Saturday, 25 March 2017

PERSAMAAN BAHASA DENGAN GENDER DALAM KOMUNIKASI

BAHASA DAN GENDER
Tiga puluh tahub lalu, sebuah karya besar telah dihasilkan dalam komunikasi dan gender. Dalam bagian ini, kita mengkaji teori-teori yang berhubungan dengan gender sampai tradisi social budaya. Semua teori ini terkait dengan bagaimana gender memengaruhi bahasa dan sebaliknya membangun sebuah dunia social khusus. Teori pertama yang kami uji adalah Cheris Kramarae.

Bahasa layaknya Gender. Seperti Burke, Cheris Kramarae meyakini bahwa fitur utama dari dunia adalah sifat linguistiknya serta kata-kata dan sintaksis dalam struktur pesan dari pemikiran seseorang serta interaksi yang mempunyai pengaruh besar pada bagaimana kita mengarungi dunia. Implikasi yang timbul dari bahasa adalah perhatian utama Kramarae, sebagaimana penelusurannya pada bagaimana cara pesan memperlakukan wanita dan pria secara berbeda. Pengalaman seseorang tidka mungkin lepas dari pengaruh bahasa. Bahkan, kategori laki-laki dan wanita adalah hasil dari pembentukan secara linguistic. Dengan kata lain, kita “ dididik untuk melihat dua jenis kelamin. kemudian, kita melakukan banyak kegiatan untuk terus melihat hanya dua jenis kelamin ini.”

Kramarae tidak hanya mencatat kepentingan bahasa dalam penafsirannya; ia juga mengarahkan pada dimensi kekuasaan. System bahasa memiliki hubungan kekuasaan yang ditambahkan didalamnya dan mereka yang menjadi bagian dari system linguistic yang dominan, cenderung memiliki persepsi mereka sendiri, mengalami, dan mode ekspresi yang menyatu dalam bahasa. Pada kasusnya bahasa inggris, kramarea yakin bahwa ini adalah “ bahasa buatan laki-laki “ dan demikian menanamkan sudut pandang maskulin daripada feminism. Persepsi laki-laki kulit putih kelas menengah, secara khusus, nyatanya dinormalkan secara standar dalam linguistic. Laki-laki adalah standar, dalam hal pekerjaan, dan wanita adalah kategori yang menyimpang dari kebiasaan : waiter dan waitress, actor dan actress. Mr., sebagai sebuah gelar panggilan tidak berisi informasi tentang status perkawiinan, sedangkan istilah miss dan mrs., jelas memberikan informasi yang lebih berguna bagi laki-laki dibandingkan bagi wanita. Bukan hanya bahasa itu sendiri, tetapi juga instrument dari bahasa kamus menonjolkan sudut pandang laki-laki kulit putih, seperti halnya struktur dan institusi masyarakat yang didapat dari bahasa, seperti lembaga pendidikan, teknologi, dan sebagainya.

Ide bahwa penyusunan kekuasaan social sebagian besar ditanam dalam bahasa yang juga berarti bahwa bahasa dan dunia sering meredam wanita dengan berbagai cara.pada point yang kedua, kramarae menyatukan karya antropolog Edwin Ardener dan Shirley Ardener dalam teori kelompok terendam ( muted-group theory ). Edwin Ardener mengamati bahwa antropolog cenderung menggolongkan sebuah budaya dalam istilah maskulin, menyarankan bahwa etnografi itu semu pada pengamatan laki-laki dalam sebuah kebudayaan. Selain itu, pada pengujian yang lebih deket, Ardener memandang bahwa bahasa asli dari sebuah kebudayaan memiliki unsure bias yang melekat pada pria, bahwa pria menciptakan pemaknaan terhadap suatu kelompok dan bahwa suara feminin ditekan atau “ dihilangkan.” Penghilangan wanita dalam penelitian Ardener, membawa ketidakberdayaan wanita untuk mengekspresikan diri mereka sendiri dalam gaya bahasa pria.

