebasan untuk
memilih, maka ia tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya
(Meredith & Fitzgeralt, via Nurgiyantoro, 1995). Konflik adalah
sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang
seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek &
Warren, via Nurgiyantoro, 1995).
Peristiwa
dan konflik biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan
terjadinya satu dengan yang lain, bahkan konflik pun pada hakikatnya
merupakan peristiwa. Konflik dapat dibagi menjadi dua, yakni konflik
internal (konflik kejiwaan) dan konflik eksternal. Konflik internal
terjadi dalam diri seorang tokoh, sedang konflik eksternal terjadi
antara tokoh dengan lingkungannya, yakni tokoh(-tokoh) lain atau
lingkungan alam. Konflik juga dapat dibagi menjadi konflik batin dan
konflik fisik (Nurgiyantoro, 1995). Di samping itu berdasarkan fungsinya
konflik juga bisa dibagi menjadi konflik utama dan konflik pendukung
(konflik tambahan). Dengan demikian bisa didapatkan konflik utama
internal, konflik utama eksternal, konflik pendukung internal dan
konflik pendukung eksternal.
Dalam
fiksi sering terjadi pertemuan antar berbagai konflik sehingga konflik
itu semakin meningkat. Bila konflik meningkat hingga mencapai tingkat
intensitas tertinggi maka keadaan itu disebut klimaks. Klimaks merupakan
pertemuan antara dua (atau lebih) hal (keadaan) yang dialami oleh
tokoh-tokoh utama, yang dipertentangkan, dan yang menentukan bagaimana
permasalahan (konflik) pada tokoh-tokoh utama itu akan diselesaikan
(Nurgiyantoro, 1995).
Ditinjau
dari segi keberhasilannya, struktur plot setidak-tidaknya harus
memperhatikan plausibilitas, suspense, surprise, dan kesatupaduan plot,
serta menghindari deus ex machina. Plausibilitas maksudnya bahwa plot
harus dapat dipercaya atau diterima dari segi logika cerita. Dalam hal
ini tidak harus berarti bahwa cerita itu harus realis sesuai dengan
keadaan pada dunia nyata, tetapi lebih mengacu pada sifat koheren dan
konsisten pada sebab-akibat dalam plot. Misalnya, logika cerita untuk
novel realis tentu berbeda dengan novel surealis atau cerita jagading
lelembut. Bila tokoh Gathutkaca bisa terbang bukan berarti alur cerita
itu tidak memenuhi konsep plausibilitas. Tapi bila Gathutkaca tidak bisa
terbang, justru itulah yang harus dicari alasannya dan
plausibilitasnya.
Apabila
suatu cerita secara tiba-tiba, tanpa diberikan alasan yang jelas,
dimunculkan dengan cara kebetulan (Jw: ndilalah) dan dipaksakan sebagai
alasan untuk mengembangkan cerita selanjutnya atau untuk menyelesaikan
permasalahan hingga tampak tidak masuk akal, maka alasan itu disebut
sebagai deus ex machina. Adanya deus ex machina mengurangi kadar
plausibilitas pada plot karya sastra. (Nurgiyantoro, 1995)
Suspense
atau sering disebut tegangan menyaran pada perasaan kurang pasti
terhadap peristiwa-peristiwa yang akan terjadi atau harapan yang belum
pasti terhadap akhir cerita Suspense harus dibangun dan dipertahankan
dalam plot untuk memotivasi, menarik dan mengikat pembaca agar tetap
setia menyelesaikan bacaannya karena penasaran. Salah satu cara untuk
membangkitkan suspense ialah dengan cara memunculkan foreshadowing dalam
cerita. Foreshadowing adalah bagian cerita yang dapat dipandang sebagai
pertanda atau isyarat akan terjadinya sesuatu dalam cerita selanjutnya.
Bagi orang Jawa, misalnya menampilkan peristiwa “ketiban cecak” sebagai
isyarat akan terjadinya musibah pada tokoh yang kejatuhan cicak itu
(Nurgiyantoro, 1995).
Di
samping suspense, plot sebaiknya juga mengandung surprise atau kejutan.
Plot sebuah karya fiksi dikatakan memberikan kejutan jika sesuatu yang
dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang atau
bertentangan dengan harapan pembaca (Abrams, via Nurgiyantoro, 1995).
Dalam hal ini sebenarnya tekanannya pada plot itu sendiri dalam
kaitannya dengan sebab-akibat. Sebagai contoh pada fiksi ditektif,
biasanya memberikan surprise pada menjelang akhir kisah, yakni pembunuh
atau terdakwanya biasanya orang yang, oleh pembaca, tak terduga sama
sekali. Mungkin orang terdekat korban yang pada beberapa hal ditampilkan
baik budi, namun pada hal-hal tertentu bisa berbuat buruk dan jahat.
Antara
suspense, surprise dan plausibilitas harus berjalinan erat, dan saling
menunjang -mempengaruhi serta membentuk satu kesatuan yang padu.
Surprise, walaupun mengejutkan tetapi harus tetap bisa
dipertanggungjawabkan logika sebab akibatnya, agar tidak menjadi deus ex
machina (Nurgiyantoro, 1995).
Plot
juga harus memiliki kesatupaduan atau keutuhan atau unity. Kesatupaduan
menyaran pada pengertian bahwa berbagai unsur yang ditampilkan,
khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan dan acuan, yang
mengandung konflik, atau seluruh pengalaman kehidupan yang hendak
dikomunikasikan, mempunyai keterkaitan satu dengan yang lain. Ada benang
merah yang menghubungkan berbagai aspek cerita sehingga seluruhnya
dapat terasakan sebagai satu kesatuan yang utuh padu (Nurgiyantoro,
1995).
Apabila
dalam karya fiksi terdapat peristiwa yang menyimpang dari pokok masalah
yang dikembangkan atau menjadi bagian yang menyimpang yang tak langsung
bertalian dengan alur dan tema karya sastra, bagian itu disebut sebagai
digresi atau lanturan (Sudjiman, 1986). Misalnya adegan Limbukan,
Cantrikan, dan Gara-gara dalam plot wayang purwa, ditinjau dari struktur
isi pembicaraannyanya sebenarnya sering merupakan digresi. Namun
demikian adegan tersebut sah bila ditinjau dari segi konvensi atau
tradisi wayang purwa.
b) Penokohan
Istilah
penokohan dalam ilmu sastra sering juga disebut tokoh, watak,
perwatakan, karakter, atau karakterisasi. Penokohan adalah penciptaan
citra tokoh di dalam karya sastra (Sudjiman, 1986). Penokohan lebih luas
pengertiannya dari pada istilah tokoh dan istilah perwatakan, sebab
sekaligis mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakannya,
bagaimana penempatannya dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga
sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan
sekaligus menyaran pada teknik pewujudan dan pengembangan tokoh dalam
cerita (Nurgiyantoro, 1995). Penokohan dapat digambarkan secara fisik,
psikologis maupun psikologis. Dari segi fisik, misalnya: kelaminnya,
tampangnya, rambutnya, bibirnya, warna kulitnya, tingginya, gemuk atau
kurusnya, dsb. Dari segi psikologis, misalnya: pandangan hidupnya,
cita-citanya, keyakinannya, ambisinya, sifat-sifatnya, inteligensinya,
bakatnya, emosinya, dsb Dari segi sosiologis, misalnya: pendidikannya,
pangkat dan jabatannya, kebangsaannya, agamanya, lingkungan keluarganya,
dsb.
Walaupun
tokoh dan penokohannya dalam cerita itu hanya merupakan ciptaan
pengarang, namun harus diperhitungkan logika kewajarannya. Ia harus
merupakan tokoh yang hidup secara wajar sebagaimana kehidupan manusia
yang mempunyai pikiran dan perasaan; sekaligus harus sesuai dengan
tuntutan cerita dengan perwatakan yang disandangnya. Jika terjadi
seorang tokoh bersikap lain, maka harus tidak terjadi begitu saja,
karena harus memiliki kadar plausibilitas dan yang terpenting haruslah
konsisten (bdk: Nurgiyantoro, 1995: 167).
c) Latar atau Setting
Latar
atau setting atau landas tumpu menyaran pada tempat, hubungan waktu,
dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan (Abrams, via Nurgiyantoro, 1995). Latar memberikan pijakan
cerita secara konkrit dan jelas, untuk menciptakan suasana tertentu yang
seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Latar, setidak-tidaknya dapat
dipisahkan menjadi latar tempat (di mana lokasinya), latar waktu (kapan
terjadinya), dan latar suasana (bagaimana keadaannya); termasuk suasana
alam, suasana masyarakat (sosial), dan suasana lahir dan batin tokoh
cerita.
Dalam
karya fiksi, latar waktu yang diceritakan sering menunjuk pada
waktu-waktu tertentu yang pernah berlangsung, bahkan hingga disebutkan
bulan atau tahunnya, atau penunjukan pada suatu peristiwa yang pernah
terjadi dalam fakta sejarah. Dengan demikian latar waktu itu seakan-akan
merupakan latar yang ada dalam realita kehidupan sesungguhnya (bukan
sekedar karangan). Namun demikian di dalam karya fiksi, sering
dimunculkan berbagai hal yang ada pada realita kehidupan sesungguhnya,
yang menurut waktunya tidak sesuai atau tidak tepat sehingga fiksi
tersebut menjadi tidak logis. Misalnya, pada cerita ketoprak yang
mengangkat cerita historis, misalnya jaman Majapahit, lalu tokoh abdinya
membicarakan tentang keluarga berencana (KB) yang sesungguhnya baru
muncul pada tahun 1970-an. Hal yang menjadikan latar waktunya menjadi
tidak logis itu sering disebut anakronisme (Nurgiyantoro, 1995), yakni
ketidak sesuaian antara waktu dalam cerita dengan waktu dalam realita
yang diacu oleh karya fiksi yang bersangkutan.
