Ketika Agama Menghampiri Sains; Mempertimbangkan Spritualitas dalam Epistemologi Islam
Abstrak: in epistemology, Islam has a concept that is established more in translating science integration. When a Muslim does a scientific activity, than he should depart from the basic intentions and intrinsic motivation that comes out of the deepest conscience to meet guidance of Allah. So that beween science and con-science is a unity and totality that lead to the soul of rabbaniyyat. While we are developing and exploring the concept of theoretical and practical, we must not just stop at the fact but also the fact behind the fact at the time of spiritual or methaphisical sense expressed in each statement of physics.
Keyword : Sains; Islamic Epistemology: Sprituality
Segala Kebenaran harusnya diketahui dan dinyatakan dan juga dibenarkan.
Kebenaran itu sendiri (sebenarnya) tidak memerlukan hal, karena dialah yang menunjukkan apa yang diakui benar dan harus berlaku (Paul Natorp)
Pengantar
Pada dasarnya, epistemologi selalu mencoba untuk mencari kebenaran, sebuah usaha yang tidak jarang membawa klaim-klaim dari para pembawanya, agar menjadi valid dan tetap selalu dipakai disetiap zamannya. Akan tetapi, hal itu harus berangkat dari pertarungan yang panjang, yang melampaui dimensi ruang, tempat dan lokalitas pemikiran seorang pemikir. Dari pencarian kebenaran tersebut, tentu akan selalu ada mata rantai filsafat yang pada dataran praksisnya menjadi abadi. Yaitu manifestasi dari tesis-antitesis, aksi-reaksi, dan kontruksi-rekontruksi atau dekontruksi.
Oleh karena itu, kebenaran akan selalu menjadi sementara (hypo-knowledge), yang pada suatu saat akan “berselingkuh” dalam bentuk beragam rupa, sesuai dengan parameter dan indikator yang mengiringinya, baik yang bersifat aksidental, lokalitas, kontekstualitas, maupun karena lemahnya “jari-jari” kebenaran tersebut mencengkeram suatu zaman. “Perselingkuhan” atau bahkan pertentangan sama sekali, dari satu kebenaran ke kebenaran lainnya, merupakan dialektika dan dinamika tersendiri dalam diri filsafat.
Begitu juga pembahasan tentang integrasi agama dan sains, yang menggiring pada perdebatan yang tidak ujung usai. Namun demikian, perdebatan ini menjadikan para pemikir Muslim mulai menggagas konsep integrasi keilmuan Islam, yaitu membangun suatu keterpaduan kerangka keilmuan Islam, dan berusaha menghilangkan dikhotomi ilmu-ilmu agama di satu pihak dengan ilmu-ilmu umum di pihak lain.[1]
Di Negara kita, implikasi yang mendasar dari problem ini adalah dikotomi institusi pendidikan, yaitu antara pendidikan umum dan pendidikan agama, yang dimulai semenjak bangsa ini mengenal sistem pendidikan modern.[2] Dikhotomi keilmuan Islam tersebut berimplikasi luas terhadap aspek-aspek kependidikan di lingkungan umat Islam, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya.
Pertarungan Epistemologis; antara Akal dan Hati
Salah satu buku yang mendiskripsikan bagaimana pertarungan antara hati (agama) dan akal (sains) adalah buku Prof. Ahmad Tafsir.[3] Pada konsepsi penulisnya, akal merupakan akal logis yang bertempat di kepala, sedangkan hati ialah rasa yang kira-kira bertempat di dalam dada. Akal itulah yang menghasilkan pengetahuan logis yang disebut filsafat, sedangkan hati pada dasarnya menghasilkan pengetahuan supralogis yang disebut pengetahuan mistik, iman termasuk di sini. Rivalitas antara keduanya telah terjadi dalam sejarah peradaban. Titik-titik merah yang di situ telah terjadi pertarungan hebat antara kedua-duanya mula-mula terjadi antara sofisme dan Socrates, yang ke dua antara credo ut intelligam-nya abad pertengahan dan Descartes, dan yang ke tiga antara sofisme modern di satu pihak dan Kant pihak lain.
