Friday, 31 March 2017

Ciri, Isi, Dan Orientasi Kurikulum Pendidikan Islam

Ciri, Isi, Dan Orientasi Kurikulum Pendidikan Islam
a. Ciri Kurikulum Pendidikan Islam
Pada dasarnya kurikulum mempunyai aspek utama yang menjadi ciri-cirinya sebagaimana yang diungkapkan oleh Hasan Langgulung yang dikutip oleh Ramayulis (2004:127-128), yaitu:

Tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh kurikulum itu:
  1. Pengetahuan (knowledge) ilmu-ilmu data, aktivitas-aktivitasnya dan pengalamanpengalaman dari mana terbentuk kurikulum itu;
  2. Metode dan cara-cara mengajar dan bimbingan yang diikuti murid-murid untuk mendorong mereka kearah yang dikehendaki dan tujuan-tujuan yang dirancang;
  3. Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur dan menilai hasil proses pendidikan yang dirancangkan dalam kurikulum
Pada rincian diatas ada empat kandungan utama kurikulum yaitu tujuan pendidikan, materi yang akan diberikan, metode mengajar, dan cara penilaian. Jika dikaitkan dengan falsafah pendidikan yang dikembangkan oleh pendidikan Islam tentu semua akan menyatu dan terpadu dengan ajaran Islam itu sendiri. Tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh kurikulum dalam pendidikan Islam dan juga sama dengan tujuan pendidikan; yaitu membentuk akhlak yang mulia dalam kaitannya dengan tujuan penciptaan manusia yaitu mengabdi kepada Allah Swt. Pada pembahasan di atas, telah dijelaskan prinsip-prinsip kurikulum pendidikan Islam oleh pakar pendidikan Islam.

Pada pembahasan ini, akan dikemukan ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam menurut Omar Muh. Al-Toumy al-Syaibany (1979:490-512) sebagai berikut:
  1. Mengutamakan tujuan agama dan akhlak dalam berbagai tujuannya, kandungan, metode, alat dan teknik yang bercirikan ajaran Islam. Pemberian materi kepada peserta didik baik di lingkungan sekolah ataupun keluarga berdasarkan nilai-nilai al-Quran dan as-Sunnah;
  2. Kurikulum yang mencerminkan semangat, pemikiran dan ajaran-ajaran kurikulum yang cukup luas isi dan kandungannya. Pengembangan dan bimbingan dalam segala aspek pribadi pelajar baik dari aspek intelektual, psikologis, sosial dan spiritual;
  3. Kurikulum yang memiliki keseimbangan di antara kandungan kurikulum yang akan digunakan. Keseimbangan ini mencakup manfaat ilmu pengetahuan bagi perkembangan individual dan perkembangan sosial;
  4. Penataan kurikulum yang menyeluruh dan seimbang (fleksibel) dalam setiap materi pelajaran yang diberikan kepada peserta didik. Seperti aktivitas pendidikan jasmani, pengetahuan teknik, keterampilan, penguasaan bahasa asing dan ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi peserta didik;
  5. Kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan, kemampuan, minat dan bakat peserta didik, karena setiap individu memiliki perbedaan dalam menerima mata pelajaran yang diberikan pendidik. Oleh karena itu, penyusunan kurikulum disesuaikan dengan kebutuhan.
b. Isi dan Orientasi Kurikulum Pendidikan Islam
1. Isi Kurikulum
Sepanjang masa klasik Islam, penentuan kurikulum pendidikan Islam berada ditangan Ulama. Kelompok orang-orang berpengetahuan dan diterima sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum. Keyakinan mereka berakar pada konservatisme agama dan keyakinan yang kokoh terhadap wahyu sebagai inti dari semua pengetahuan. Mengikuti arus penolakan atas aliran yang diilhami filsafat Yunani terutama paska Al-Ghazali kurikulum di mesjid-akademi dan madrasah mengikuti contoh yang terjadi dalam halaqah-halaqah mesjid jami.