3) Sarana Sastra
Sarana
sastra atau sarana pengucapan sastra atau sarana kesastraan (literary
devices) adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk memilih dan
menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian) menjadi pola yang
bermakna. Tujuan penggunaan atau pemilihan sarana sastra adalah untuk
memungkinkan pembaca melihat fakta sebagaimana yang dilihat pengarang,
menafsirkan makna fakta sebagaimana yang ditafsirkan pengarang, dan
merasakan pengalaman seperti yang dirasakan pengarang. Macam sarana
sastra antara lain berupa sudut pandang penceritaan, gaya (bahasa) dan
nada, simbolisme dan ironi (Nurgiyantoro, 1995). Di bawah ini terutama
hanya akan dibicarakan perihal sudut pandang penceritaan dan simbolisme
a) Sudut Pandang
Sudut
pandang atau point of view atau viewpoint, adalah cara sebuah cerita
dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan oleh
pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan
berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada
pembaca (Abrams, via Nurgiyantoro, 1995). Jadi ia merupakan cara atau
siasat atau strategi dari pengarang untuk menyampaikan ceritanya. Dalam
hal ini cara yang dipakai adalah dengan mengambil posisi atau
mendudukkan dirinya pada peristiwa atau cerita yang disampaikannya.
Pencerita
itu bisa berposisi sebagai orang luar atau orang yang tidak terlibat
dalam peristiwa (-peristiwa) yang diceritakan, namun juga bisa sebagai
orang yang ikut terlibat dalam kejadian(-kejadian) yang diceritakan.
Bila ia berada di luar kejadian-kejadian dalam cerita atau tidak
terlibat, maka tokoh-tokoh yang diceritakan akan dipandang sebagai orang
ketiga atau disebut gaya “dia” atau gaya orang ketiga. Sedang bila
pencerita itu terlibat, maka ia akan menceritakan melalui tokoh “aku”
atau disebut gaya “aku” atau gaya orang pertama. Penggunaan gaya orang
ketiga atau pun gaya orang pertama tampak bukan pada bentuk dialog
tetapi pada bentuk narasi. Dalam karya sastra Jawa gaya orang ketiga
tampak pada narasi yang diungkapkan dengan kata ganti orang ketiga:
dheweke atau dheke, dsb. Sedang gaya aku tampak pada narasi yang
diungkapkan dengan kata ganti aku atau kula.
Pada
sudut pandang orang ketiga, dapat diklasifikasikan lagi menjadi: gaya
“dia” maha tahu dan gaya “dia” terbatas atau tidak maha tahu. Bila
berbagai hal yang dialami tokoh (-tokoh) cerita, termasuk apa pun yang
dipikirkan atau dirasakan atau dipendam dalam hati, diketahui oleh
pencerita sehingga diceritakan dalam suatu fiksi, maka sudut pandang itu
termasuk gaya “dia” maha tahu. Namun bila pencerita tidak menceritakan
hal-hal yang ada dalam pikiran atau batin tokoh- tokoh cerita, maka
termasuk dalam gaya “dia” terbatas. Gaya “dia” terbatas…….pengamat.
b. Simbolisme SIMBOLISME
2. Sastra Puisi Jawa Modern
Ditinjau
dari bentuknya, puisi Jawa modern dapat dibagi menjadi dua golongan,
yakni: (1) puisi Jawa tradisional dengan bentuk yang mematuhi berbagai
aturan konvensional yang telah ada secara turun temurun, dan (2) puisi
Jawa modern atau geguritan modern dengan bentuk yang kurang atau tidak
harus mematuhi berbagai aturan konvensional. Pada puisi Jawa
tradisional, masih dapat dibagi lagi menjadi sebagai berikut.
- Puisi yang memiliki aturan-aturan yang ketat dan relatif kompleks. Aturan yang dimaksud adalah aturan tentang lampah pada tembang gedhe atau aturan yang menyangkut guru lagu, guru wilangan dan guru gatra pada tembang tengahan dan macapat. Puisi ini yang kemudian disebut tembang yasan atau tembang miji.
- Puisi yang mempunyai aturan sederhana, tidak sampai pada aturan-aturan yang ketat, baik aturan tentang lampah atau tentang guru lagu, guru wilangan dan guru gatra. Puisi ini yang kemudian dikenal dengan nama tembang para.
a) Tembang Yasan atau Tembang Miji
Dalam
jenis tembang yasan, terdapat pola metris yang ditentukan oleh beberapa
hal, baik yang menyangkut patokan lampah atau tiga patokan pokok, yakni
guru lagu, guru wilangan dan guru gatra, (yang telah diuraikan di
bagian depan ketika membicarakan tentang kidung).
Sebenarnya
di samping patokan-patokan di atas, tembang yasan akan menjadi lebih
baik bila juga memperhatikan aturan-aturan yang lain, yakni sebagai
berikut.
- Makna tiap baitnya sebaiknya telah bulat, satu kesatuan makna tertentu tidak terputus dan dimasukkan ke dalam bait berikutnya.
- Jeda kalimat pada setiap baitnya (andhegan) hendaknya sesuai dengan jeda yang ada pada jenis lagu tembang yang bersangkutan. Jeda ini biasanya antara dua dan tiga baris.
- Setiap baris hendaknya merupakan kalimat lengkap atau bagian kalimat yang dapat berdiri sendiri.
- Penggalan baris (pedhotan) hendaknya jatuh pada akhir kata sehingga menghasilkan wirama kendho. Bila pedhotan-nya bukan akhir kata disebut wirama kenceng.
- Sebaiknya memperhatikan persajakan, baik asonansi (purwakanthi swara) maupun aliterasi (purwakanthi sastra); atau purwakanthi lumaksita (suku kata atau kata terakhir bersajak dengan atau diulang pada kata atau suku kata awal pada bagian di belakangnya), baik sajak horizontal maupun vertikal.
- Sebaiknya memperhatikan tradisi penulisan yang ada, seperti cara penulisan nama samaran pengarang (sandi asma), cara penulisan waktu (sengkalan), tradisi penulisan sasmitaning tembang, cara penulisan wangsalan dan sebagainya, yang sering disisipkan dalam bentuk tembang yasan (Bdk. Padmopuspito, 1989: 85).
Sebagai contoh di bawah ini jenis tembang macapat Dhandhanggula.
Song-song gora / candraning hartati /
lir winidyan / sarosing parasdya /
ringa-ringa / pangriptane //
tan darbe / labdeng kawruh /
angruruhi / wenganing budi //
kang mirong / ruhareng tyas /
njaga / angkara nung //
minta luwar / ring duhkita /
aywa kongsi / kewran lukiteng kinteki /
kang kata / ginupita // (Serat Cemporet karya R.Ng. Ranggawarsita)
Tembang
Dhandhanggula adalah salah satu jenis tembang yasan yang termasuk dalam
jenis tembang macapat, yang dapat diuraikan sebagai berikut.
Garis-garis
( / ) di tengah baris atau di akhir baris pada tembang Dhandhanggula di
atas merupakan pedhotan. Adapun garis-garis ( // ) pada beberapa akhir
barisnya merupakan andhegan. Pedhotan dan andhegan merupakan hasil pola
metris dalam hubungannya dengan cengkok atau cara menembangkannya.
Guru
gatra Dhandhanggula seperti di atas adalah 10 baris. Guru wilangan dan
guru lagu-nya adalah: 10:i , 10:a , 8: e, 7:u, 9:i, 7:a, 6:u, 8:a, 12:i,
7:a. Satu bait tersebut telah mengandung satu pengertian (makna) yang
bulat. Andhegan-nya berada pada 3 baris, 2 baris, 2 baris , dan 3 baris.
Tiap baris merupakan bagian kalimat lengkap yang dapat berdiri sendiri.
Semua pedotan-nya merupakan pedhotan kendho. Persajakannya, yang berupa
purwakanthi sastra dapat diperhatikan pada kata gora dengan candra,
kata raosing dengan parasdya, kata ringa-ringa dengan pangriptane, kata
darbe dengan lebdeng, dsb. Dalam contoh di atas, pada suku kata-suku
kata yang digarisbawahi merupakan sandi asma yang berbunyi radyan
ngabehi ronggawarsita (R.Ng. Ranggawarsita) (mengenai sandi asma, di
atas sudah dijelaskan). Sedang pada rangkaian kata song song gora candra
adalah bentuk sengkalan: Song = 9, song = 9, gora = 7, dan candra = 1,
jadi tahun 1799 AJ (mengenai sengkalan akan di jelaskan di bawah).
Berdasarkan
pada bentuk pola metrisnya, tembang yasan dibagi menjadi tiga, yakni
tembang gedhe, Tembang Tengahan dan Tembang Macapat.
1) Tembang gedhe
Tembang
gedhe adalah tembang yasan yang aturannya terkait dengan konvensi
lampah, yakni kesamaan jumlah suku kata dalam setiap baris. Adapun
jumlah baris dalam semua tembang gedhe adalah sama, yakni selalu 4
(empat) baris. Sedang aturan tentang guru lagu (dhong-dhing) tidak ada
dalam tembang gedhe ini.
Nama-nama
tembang gedhe ditengarai oleh aturan lampah tembang yang bersangkutan,
yakni antara lampah 1 (setiap baris terdiri satu suku kata) hingga
lampah 28 (ada yang berpendapat hingga lampah 32) (Subalidinata, tt: 37,
Padmopuspito, 1989: 87).
Bila
bertolak dari puisi Jawa Kuna yang disebut kakawin, aturan yang berlaku
dalam tembang gedhe ini hampir sama dengan kakawin. Bedanya, dalam
tembang gedhe tidak terdapat aturan tentang suku kata panjang dan suku
kata pendek seperti dalam kakawin.
Nama-nama metrum tembang gedhe dengan lampah dan pedhotan (penggalannya) sebagai berikut (Padmopuspito, 1989: 87-88).