Shirley Ardener menambahkan dengan menyarankan bahwa pembungkaman wanita memiliki beberapa menifestasi dan bukti pada wacana public. Wanita kurang dapat merasa nyaman dan kurang ekspresif dimuka umum daripada pria serta mereka kurang bisa nyaman di muka umum daripada dalam situasi lebih pribadi. Sebagai akibatnya, wanita mengawasi komunikasi mereka sendiri lebih intensif daripada yang pria lakukan. Wanita memperhatikan apa yang mereka katakana serta menerjemahkan apa yang mereka rasakan dan pikirkan kedalam istilah pria. Ketika pemaknaan maskulin dan feminine serta pertanyaan konflik, maskulin cenderung menang karena dominasi laki-laki di masyarakat. Hasilnya adalah wanita dihilangkan.

Kramarae memperluaskan karya Ardener dengan cara menyatukan dengan hasil penelitian pada wanita dan komunikasi. Kramarae memberikan perhatian khusus pada cara wanita menerjemahkan persepsi mereka sendiri kedalam dunia sudut pandang pria dalam rangka untuk ikut andil dalam kehidupan public. Bagi seseorang, wanita terkadang kesulitan dalam mengekspresikan diri mereka sendiri daripada pria. Pengalaman wanita biasa adalah tidak dapat berkata-kata terhadap pengalaman yang digolongkan sebagai feminin, nampaknya karena pria tidak membagi perasaannya tidak mengembangkan kaidah untuk feminin. Akan tetapi disaat yang sama, memahami pemaknaan pria lebih mudah daripada pria yang memahami wanita karena mereka harus mengetahui kebiasaan system yang dominan.

Dari sumbernya….
Tidak ada yang sederhana tentang pembungkaman. Bukan selalu masalah yang harus “ dipecahkan.” Ada keheningan Dalam meditasi; melepaskan diri dari kehidupan bising urban; menghargai diri kita sendiri dan orang lain; rasa kebersamaan dengan orang lain; beristirahat dari paksaan untuk berbicara. Keheningan dapat juga menjadi sebuah perlindungan, yang tidak harus dibicarakan dengan mengharapkan kebaikan orang lain.

-Cheris Kramarae
Lebih jauh, Kramarae mencatat bahwa karena mereka secara verbal bisu, wanita lebih bergantung pada ekspresi non-verbal dan menggunakan bentuk non-verbal yang berbeda daripada laki-laki. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa, sebagai contoh, ekspresi wajah, penghilangan vocal, dan gerak tubuh lebih penting dalam pembahasan wanita daripada pria. Wanita juga nampaknya menunjukkan sebuah ekspresi keragaman dalam percakapan mereka. Sebagai akibat dari menjadi bungkam, wanita merespons dalam berbagai cara. Salah satu responsnya adalah wanita menciptakan ekspresi mereka sendiri diluar dominasi system pria. Kesadaran yang meningkat dari suatu kelompok dan bentuk lain dari “ jadwal gadis keluar malam “ memberi ruang dan waktu bagi wanita untuk menghabiskan waktu dengan wanita lainnya yang dibuat oleh mereka sendiri.

Penciptaan bentuk ekspresi alternatif adalah khas bagi semua populasi yang dibungkam. Selama zaman Rel Kereta Bawah Tanah, selimut kapas banyak tergantung di langsiran kereta api untuk “ mengeluarkan udara “ selama sehari; Pada kenyataannya, mereka mengisyaratkan kepada pelarian budak bahwa ini adalah rumah persembunyian. Bahkan, pola dari selimut kapas sendiri member petunjuk untuk budak tersebut. Ketika pola monyet memegang kunci inggris ditunjukkan, berarti para budak harus segera mengemasi barang yang dibutuhkan selama di perjalanan; ketika pola katak terguling muncul, berarti waktunya untuk pergi; dan pola selimut kapas “ Dresden “ mengidikasikan bahwa budak harus menuju ke Dresden, kanada. Akan tetapi, karena selimut kapas dipandang tidak signifikan oleh budaya dominan, mereka dapat berfungsi sebagai bentuk sebuah pesan khas yang bahkan tidak dapat “ dipahami “ oleh penangkapan budak.

