Istilah andragogi seringkali dijumpai dalam proses pembelajaran orang dewasa (adult learning), baik dalam proses pendidikan nonformal (pendidikan luar sekolah) maupun dalam proses pembelajaran pendidikan formal. Pada pendidikan nonformal teori dan prinsip andragogi digunakan sebagai landasan proses pembelajaran pada berbagai satuan, bentuk dan tingkatan (level) penyelenggaraan pendidikan nonformal. Pada pendidikan formal andragogi seringkali digunakan pada proses pembelajaran pada tingkat atau level pendidikan menengah ke atas. Namun demikian dalam menerapkan konsep, prinsip andragogi pada proses pembelajaran sebenarnya tidak secara mutlak harus berdasar pada bentuk, satuan tingkat atau level pendidikan, akan tetapi yang paling utama adalah berdasar pada kesiapan peserta didik untuk belajar.
Kondisi itu terjadi karena kita menganggap bahwa semua murid, peserta didik (warga belajar) itu adalah sebagai orang dewasa yang diasumsikan memiliki kemampuan yang aktif dalam merencanakan arah belajar, memiliki bahan, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganlisis dan menyimpulkan serta mampu mengambil manfaat dari belajar atau dari sebuah proses pendidikan. Fungsi guru dalam hal ini hanya sebagai fasilitator, bukan menggurui, sehingga relasi antara guru dan peserta didik (murid, warga belajar) lebih bersifat multicomunication. (Knowles, 1970). Oleh karena itu andragogi adalah suatu bentuk pembelajaran yang mampu melahirkan sasaran pembelajaran (lulusan) yang dapat mengarahkan dirinya sendiri dan mampu menjadi guru bagi dirinya sendiri. Dengan keunggulan-keunggulan itu andragogi menjadi landasan dalam proses pembelajaran pendidikan nonformal.
Hal ini terjadi karena pendidikan nonformal formula pembelajarannya diarahkan pada kondisi sasaran yang menekankan pada peningkatan kehidupan, pemberian keterampilan dan kemampuan untuk memecahkan permasalahan yang dialami terutama dalam hidup dan kehidupan sasaran di tengah-tengah masyarakat. Untuk memahami secara mendasar tentang konsep teori dan prinsip andragogi, pada bagian ini akan diuraikan secara tuntas tentang beberapa definisi andragogi dari berbagai ahli:
Dugan (1995) mendefinisikan andragogi lebih kepada asal katanya, andragogi berasal dari Bahasa Yunani. Andra berarti manusia dewasa, bukan anak-anak, menurut istilah, andragogi berarti ilmu yang mempelajari bagaimana orang tua belajar. Definisi tersebut sejalan dengan apa yang diartikan Sudjana dalam Bukunya Pendidikan Non-Formal Wawasan Sejarah Perkembangan Filsafat Teori Pendukung Azas (2005), disebutkan bahwa, andragogi berasal dari bahasa Yunani ”andra dan agogos”. Andra berarti orang dewasa dan Agogos berarti memimpin atau membimbing, sehingga andragogi dapat diartikan ilmu tentang cara membimbing orang dewasa dalam proses belajar. Atau sering diartikan sebagai seni dan ilmu yang membantu orang dewasa untuk belajar (the art and science of helping adult learn). Definisi tersebut sejalan dengan pemikiran Knowles dalam Srinivasan (1977) menyatakan bahwa: andragogi as the art and science to helping adult a learner.