Lam pah
|
Metrum
|
Pedhotan
|
Lam
pah
|
Metrum
|
Pedhotan
|
1
|
Nanda
|
-
|
15
|
Manggalagita
|
8,7
|
2
|
Badra Sri Waneh
|
-
|
15
|
Musthikengrat
|
8,7
|
3
|
Nari
|
-
|
15
|
Langenkusuma
|
7,8
|
4
|
Wanamergi
|
-
|
15
|
Kumudasmara
|
7,8
|
5
|
Wijayanti
|
2,3
|
15
|
Pamularsih
|
7,8
|
5
|
Giyanti
|
3,2
|
16
|
Rarabentrok
|
8,8
|
5
|
Rerantang
|
1,4
|
16
|
Rara Turida
|
8,8
|
5
|
Puksara
|
3,2
|
16
|
Candrakusuma
|
8,8
|
6
|
Tanumadya
|
2,4
|
16
|
Candraasmara
|
8,8
|
6
|
Gurnang
|
2,4
|
16
|
Sebamanggala
|
8,8
|
6
|
Liwung
|
2,4
|
17
|
Ciptamaya
|
5,5,7
|
6
|
Binayaa
|
4,2
|
17
|
Bangsapatra
|
4,6,7
|
7
|
Madukaralalita
|
3,4
|
17
|
Sikarini
|
6,6,5
|
7
|
Sundari
|
3,4
|
17
|
Puspamadya
|
6,6,5
|
8
|
Waktra
|
4,4
|
17
|
Priyambada
|
6,6,5
|
8
|
Salisir
|
4,4
|
18
|
Nagabanda
|
5,6,7
|
8
|
Patramanggala
|
4,4
|
18
|
Narakusuma
|
5,6,7
|
8
|
Patralalita
|
4,4
|
18
|
Langendikara
|
5,6,7
|
8
|
Wipula
|
4,4
|
18
|
Nagakusuma
|
6,6,6
|
8
|
Kuswaraga
|
4,4
|
19
|
Sardulawikridita
|
6,6,7
|
9
|
Jaraga Tata Gati
|
4,5
|
19
|
Banjaransari
|
6,6,7
|
9
|
Tebu Kasol
|
4,5
|
19
|
Pritanjala
|
6,6,7
|
9
|
Mayanti
|
4,5
|
19
|
Dhudhagandrung
|
4,5,5,5
|
10
|
Rukmawati
|
4,6
|
20
|
Sasadara Kawekas
|
7,7,6
|
10
|
Rukmarata
|
4,6
|
20
|
Swandana
|
7,7,6
|
10
|
Tebusauyun
|
5,5
|
20
|
Sulanjari
|
4,4,4, 8
|
11
|
Bremarawilasita
|
4,7
|
20
|
Angron Asmara
|
8,6,6
|
11
|
Lebdajiwa
|
4,7
|
21
|
Wisalyaharini
|
7,7,7
|
12
|
Jiwawicitra
|
6,6
|
21
|
Swaladara
|
7,7,7
|
12
|
Jiwaretna
|
6,6
|
22
|
Irim-irim
|
8,7,7
|
12
|
Kusumawicitra
|
6,6
|
22
|
Kilayunedheng
|
5,6,6,5
|
12
|
Sudirawicitra
|
5,7
|
23
|
Haswalalita
|
5,6,6,6
|
12
|
Padmawicitra
|
4,4,4
|
23
|
Purbanagara
|
5,6,6,6
|
12
|
Citrakusuma
|
6,6
|
23
|
Hastakuswala
|
6,6,5,6
|
12
|
Citramengeng
|
6,6
|
23
|
Kanigara
|
8,8,7
|
12
|
Citrarini
|
5,7
|
24
|
Gandakusuma
|
6,6,6,6
|
12
|
Prawirasembada
|
5,7
|
24
|
Wohingrat
|
6,6,6,6
|
13
|
Dhadhapsari
|
5,8
|
24
|
Gandasuli
|
6,6,6,6
|
13
|
Madubrangta
|
5,8
|
24
|
Jayaningrat
|
6,6,6,6
|
13
|
Pusparaga
|
7,6
|
24
|
Jayengtilam
|
6,6,6,6
|
13
|
Puspanjali
|
7,6
|
25
|
Kudukusuma
|
4,4,5,6,6
|
13
|
Kusumastuti
|
7,6
|
25
|
Kusumatali
|
4,4,5,6,6
|
14
|
Rarasmara
|
6,8
|
26
|
Kumudaningrat
|
6,7,7,7
|
14
|
Langenasmara
|
6,8
|
27
|
Langenjiwa
|
6,6,7,8
|
14
|
Pusparudita
|
7,7
|
28
|
Pramugari
|
7,7,7,7
|
14
|
Sorohjiwa
|
7,7
| |||
14
|
Basanta
|
8,6
|
Di
samping nama-nama di atas, masih dimungkinkan nama-nama metrum yang
lain. Nama metrum tembang gedhe biasanya dicantumkan dalam akhir bait
tertentu. Sebagai contoh tembang Rerantang lampah 5 di bawah ini.
Dhuh babo sira
ywa walang driya
nedya bawa ing
tembang Rerantang
Contoh lain bernama metrum Puspanjana, sebagai berikut.
Dhuh Gusti pujaningwang sotyaning wanita
myang maduning kusuma sekaring bawana
tuhu mustikaning rat dadya sudarsana
sagunging pra wanodya ambek Puspanjana (R. Tedjohadisumarto, 1958: 26 )
Satu contoh lagi bernama Kusumawicitra, sebagai berikut.
Pirang-pirang taunira neng patapan
malah kongsi diwasa aneng patapan
ing Gohkarna wukir ageng dahat pringga
tan etang durgameng kusumawicitra (Arjunasasra: II.16, Subalidinata, tt: 37- 40)
2) Tembang Tengahan
Tembang
tengahan sering juga disebut tembang dhagel atau tembang tanggung atau
tembang madya. Tembang tengahan terikat oleh tiga patokan dasar, yakni
guru gatra, guru wilangan dan guru lagu, yakni yang telah diuraikan di
atas. Dalam khasanah sastra Jawa Kuna (Jawa Tengahan) jenis puisi yang
terikat oleh aturan seperti ini disebut kidung (baca bagian tentang
kidung!). Adapun nama-nama tembang tengahan dan aturannya, sebagai
berikut (bdk. Subalidinata, tt: 43, Padmopuspito, 1989: 88-89, dan
Padmosoekotjo, tt, jld I: 22).
Nama Metrum
|
Guru Gatra
|
Guru Wilangan
|
Guru lagu
|
Lonthang
|
3
|
12,12,12
|
a,a,a
|
Balabak
|
6
|
12,3,12,3,12,3
|
a,e,a,e,a,e
|
Girisa
|
8
|
8,8,8,8,8,8,8,8
|
a,a,a,a,a,a,a,a
|
Wirangrong
|
6
|
8,8,10,6,7,8
|
i,o,u,i,a,a
|
Jurudemung
|
7
|
8,8,8,8,8,8,8
|
a,u,u,a,u,a,u
|
Palugon
|
8
|
8,8,8,8,8,8,8,8
|
a,u,o,u,o,a,u,o
|
Pranasmara
|
6
|
8,12,12,8,8,8
|
a,e,e,a,a,i
|
Pangajapsih
|
9
|
12,8,12,12,12,8,8,6,8
|
u,i,u,u,u,a,i,u,a
|
Kuswarini
|
7
|
12, 6,8,8,8,8,8
|
u,a,u,a,i,a,i
|
Dalam
hal kategori tembang tengahan atau tembang macapat, beberapa pakar
tampak berbeda-beda pengelompokannya. Beberapa metrum tembang tengahan
di atas oleh pakar lain kadang-kadang diklasifikasikan sebagai tembang
macapat. Dengan demikian agaknya dapat dimengerti pernyataan
Poerbatjaraka, bahwa pada dasarnya tembang tengahan itu tidak ada dan
yang dimaksud tembang tengahan adalah tembang macapat yang usianya tua
dan hampir dilupakan.
3) Tembang Macapat
Telah
disinggung di atas bahwa seperti halnya tembang tengahan, tembang
macapat terikat oleh tiga aturan pokok, yakni guru lagu, guru wilangan
dan guru gatra, yakni suatu aturan yang juga sudah ada pada bentuk
kidung berbahasa Jawa Tengahan. Tidak mengherankan bila metrum Pamijil
dalam kidung sama dengan metrum Mijil dalam tembang macapat. Tembang
macapat juga disebut sekar alit.
Di bawah ini sejumlah nama tembang macapat dengan guru gatra, guru wilangan dan guru lagu-nya.
Metrum
|
Guru Gatra
|
Guru Wilangan
|
Guru lagu
|
Pucung
|
4
|
12,6,8,12
|
u,a,i,a
|
Maskumambang
|
4
|
12,6,8,8
|
i,a,i,a
|
Megatruh
|
5
|
12,8,8,8,8
|
u,i,u,i,o
|
Gambuh
|
5
|
7,10,12,8,8
|
u,u,i,u,o
|
Mijil
|
6
|
10,6,10,10,6,6
|
i,o,e,i,i,u
|
Kinanthi
|
6
|
8,8,8,8,8,8
|
u,i,a,i,a,i
|
Pangkur
|
7
|
8,11,8,7,12,8,8
|
a,i,u,a,u,a,i
|
Durma
|
7
|
12,7,6,7,8,5,7
|
a,i,a,a,i,a,i
|
Asmaradana
|
7
|
8,8,8,8,7,8,8
|
i,a,e ( o),a,a,u,a
|
Sinom
|
9
|
8,8,8,8,7,8,7,8,12
|
a,i,a,i,i,u,a,i,a
|
Dhandhanggula
|
10
|
10,10,8,7,9,7,6,8,12,7
|
i,a,e,u,i,a,u,a,i,a
|
Di bawah ini contoh tembang Pucung dan tembang Asmaradana.
Pucung.
