BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam perkembangan pemikiran manusia memiliki macam-macam bentuk pemikiran manusia yang berbeda diantaranya, analogi induktif, pemikiran melalui hubungan kausal kausal, pemikiran dari sesuatu yang sudah ditangkap, pemikiran melalui pola yang telah diketahui, pemikran dari data yang tidak mantap, dan pemikiran yang bersandar pada kewibawaan.
Analogi induktif yakni analogi yang disusun berdasarkan persamaan principal yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan. Pemikiran melalui hubungan kausal memiliki tiga macam yaitu dari sebab akibat, dari akibat ke seban dan dari akibat ke akibat. Sedangkan pemikiran dari sesuatu yang sudah ditangkap Suatu kebenaran yang tidak terserap dapat dibuktikan melalui suatu tanda yang ditangkap (diserap).
Pemikiran melalui pola yang telah diketahui adalah pemikiran yang kita menyamakan sesuatu yang belum diketahui dan mencocokkan dengan pola yang sudah diketahui. Pemikiran yang dari data tidak mantap adalah Dalam pemikiran ini kita menyimpulkan kebenaran yang tidak terserap pancaindera, tetap dituntut supaya bisa menjelaskan kenyataan yang ada.
B. Rumusan Masalah
- apa pengertian dari analogi induktif?
- apa saja bentuk-bentuk pemikiran lain dalam logika scientific?
C. Tujuan
- untuk mengetahui pengertian dari analogi induktif.
- untuk mengetahui bentuk-bentuk pemikiran lain dalam logika scientific.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Analogi Induktif
Analogi induktif yakni analogi yang disusun berdasarkan persamaan principal yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena kedua. Bentuk argument ini sebagaimana generalisasi tidak pernah menghasilkan kebenaran mutlak
Pemikiran ini juga biasa disebut pemikiran melalui persamaan atau pemikiran melalui analogi, atau juga disebut juga analogi logis. Pemikiran ini berangkat dari suatu kejadian khusus ke suatu kejadian khusus lainnya yang semacam, dan menyimpulkan bahwasannya apa yang benar pada yang satu juga akan benar pada yang lainnya, misalnya:
- Andi sembuh dari pusing kepalanya karena minum obat ini.
- Maka Rendy juga akan sembuh dari sakit kepalanya jika minum obat ini.
Pada dasarnya analogi induktif adalah suatu cara menyimpulkan yang menolong kita memanfaatkan pengalaman. [1]Berangkat dari suatu barang yang khusus, yang kita ketahui, menuju barang yang serupa dalam hal-hal yang pokok. Tetapi juga dapat kekeliruan besar, yakni dalam memperbandingkan bisa jadi tidak memperhatikanadanya beberapa perbedaan yang penting, sehingga dalam praktek hasilnya berbeda dengan hasil yang di capai melalui proses pemikiran tersebut. Persamaan-persamaan antar manusia, misalnya: saudara pasti akan dapat penghasilan yang lebih besar bila mengikuti kursus seperti halnya Rina. Dalam menghadapi hal seperti ini, hendaknya jangan lupa bahwa anda dan Rina mungkin memiliki perbedaan dalam sifat-sifat tertentu yang dibutuhkan untuk dapat maju dalam bisnis.
Apabila hal-hal diatas tersebut diperhatikan, analogi induktif merupakan suatu metode yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua barang khusus yang diperbandingkan.
Pengetahuan secara analogis adalah suatu metode yang menjelaskan barang-barang yang tidak biasa dengan istilah-istilah yang dikenal. Sebagai suatu cara menjelaskan cara ini sangat bermanfaat, karena ide-ide baru menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah kita ketahui atau kita percayai. tetapi anda tidak dapat berpikir dengan menumpukan pikiran pada analogi ini. Meskipun hal itu merupakan suatu cara menjelaskan, yang mungkin sangat menolong, anda tidak dapat memakainya sebagai bukti karena cara ini bertumpu pada persamaan yang dangkal diantar dua barang.
Lain halnya dengan analogi induktif, analogi induktif adalah suatu car berpikir didasarkan pada persamaan yang nyata dan terbukti, yang terdapat antara dua barang, dan melalui barang itu kita menyimpulkan bahwa karena memiliki kesamaan dalam banyak segi yang penting, maka kedua barang itu juga serupa dalam beberapa karakteristik lainnya.