Namun demikian, menurut saya, akar dari perdebatan epistemologi justru bermula dari pertarungan antara akal dan indera. Akal (rasio) dan indera merupakan dua alat pengetahuan. Pemujaan yang pertama akan melahirkan rasionalisme, sementara pemujaan yang kedua akan membawa kita kepada sensualisme, empirisme, matrealisme, dan positivisme. Jika yang pertama obyeknya adalah abstrak dan paradigmanya logis. Maka yang kedua obyeknya bersifat empiris dan paradigmanya adalah sains.
Pada idealisme, yang kemudian diteruskan oleh kelompok Rasionalisme, sangat menekankan pentingnya akal, ide, dan ketegori-kategori maupun form sebagai sumber pengetahuan. Sementara aliran Kedua, empirisme justru mempertautkan peran indera (sentuhan, penciuman, penglihatan, dan lainnya) sebagai sumber pengetahuan. Sehingga peran akal, menjadi sisi nomor dua[4]. Jika Idealisme pada mulanya dipelopori oleh Plato, maka Matrealisme dimotori oleh Aristoteles.
Plato (427 – 347 SM) bersiteguh, bahwa ide adalah hakikat dari yang tampak. Karena, dia beranggapan bahwa sesuatu yang tampak (fenomena) selalu mengalami perubahan, padahal sesuatu yang hakiki semestinya harus kekal. Oleh karenanya, Ide ini bukan hanya sekedar gagasan yang ada pada pikiran an sich, melainkan sebagai sumber untuk membimbing pikiran manusia.[5] Penegasan Plato ini, kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes (1596 – 1650), yang sering disebut sebagai bapak aliran rasionalism sekaligus sebagai pelopor filsafat modern, dengan semboyan Cagito ergo sum. Titik tolak dari keharusan berfikir ini adalah keraguan. Untuk menghilangkan prasangka-prasangka sebelum terjadinya proses berfikir, agar ada jaminan bahwa hasil pemikiran itu benar, maka Descartes mengharuskan untuk menjadikan rasio atau pikiran sebagai satu-satunya instansi yang memberikan bimbingan.[6]
Sementara itu, Aristoteles (382 – 322 SM), yang merupakan murid dari Plato, menyanggah dengan tegas, teori yang diajukan oleh Plato tersebut. Menurutnya, ide-ide bawaan atau innate idea, sebenarnya tidak ada. Sungguhpun dia menyadari bahwa fenomena atau realitas itu selalu berubah, akan tetapi dengan penyelidikan dan pengamatan yang terus menerus terhadap benda-benda konkrit, maka akal akan dapat mengabstraksikan idea dari benda tersebut.[7] Dari asumsi inilah, kemudian empirisme memperkuat tesis Aristoteles tersebut. Thomas Hobbes (1588 – 1679 M) misalnya, menganggap bahwa yang ada hanyalah bersifat bendawi, artinya keberadaan realitas benda tidak tergantung pada gagasan manusia.
Sebagai konsekuensi dari teori ini adalah setiap kebenaran selalu didasarkan pada alam metafisis tidak dapat diterima. Sementara kebenaran agama, yang sumber kebenarannya didasarkan pada realitas metafisis, tidak mendapat porsi yang sempurna (untuk tidak mengatakan tidak sama sekali) dalam pandangan matrealisme-empiris tersebut. Sehingga, ketika akal dan indera dipegang oleh Barat-Modern, kedua paradigma ini, pada akhirnya menolak obyek mistis yang supralogis dan non-empiris. Dua alat pengetahuan inilah kemudian menolak dengan tegas adanya iman dalam sains. Dan hal ini justru memberikan saham yang cukup signifikan dalam membidani lahirnya sains dan teknologi di Barat.
Ketika dunia Barat (baca: Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi (baca: penolakan atas agama) dalam segala hal yang sangat besar dan hebat yang merubah cara berpikir mereka, maka justru mereka telah bebas dari trauma intelektual. Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan dominasi agama atas sains telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya agama yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan, mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita).