Ngelmu iku kelakone kanthi laku
lekase lawan kas
tegese kas nyantosani
setya budya pangekese dur angkara
(Wedhatama III: 1, karya K.G.P.A.A Mangkunagara IV)
Asmaradana
Anjasmara ari mami
mas mirah kulaka warta
dasihmu tan wurung layon
aneng kutha Prabalingga
prang tandhing Urubisma
kariya mukti wong ayu
pun kakang pamit palastra (dari: Serat Patine Menakjingga)
4) Sasmitaning Tembang
Dalam
jenis tembang macapat, sering terdapat isyarat tentang nama metrum
tembang pada pupuh yang bersangkutan atau metrum tembang pada pupuh
selanjutnya. Isyarat tembang tersebut lazim disebut sasmitaning tembang.
Sasmitaning tembang biasanya berupa kata, frasa, atau baris tertentu
yang mempunyai makna yang bersinggungan dengan nama tembang yang
diisyaratkan. Sebagai contoh frasa yuda kenaka sering dipergunakan untuk
sasmitaning tembang Pangkur. Kata yuda berarti ‘perang’ atau
‘bertengkar’, sedang kata kenaka berarti ‘kuku’. Jadi kata yuda kenaka
bisa bermakna ‘berperangnya kuku’ atau menggaruk atau dalam bahasa Jawa
kukur-kukur. Kata kukur-kukur bersinggungan dengan nama tembang Pangkur,
yakni pada suku kata kur.
Sasmitaning
tembang macapat sering terdapat pada bait yang mengawali pupuh tembang
yang bersangkutan atau pada bait terakhir sebelum pergantian pupuh untuk
memberi isyarat nama metrum tembang yang akan menggantikan pupuh yang
bersangkutan.
Kata-kata
tertentu yang sering dipergunakan sebagai sasmitaning tembang pada
umumnya bersinggungan dengan nama metrum tembangnya. Kebersinggungannya
pada umumnya sebagai berikut.
- Bisa dalam hal kesamaan bunyi salah satu suku katanya. Sebagai contoh untuk tembang Sinom dipergunakan kata anom (kesamaan suku kata nom), untuk Pangkur dipergunakan kata mingkar-mingkur (kesamaan suku kata kur), dsb.
- Bisa dalam sinonim arti katanya. Contohnya, untuk tembang Sinom dipergunakan frasa roning kamal. Kata roning kamal berarti ‘daun pohon asem’. Daun pohon asem pada umumnya disebut daun sinom, dsb.
- Bisa sifat-sifat tertentu pada kata atau frasa yang ada dalam nama metrumnya. Sebagai contoh untuk tembang Dhandhanggula dipergunakan kata manis. Manis adalah sifat rasa gula.
Sasmitaning tembang selengkapnya sebagai berikut.
Untuk
tembang Dhandhanggula antara lain dipergunakan kata, frasa, atau larik:
dhandhanggula, manis, madu manis, kaga kresna, gagak, hartati, sarkara,
guladrawa, dhandhang, dhandhanggendhis, akudhandhangan, andhandhang
sarkara, didhandhang, ndhandhanggula, dsb.
Untuk
tembang Sinom antara lain dipergunakan kata atau frasa: sinom,
sesinoming, tumaruna, srinata, roning kamal, logondhang, sinom, anom,
Anoman, taruna, taruni, weni, mudha, dsb.
Untuk
tembang Pangkur antara lain dipergunakan kata atau frasa: pangkur,
pungkur, kapungkur, mingkar-mingkur, kukur-kukur, yuda kenaka, wuntat,
wuri, mungkur, sapengkernya, wingking, dsb.
Untuk
tembang Asmaradana antara lain dipergunakan kata atau frasa:
asmaradana, asmara, kasmaran, nawung brangti, rarasing kingkin,
kasmaran, branta, rarasing ati, satyasmara, brangta kingkin, dsb.
Untuk tembang Durma antara lain dipergunakan kata atau frasa: durma, mundur, undurana, kunduran, kondur, kadurmaning, dsb.
Untuk
tembang Mijil antara lain dipergunakan kata atau frasa: mijil,
wijiling, wuryaning, miyos, kawiyos, kawijil, metu, medal, dsb.
Untuk
tembang Kinanthi antara lain dipergunakan kata atau frasa: kinanthi,
kanthi, kanthining, gegandhengan, anganthi, kanthinira, dsb.
Untuk
tembang Maskumambang antara lain dipergunakan kata atau frasa:
maskumambang, kumambang, kambang-kambang, tumimbul ing toya, timbul ing
warih, mas kinambang, mas kentir, kentar, ngemasi, dsb.
Untuk tembang Pucung antara lain dipergunakan kata atau frasa: pucung, pinucung, acung, pamucunging, dsb.
Untuk tembang Gambuh antara lain dipergunakan kata atau frasa: gambuh, tambuh, wimbuh, gegambuhan, dsb.
Untuk
tembang Megatruh (Dudukwuluh) antara lain dipergunakan kata atau frasa:
megatruh, megat, truh, anduduk, duduk wuluhe, dsb.
Sebagai contoh, sasmitaning tembang yang ada pada bait di awal pupuh, yakni pada pupuh Pangkur, sebagai berikut.
Mingkar-mingkuring
angkara / akarana karenan mardi siwi / sinawung resmining kidung /
sinuba sinukarta / mrih kretarta pakartining ngelmu luhung / kang tumrap
neng tanah Jawa / agama ageming aji //
Adapun contoh sasmitaning tembang yang terdapat pada akhir bait di dalam pupuh sebelumnya adalah sebagai berikut.
Surya
candra langit lawan bumi / mega banyu angin sadayanya / pinamitan
samuhane / saestua tumulus / waluya ring ayu lestari / prayitna saking
mula / mula purwanipun / anunggal karsaning titah / ala ayu wus tinitah
batharadi / liring yudakanaka //
Pada
contoh terakhir ini, semula berupa pupuh Dhandhanggula, jadi tembang
tersebut berupa tembang Dhandhanggula, kemudian tentu saja akan berganti
pupuh Pangkur, karena di situ sudah didahului dengan isyarat atau
sasmitaning tembang berbunyi yudakenaka.
Dalam
tiga jenis tembang yasan di atas (tembang gedhe, tembang tengahan dan
tembang macapat), sering terdapat istilah yang disebut pupuh, seperti
telah disebut-sebut di atas. Pupuh adalah suatu kesatuan yang terdiri
atas satu bait atau lebih yang sama metrumnya. Dalam bahasa Belanda
pupuh disebut zang, sedang dalam bahasa Inggris disebut canto. Dalam
satu judul karya sastra Jawa yang berbentuk tembang, bisa terdiri atas
satu pupuh saja (misalnya pupuh Dhandhanggula saja atau Pangkur saja,
dsb), tetapi juga bisa lebih dari satu pupuh (misalnya pupuh Pangkur,
pupuh Mijil, pupuh Asmaradana, dsb).
5) Karakter atau Wataking Tembang
Dalam
tembang yasan, terutama tembang macapat dan tembang tengahan, pernah
dilontarkan suatu teori bahwa setiap jenis tembang mempunyai wataknya
masing-masing. Padmosoekatjo (tt, jld. I: 22-23) misalnya, menyatakan
bahwa penggunaan tembang semestinya mengingat waktak tembang
masing-masing, yakni sbb.
- Kinanthi, berwatak senang, kasih, cinta. Tepatnya dipergunakan untuk menbeberkan ajaran, cerita yang berisi cinta kasih , asmara, atau jatuh cinta (gandrung)
- Pucung, berwatak santai (kendho), tanpa ambisi, seenaknya. Tepatnya untuk menceritakan sesuatu yang netral, tanpa ambisi tertentu.
- Asmaradana, berwatak jatuh cinta, sedih, prihatin. Dalam hal ini sedih dan prihatin yang disebabkan oleh perasaan jatuh cinta. Tepatnya untuk menceritakan tentang jatuh cinta.
- Mijil, berwatak ekspresif (wedharing rasa). Tepatnya untuk mengekspresikan ajaran tertentu, namun juga dapat untuk mengungkapkan perasaan jatuh cinta.
- Maskumambang, berwatak kesal, sedih, menyesal. Tepatnya untuk mengungkapkan perasaan sakit hati, sedih, kesal, menyesal.
- Pangkur, berwatak keras, marah. Tepatnya untuk mengungkapkan perasaan marah, geregetan, ekspresi keras. Jika untuk mengungkapkan ajaran tertentu, yakni ajaran yang bernada marah. Bila untuk mengungkapkan perasaan cinta, cinta yang sangat bergejolak. Pada umumnya juga untuk menceritakan perang.
- Sinom, berwatak ramah, segar. Cocoknya untuk mengungkapkan ajaran atau pendidikan.
- Dhandhanggula, berwatak luwes, senang. Dapat untuk berbagai macam cerita, antara lain untuk membuka atau menutup cerita, untuk mengajar, untuk cerita perihal jatuh cinta, dsb.
- Durma, berwatak keras (galak), marah (muntab). Tepatnya untuk mengungkapkan kemarahan, luapan dendam, atau cerita perang.
- Gambuh, berwatak ramah, sehati, terbiasa, kenal akrab. Cocok untuk mengungkapkan ajaran yang agak keras karena sudah akrab, sehingga penyampaian ajarannya dapat dengan bahasa ragam ngoko, suatu ragam bahasa bagi mereka yang telah akrab.
- Megatruh, berwatak sedih, prihatin, atau putus asa. Tepatnya untuk mengungkapkan perasaan sedih, menyesal tiada henti, atau putus asa.
- Balabak, berwatak nakal, senda gurau, tidak serius. Tepatnya untuk mengungkapkan cerita yang tidak serius atau senda gurau.
- Wirangrong, berwatak berwibawa, agung. Tepatnya untuk mengungkapkan perasaan ketertarikan pada budi baik, ajaran luhur, dsb.
- Jurudemung, berwatak lincah menyenangkan, indah. Tepatnya untuk mengungkapkan tentang hal-hal yang indah menyenangkan atau menarik hati.
- Girisa, berwatak mengharapkan atau memesan. Tepatnya untuk mengungkapkan ajaran yang memesan atau mengharapkan sesuatu kepada orang lain.