Sebagai persiapan untuk belajar ilmu-ilmu agama dan fiqih, seseorang mempelajari bahasa Arab, mencakup gramatika dan komposisi serta pengenalan dasar-dasar prosa dan puisi. Pedagog muslim menerima pandangan Yunani yang mengatakan bahwa kemampuan berfikir logis dan jelas memiliki korelasi langsung dengan kemampuan berbicara dan menulis secara cepat, karena itu, para tutor sangat menekankan latihan-latihan yang membantu kemahiran berbahasa.

Ilmu-ilmu agama mendominasi kurikulum lembaga pendidikan tinggi formal, dan Al-Qur’an berada pada porosnya. Disiplin-disiplin yang perlu untuk menjelaskan dan memahami makna Al-Qur’an, tumbuh sebagai bagian inti dari pengajaran  yakni hadits, lalu tafsir. Tantangan utama dalam studi hadits ialah keharusan menghapal secara literal ratusan hadits , dan membangun kemampuan untuk memilih hadits yang tepat diantaranya dalam menjawab satu pertanyaan hukum. Tafsir-metode penafsiran arti dan konteks literatur agama- sangat tergantung pada keahlian syekh dan kemampuannya mengajarkan metode-metode penafsiran arti dan menjelaskan bahasa Al-Qur’an. Seni pidato juga merupakan bagian penting dari pendidikan ilmuilmu agama, sebab kemampuan untuk menyampaikan ceramah yang menggugah dan ceramah ilmiah adalah salah satu peran inti seorang ulama dalam pendidikan dan kehidupan beragama masyarakat.

Cakupan kurikulum lembaga pendidikan tinggi Islam pada abad ke-10 dapat diketahui dengan jelas dari berbagai sumber. Diantaranya adalah kitab al-Fihris (indeks) oleh Ibn al-Nadim pada tahun 988. Sumber kedua adalah karya-karya Ikhwan al-Shafa, sebuah persaudaran sufi yang mengabdikan diri bagi peningkatan pendidikan di dunia Islam pada abad ke 10 dan 11.