Maka dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua, yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya, Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Dinamika tersebut, menjadikan sains dan teknologi telah menggeser peran manusia pada puncak absolut. Dimana manusia diberi otonomi tanpa batas dalam memaknai setiap persoalan kemanusiaan, termasuk didalamnya adalah persoalan etika dan moralitas. Wilayah moralitas dan etika semakin menunjukkan perbedaan yang cukup jelas dengan wilayah kekuasaan dan sains. Pertimbangan-pertimbangan ilahiyyah seolah-olah telah ‘terusir’ dari logika politik, sains dan teknologi. Hal ini, jelas akan semakin memperlebar jurang sekulerisme. Tidak heran jika Aleksander I. Solzhenitsyn, pemikir dari Rusia, mengatakan bahwa “bila kita terpisah dari konsep-konsep baik dan buruk, apalagi yang masih tersisa, kecuali status yang sama dengan binatang”.[8]
Hegemoni sekulerisme ini, telah menjadikan sistem etika pada corak antropomorfis, yaitu menempatkan manusia pada pusat segala-galanya. Dunia Islam yang pada hakikatnya tidak menolak akal dan indera sebagai dua alat pengetahuan, juga secara formal menolak arus sekulerisme, tetapi pada kenyataannya telah dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang cukup mendasar. Diantara kesulitan itu adalah ketika kita akan mengangkat konsep studi Islam.
Dalam konsepsi sains Islam,[9] bahwa sumber pengetahuan tidak pada Indra dan Akal saja, melainkan sampai kepada hati. Bahkan pada indra, tidak hanya indra "lahir" melainkan juga indra "batin" atau biasa disebut indra bersama (al-Hiss al-Mustarak).[10] Indra ini menyebabkan sebuah objek indrawi muncul sebagi sebuah kesatuan yang utuh dengan segala dimensinya dan tidak lagi parsial yang biasa disumbangkan oleh tiap indra lahir.[11] Kedua, indra “khayal” atau daya imajinasi retentif, indra ini adalah daya yang bisa melestarikan bentuk yang ditangkap oleh mata atau suara yang didengar oleh telingan. Daya ini sangat penting karena kita bisa mengingat wajah seorang yang cantik nan anggun atau anggota keluarga kita dan jika tanpa daya tersebut tak bisa di bayangkan akibatnya kita akan seperti orang yang kehilangan ingatan.[12]
Indra batin yang ketiga disebut daya “estiminasi” (wahm) indra ini adalah untuk menilai apakah benda itu berbahaya atau bermanfaat untuk di jahui dan didekati, jadi wahm adalah daya unyuk menyimpulkan sesuatu benda yang mengharapkan untuk bertindak apakah menjahui atau mendekati.[13]
Indra batin yang keempat disebut imajinasi ( Mutakhaliyah atau compositif imaginatif faculty) sebenarnya hampir sama dengan indra bersama cuma imajinasi dapat menggabungkan sesuatu benda menurut selera yang kita kehendaki misalnya kita menggabungkan bentuk manusia dengan burung dalam sebuah bentuk yang unik bisa disebut dengan buroq.[14] Indra batin yang kelima disebut memori (al-Hafizhah) indra ini berguna untuk melastarikan bentuk-bentuk imajiner yang meliputi fisik dan bentuk nonfisik atau abstrak48, dari berbagi corak keistemewaan serta kekurangan dari indra ini adalah ternyata ia tidak memadai untuk mengetahui sesuatu sebagaimana adanya, oleh karena itu dibutuhkan bantuan alat atau sumber lain untuk mengetahui tentang sesuatu sebagaimana adanya,
Al- Gazali[15] dalam kitabnya “Miskah al-Anwar” memandang akal lebih patut di sebut cahaya dari pada indra dengan kata lain akal lebih patut di sebut sebagi sumber ilmu dari pada indra misalnya misalnya dengan indra kita bisa melihat separuh dari bulan yang terlihat dalam hal ini akalah yang dapat meyempurnakan bentuk bulan sebagai bola dan dengan akal pula kita bisa tahu bahwa pensil dalm gelas yang penuh dengan air itu lurus sekalipun tampak.