Pada konsep lain andragogi seringkali didefinisikan sebagai pendidikan orang dewasa atau belajar orang dewasa. Definisi pendidikan orang dewasa merujuk pada kondisi peserta didik orang dewasa baik dilihat dari dimensi fisik (biologis), hukum, sosial dan psikologis. Istilah dewasa didasarkan atas
kelengkapan kondisi fisik juga usia, dan kejiwaan, disamping itu pula orang dewasa dapat berperan sesuai dengan tuntutan tugas dari status yang dimilikinya. Elias dan Sharan B. Merriam (1990) menyebutkan kedewasaan pada diri seseorang meliputi: age, psychological maturity, and soscial roles. Yang dimaksud dewasa menurut usia, adalah setiap orang yang menginjak usia 21 tahun (meskipun belum menikah). Sejalan dengan pandangan tersebut diungkapkan pula oleh Hurlock (1968), adult (dewasa) adulthood (status dalam keadaan kedewasaan) ditujukan pada usia 21 tahun untuk awal masa dewasa dan sering dihitung sejak 7 atau 8 tahun setelah seseorang mencapai kematangan seksual, atau sejak masa pubertas. Pendekatan berdasar usia dilakukan oleh ahli hukum, sehingga melahirkan perbedaan perlakuan hukum terhadap pelanggar. Dewasa dilihat dari sudut pandang dimensi biologis juga bisa dilihat dari segi fisik, dimana manusia dewasa memiliki karakteristik khas seperti: mampu memilih pasangan hidup, siap berumah tangga, dan melakukan reproduksi (reproduktive function).
Dewasa berdasar dimensi psikologis dapat dilihat dan dibedakan dalam tiga kategori yaitu: dewasa awal (early adults) dari usia 16 sampai dengan 20 tahun, dewasa tengah (middle adults) dari 20 sampai pada 40 tahun, dan dewasa akhir (late adults) dari 40 hingga 60 tahun. Hutchin (1970) dan Rogers, (1973) dalam Saraka, (2001:59) memandang batas usia seputar 25 sampai dengan 40 tahun, merupakan usia emas (golden age). Pada dimensi ini dewasa lebih ditujukan pada kematangan seorang individu.
Anderson dalam Psychology of Development and personal Adjustment (1951), meyimpulkan tujuh ciri kematangan bagi seorang individu yaitu:
- Kematangan individu dapat dilihat dari minatnya yang selalu berorientasi pada tugas-tugas yang dilakukan atau dikerjakannya, serta tidak mengarah pada perasaan-perasaan diri sendiri atau untuk kepentingan pribadi (tidak pada diri dan atau ego).
- Tujuan-tujuan yang dikembangkan dalam konsep dirinya jelas dan selalu memiliki kebiasaan kerja yang efisien.
- Kemampuan dalam mengendalikan perasaan pribadi dalam pengertian selalu dapat mempertimbangkan pribadinya dalam bergaul dengan orang lian.
- Memiliki pandangan yang obyektif dalam setiap keputusan yang diambilnya.
- Siap menerima kritik atau saran untuk peningkatan diri.
- Bertanggung jawab atas segala usaha-usaha yang dilakukan.
- Secara realitas selalu dapat menyesuaikan diri dalam situasi-situasi baru.
Kematangan seorang individu dapat pula menjadi patokan bagi kedewasaan secara sosial, hal ini dapat dicermati dari kesiapannya dalam menerima tanggungjawab, mengerjakan dan menyelesaikan tugas-tugas peribadi dan sosialnya terutama untuk memenuhi kebutuhan belajarnya (Freire, 1973; dan
Milton dkk, 1985). Lebih lanjut, Lovell mengatakan bahwa: Adulthood is the time when basic skills and abilities were so rapidly acquired in childhood are consolidated and exploited to the full and many new skills and competencies learned. There can be many factors influencing the way in which an adult approaches a new learning experience. Some related to the characteristics of the learners and range from personality and cognitive styles to individual differences in age, experience, motivations and self-perception. Other relate to social context within which learning takes place and to the ways in which any formal teaching is planned and carried out and evaluated (Lovelly, 1980:1)
Secara fundamental, karakteristik kedewasaan atau kematangan seorang individu yang paling mendasar terletak pada tanggung jawabnya. Ketika individu sudah mulai memiliki kemampuan memikul tanggung jawab, dimana ia sanggup menghadapi kehidupannya sendiri dan mengarahkan diri sendiri. Jika mereka menghadapi situasi baru tidak memiliki bekal kemampuan maupun keterampilan diri (skills of directed inquiry), maka ia akan merasa sulit dalam mengambil inisiatif terutama dalam memiliki tanggung jawab belajarnya. Tidak sedikit individu yang telah memiliki latar belakang pendidikan tinggi (universitas, perguruan tinggi, sekolah tinggi) tidak siap menerima tanggung jawab lebih lanjut dari hasil belajarnya. Sehingga individu-individu tersebut menjadi penganggur, mengalami kecemasan, frustasi, dan kegagalan. Bersikap pasif menghadapi dunia kesehariannya dan tidak berdaya atau berani dalam menghadapi masa depan.