Sebagai contoh kontemporer, Foss and Foss mewawancarai sejumlah wanita dan menguji bentuk komunikasi mereka. Buku mereka, women speak : the eloquence of women’s lives, meragukan sejumlah asumsi tentang apa yang mendasari komunikasi yang mengesankan, menunjukkan bahwa banyak bentuk komunikasi yang digunakan wanita bernilai dalam kewenangan mereka sendiri, walaupun dianggap tidak signifikan dalam public dunia maskulin. Buku tersebut membuat karya ini lebih dikenal public dalam usahanya untuk memberikan suara pada wanita yang secara normal dihilangkan dari masyarakat.

Kramarae adalah seorang penyokong yang kuat agar wanita memiliki kendali pada dunianya sendiri dengan membuat bentuk komunikasi yang lebih nyaman dan ramah untuk mereka. Ia ingin melihat wanita membuat dunia yang aman untuk kebebasan dan penggalian ide-ide kritis. Hal ini dapat terjadi ketika manusia mengolah semua bentuk penekanan, termasuk bentuk bahasa arogan. Ia ingin melihat sebuah dunia yang saling berkaitan daripada pemisahan dan sebuah dunia yang menghargai daripada yang menolak perbedaan. Ia ingin sebuah dunia di mana informasi dengan bebasnya dpat masuk bagi semua orang.

Bagi Kramarae, untuk menyadari dunia semacam ini berarti mengambil ahli bahasa dan emansipasi dari dominasi patriarki. Menganalisis dan memahami terkadang sulit dipisahkan dari pola dominasi linguistic adalah satu cara untuk mencapai tujuan ini. Kedua, sangatlah penting untuk mempelajari komunikasi wanita dan komunikasi kelompok lain yang terpinggirkan untuk lebih belajar mengenai bentuk komunikasi alternatif. Akhirnya, bentuk baru pasti terbentuk dan digunakan.

Kramarae sendiri, bersama dengan koleganya Paul Treichler and Ann Russo, telah menulis sebuah feminist dictionary yang didalamnya terdapat penciptaan makna baru dan membantu membangun dunia peran wanita yang lebih besar. Karya ini berusaha untuk menangkap fitur-fitur dari sebuah wacana dunia feminis dengan menyertakan kata-kata yang memiliki arti khusus untuk wanita sebagaimana definisi yang terkandung, tidak dengan pria, tetapi dengan perasaan wanita. Sebagai tambahan , kamus tersebut mencakup berbagai kata dan sering berlawanan dengan definisi dari sebuah kata, menyarankan bahwa sebuah kata mungkin berbeda arti dalam konteks, waktu, dan individu yang berbeda. Sebagai contoh, nama lahir ( birth name ) adalah “ sebuah istilah yang digunakan oleh feminis sebagai sebuah label yang lebih akurat untuk nama yang diterima saat lahir dari istilah sebelumnya, nama gadis ( maiden name ) yang memiliki standar implikasi seksual ganda.” Hysterical adalah “ sebuah opsi peran alternatif untuk wanita era Victoria kelas menengah yang dihadapkan dengan konflik pengharapan ( menjadi seorang “ lady “, untuk mengurus rumah, untuk menekan angka kelahiran anak ).” Home adalah “ barak yang nyaman,” “ dimana revolusi dimulai,” serta “ lokasi bekerja dan rekreasi untuk wanita dengan anak kecil.”

Karya bahasa dan kekuasaan menggambarkan sebuah cara bagi karya akademisi feminis untuk meningkatkan kesadaran tentang hubungan kekuasaan dan menyarankan strategi untuk meningkatkan kekuataan dari wanita. Selain itu, jenis karya lain yang terkadang berbeda, yaitu sejenis karya feminis yang melibatkan pengenalan terhadap bentuk strategis dari komunikasi yang sifatnya lebih feminin daripada semua yang sudah ada pada bahasa. Kita sekarang berahli ke teori sejenis ini.

Gaya Femini. Teory gaya femini di anjurkan pertama kali oleh Karlyn Kohrs dan di teliti oleh Bonnie J. Dowdan Mari Boor Toon, meneliti usah-usaha Kramarae ubtuk memahami aspek gender pada bahasa. Inti teorynya adaah bahwa gaya femini berasall daru apa yang telah terhubung pada apa yang telah disebut oleh Acambell “craft learning” dalam hal ini Campbell tidak hanya memaknai keahlian secara harfiah yang secara tradisional berhubung dengan ibu rumah tangga dan dunia ibu (peranan feminine) seperti halnya menjahit, menyulam memasak dan mengurus tanaman, tapi juga keahlian secara emosional, seperti pemeliharaan, empati, dan alasan yang konkret.