Walaupun
banyak pujangga dan pengarang yang menguasai teori perwatakan tembang
tersebut, namun pada realitanya, tidak setiap karya sastra yang
berbentuk tembang setia memperhatikan dan mengikuti pola perwatakan
tembang tersebut. Hal ini antara lain disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut.
- Bait-bait tembang yang tergabung menjadi satu dan disebut pupuh, sering kali tidak dapat luwes untuk selalu mengikuti perkembangan latar cerita atau suasana batin cerita. Dalam satu pupuh sering berisi cerita yang berlatar suasana yang bermacam-macam secara berganti-ganti. Dapat saja hanya dalam beberapa bait saja, latar suasana dalam cerita telah berganti, sementara pupuh-nya belum berganti.
- Hal di atas bermula pada unit atau kesatuan bait (pada) tembang. Sering kali pergantian latar suasana terjadi di antara baris-baris tembang yang ada dalam suatu bait tembang tertentu. Dengan demikian tidak mungkin kesatuan bait tersebut dipenggal dalam baris-baris yang belum selesai menurut aturan guru gatra-nya. Hal ini jelas berbeda sekali bila dibandingkan dengan jenis puisi bebas, apalagi dengan jenis prosa. Puisi Jawa modern yang disebut geguritan, bait-baitnya tidak terikat oleh jumlah barisnya, bahkan sering kali hanya terdiri atas satu baris dengan satu atau dua kata saja. Dengan demikian pergantian suasana kejiwaannya lebih bebas, dapat berganti-ganti setiap saat. Jauh lebih bebas lagi pada jenis prosa yang dapat mendeskripsikan secara detail perkembangan suasana kejiwaan pada cerita yang disuguhkan.
Bila
dicermati lebih jauh, agaknya teori tentang watak tembang menurut jenis
tembang-nya tersebut perlu ditinjau kembali, mengingat adanya berbagai
cengkok atau lagu pada setiap jenis tembang. Kiranya akan lebih tepat
bila watak tembang itu ditinjau dari jenis cengkok-nya, karena setiap
cengkok tembang membawakan rasa alunan lagunya masing-masing yang tentu
saja juga menyuguhkan sifat atau wataknya masing-masing yang
berbeda-beda.
2) Jenis-jenis Cengkok Lagu Macapat
Yang
dimaksud cengkok adalah jenis gaya atau tipe lagu tertentu pada tembang
yang disesuaikan dengan nada dan irama iringan gamelan. Tembang, pada
dasarnya merupakan sastra lisan, disebarkan dari mulut ke mulut dengan
cara dilagukan (ditembangkan). Secara umum diketahui bahwa setiap nada
dan irama itu mengandung rasa masing-masing yang juga bisa dikatakan
sebagai sifat atau watak nada dan irama yang bersangkutan. Tentu saja
hal ini juga berlaku pada setiap cengkok lagu tembang macapat. Namun
sayang sekali sampai saat ini belum ditemukan teori yang
mengidentifikasikan masing-masing watak cengkok lagu tembang. Adapun
jenis-jenis cengkok lagu tembang macapat adalah sebagai berikut
(Prawiradisastra, 1993: 88-91).
(1). Pucung
(a) Pucung Tunjungseta Slendro pathet sanga
(b) Pucung Dengklung Slendro pathet manyura
(c) Pucung Gliyung Pelog pathet nem
(d) Pucung Larasmadya Pelog pathet barang
(e) Pucung Paseban Slendro pathet sanga
(f) Pucung Sangubranta Pelog pathet bem
(g) Pucung Randhasemaya Pelog pathet barang
(h) Pucung Klenthung Slendro pathet sanga
(i) Pucung Linduran Slendro pathet sanga
(2) Maskumambang
(a) Maskumambang Buminata Slendro pathet sanga
(b) Maskumambang Kembangtiba Pelog pathet nem
(c) Maskumambang Dhadhapan Pelog pathet nem
(d) Maskumambang Limaran Pelog pathet nem
(e) Maskumambang Malatsih Pelog pathet nem
(f) Maskumambang Rencasih Pelog pathet nem
(g) Maskumambang Mangkubumen Pelog pathet barang
(h) Maskumambang Natakusuman Peog pathet barang
(3) Gambuh
(a) Gambuh Panglipur Slendro pathet sanga
(b) Gambuh Tejamaya Slendro pathet sanga
(c) Gambuh Buminatan Slendro pathet manyura
(d) Ganbuh Wewarah Pelog pathet barang
(e) Gambuh Lala Pelog pathet nem
(f) Gambuh Natakusuman Pelog pathet nem
(g) Gambuh Mangkubumen Pelog pathet nem
(h) Gambuh Genjung Pelog pathet nem
(i) Gambuh Gonjing Pelog pathet nem
(j) Gambuh Rimang Pelog pathet nem
(4) Megatruh
(a) Megatruh Wulugadhing Slendro pathet manyura
(b) Megatruh Ngurawan Slendro pathet sanga
(c) Megatruh Sastranagaran Pelog pathet barang
(d) Megatruh Gagatan Pelog pathet barang
(e) Megatruh Tejamaya Pelog pathet nem
(f) Megatruh Kocak Pelog pathet nem
(g) Megatruh Amonglulut Pelog pathet nem
(h) Megatruh Tunjungseta Pelog pathet nem
(5) Wirangrong
(a) Wirangrong Tunjungseta Slendro pathet sanga
(b) Wirangrong Tejamaya Slendro pathet sanga
(c) Wirangrong Natakusuman Slendro pathet sanga
(d) Wirangrong Lagu Maos Pelog pathet bem
(e) Wirangrong Buminatan Pelog pathet nem
(f) Wirangrong Mangkubumen Pelog pathet nem
(g) Wirangrong Wiratmaya Pelog pathet nem
(6) Balabak
(a) Balabak Patranala Slendro pathet sanga
(b) Balabak Marasanja Slendro pathet sanga
(c) Balabak Lara-lara Slendro pathet sanga
(d) Balabak Tinjomaya Pelog pathet nem
(e) Balabak Tunjungseta Pelog pathet barang
(f) Balabak Wirabangsa Pelog pathet barang
(3) Kinanthi
(a) Kinanthi Mangu Slendro pathet manyura
(b) Kinanthi Sekargadhung Slendro pathet manyura
(c) Kinanthi Sandhung Slendro pathet manyura
(d) Kinanthi Gagatan Slendro pathet sanga
(e) Kinanthi Kasilir Pelog pathet bem
(f) Kinanthi Panglipurwuyung Pelog pathet nem
(g) Kinanthi Pujamantra Slendro pathet sanga
(h) dsb.
(4) Mijil
(a) Mijil Sekarsih Slendro pathet manyura
(b) Mijil Larasati Slendro pathet sanga
(c) Mijil Tinjomaya Slendro pathet sanga
(d) Mijil Wedharingtyas Pelog pathet bem
(e) Mijil Raramanglong Pelog pathet nem
(f) Mijil Larasdriya Pelog pathet barang
(g) Mijil Kulanthe Pelog pathet barang
(5) Asmaradana
(a) Asmaradana Kadhaton Slendro pathet sanga
(b) Asmaradana Tinjomaya Slendro pathet sanga
(c) Asmaradana Mangkubumen Slendro pathet sanga
(d) Asmaradana Lagu Kawin Pelog pathet bem
(e) Asmaradana Lagu Slobog Pelog pathet barang
(f) Asmaradana Bawaraga Pelog pathet barang
(g) Asmaradana Semarangan Pelog pathet nem
(h) Asmaradana Jakalola Pelog pathet nem
(6) Pangkur
(a) Pangkur Laras Madya Slendro pathet sanga
(b) Pangkur Paripurna Slendro pathet sanga
(c) Pangkur Dhudhakasmaran Slendro pathet sanga
(d) Pangkur Suranggagreget Slendro pathet manyura
(e) Pangkur Kasmaran Pelog pathet nem
(f) Pangkur Nyamatmas Pelog pathet nem
(g) Pangkur Gegersore Pelog pathet nem
(h) Pangkur Ngrenasmara Pelog pathet nem
(7) Durma
(a) Durma Dhendharangsang Slendro pathet manyura
(b) Durma Rangsang Slendro pathet sanga
(c) Durma Gagatan Slendro pathet sanga
(d) Durma Surengkewuh Pelog pathet barang
(e) Durma Guntur Pelog pathet barang
(f) Durma Linduran Pelog pathet barang
(g) dsb.
(8) Jurudemung
(a) Jurudemung Lagu Maos Slendro pathet sanga
(b) Jurudemung Buminatan Pelog pathet barang
(c) Jurudemung Tunjungseta Slendro pathet sanga
(d) Jurudemung Tunjungseta Pelog pathet nem
(e) Jurudemung Natakusuman Slendro pathet sanga
(f) Jurudemung Natakusuman Pelog pathet barang
(g) Jurudemung Sastranegaran Slendro pathet sanga
(h) Jurudemung Sastranegaran Pelog pathet barang
(9) Girisa
(a) Girisa Tejamaya Slendro pathet sanga
(b) Girisa Ruhara Slendro pathet sanga
(c) Girisa Wantah Maos Pelog pathet nem
(d) Girisa Kasaya Pelog pathet nem
(e) Girisa Natakusuman Pelog pathet barang
(f) Girisa Buminatan Pelog pathet barang
(10) Sinom
(a) Sinom Wenikenya Slendro pathet sanga
(b) Sinom Logondhang Slendro pathet sanga
(c) Sinom Mengkreng Slendro pathet sanga
(d) Sinom Pangrawit Slendro pathet manyura
(e) Sinom Kentar Slendro pathet manyura
(f) Sinom Ginonjing Pelog pathet nem
(g) Sinom Bangwetan Pelog pathet nem
(h) Sinom Wenikepyur Pelog pathet barang
(11) Dhandhanggula
(a) Dhandhanggula pasowanan Slendro pathet sanga
(b) Dhandhanggula Padhasih Slendro pathet sanga
(c) Dhandhanggula Rencasih Slendro pathet manyura
(d) Dhandhanggula Tlutur Slendro pathet sanga
(e) Dhandhanggula Banjet Pelog pathet barang
(f) Dhandhanggula Baranglaya Pelog pathet barang
(g) Dhandhanggula Penganten anyar Pelog pathet nem
(h) Dhandhangula Kanyut Pelog pathet nem
(i) Dhandhangula Turulare Pelog pathet nem
Seperti
telah disinggung di atas, dalam bentuk tembang yasan, sering disisipkan
bentuk-bentuk khusus, antara lain sandi asma, sengkalan, wangsalan dan
sebagainya. Perihal sandi asma telah di bicarakan di atas. Sedang
wangsalan akan dibahas dalam hubungannya dengan jenis tembang para.