Kematangan dalam kondisi dewasa-matang, dapat ditandai oleh kemampuan memenuhi kebutuhannya, memanfaatkan pengalamannya dan mengidentifikasi kesediaan belajar. Ketika kemampuan belajar seputar masalah kehidupannya menjadi meningkat, maka sikap ketergantungan kepada orang lain akan semakin berkurang. Orang dewasa yang memiliki konsep diri matang dapat memikul tanggung jawab kehidupan, menyadari dimana posisi dirinya pada saat itu dan tahu akan kemana tujuan hidupnya. Disamping itu pula mereka cakap dalam mengambil keputusan dan mampu berpartisipasi di masyarakat dan akan mampu mengarahkan dirinya, memilih dan menetapkan pekerjaan yang relevan. Orang dewasa yang betul-betul matang secara psikologis tidak akan menghindar atau lari dari masalah yang dihadapi (Knowless, 1986:55).
Dalam dimensi sebagai peserta didik (murid, warga relajar) andragogi, dewasa dalam banyak hal memiliki beberapa keunggulan-keunggulan. Dari segi konsep diri, mereka memiliki kematangan psikologis; bertanggung jawab, memiliki hasrat dan motivasi kuat untuk belajar dan mampu mengarahkan dirinya.
Mereka dapat belajar dan mempelajari sesuatu dalam skala yang lebih luas dan memilih strategi belajar yang lebih baik, lebih efektif dan lebih terarah dan mampu mengarahkan diri (self directing). Dari pengalaman belajar, peserta didik dewasa memiliki setumpuk pengalaman sebagai resource persons and total life impressions dalam kaitannya dengan orang lain. Mereka dapat menjadi sumber dan bahan belajar yang kaya, terutama dalam mendukung belajar kelompok serta belajar bersama dengan ahli-ahli. Sistem pembelajaran pada peserta didik dewasa dapat diarahkan ke dalam berbagai bentuk kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhannya dan kebutuhan sumber serta bahan belajar, seperti pada: kelompok diskusi, bermain peran, simulasi, pelatihan, (group discusion, team designing, role playing, simulations, skill practice sessions) (Inggalls, 1973, Knowless, 1977 dan Unesco, 1988)
Dari segi kesiapan belajar, orang dewasa memandang bahwa “all living is learning. Learning is not only preparation for living the very essence of living, the very essence of living it self”. Setiap peserta didik memiliki pola kesiapan yang berbeda dengan warga lainnya terutama dalam hal kekuatan motivasi (inner motivations) seperti: needs for esteem (self esteem), urge to grow, the satisfaction for accomplishment, the need to know something specific and curiosity to learn”.
Pada umumnya orang dewasa mereka memiliki kemampuan membaca, menulis dan menghitung dan menguasai kemampuan verbal dan kecakapan mengambil keputusan yang relevan dengan kebutuhan pribadi dan tuntutan sosialnya. Mereka merancang dan menetapkan minat dan kebutuhan belajarnya, mendiagnosis kebutuhannya sesuai tuntutan hidupnya dan lain-lainnya. Pembelajaran dapat bertindak sebagai nara sumber, pengarah, pembimbing, pemberi fasilitas, atau teman belajar (resource person, guide, helper, facilitator or partner for the learners) (Inggalls, 1973, Knowless, 1977, Unesco, 1988, Saraka, 2001) Secara alamiah, orang dewasa memiliki kemampuan menetapkan tujuan belajar, mengalokasi sumber belajar, merancang strategi belajar dan mengevaluasi kemajuan terhadap pencapain tujua relajar secara mandiri. Lebih jauh Tough menyatakan bahwa: Peserta didik dewasa lebih dimungkinkan terlibat dalam self initiated education atau self directed education, ketimbang dalam self directed learning. Proses dan aktivitasnya dideskripsikan sebagai self directed learning atau self directed education atau self teaching, learning projects or major learning efforts (Brookfield, 1986:47)
Dari perspektif waktu dan orientasi belajar, orang dewasa memandang belajar itu sebagai suatu proses pemahaman dan penemuan masalah serta pemecahan masalah (problem finding and problem solving), baik berhubungan dengan masalah kekinian maupun masalah kehidupan di masa depan. Orang dewasa lebih mengacu pada tugas atau masalah kehidupan (task or problem oriented). Sehingga orang dewasa akan belajar mengorganisir pengalaman hidupnya. (Knowless, 1977, Unesco, 1988, Kamil, 2001, Saraka, 2001) Berdasarkan kepada kondisi-kondisi itu dan konsepsi andragogi, istilah pendidikan orang dewasa dapat diartikan sebagai Pendidikan yang ditujukan untuk peserta didik yang telah dewasa atau berumur 18 tahun ke atas atau telah menikah dan memiliki kematangan, dan untuk memenuhi tuntutan tugas tertentu dalam kehidupanya.