Fredrich Dieterici mengemukakan kesimpulan sehubungan dengan materi dan topik-topik yang tercakup dalam ensiklopedi pengajaran yang dikemukakan oleh ikhwan al-Shafa :
  1. Disiplin-disiplin ilmu;
  2. Tulis baca, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra, sajak dan puisi, ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, dagang, dan keterampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian, dan peternakan, serta biografi dan kisahkisah;
  3. Ilmu-ilmu agama;
  4. Ilmu Al-Qur’an, tafsir, hadits, fiqih, dzikir, zuhud, taSawuf, dan syahadah;
  5. Ilmu-ilmu filosofis;
  6. Matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri, ilmu-ilmu alam, dan antropologi, astronomi, musik, aritmatika dan hokum-hukum geometri, zat bentuk, ruang waktu dan gerakan, kosmologi, produksi, peleburan, dan elemen-elemen, meteorologi dan mineorologi dan lain-lain.
Untuk menentukan kualifikasi isi kurikulum pendidikan Islam, membutuhkan syarat dan perumusan diantaranya adalah:
  1. Materi yang tersusun dalam kurikulum tidak bertentangan dengan fitrah manusia;
  2. Relevan terhadap tujuan pendidikan Islam yaitu pendidikan bertujuan untuk beribadah kepada Allah Swt dengan penuh ketaqwaan;
  3. Penyesuaian dengan tingkat perkembangan usia peserta didik;
  4. Peserta didik sejak dini diperkenalkan dengan berbagai macam keterampilan dengan mempraktekan di lapangan;
  5. Penyusunan kurikulum bersifat integral, teroganisasi dan terlepas dari segala perbedaan antara materi satu dengan materi lainnya;
  6. Kurikulum disusun berdasarkan kebutuhan masyarakat dengan materi yang up to date (relevan dengan keadaan masyarakat dan jaman);
  7. Menyusun materi dan metode yang dapat menghantarkan tercapainya materi pelajaran dengan memperhatikan perbedaan setiap individu;
  8. Materi yang disusun mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan peserta didik;
  9. Memperhatikan aspek-aspek sosial seperti dakwa Islamiyah;
  10. Materi yang tersusun memiliki pengaruh positif terhadap perkembangan jiwa peserta didik;
  11. Memperhatikan kepuasan pembawaan fitrah, seperti memberikan waktu luang untuk beristirahat dengan tujuan agar peserta didik tidak tertekan dan stress yang akan berdampak buruk terhadap perkembangan jasmani dan rohani;
  12. Memiliki dasar keilmuan sebagai sarana untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lain.
Sedangkan menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Fathiyah Sulaeman (1964:50) mengenai isi kurikulum pendidikan Islam secara berurutan, karena kurikulum yang berurutan sesuai dengan arti penting yang dimiliki masing-masing ilmu sebagai berikut:
  1. Urutan pertama; al-Quran dan as-Sunnah meliputi ilmu agama tafsir, hadist, fiqh;
  2. Urutan kedua, ilmu-ilmu bahasa (bahasa Arab), nahwu, shorof, fiqh lugah, karena ilmu ini sebagai alat pengantar ilmu agama. Sebagai besar ilmu agama diadopsi dari bahasa Arab; 
  3. Urutan ketiga, ilmu-ilmu yang termasuk kategori wajib kifayah, yaitu ilmu kedokteraan, ilmu hitung dan berbagai keahlian, termasuk ilmu syiasah (politik);
  4. Urutan keempat; ilmu-ilmu budaya seperti syair, sastra, sejarah serta sebagai cabang filsafat, seperti matematika, logika, sebagai ilmu kedokteraan yang tidak membicarakan persoalan metafisika, ilmu politik dan etika.
Materi kurikulum harus memenuhi standar sebagai ilmu pengetahuan. Materi kurikulum harus merupakan hasil penelitian dan pemikiran para ilmuwan (ulama). Dalam membentuk kurikulum tersebut diperlukan beberapa syarat misalnya syarat psikologis dan demokratis.Syarat psikologis maksudnya materi kurikulum ditekankan pada kepentingan murid. Oleh karena Itu pemahaman terhadap perkembangan kejiwaan anak menentukan layak atau tidaknya materi kurikulum. Syarat demokratis mengandung maksud bahwa materi yang diberikan tidak boleh diberikan tanpa melihat paham yang telah ada dibenak murid. (Ikhram, 1999:111-112).

Menurut pendidikan Islam ada empat hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu dalam merancang kurikulum, yaitu 
  1. Waktu yang tersedia;
  2. Tekanan internal dan eksternal;
  3. Persyaratan tentang isi kurikulum;
  4. Tingkat dari isi kurikulum yang akan disajikan (Muhammad Ansyar, 1989:8-20).
Kurikulum itu setidaknya terdiri dari empat unsur yaitu tujuan, isi, metode, dan evaluasi. Unsur pertama dari kurikulum adalah tujuan. Demikian pula Islam mengutamakan tujuan yang hendak dicapai secara jelas. Tujuan yang utama dari pendidikan Islam adalah membentuk pribadi muslim yang paripurna (insane kamil). Memahami dirinya yang terdiri dari dua dimensi. Dimensi abdun (hamba) dan dimensi khalifah (pemimpin) (Ali Shariati, 1995:5). Hal ini termaktub dalam alQur’an surat ad-Dzariat ayat 56 dan surat al-Baqarah ayat 30:

Artinya: 
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Q.S. Adz- Dzariyat:56).

Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.» mereka berkata: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: «Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (Q.S. Al- Baqarah:30)

Unsur yang kedua adalah isi. Ibnu Khaldun mengatakan sebagaimana dikutip oleh Abdul Mujib (2006:149-150) mengkelompokan isi kurikulum pendidikan Islam dengan dua tingkatan diantaranya:
  1. Tingkatan pemula (manhaj ibtida’i), pada tingkatan ini materi kurikulum difokuskan pada pembelajaran al-Quran dan as-Sunnah. Beliau memandang bahwa al-Quran merupakan sumber segala ilmu pengetahuan dan asas pelaksanaan pendidikan Islam sedangkan as-Sunah menjelaskan pemahaman terhadap isi alQuran. Karena al-Quran dan as-Sunnah mencakup materi akidah, syariah, ibadah dan akhlak.
  2. Tingkat Atas (manhaj ‘ali), pada tingkatan ini memiliki dua kualifikasi yaitu ilmuilmu yang dengan dzatnya sendiri seperti ilmu syariah yang mencakup fiqih, tafsir, hadist, ilmu kalam dan ilmu filsafat. Sedangkan ilmu yang ditunjukan bukan untuk dzatnya sendiri seperti; ilmu lugha (ilmu lingustik), ilmu matematika, ilmu mantiq (logika).
Abdul Mujib (2006:153-154) memandang pendapat di atas mencerminkan dikotomi keilmuan dan masih membedakan ilmu yang bersumber dari Allah dan ilmu produk manusia. Padahal, dalam epistemologi Islam dinyatakan bahwa semua ilmu bersumber dari Allah Swt, sedangkan manusia hanya menginterprestasikannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt:

Artinya:
“Katakanlah: sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)". (Q.S. al-Kahfi {18}: 109)

Allah Juga berfirman :

Artinya: 
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: «Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (Q.S. al-Isra’ {17}: 85)

Oleh karena itu, Abdul Mujib (2006:153) menawarkan isi kurikulum pendidikan Islam dengan tiga orientasi, yang bersumber dari al-Quran surat Fushshilat ayat 53:

Artinya: 
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami disegenap ufuk dan pada diri mereka sendiri (anfus), sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.” (Q.S. Fushshilat {41}: 53)

Ayat di atas terkandung tiga isi kurikulum pendidikan Islam sebagai berikut:
1. Isi kurikulum yang berorientasi pada “ketuhanan”.
Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan ketuhanan, mengenai dzat, sifat, perbuatan-Nya, dan relasinya terhadap manusia dan alam semesta. Bagian ini meliputi ilmu kalam, ilmu metafisikan alam, ilmu fiqh, ilmu akhlak (taSawuf), ilmu-ilmu tentang al-Quran dan as-Sunnah (tafsir, hadist, lingustik, usul fiqh, dan sebagainya). Isi kurikulum pendidikan Islam haruslah berpijak pada wahyu al-Quran.

2. Isi kurikulum yang berorientasi pada “kemanusian”
Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan prilaku manusia, baik manusia sebagai makhluk individu, sosial, berbudaya dan makhluk berakal. Bagian ini meliputi ilmu politik, ekonomi, kebudayaan, sosiologi, antropologi, sejarah, lingustik, seni, arsitek, filsafat, psikologi, paedagogis, biologi, kedokteraan, perdagangan, komunikasi, administrasi, matematika dan sebagainya. Isi kurikulum ini berpijak pada ayatayat anfust.

3. Isi kurikulum berorientasi pada “kealaman”
Rumusan isi kurikulum yang berkaitan dengan fenomena alam semesta sebagai makhluk yang diamanatkan dan untuk kepentingan manusia. Bagian ini meliputi ilmu fisika, kimia, pertanian, perhutanan, perikanan, farmasi, astronomi, ruang angkasa, geologi, geofisika, botani, zeologi, biogenetik dan sebagainya. Isi kurikulum ini berpijak pada ayatayat afaqi.