Adapun sengkalan dapat dijelaskan sebagai berikut.
3) Sengkalan
Dalam
bentuk tembang, khususnya macapat, selain sasmitaning tembang dan
sandiasma, masih ada jenis-jenis tertentu yang juga sering diselipkan di
antara baris-baris atau bait-bait tembang macapat itu, yakni antara
lain sengkalan.
Kata
sengkalan mungkin berasal dari kata saka kala dan akhiran -an, yakni
hitungan waktu yang berdasarkan tahun Saka, karena pada mulanya
sengkalan memang berdasarkan tahun Saka (Subalidinata, 1981: 92- 93).
Namun kemudian pengucapannya bergeser menjadi sangkalan yang dapat juga
berasal dari kata sang kala dan akhiran -an. Kata kala dalam bahasa Jawa
baru dapat berarti ‘waktu’, sedang akhiran -an dapat bermakna
‘membentuk kata benda baru’ atau bermakna ‘tempat’. Jadi sengkalan
dimaknai sebagai ‘tempat atau bagian yang menandakan waktu atau tahun’.
Sengkalan
berisi gambar, atau ornamen atau relief atau semacam patung yang
merupakan simbol dari rangkaian kata-kata atau rangkaian kata-kata itu
sendiri yang mempunyai makna nilai bilangan dan nilai bilangannya
dimaknai dari belakang sebagai angka tahun.
Jadi
dari segi cara ekspresinya, sengkalan ada dua macam, yakni sengkalan
memet dan sengkalan lamba. Sengkalan memet ialah sengkalan yang berupa
bangunan bergambar atau relief atau semacam patung. Kata memet atau
njlimet berarti ‘rumit’. Disebut memet karena penafsirannya lebih rumit.
Menurut Subalidinata (1981: 93), dalam bahasa Jawa, gambar atau relief
sering disebut pepethan, oleh karena itu sengkalan memet juga disebut
sangkala petha.
Adapun
sengkalan lamba ialah sengkalan yang telah berupa rangkaian kata atau
kalimat. Kata lamba dapat berarti ‘sederhana’. Jadi sengkalan lamba
maksudnya adalah sengkalan yang lebih sederhana (dibanding sengkalan
memet). Dalam bentuk tembang, atau dalam kitab-kitab di Jawa tentu saja
yang ada adalah sengkalan lamba.
Sengkalan
sebenarnya telah ada sejak sastra Jawa Kuna. Misalnya terdapat dalam
kitab Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Sengkalan yang ada
berbunyi sanga kuda śuddha cāndramā, yang berarti tahun Saka 1079. Kata
sanga bernilai sembilan, kata kuda bernilai tujuh, kata suddha bernilai
nol, dan kata candrama bernilai satu. Contoh yang berupa sengkalan memet
terdapat dalam candi Sukuh berupa relief seekor lembu menggigit
ekornya, yang harus dimaknai goh wiku naut buntut atau tahun Saka 1378;
dan gapuranya berujud raksasa makan orang yang harus dimaknai gapura
buta mangan wong atau tahun 1379 Saka
Dari
segi dasar perhitungan tahunnya, ada dua sengkalan yakni surya sengkala
dan candra sengkala. Surya sengkala adalah sengkalan yang tahunnya
dihitung berdasarkan tahun matahari. Adapun candra sengkala dihitung
berdasarkan hitungan tahun bulan.
Menurut
Padmosoekotjo (tt, jld. II: 134), kata-kata yang dipergunakan dalam
sengkalan adalah kata-kata yang mengandung makna watak bilangan.
Kata-kata yang dipilih adalah sesuai dengan nilai atau watak angkanya,
sekaligus disesuaikan dengan peristiwa atau kejadiannya. Hal ini
dikarenakan tujuan pembuatan sengkalan adalah untuk mengingat-ingat
tahun terjadinya sesuatu.
Pada dasarnya watak bilangan yang ada dalam sengkalan sebagai berikut.
- Bernilai satu ialah kata-kata untuk bilangan satu, atau barang atau manusia atau bagian tubuh manusia atau binatang yang berjumlah satu, atau barang yang berbentuk bulat, atau bermakna ‘berani’. Kata-kata yang bernilai satu antara lain, wulan (bulan), candra (bulan), sasa (kelinci/ bulan), sasadara (bulan), nabi (nabi), bumi (bumi), buda (buda/ rabu), iku (ekor), janma (manusia), anak (anak), wani (berani), nyata (nyata), rupa (rupa), dsb.
- Bernilai dua ialah kata untuk bilangan dua, atau barang yang jumlahnya pada umumnya dua. Kata-kata yang bernilai dua antara lain, paksi (sayap), lar (bulu panjang pada sayap), mata (mata), netra (mata), tangan (tangan), nembah (menyembah), suku (kaki), talingan (telinga), karna (telinga), buja (bahu), dsb.
- Bernilai tiga ialah kata untuk bilangan tiga, atau api atau barang-barang yang menggunakan api atau berunsur api, atau putri. Kata-kata yang bernilai tiga antara lain, dahana (api), bahni (api), geni (api), agni (api), pawaka (api), tri (tiga), tiga (tiga), telu (tiga), wedha (weda), guna (ilmu pengetahuan), dsb.
- Bernilai empat ialah kata untuk bilangan empat, atau air, atau barang-barang yang berisi air, atau kata-kata yang bermakna ‘membuat’. Kata-kata yang bernilai empat antara lain, banyu (air), we (air), wedang (air panas), tirta (air), segara (laut) samodra (laut), wahana (sarana), suci (suci), dsb.
- Bernilai lima ialah kata-kata untuk bilangan lima, atau kata-kata untuk menyebut raksasa (buta), atau kata-kata untuk menyebut senjata tajam seperti panah, anak panah, atau kata-kata yang berunsur angin. Kata-kata yang bernilai lima antara lain buta (raksasa), pandawa (pandawa), tata (tata),
- Bernilai enam ialah kata-kata untuk bilangan enam, atau unsur-unsur rasa, atau kata-kata yang bermakna ‘bergerak’, yang bermakna ‘kayu’, yang bermakna ‘binatang berkaki enam (sadpada)’.
- Bernilai tujuh ialah kata-kata untuk menyebut bilangan tujuh, kata-kata untuk menyebut gunung, pendeta (pandhita), kuda, atau menunggang atau mengendarai.
- Bernilai delapan ialah kata-kata untuk menyebut bilangan delapan, kata-kata untuk menyebut gajah, atau binatang melata (reptil), atau pujangga.
- Bernilai sembilan ialah kata-kata untuk menyebut bilangan sembilan, atau dewa, atau barang-barang yang dianggap berlubang.
- Bernilai nol ialah kata-kata untuk bilangan nol, atau kata-kata yang bermakna ‘tidak ada’ atau ‘hilang’, atau ‘tinggi’, atau ‘langit’.
Dalam bentuk tembang Dhandhanggula, watak bilangan tersebut dituliskan dalam satu bait, sebagai berikut.
Janma
buweng wani tunggal Gusti (kata-kata yang bernilai 1) / panganten dwi
akekanthen asta (bernilai 2) / gegeni putri katlune (bernilai 3) / papat
agawe banyu (bernilai 4) / buta lima amanah angin (bernilai 5) / sad
rasa kayu obah (bernilai 6) / wiku pitweng gunung (bernilai 7) / gajah
wewolu rumangkang (bernilai 8) / dewa sanga anggeganda terus manjing
(bernilai 9) / dhuwur wiyat tanpa das (bernilai 0).
Menurut
Bratakesawa dalam bukunya Candra Sengkala (Padmosoekotjo, tt, Jld. II:
135), ada delapan patokan dalam memilih kata-kata untuk sengkalan, yakni
sebagai berikut.
- Guru dasa nama, yakni kata-kata yang sama artinya atau bersinonim, mempunyai watak bilangan sama. Contohnya kata bumi yang bernilai atau berwatak satu dapat digantikan dengan kata siti, pratiwi, pratala, bantala, kisma, dsb.
- Guru sastra, yakni kata-kata yang penulisannya atau namanya sama, meskipun artinya berbeda mempunyai watak bilangan sama. Contohnya kata esthi yang berarti ‘maksud’ atau ‘kehendak’ bernilai sama dengan kata esthi yang bermakna ‘gajah’ yakni delapan.
- Guru wanda, yakni kata-kata yang bersuku kata sama dapat dianggap bernilai sama. Misalnya kata dadi yang berarti ‘menjadi’ sama nilainya dengan kata waudadi yang berarti ‘laut’ yakni bernilai empat.
- Guru warga, yakni kata-kata yang dapat dikategorikan dalam warga atau jenis atau golongan yang sama dapat dianggap mempunyai nilai yang sama. Misalnya nama binatang jenis reptil mempunyai nilai yang sama. Nilai baya ‘buaya’ sama dengan nilai naga ‘naga’ atau ula ‘ular’ yakni bernilai delapan.
- Guru karya, yakni nama bendanya dianggap sama watak bilangannya dengan hasil kerjanya. Misalnya kata mripat ‘mata’ bernilai sama dengan kata mandeng ‘memandang tajam’, atau ndeleng ‘memandang’, yakni bernilai dua.