Sementara akal sebagai sumber pengetahuan, dimaknai oleh filosof muslim sebagai akal praksis dan akal teoritis. Akal teoritis adalah berhubungan dengan pengetahuan sedangkan akal praksis berhubungan dengan etika, disini akan di bahas keistimewaan atau kelebihan serta kekurangan akal sebagai pemasok alat pengetahuan.[16]
Untuk menutupi kekurangan akal manusia dilengkapi oleh tuhan dengan intuisi atau hati (Qalb) sehingga akan lengkaplah seluruh perangkap ilmu bagi manusia. Ketika akal tidak mampu memahami wilayah kehidupan emosional manusia, hati kemudian dapat memahaminya. Hati yang terlatih akan dapat memahami perasaan seseorang hanya misalnya dengan mendenmgar suara atau memandang matanya.
Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran hati bisa menerobos kealam ketidaksadaran atau alam ghaib dalam bahasa agama, sehingga bisa mengalami pemgalaman non inderawi, bahkan bisa berkomunikasi dengan mahluk-mahluk ghaib seperti malaikat, jin bahkan tuhan sendiri seperti yag dialami oleh para nabi.
Ibarat radar hati manusia terkadang mampu menangkap sinyal dari langit dengan begitu terang betapapun redupnya sinar itu dari sudut pandang akal. Pengetahuan hati adalah pengetahuan eksistensial atau pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman, ia juga disebut pengetahuan presence,[17] karena objeknya di pandang hadir dalam diri atau jiwa seseorang dan ini tidak mungkin bisa di pahami oleh akal, akal hanya mungkin mengerti cinta lewat mulut atau teori-teori tapi hati memahaminya langsung bukan lewat teori tapi hati mendalaminya sendiri sehingga ia tahu karena ia telah merasakan bukan tahu lewat omongan.
Dari kerangka berfikir seperti itu epiestemologi Islam telah berhasil menyusun klasifikasi ilmu yang komprehensif dan disusun secara hierarkis yaitu metafisis yang menmpati posisi tertinggi disusul oleh matematika dan terahir ilmu-ilmu fisik atau fisika.
Dari trikotomi seperti itu lahir berbagai disiplin ilmu rasional dalam dunia Islam seperti ontologi, teologi, kosmologi, anggelologi dan eskatologi yang termasuk dalam kategori ilmu-ilmu metafisik. Geometri, aljabbar, aritmatika, musik dan trigonometri yang termasuk didalamnya kategori ilmu-ilmu matematika. Dan fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, optika yang termasuk dalam kategori ilmu-ilmu fisik.[18]
Jika klasifikasi ilmu berkaitan dengan pertanyaan apa yang dapat dikaji atau melalui apa dapat diketahui, maka metode ilmu berkaitan dengan pertanyaan bagaima dapat mengetahui sebuah objek pengetahuan, pertanyaan bagaimana untuk mengetahui objek-objek ilmu tentu sangat penting bagi setiap teori pengetahauan karena dengan begitu kita bisa mengetahui langkah-langkah dan prosedur apa yang dapat di ambil oleh seorang ilmuan untuk sampai pada pengetahuan tentang sebuah objek sebagiman adanya.
Seperti apa yang pernah di lontarkan Ziaudin Sardar sementara para ilmuwan Barat menggunakn hanya pada satu macam metode ilmiah yaitu observasi, para pemikir muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkat atau hierarki objek-objeknya yaitu 1) metode observasi sebagaimana yang telah digunakan oleh teori Barat atau biasa di sebut dengan Bayani[19] atau Tajribi,[20] 2) metode logis atau demontratif yang disebut dengan Burhani,[21] 3) metode intuitif atau yang biasa disebut dengan Irfani[22] yang masing-masing bersumber pada indra,akal dan hati.