Campbell menyatakan bahwa selain gaya ini tidaj membatasu wanita, baik sebagai penbicara atau anggota pendenga, munculnya perasaan yang jauh dari rumah dan keudian menghasilkan jenis pesan: “wacana tersebut kedengaranya pribadi (keahlian di pelajari langsung dari mentor), sangat bergantung pada pengalaman pribadi, anekdot, dan contoh lainya. Halini cenderung akan menjadi sruktur (keahlian di pelajari sedikit demi sedikit, contoh demi contohm yang muncul penyamarataan) hal ini mengundang partisipasa pendengar aakan di sebut sebagai kerabat, dengan pengenalan perasaan berdasarkan pepngalaman”. Salah satu strategi dimana orator wanita menggunakan gaya ini untuk Nampak lebih “seperti wanita”di muka umum dan wanita terus mensesialisasikan untuk berkomuikasii dengan cara yang sesuai dengan kpribadian wanita secara tradisional.

Bonnie J. Dow dan Mari boor Toon memperluas karya gaya feminine mereka, menyisakan sebuah strategi yang efektif dimana pembicara wanita kenteporer bias mendapatkan akses kepada system politik; mereka menggunakan pidato mantan gubernur Texas, Ann Richard, untuk memperliharkan keadaan gaya feminine dalam alur wacana politik dan untuk memperlihatkan bagai manna gaya ini berfungsi sebagai sebuah strategi penguasa pendengaran. Mereka menemukan bahwa Richard berdasarkan pengalamannya mengutuip dari surat pemilih, sebagai contohnya, untuk mengistimewakan alas an konkret dari alas an abstrak. Iya juga menggunakan nada pidato pribadi serta kaidah kasih sayang. Pertalian dan hubungan untuk menguasai pendengaranya supaya mempercayai persepsi dan penelitan mereka sendiri. Di saat yang sama, cara dia menyampaikan maksudnya dengan humor, kisah pribadi dan anekdot membuat wacana lebih dapat di terima pendengaran yang tidak pernah di gunakan pada seorang wanita dalam dunia politik. Dow dan Toon mengajukan bahwa gaya feminine Richard terjadi di balik “adaptasi terhadap rintangan yang diteranngkan oleh patriarkis untuk menawarkan alternative terhadap mode pemikiran dan patriarkis.” Mereka menai pandangan alternative ini sebuah ruang penolakan feminis publick (feminis counter-publick sphere)”.

Jane Blankenship dan Deborah Robson menguji wacana kebijakan wanita di muka umum antara tahun 1991 dan 1994 untuk menentukan apakah sebuah gaya feminine dapat di akui kebenaranya dalam wacana politik kontemporer. Mereka menyipukln bahwa pada kenyataannya memang ada dan di golongkan kepada 5 hal yan paling meninjol: 1. Pengalaman konkret sebagai dasar penilaian politik; 2. Cakupan dan hubungan; 3. Kantor public yang terkonsep seperti sebuah tempat “penyelesaian” dan menguasai orang lain; 4. Pendekatan suci kepada bentuk kebjakan; dan 5. Membawa legislasi wanita ke depan umum. Apa yang tersisa, menurut blankship dan Robson adalah apakah gaya feminin membuat atau mencerminkan sebuah perbedaan dalam proses atau hasil dari kebijakan public.

Dengan tradisi sosiokultural, kita bergerak dalam elemen-elemen pesan terhadap keterkaitan yang lebih besar mengenai cara pesan menciptakan hubungan antar individu dalam kelompok budaya masyarakat. Sebagai mana kita bergerak ke tradisi sosiopsikologis anda akan melihat perubahan dari pesan itu sendiri terhadap proses pesikologis yang terlibat dalam produksi dan penerimaan semua pesan tersebut.

No comments:

Post a Comment