B. Pemikiran Melalui Hubungan Kausal
Pemikiran melalui hubunga kausal memiliki tiga pola, yaitu:[2]
Ø Pemikiran dari sebab akibat
Pemikiran ini berangkat dari suatu sebab yang diketahui penyimpulannya yang merupakan akibat. Misalnya, hujan lebat sekali, kemudian membuat pemikiran, karena lupa menutup pintu empangnya maka empangnya pasti meluap dan ikan piaraanya pasti kabur. Sebab yang diketahui: hujan lebat sekali akibatnya yang disimpulkan dengan pemikiran empang yang meluap dan ikannya pada kabur.
Ø Pemikiran dari akibat ke sebab
Pemikiran yang berangkat dari suatu akibat yang diketahui ke sebab yang mungkin menghasilkan akibat tersebut. Seorang pasien pergi ke dokter karena secara mendadak suhu badannya meningkat. Gejala ini menunjukkan akibat. Dan sekarang tugas dokter memastikan apa yang menjadi sebabnya. Dokter sudah memeriksa kemudian menentukan bahwa sebab meningkatnya suhu yang menadak itu karena tonsil. Pemikiran bertolak dari suatu akibat yang diketahui ke suatu yang diperkirakan menjadi sebab.
Ø Pemikiran dari akibat ke akibat
Pemikiran ini berangkat langsung dari suatu akibat lain tanpa menyebutkan hal yang menjadi sebab yang menghasilkan keduanya. Misalnya sungainya meluap, kemudia kita berpikir maka empang kita juga pasti meluap. Keduanya berasal dari suatu sebab yang tidak disebutkan, yakni hujan lebat sekali.
C. Pemikiran dari Suatu Tanda yang Ditangkap
Suatu kebenaran yang tidak terserap dapat dibuktikan melalui suatu tanda yang ditangkap (diserap). Tanda tersebut bisa menolong kita menunjukkan kenyataan kebenaran karena tanda tersebut merupakan ciri khas yang terbit dari kebenaran tersebut. Dalam dunia pemikiran India, bentuk pemikiran tersebut disebut anumana. Misalnya: ada api di gunung karena ada asap, dan bilamana ada asap pasti ada api seperti, misalnya di dapur.[3]
D. Pemikiran Melalui Pola yang Telah Diketahui
Bentuk pemikiran ini di India disebut sebagai pemikiran upamana. Dalam pemikiran ini kita menyamakan sesuatu yang belum diketahui dan mencocokkan dengan pola yang sudah diketahui. Misalnya: binatang ini pastilah yang disebut gajah karena saya telah diberitahu bahwa gajah itu adalah seekor binatang yang besar, hidungnya panjang, telinganya besar, matanya kecil, kakinya besar-besar dan ekornya kecil. Dan binatang ini seperti itu. Jadi, pastilah binatang ini yang disebut gajah.
E. Pemikiran Dari Data yang Tidak Mantap
Di India pemikiran ini disebut arthapatti. Dalam pemikiran ini kita menyimpulkan kebenaran yang tidak terserap pancaindera, tetap dituntut supaya bisa menjelaskan kenyataan yang ada. Misalnya: tetangga saya gendut sekali, padahal saya tahu bahwa siang hari ia tidak pernah makan. Maka pastilah ia akan makan malam hari di saat semua orang tidur.
F. Pemikiran Bersandar Pada Kewibawaan
Pendapat atau pernyataan, supaya sah, harus didukung oleh fakta dan pemikiran. Apabila fakta dan pemikiran saling melengkapi dalam menentukan kesimpulan, maka argumun yang sehatlah yang kita miliki. Apabila kita mempergunakan fakta, kita harus memperhitungkan dan memperhatikan sumber suatu fakta, sahnya, dan relevansi fakta itu sendiri. Kita harus menghindari setia loncatan ke kesimpulan yang kurang hati-hati. Terlebih dahulu orang harus menguji dengan teliti semua fakta yang relevan, dan berpikir kritis guna memastikan bahwa fakta-fakta ini benar-benar menjamin kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari fakta-fakta tersebut.[4]
Sering kita ketahui, fakta kita peroleh melalui dua sumber, yakni pengamatan kita sendiri dan pengamatan orang lain. Apabila kita berpikir, seharusnya percaya pada pengamatan kita sendiri sebanyak mungkin. Tetapi tidak jarang kita bertahan oleh batas pengalaman kita sendiri sehingga terpaksa harus menggunakan pengalaman orang lain, yakni menggunakan kewibawaan. Kewibawaan dapat kita rumuskan sebagai kesaksian ahli yang diberikan suatu individu atau kelompok yang benar-benar cakan dan berwenang.