Derkenwald dan Merriam mengungkapkan pengertian pendidikan orang dewasa adalah “is a process where by person whose major social roles characteristic of adult status undertake systematic and sustained learning activities for the purpose of bringing about chnges in knowledge, attitudes, values, or skliss”. Pendidikan orang dewasa adalah suatu proses belajar yang sistematis dan berkelanjutan pada orang yang berstatus dewasa dengan tujuan untuk mencapai perubahan pada pengetahuan, sikap, nilai dan keterampiolan.
Kondisi-kondisi yang dapat ditimbulkan dari definisi itu adalah:
- Orang dewasa termotivasi untuk belajar sesuai dengan kebutuhan dan minat mereka;
- Orientasi belajar bagi orang dewasa adalah berpusat pada kehidupan;
- Pengalaman sebagai sumber kekayaan untuk belajar orang dewasa;
- Orang dewasa mengharapkan berhubungan sendiri dengan kebutuhan yang tepat;
- Perbedaan individual di antara perorangan berkembang sesuai dengan umurnya.
Knowles (1976) melanjutkan pemahamnan C. Linderman, mengungkapkan bahwa kondisi orang dewasa dalam belajar berbeda dengan anak-anak. Kalaulah pada anak-anak digunakan istilah “padagogy” sehingga diartikan dengan “the art and science of teaching children” atau ilmu dan seni mengajar anak-anak.
Menurut pandangannya, mengapa sampai terjadi perbedaan antara kegiatan belajar anak-anak dengan orang dewasa, hal tersebut karena orang dewasa memiliki:
- Konsep diri (The self-concept),
- Pengalaman hidup (The role of the learner’s experience);
- Kesiapan belajar (Readiness to learn);
- Orientasi belajar (Orientasion to learning);
- Kebutuhan pengetahuan (The need to know); dan
- Motivasi (Motivation)
Pendapat-pendapat itu sejalan dengan beberapa definisi yang dikembangkan para ahli diantaranya adalah: Definisi yang diungkapkan oleh Morgan, Barton et al (1976) bahwa, pendidikan orang dewasa adalah suatu aktifitas pendidikan yang dilakukan oleh orang dewasa dalam kehidupan sehari-hari yang hanya menggunakan sebagian waktu dan tenaganya untuk mendapatkan tambahan intelektual. Sejalan dengan definisi itu, Reevers, Fansler, dan Houle menyatakan bahwa, pendidikan orang dewasa adalah upaya yang dilakukan oleh individu dalam rangka pengembangan diri, dimana dilakukan dengan tanpa paksaan (legal).(Suprijanto, 2007:13). UNESCO lebih tajam mendifinisikan pendidikan orang dewasa sebagai suatu proses pendidikan yang terorganisir baik isi, metode dan tingkatannya, baik formal maupun nonformal, yang melanjutkan maupun menggantikan pendidikan di sekolah, akademi, universitas, dan pelatihan kerja yang membuat orang yang dianggap dewasa oleh masyarakat dapat mengembangkan kemampuannya, memperkaya pengetahuannya, meningkatkan kualifikasi teknis maupun profesionalnya, dan mengakibatkan perubahan pada sikap dan perilakunya dalam persfektif rangkap perkembangan peribadi secara utuh dan partisipasi dalam pengembangan sosial, ekonomi, dan budaya yang seimbang. (Townsend Coles, 1977, Sudjana, 2004:50)
No comments:
Post a Comment