Unsur ketiga adalah pola pengajaran atau supaya lebih spesifik disebut metode pembelajaran. Mengenai barbagai macam metode yang boleh digunakan dalam proses pembelajaran telah diisyaratkan dalam al-Qur›an diantaranya adalah metode yang terdapat dalam ayat berikut:

Artinya: 
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. an-Nahl : 125)

Dan metode membaca yang diungkapkan dalam surat al ‹Alaq ayat 1: 

Artinya:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu.” (Q.S. Al-Alaq:1)

Unsur keempat adalah evaluasi. Evaluasi dalam pendidikan Islam mengutamakan aspek substansi. Sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat al-hajj ayat 37:

Artinya:
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. al- Hajj:37)

Dalam ayat di atas, yang dievaluasi adalah substansi kemakhlukan yaitu ketakwaan kepada Allah Swt. Jika ketakwaan seseorang baik maka hail evaluasi terhadap dirinya juga baik.

 2. Orientasi Kurikulum 
Pendidikan yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga, terlebih dahulu harus memiliki visi dan orientasi yang jelas. Sehingga akan berimplikasi pada kurikulum yang memiliki orientasi pula. Terlepas dari orientasi bersifat duniawi atau ukhrawi.

Namun dalam hal ini, kurikulum menurut pendidikan Islam memiliki lima orientasi:
a. Orientasi pelestarian nilai-nilai.
Pelestarian nilai yang dimaksud adalah pelestarian nilai-nilai yang didasarkan pada Islam. Nilai-nilai ini adalah nilai Ilahiah (transendental) dan nilai insaniah. Hal ini sesuai dengan tanggung jawab manusia di muka bumi. Sebagai Abdullah (hamba Allah) dan khalifah (pemimpin). 

Artinya: 
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) dibumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertsbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman : "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui" (Q.S. al-Baqarah : 30)

Artinya:
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu" (Q.S. ad-Dzariat:56)

b. Orientasi pada kebutuhan sosial (social demand)
Orientasi yang kedua ini memberi implikasi pada pemberian kontribusi positif pendidikan pada kehidupan sosial bermasyarakat. Untuk mewujudkan hal ini, harus dirumuskan pola pengaturan kehidupan sosial yang dapat dijadikan pedoman bagi pendidikan Islam.

Al-Maududi mengemukakan ada tujuh pola prinsip umum pengaturan kehidupan sosial (Abu A’la al-Maududi, 1993:70-71) sebagai berikut :
1) Saling menolong dalam berbuat kebajikan dan tidak tolong menolong dalam tindak kejahatan. Allah Swt berfirman :

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi›ar-syi›ar Allah dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Q.S. al-Maidah :2).

2) Persahabatan dan permusuhan harus dengan tujuan mendapat ridha Allah Swt; 
3) Manusia adalah umat terbaik yang mengajak manusia lainnya kepada kebaikan dan melarang kepada kejahatan.
Allah Swt berfirman :

Artinya:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma›ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imran:110)

4) Menjauhi sikap saling berburuk sangka, saling benci dan mempererat persaudaraan. Allah berfirman :

Artinya:
“Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat (10). Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiridan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim (11). Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang (12).” (Q.S. al-Hujurat:10-12)

5) Janganlah membantu orang jahat kalau sudah diketahui ia akan berbuat jahat (al-hadits);
6) Mendukung masyarakat yang salah sama halnya dengan orang yang jatuh ke sumur sambil memegang ekor unta yang hampir jatuh ke sumur (al Hadits);
7) Sayangilah orang lain sebagaimana kamu menyayangi dirimu sendiri (al Hadits).

c. Orientasi pada tenaga kerja.
Manusia hidup di dunia memerlukan kebutuhankebutuhan lahiriyah, seperti pangan, sandang dan papan.