1. Metode observasi
Metode observasi adalah metode eksperimen yang berkaitan dengan pengamatan indrawi yang tentunya sanat cocok atau sesuai dengan objekobjek fisik, al kindi misalnya di kenal bukan hanya sebagai seorang filosof melainkan ilmuan yang menggunakan metode observasi di laboratium kimia dan fisikanya.[23]
2. Metode demontratif
Metode demontratif atau burhani pada dasarnya adalah metode logika atau penalaran rasional yang di gunakan untuk menguji kebenaran dan kekliruan dari sebuah penyataan atau teori-teori ilmiah dan filosofis dengan cara memperhatikan keabsahan dan akurasi pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah.[24]
Menurut para filosof metode burhani di gunakan dalm penelitian ilmiah dan filosofis sekalipun di ketahui bahwa kadang-kadang mereka juga menggunakan metode dealikta yang biasanya di gunakan oleh para teologi perbedaan antar keduanya terletak pada dasar premis mereka, premis demonstratisf didasarkan pada pengetahuan ilmiah sementara premis-premis dealikta opini
3. Metode intuitif
Kalau metode bayani berkaitan dengan indrawi, metode burhani berkaitan dengan akal maka intuitif sesuai dengan namanya berkaitan dengan intuisiatau hati (qalb).
Metode pendekatan intuitif biasanya juga disebut metode dzauqi ada juga yang menyebut presensial karena objek-objeknya hadir dalam jiwa seseorang bisa dialami langsung oleh pelakunya, modus ilmu seperti ini biasanya disebut ilmu hudhuri (knowlegde by presense).[25]
Dalam dunia Islam dihiasi oleh karya-karya mistik yang agung dan sangat inspirasional seperti Fushus al-Hikam dan al-Futuhat al-Makiyah karangan ibn Arabi, Manthiq at-Thoir karangan Faridudin Atthar, al-Matsnawi al-Ma’nawi karya Jalaludin ar Rumi.
Dalam sains Islam juga tidak bebas nila. Hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh Munawar Ahmad Anees, yang menyatakan bahwa sains Islam bukanlah:
- Sains yang diislamkan, karena epistemologi dan metodologinya adalah produk ajaran Islam yang tidak bisa direduksi ke dalam pandangan Barat yang sempit.
- Reduktif, karena paradigma makro absolut Tauhid mengikat semua pengetahuan dalam sebuah kesatuan organik.
- Anakronistik (menyalahi zaman), karena ia diperlengkapi dengan kesadaran masa depan yang disampaikan melalui sarana dan tujuan sains.
- Dominan secara metalologis, karena ia mengizinkan pengembangan metode bebas secara mutlak di dalam nonma-norma Islam yang universal.
- Terkotak-kotak, karena la meningkatkan polimathy yang bertentangan dengan spesialisasi disiplin ilmu yang sempit.
- Ketidakadilan, karena epistemologi dan metodologinya bermakna distribusi keadilan dengan sebuah konteks sosial yang pasti.
- Sempit, karena nilai-nilai sains Islam yang tak dapat dipindahkan itu menjadi cermin dari image nilai-nilai Islam.
- Ketidakseseraian secara sosial, lantaran "objektivitas subjektifnya" berada dalam konteks produk sains secara sosial.
- Bucaillisme, oleh karena la adalah pikiran logika yang keliru.
- Pemujaan, karena ia tidak membuat pengesahan epistemik terhadap Ilmu Gaib, Astrologi, Mistisisme dan ilmu-ilmu sejenisnya.[26]
Hal ini tentu berbeda dengan dinamika epstemologi di Barat, yang secara tegas menyatakan bahwa sains bebas nilai (values free). Karena sains bebas nilai ini lah, kemudian makna Islamisasi pengetahuan diarahkan pada nilaisasi ilmu. Artinya, nilai yang membentuk upaya sains dan teknologi haruslah nilai Islami, yang dalam istilah singkatnya disebut sebagai konsep sains Islam.[27]
Namun demikian, kesulitan yang paling mendasar justru pada sekitar abad ke-16 – 17. pada masa ini, muncul epistemologi dikotomik antara “sains agama” (‘ulum syari’ah) atau “sains-sains tradisional” (‘ulum naqliyyah) dan “sains rasional” (‘ulum ‘aqliyyah atau ghair syar’iyyah),[28] pada puncaknya adalah ketika al-Ghozali mengkategorikan fardhu ‘ain bagi sains agama (hati) dan fardhu kifayah bagi sains rasional (akal).[29]
Wacana Integrasi dalam Studi Islam
Dalam polarisasi sikap yang seperti itulah, dua sistem pengetahuan berjalan secara bersamaan. Pengetahuan modern dengan sistem sekulernya, dan pengetahuan Islam dengan orientasi ukhrawi-nya. Orientasi dikotomik ini, terus meluas pada pola pendidikan yang semakin mempersulit umat Islam untuk mencairkannya.