Kita harus belajar menyingkirkan kabar angin, desas-desus, kesaksian tangan kedua. Lebih-lebih yang sangat penting ialah supaya kita belajar membedakan antara pendapat semata dan pendapat yang dipikirkan benar-benar, didasarkan pada evidensi objektif atau pada data-data yang diamati, diukur, dan dapat diadakan eksperimentasi. Sasaran kita dalam menguji kewibawaan dengan kritis adalah meniliti pengamatan-pengamatan dan pemikiran seseorang saksi diperlawankan dengan pengalaman kita sendiri guna menyaring kesaksian yang terbaik dan menghindarkan kemungkinan-kemungkinan menyelundupnya kesalahan-kesalahan.
Sering kali banyak orang menjadi kecewa mengalami adanya demikian banyak kewibawaan yang sering saling berlawanan. Tetapi sebenarnya, jika kita berfikir sedikit, adanya perbedaan pendapat itu sesuatu yang lumrah. Kita perlu mendidik diri dan melatih diri untuk tidak allergi terhadap perbedaan, terhadap sesuatu yang lain. Perbedaan pendapat muncul dari adanya perbedaan dalam kekayaan kejiwaan, pengamatan, penyimpulan dan atau penafsiran. Apabila kita menghadapi perbedaan pendapat semacam itu, kita harus menelitinya dengan seksama, dan seperti yang telah dikatakan di tas, memperhitunhkan, menimbang-nimbang perbedaan tersebut dan memilih kesaksian yang terbaik. Apabila kita menghadapi kejadian di mana para ahli dan kewibawaan sepenuhnya berlawanan mengenai hal-hal yang berada di tas pengalaman kita, di atas jangkauan rasional atau jangkauan intelektual kita tidak ada jalan lain selain menunda keputusan. Tetapi hal ini hendaknya dikerjakan apabila kita telah meneliti dengan seksama mengapa kewibawaan-kewibawaan itu saling bertentangan.
Jadi para ahli dapat dengan jujur berselisih paham. Meskipun perselisihan paham mereka kadang-kadang menunjukkan kesalahan, berat sebelah atau kelalaian. Perselisihan paham yang terdapat di antara para ahli ini hendaknya jangan sekali-kali menyebabkan kita membuang semua bentuk kewibawaan atau menyebabkan kita memilih semau-maunya satu kewibawaan di atas kewibawaan lain. Apabila terdapat perselisihan paham antara kewibawaan, tugas dan persoalan kita hendaknya kritis, terapkan ukuran-ukuran yang telah pasti.
Untuk menguji kewibawaan yang akan kita pakai, marilah kita perhatikan ukuran-ukuran sebagai berikut:
- Adakah kewibaannya diasingkan?
- Suatu kewibaan dapat dikatakan tidak diasingkan jika ia dengan seksama telah meneliti fakta-faktanya dan telah mencapai kesimpulan yang darinya ia secara pribadi tidak akan mengambil manfaatnya. Guna memilih kewibawaan yang tidak diasingkan, kita harus waspada terhadap hal-hal seperti kepentingan khusus, afiliasi partai, keberatsebelahan religius, motif-motif ekonomis, dan berbagai unsur lingkungan dan psikologis yang mungkin dan atau betul-betul membuat pikiran seseorang dapat diasingkan.