- Guru sarana, yakni nama alat tertentu sama nilainya dengan fungsinya. Misalnya ilat ‘lidah’ sama nilainya dengan rasa ‘rasa’ yakni bernilai enam.
- Guru darwa, yakni nama benda dengan sifatnya dianggap bernilai sama. Misalnya kata geni ‘api’ bernilai sama dengan kata panas ‘panas’, yakni bernilai tiga.
- Guru jarwa, yakni kata-kata yang mempunyai kemiripan arti dianggap sama nilainya. Misalnya kata retu ‘tidak tenteram’ atau ‘galau’ bernilai sama dengan kata geger ‘huru-hara’ yakni bernilai enam. Menurut Subalidinata (1981: 96-97), masih ada patokan selain di atas, yakni sebagai berikut.
- Berdasarkan pertautan nilai angka dalam huruf Jawa, yakni untuk angka 1 atau 7 yakni dengan huruf Jawa ga, dan 8 yakni dengan huruf Jawa pa. Jadi kata lega, raga, boga, dsb dapat bermakna 1 atau 7 karena mengandung bunyi ga. Adapun kata papa, nastapa, wilapa dapat bermakna 8, karena mengandung bunyi pa.
- Berdasarkan hukum kebiasaan dan kenyataan yang berlaku secara umum. Ratu atau raja ‘raja’, bumi, jagad ‘bumi’ atau ‘dunia’, biasanya hanya satu sehingga bernilai 1. Kata manten ‘pengantin’, tangan ‘tangan’, kuping ‘telinga’ bernilai 2, dsb.
- Berdasar logika umum, yakni sesuatu yang secara logis dapat dihubungkan dengan nilai angka tertentu. Misalnya kata gandheng ‘bergandeng’ atau ‘bersambung’ dapat bernilai 2. Ilang ‘hilang’ atau musna ‘musnah’ dapat berarti 0, dsb.
Contoh-contoh sengkalan adalah sebagai berikut.
- Rasa rupa dwi sitangsu (tahun 1216, R. Wijaya menjadi raja)
- Kuda bumi paksaning wong (tahun 1217, pemberontakan Ranggalawe)
- Brahmana papat muji tunggal (tahun 1748, penobatan Pakubuwana V)
- Naga iku ngrusak jagad (tahun 1018, Candi Sewu)
- Sirna ilang gunaning janmi (tahun 1300, Pajajaran runtuh)
- Geni mati siniraming janmi (tahun 1403, Demak berdiri)
- Tri lunga manca bumine (tahun 1503, Pajang berdiri)
- Panerus tingal tataning nabi (tahun 1529, Suluk Wujil)
- Sirneng tata pandhita siwi (tahun 1750, Serat Rama)
- Atata resi mulang janma (tahun 1795, Serat Centhini).
b) Tembang Para
Berbeda
dengan tembang yasan, tembang para pada umumnya tidak mengenal pupuh.
Artinya kesatuan bait-baitnya tidak dapat disebut pupuh karena patokan
bait-baitnya tidak konsisten. Jadi pada umumnya, antara bait yang satu
dengan bait selanjutnya berbeda-beda pola metrisnya, baik yang
menyangkut jumlah barisnya, jumlah suku katanya, maupun persajakannya.
Jenis
tembang para, antara lain berupa pepindhan yakni menyangkut sanepa,
panyandra, isbat, paribasan, bebasan, dan saloka, wangsalan, parikan,
lagu dolanan, dan guritan.
(1) Pepindhan: Sanepa, Panyandra, dan Isbat
Secara
luas, sebenarnya kata pepindhan berarti perumpamaan. Dengan demikian
sebenarnya pepindhan itu menyangkut sanepa, panyandra, isbat, paribasan,
bebasan dan saloka. Kata pepindhan berasal dadi kata dasar pindha yang
mengalami perulangan, yakni perulangan dwi purwa salin swara dan
mendapatkan akhiran –an. Kata pindha, memiliki sinonim kaya, lir,
pendah, lir pendah, kadi, dan kadya yang semuanya beararti ‘seperti’.
Jadi pepindhan adalah ungkapan bahasa yang mengandung perbandingan atau
perumpamaan.
Menurut
Padmosoekotjo (t.t., jld. I: 93), perbedaan di antara penamaan beberapa
perumpamaan, terutama karena sudut pandangnya. Dari segi pembentukan
kalimatnya bisa berupa pepindhan, dari segi isinya bisa berupa
panyandra, dari segi diksinya (bregasing basa) bisa berupa basa
rinengga, dan dari segi suaranya bisa mengandung purwakanthi, dan
seterusnya.
Agaknya
yang perlu lebih ditekankan adalah antara sanepa, panyandra dan isbat
di satu sisi, dan paribasan, bebasan dan saloka di sisi lain.
(a) Sanepa
Yang
disebut sanepa, menurut Padmosoekotjo (t.t., Jld. II: 66), yakni jenis
pepindhan yang bentuknya stereortipe (tetap) dan terdiri atas kata sifat
yang diikuti kata benda. Sedang menurut Subalidinata (1981: 81) sanepa
mengandung arti menyangatkan sesuatu sifat yang diumpamakan dengan cara
mempertentangkan.
Contohnya sebagai berikut.
Ambune arum jamban (baunya, lebih harum comberan dari pada baunya)
Balunge atos gedebog (tulangnya lebih keras batang pisang, lunak sekali)
Cahyane abang dluwang (air mukanya, lebih merah kertas putih)
Eseme pait madu (senyumnya, lebih pait madu)
Lungguhe anteng kitiran (duduknya, lebih tenang putaran kipas)
Suwe mijet wohing ranti (mudahnya, lebih lama memijat buah ranti)
(b) Panyandra
Panyandra
adalah ungkapan yang mengandung perbandingan dan mengandung persamaan,
di dalamnya berisi perbandingan keindahan. Dalam hal ini yang
dipentingkan keadaan indahannya, sehingga bahasanya bisa bahasa
sehari-hari maupun dengan bahasa indah (basa rinengga). Contohnya
sebagai berikut.
Athi-athine ngudhup turi (rambut di depan teliunga seperti kuncup turi)
Alise nanggal sepisan (alisnya seperti bulan tanggal satu)
Bangkekane nawon kemit (pinggangnya bagaikan pinggang tawon kemit)
Idepe tumengeng tawang (bulu matanya melengkung ke langit)
Kempole ngembang pudhak (betisnya seperti bunga pudak)
Lengene nggendhewa pinenthang (lengannya seperti busur dibentang)
Ulate ndamar kanginan (air mukanya seperti dian tertiup angin)
Untune miji timun (giginyta bagaikan biji mentimun)
(c) Isbat
Kata
isbat berarti ‘ketetapan’. Isbat, yakni ungkapan yang mengandung
pengertian tetap, mengandung arti kias, dan pada umumnya bermakna dalam
hubungannya dengan tasawuf atau bersifat filosofis-mistis.
Contohnya sebagai berikut.
Golek banyu apikulan warih (mencari air berpikulan air)
Golek geni adedamar (mencari api dengan api)
Kodhok ngemuli lenge (Katak menyelimuti liangnya)
Nggoleki galihing kangkung (mencari galih pohon kangkung)
Nggoleki gigiring punglu (mencari bagian punggung biji asam)
Nggoleki susuhing angin (mencari sangkar angin)
Nggoleki isining bumbung wungwang (mencari isi bumbung kosong)
Nggoleki tapaking kuntul nglayang (mencari jejak burung kuntul terbang)
(2) Pepindhan: Paribasan, Bebasan dan Saloka
Antara
paribasan, bebasan dan saloka memiliki kemiripan bentuk yang pada
dasarnya dapat disejajarkan dengan kata peribahasa dalam bahasa dan
sastra Indonesia. Paribasan, bebasan dan saloka, ketiganya merupakan
kata atau kelompok kata yang mengandung makna kiasan dan bentuknya tetap
atau stereotip. Oleh karena kemiripannya, banyak orang yang menyamakan
saja antara ketiganya, atau antara pakar yang satu dengan yang lain
berbeda dalam hal pemilahannya. Padmosoekotjo (tt, jilid I: 62)
menuliskan komentarnya mengenai hal tersebut, yakni bahwa ketiga-tiganya
memang sulit dibedakan, bahkan beliau belum pernah mendapatkan atau
menemukan penjelasan dari pakar lain yang layak untuk diacu (durung tau
mrangguli katrangan sing gumathok lan maremake ingatase beda-bedane).
Kemudian beliau mencoba memberikan batasan sebagai berikut.
(a) Paribasan
Paribasan
adalah istilah yang tetap penggunaannya (bunyinya), mempunyai makna
kiasan, masing-masing kata tidak mengandung makna kiasan atau
pembanding. Sebagai contoh adalah yatna yuwana lena kena. Pada
masing-masing kata tersebut tidak mengandung makna kiasan. Kata yatna
berarti ‘hati-hati’, kata yuwana berarti ‘selamat’, kata lena berarti
‘lengah’, dan kata kena berarti ‘tertimpa’ dalam hal ini ‘tertimpa
bencana’. Yatna yuwana lena kena berarti ‘siapa yang berhati-hati akan
selamat dan siapa yang lengah akan tertimpa bencana’.
(b) Bebasan
Bebasan
adalah istilah yang tetap penggunaannya (bunyinya), mempunyai makna
kiasan, mengandung makna pembanding. Yang dibandingkan adalah keadaan
atau sifat orang atau benda tertentu. Orang atau benda yang dikiaskan
termasuk di dalamnya, tetapi yang dipentingkan adalah sifatnya.
Contohnya kerot ora duwe untu. Kata kerot berarti ‘menggeretakkan gigi
bagian atas dengan gigi bawah’. Dalam hal ini kata kerot mengandung
makna kiasan yakni bermakna ‘kemauan, keinginan, niat’, atau ‘tujuan’.