Diantara tokoh yang mencoba mencairkan ilmu yang dikotomik tersut adalah, Pertama, Ismail Raji al-Faruqi. Ia pernah menulis sebuah buku berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan diterbitkan oleh International Institute of Islamic Thought, pada tahun 1982. ia termasuk pemikir Muslim pertama yang mencetuskan gagasan perlunya Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Gagasan utamanya sebenarnya adalah pada teori kesatuan pengetahuan (tauhid), yaitu disiplin untuk mencari objektivitas yang rasional dan pengetahuan yang kritis mengenai kebenaran; kesatuan hidup, segala disiplin harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan; dan kesatuan sejarah, segala disiplin akan menerima yang ummatis atau kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi pada tujuan-tujuan ummah di dalam sejarah.
Ziauddin Sardar, mencoba menegaskan bahwa sains Islam bukan untuk mencari kebenaran akan tetapi melakukan penyelidikan sains menurut kehendak masyarakat Muslim yakin berdasarkan etos Islam yang digali dari Alquran. Menurut Sardar, justru pada setiap sains memiliki sarat nilai (value bounded) dan kegiatan sains lazim dijalankan dalam suasana pemikiran atau paradigma tertentu.
Sementara Syed Muhammad Naquib al-Attas, memformulasikan gerakan integrasi sain dan agama ini kedala dua langkah, pertama, melakukan pemisahan terhadap istilah-istilah atau elemen-elemen mendasar pada metode-metode sains Barat.
...Dalam menilai, kita harus menguji secara kritis metode-metode ilmu modern; konsep-konsep, teori-teori, dan simbol-simbolnya; aspek-aspek empiris dan rasional serta aspek-aspek yang bersinggungan dengan nilai dan etika; interpretasinya mengenai asal-usul; teorinya mengenai ilmu pengetahuan; pemikirannya mengenai eksistensi dunia nyata, keseragaman alam raya, dan rasionalitas proses-proses alam; teorinya mengenai alam semesta; klasifikasinya mengenai ilmu; batasan-batasan serta kaitannya antara satu ilmu dan ilmu-ilmu lain serta hubungan sosialnya.[30]
Kedua, memasukkan elemen-elemen Islam dan konsep-konsep kunci Islam ke dalam setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Dalam hal ini, lihat pernyataan
Di Indonesia, proyek Islamisasi, pada akhirnya dimaknai dengan mendirikan Madrasah dan UIN[31]. Tetapi konsep pemaknaan ini, justru menimbulkan sikap ambivalensi umat Islam. Karena integrasi ilmu tersebut tidak berangkat dari dua sistem ilmu tanpa konsep.[32] Sehingga menghasilkan pola integrasi yang “setengah hati”. Hal ini, dapat kita lihat bagaimana upaya Abduh ketika akan melakukan “modernisasi” pendidikan al-Azhar, yaitu hanya “sekedar” memasukkan beberapa pelajaran umum yang telah dipelajari Barat.[33] Hal ini, menurut Syed S. Hussain dan Syed Ali Asyraf tetap saja melahirkan dua sistem pendidikan. Yang pada akhirnya, persaingan dari dua sistem tersebut justru akan melemahkan dasar-dasar masyarakat Muslim.[34]
Konsep Dasar Ilmu Pengetahuan;
Mempertimbangkan Spritualitas dalam Epistemologi Islam
Dalam al-Qur’an, kata ilm, dengan berbagai bentuknya terulang sampai 854 kali.[35] Yang berarti kejelasan, karena ia berakar dari bentuk kata yang bercirikan kejelasan.[36] Selain itu, kata ilm, berasal dari kata dasar ‘ain, lam, dan mim, yang terambil dari perkataan ‘alamah, yang berarti tanda, petunjuk, atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang itu dikenal. Dengan demikian ma’lam, berarti “rambu-rambu jalan” atau “sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang”. Selaras dengan itu, ‘a’lam juga bisa diartikan dengan “petunjuk jalan”.[37] Maka tidak heran jika kemudian, kata ‘ayah (jamaknya : ayat), yang berarti tanda, selalu merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an (qauliyah) dan fenomena alam (kauniyah).