- Adakah pendidikan dan pengalaman si ahli benar-benar membuatnya berwenang berbicara sebagai ahli dalam bidang ini? Dalam dunia yang telah sangat mengenal spesialisasi seperti abad ke-20 ini kiranya hampir tiada satu pun yang dapat mengatakan apa yang menjadi cita-cita Bacon: semua pengetahuan kujadikan bidangku. Zaman kita adalah zaman kita di mana kita dapat menerima seseorang sebagai seorang ahli hanya bila orang tersebut mendapat pendidikan spesialisasi khusus dan pengalaman yang mendalam dalam suatu lapangan pengetahuan khusus. Jadi, seseorang bisa jadi ahli dalam suatu bidang tanpa menjadi ahli atau mempunyai wewengan dalam bidang yang sama sekali berlainan.
- Adakah kewibawaan menunjukkan dasar bagi kesimpulanya dasar bagi kesimpulannya dengan memberikan evidensi objektif atau fakta dan alasan. Apabila kita mengguanakan kewibawaan, kita harus belajar bersikap skeptis sehat terhadap “ahli” yang percaya pada ucapan semata atau berlindung di belakang nama seseorang, istilah “terhormat” seperti agama, pancasila, dan lain-lain. Apabila seorang ahli benar-benar memberi dasar pada keyakinannya, kita harus bertanya adakah dasar faktual tersebut atau yang dianggapnya sebagai evidensi objektifnya tersebut masih bisa dipersoalkan, adakah pemikirannya sehat, dan apakah pendapat-pendapat yang berlawanan telah dipertimbangkan, apakah tidak mencampur adukkan kebenaran dan keyakinan (wishful thinking) yakni suatu yang dikehendaki sebagai kebenaran. Salah satu petunjuk terbaik dari integritas suatu kewibawaan adalah kesediannya memikirkan suatu objek dari berbagai segi, tidak hanya dari satu segi.
- Adakah publik atau orang yang kita ajak bicara bersedia menerima orang ini sebagai suatu kewibawaan? Apabila tidak, apakah kita telah cukup melengkapinya dengan informasi dan latar belakang guna memastikan dia sebagai kewibawaan?
Adalah hal yang kurang bijaksana jika berpendapat bahwa semua orang pasti akan menerima setiap kewibawaan yang lain dari ahli-ahli yang telah diketahui secara meluas. Maka kewajiban kita ialah memastikan kredibilitas orang-orang yang akan kita buktikan kewibawaannya. Informasi latar belakang harus kita masukkan bilamana muncul sedikit keragu-raguan tentang kewibawaan dari pihak orang yang kita ajak bicara. Referensi tentang sumber yang kita gunakan untuk mengambil bahan hendaknya yang seksama.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasannya Analogi induktif yakni analogi yang disusun berdasarkan persamaan principal yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena kedua. Bentuk argument ini sebagaimana generalisasi tidak pernah menghasilkan kebenaran mutlak.
Pemikiran ini juga biasa disebut pemikiran melalui persamaan atau pemikiran melalui analogi, atau juga disebut juga analogi logis. Pemikiran ini berangkat dari suatu kejadian khusus ke suatu kejadian khusus lainnya yang semacam, dan menyimpulkan bahwasannya apa yang benar pada yang satujuga akan benar pada yang lainnya.
Pemikiran melalui hubungan kausal juga memiliki tiga pola yaitu dari sebab ke akibat, dari akibat keseban dan juga dari akibat ke akibat. Pemikiran dari suatu tanda yang ditangkap adalah Suatu kebenaran yang tidak terserap dapat dibuktikan melalui suatu tanda yang ditangkap (diserap). Pemikiran melalui pola yang di ketahui adalah pemikiran yang menyamakan sesuatu yang belum diketahui dan mencocokkan dengan pola yang sudah diketahui. Sedangkan pemikiran dari data yang mantap adalah pemikiran yang menyimpulkan kebenaran yang tidak terserap pancaindera, tetap dituntut supaya bisa menjelaskan kenyataan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA;
W.poespoprodjo. Logika Scientific. Bandung: pustaka Grafika. 2006
Karomani. Logika. Yogyakarta: Graha Ilmu.1997
[1] W.poespoprodjo, logika scientific,(Bandung: Pustaka Grafika 2006)hal.242
[2] Ibid, hal. 244
[3] Karomani, Logika, (Yogyakarta: Graha Ilmu 1997)hal.111
[4] W.poespoprodjo, logika scientific,(Bandung: Pustaka Grafika)hal. 246
No comments:
Post a Comment