Allah Swt berfirman :

Artinya: 
"Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim, dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (Q.S. an-Nahl:80)

d. Orientasi pada peserta didik.
Implikasi dari orientasi ini adalah pada keberhasilan peserta didik yang akan menjadi output dari sebuah sistem pendidikan. Mengenai kebarhasilan ini ada tiga ranah yang dijadikan objek binaan pendidik pada diri peserta didik menurut Benjamin S. Blomm, yaitu ranah kognitif, ranah apektif dan ranah psikomotorik (Ahmad Tafsir, 1990: 49-53).

e. Orientasi pada masa depan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Kemajuan ilmu pengetahuan merupakan keniscayaan dari kemajuan peradaban. Dan dalam agama Islam pun dianjurkan untuk senantiasa menuntut ilmu dan melakukan inovasi untuk kemajuan. Allah Swt. Menjanjikan derajat yang tinggi bagi orang yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan. Allah Swt berfirman :

Artinya:
“Hai orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan member kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan : "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Mujadilah:11)

Agar lebih dapat memahami konsep-konsep tersebut, maka berikut ini Anda diminta untuk mendiskusikan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
  1. Kemukakan aspek utama yang menjadi ciri kurikulum islami menurut Hasan Langgulung dan al-Syaibani ! 
  2. Sebutkan materi kurikulum pendidikan Islam menurut Ikhwa al- Shofa ! 
  3. Kemukakan orientasi kurikulum pendidikan Islam!
  4. Jelaskan isi kurikulum menurut ibnu Khaldun! 
  5. Sebutkan tiga isi kurikulum yang terdapat dalam al- Qur’an surat al- Fushilat ayat 53! 
Selanjutnya coba Anda cocokkan hasil diskusi dan jawaban Anda dengan kunci jawaban berikut ini ! 1) 
  • Tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh kurikulum itu:
  • Pengetahuan (knowledge) ilmu-ilmu data, aktivitas-aktivitasnya dan pengalaman-pengalaman dari mana terbentuk kurikulum itu;
  • Metode dan cara-cara mengajar dan bimbingan yang diikuti murid-murid untuk mendorong mereka kearah yang dikehendaki dan tujuan-tujuan yang dirancang;
  • Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur dan menilai hasil proses pendidikan yang dirancangkan dalam kurikulum.
2) Disiplin-disiplin ilmu tersebut antara lain: 
  • Tulis baca, arti kata dan gramatika, ilmu hitung, sastra, sajak dan puisi, ilmu tentang tanda-tanda dan isyarat, ilmu sihir dan jimat, kimia, dagang, dan keterampilan tangan, jual beli, komersial, pertanian, dan peternakan, serta biografi dan kisah-kisah;
  • Ilmu-ilmu agama; Ilmu Al-Qur’an, tafsir, hadits, fiqih, dzikir, zuhud, tasawuf, dan syahadah;
  • Ilmu-ilmu filosofis;Matematika, logika, ilmu angka-angka, geometri, ilmuilmu alam, dan antropologi, astronomi, musik, aritmatika dan hokum-hukum geometri, zat bentuk, ruang waktu dan gerakan, kosmologi, produksi, peleburan, dan elemen-elemen, meteorology dan mineorologi dan lain-lain.
3) 
  • Pelestarian nilai 
  • Kebutuhan social 
  • Tenaga kerja 
  • Peserta didik 
4) 
  • Tingkatan pemula (manhaj ibtida’i), pada tingkatan ini materi kurikulum difokuskan pada pembelajaran al-Quran dan as-Sunnah. Beliau memandang bahwa al-Quran merupakan sumber segala ilmu pengetahuan dan asas pelaksanaan pendidikan Islam sedangkan as-Sunah menjelaskan pemahaman terhadap isi al-Quran. Karena al-Quran dan as-Sunnah mencakup materi akidah, syariah, ibadah dan akhlak.
  • Tingkat Atas (manhaj ‘ali), pada tingkatan ini memiliki dua kualifikasi yaitu ilmu-ilmu yang dengan dzatnya sendiri seperti ilmu syariah yang mencakup fiqih, tafsir, hadist, ilmu kalam dan ilmu filsafat. Sedangkan ilmu yang ditunjukan bukan untuk dzatnya sendiri seperti; ilmu lugha (ilmu lingustik), ilmu matematika, ilmu mantiq (logika). 
5. 
  • Orientasi kealaman
  • Orientasi kemanusiaan
  • Orientasi ketuhanan.

No comments:

Post a Comment