Kata ora duwe untu berarti ‘tidak punya gigi’. Dalam hal ini ‘tidak
punya gigi’ adalah kiasan dari keadaan atau sifat ‘tidak mempunyai biaya
atau modal’. Jadi maknanya ‘berniat sekali tetapi tidak mempunyai modal
atau biaya’.
(c ) Saloka
Saloka
adalah istilah yang tetap penggunaannya (bunyinya), mengandung makna
kiasan, yang dikiaskan adalah orangnya. Sifat dan keadaan orang yang
dikiaskan tentu saja termasuk di dalamnya, tetapi dalam jenis ini yang
dipentingkan adalah orangnya. Sebagai contoh adalah kebo bule mati
setra. Kata kebo berarti ‘kerbau’ bermakna kias ‘orang’. Kata bule
berarti ‘jenis orang atau binatang yang berkulit putih karena ras atau
kelainan tertentu’ bermakna kias ‘pandai’. Sebagian orang Jawa
berkeyakinan bahwa orang bule (termasuk orang Belanda) adalah orang yang
pandai. Jadi kebo bule mengiaskan pada ‘orang yang pandai’. Kata mati
berarti ‘meninggal’ dan bermakna kias ‘menemui kesengsaraan atau
kecelakaan’. Kata setra berarti ‘tempat pembuangan atau kuburan’
bermakna kias sebagai ‘di tempat yang tidak menyenangkan atau
tersingkir’. Jadi makna kiasannya adalah orang yang pandai yang
tersingkir karena kepandaiannya tidak diperlukan.
Peribahasa
dalam bahasa Jawa banyak sekali jumlahnya, bisa dibaca dalam buku
seperti karya Dirdjosiswojo (1956) dan Darmasoetjipta (1985). Peribahasa
Jawa, di samping dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, sering juga
diselipkan dalam bentuk-bentuk tembang macapat, dsb. Dalam hal ini
peribahasa yang ada kadang kala berubah demi memenuhi tuntutan aturan
tembang yang bersangkutan. Sebagai contoh pada pupuh Gambuh dalam
Wulangreh karya Pakubuwana IV sebagai berikut.
Wonten pocapanipun / adiguna adigang adigung / pan adigang kidang adigung pan esthi / adiguna ula iku / telu pisan mati sampyoh.
Pada
contoh di atas, peribahasa adigang adigung adiguna berubah karena
dibalik menjadi adiguna adigang adigung. Hal ini dikarenakan tuntutan
aturan guru lagu yang ada pada tembang Gambuh, yakni baris kedua
berakhir dengan bunyi vokal u (aturan seperti itu telah dibicarakan di
atas).
Bila
dikaji lebih lanjut peribahasa Jawa muncul dari latar belakang
lingkungan sosial yang berbeda-beda, antara lain sebagai berikut.
1. Lingkungan masyarakat petani. Contohnya sebagai berikut.
- Tatune arang kranjang, artinya ‘lukanya sangat banyak’.
- Arep jamure emoh watange, artinya ‘orang yang hanya mau enaknya tapi tak mau berusaha keras atau bersusah payah’.
- Ambuntut arit, artinya ‘orang yang berwatak tidak baik tetapi tidak terus terang’.
- Anggered pring saka pucuk, artinya ‘kurang bijaksana dengan menentang tradisi’.
2. Lingkungan masyarakat pedagang. Contohnya sebagai berikut.
- Adol lenga kari busik, artinya ‘memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa mengingat kebutuhannya sendiri’.
- Adol gawe, artinya ‘pamer karena ingin dipuji kemampuannya’.
- Adol bagus atau adol ayu, artinya ‘lelaki atau wanita yang sombong’
- Adol umuk, artinya ‘suka pamer atau sombong’.
3. Lingkungan peradilan dalam masyarakat.
- Anirna daya, artinya ‘mengajukan perkara berdasarkan orang yang telah meninggal’
- Anirna patra, artinya ‘mengungkiri tulisannya sendiri sebagi bukti peradilan’
- Anirna pandaya, atinya ‘mengajukan perkara berdasarkan orang yang telah pergi’
- Akadang saksi, artinya ‘menasihati saksi untuk berkesaksian tertentu’.
4. Lingkungan masyarakat pemburu.
- Amburu kidang lumayu, artinya ‘spekulasi yang sulit berhasil’
- Ambuwang rase nemu kuwuk, artinya ‘sikap selektif yang merugikan’
- Nrajang grumbul ana macane, artinya ‘melawan tradisi akan menemui resiko berat’.
- Nemu kuwuk, artinya ‘peristiwa yang bersifat kebetulan’
5. Lingkungan masyarakat penangkap ikan.
- Amburu uceng kelangan deleg, artinya ‘karena ketamakan untuk mendapatkan berlebih, seseorang menemui kerugian’
- Iwak kalebu wuwu, artinya ‘menunjuk keadaan terjebak’
- Uwis kebak sundukane, artinya ‘telah banyak kesalahannya sehingga tertangkap’
- Enggon welut diedoli udhet, artinya ‘orang yang berlebih dipameri sesuatu yang kurang bernilai sehingga tidak diterima’.
- Kena iwake ora butheg banyune, artinya ‘meraih hasil tanpa dengan merepotkan atau merugikan orang lain’.
6. Lingkungan masyarakat yang lain, misalnya masyarakat pertukangan, peternakan, rumah tangga pada umumnya, dsb.
Dalam
hal saloka, dalam bahasa Sansekerta maupun bahasa Jawa Kuna sudah ada
bentuk yang dalam bahasa Melayu disebut seloka. Namun demikian belum
diteliti sejauh mana pengaruh seloka dari kedua bahasa (Sansekerta dan
Jawa Kuna) yang sama-sama pernah hidup eksis di Jawa tersebut terhadap
saloka bahasa Jawa Baru. Menurut Padmopuspito (1989: 63) ditinjau dari
isinya, ketiganya mempunyai kesamaan, yakni mengandung isi yang padat
yang merupakan kesimpulan dari berbagai peristiwa dan pengalaman
masyarakat yang melatar-belakanginya.
Contoh seloka bahasa Sansekerta sebagai berikut.
maksikâ vranam icchanti dhanam icchanti pârthivah
nîcâh kalaham icchanti çantim icchanti sâdhavah.
Artinya:
‘lalat-lalat menginginkan luka, pangeran-pangeran menginginkan
kekayaan, orang-orang hina menginginkan percekcokan, orang-orang
suci menginginkan ketenangan’.
Dalam
seloka Sansekerta pada umumnya terdiri atas empat gatra yang sering
dijadikan dua baris, masing-masing gatra terdiri atas delapan suku kata,
sehingga keseluruhan berjumlah 32 suku kata (setiap baris 16 suku
kata). Hal tersebut berbeda dengan seloka Bahasa Jawa Kuna, yang tidak
memiliki pola tetap. Contoh seloka Jawa Kuna sebagai berikut.
mapa
ta phalaning guna, yan enengakena ri unggwanya, yan tan wetwakena,
umpamanya, kadyangganing padyut ri jro ning dyun, tan kawedhar
padhangnya ring prtiwi mandhala, mangkeha tikang kaprajnân wetwakena
juga yan ing prayoganya.
Artinya:
‘Apalah
hasil kepandaian, jika didiamkan di tempatnya, jika tidak dikeluarkan,
umpamanya seperti batang lampu di dalam tempayan, terangnya tidak
tersinar di atas bumi, demikian pula halnya dengan kepandaian sebaiknya
dikeluarkan saja’ .
Dalam
saloka bahasa Jawa Baru, seperti halnya dalam bahasa Jawa Kuna, lebih
bebas tidak seperti aturan seloka yang ada dalam bahasa Sansekerta.
Contoh saloka bahasa Jawa Baru di atas sudah ada yakni kebo bule mati
setra. Contoh yang lainnya antara lain: kebo nusu gudel, yang maknanya
‘orang yang tua belajar dari orang yang lebih muda’.
Bila
ditinjau dari benda yang dipergunakan sebagai kiasan, saloka bahasa
Jawa Baru dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yakni sebagai berikut.
Pertama, saloka yang mempergunakan binatang. Contohnya sebagai berikut.
- Gajah ngidak rapah, artinya ‘orang yang melanggar aturannya sendiri’
- Kebo mulih ing kandhange, artinya ‘perangtau yang kembali ke asalnya’
- Bebek mungsuh mliwis, artinya ‘bermusuhan dengan orang yang lebih mampu’
- Kutuk marani sunduk (ula marani gebug), artinya ‘orang yang sengaja memasuki tempat yang berbahaya’
- Asu belang kalung wang, artinya ‘orang tidak baik yang memiliki andalan kekayaan’
Kedua, saloka yang menggunakan tumbuh-tumbuhan. Contohnya sebagai berikut.
- Ketepang ngrangsang gunung, artinya ‘cita-cita yang terlalu tinggi dibanding dengan kemampuannya’
- Kemladhean ngajak sempal, artinya ’orang yang ditolong atau saudara yang mau menjerumuskan’
- Timun wungkuk jaga imbuh, artinya ‘orang tidak mampu yang hanya dipakai sebagai cadangan dalam urusan tertentu’
- Cengkir ketindhihan kiring, artinya ‘kalah pengaruh dengan orang yang lebih tua’
- Jati ketlusuban ruyung, artinya ‘orang baik yang dipengaruhi oleh orang jahat’
- Tunggak jarak mrajak, artinya ‘keturunan orang tidak mampu yang bisa hidup sukses’
- Tunggak jati mati, artinya ‘keturunan orang mampu yang tidak sukses’
Ketiga, saloka yang menggunakan benda-benda mati. Contohnya sebagai berikut.
- Sumur lumaku tinimba (gong lumaku tinabuh), artinya ‘orang yang sangat ingin digurui’
- Tigan kapit ing sela, artinya ‘orang lemah dikeroyok orang yang kuat’
- Bathok bolu isi madu, artinya ‘orang hina tetapi kaya kepandaian’
- Lahang karoban manis, artinya ‘tampan dan berbudi halus’ (Padmopuspito, 1989: 63)
No comments:
Post a Comment