Secara deskriptif, al-Qur’an sebenarnya telah memberikan gambaran bagaimana Allah memberikan pengetahuan pengetahuan kepada Adam, ketika para Malaikat tidak mampu menyebutkan “nama-nama” tersebut. Inilah sebenarnya esensi penciptaan manusia tersebut, yaitu untuk mempelajari alam semesta, hukum-hukum susunan batinnya, dan proses sejarah. Semua itu kemudian digunakan untuk “pengabdian kepada Tuhan”.[38] Hal inilah yang membuat manusia dihormati sebagai sebaik-baiknya makhluq dan bahkan Malaikat, kecuali Iblis, bersujud dihadapan Adam, sebagai simbol manusia.
Karakteristik yang membedakan antara manusia dengan makhluq lain adalah kapasitasnya dalam memberikan “nama-nama” kepada benda-benda. Memberi “nama” benda-benda mempertegas kapasitas manusia dalam menemukan sifat-sifat benda, hubungan timbal balik dan hukum-hukum perilakunya.[39] Ketika kita menamakan sesuatu itu batu, pohon, atau elektron, kita akan mengetahui bagaimana perilakunya, bisa mengetahui lebih banyak tentanya, bahkan bisa meramalkannya. Dengan kata lain, manusia berbeda dengan makhluq lainya adalah ketika ia mempunyai pengetahuan kreatif dan ilmiah mengenai benda-benda (ilmu eksakta), mengenai susunan batinnya (ilmu kejiwaaan), dan mengenai perilaku luar manusia sebagai suatu proses yang berjalan terus menerus dalam sebuah masa (ilmu kesejarahan)
Ketika kita tidak mampu berbicara tentang Tuhan kecuali dengan perumpamaan-perumpamaan, maka Tuhan berkomunikasi dengan manusia melalu “ayat”. Disini manusia bertanggungjawab untuk mengungkapkan dan memahaminya. Untuk mengungkap realitas dibalik ayat tersebut (the ultimate reality), manusia harus menggunakan potensi akal pikirannya, dengan cara mengaitkan ketiga realitas diatas berdasarkan prinsip fundamental tentang kesatuan (unity) dan keseluruhan (totality).[40]
Ajakan untuk memahami relitas alam ini, sebenarnya sudah ada dalam al-Qur’an. Bahkan ayat pertama kali turun kepada Muhammad adalah “bacalah! Bacalah atas nama Tuhanmu apa-apa yang telah Dia ciptakan”.[41] Jadi, sejak pertama umat Islam telah ditantang untuk membawa teks, berupa alam raya. Alam raya sendiri artinya “tanda” yang menunjukkan kepada realitas diluarnya.[42] Dalam sebuah syairnya, Hamka menyebutkan tentang hal ini;
Mekar mengembang, fajar menyingsing
Ombak berdebur, gunung menjulang, langit menghijau
Rimba belukar sunyi, awan berarak menepi
Air mengalir, serasa terjun pimping dilereng dikecut angina
Anak menangis dalam pangkuan bundanya, ibu bernyanyi
Mengingat ayahnya
Keringat mengalir di dahi seorang yang baru pulang
Dari pekerjaannya dan anaknya berlari kehalaman
Menyanbutnya ayahnya pulang…………
Kemana saja … Yang mana saja! Menengadah keatas
Atau menekur kebawah
Hanya satu yang tampak di mata, di hati : “Allah!”
Hanya satu suara yang terdengar : “Allah!”
“Tuhanku, Tidaklah Engkau jadikan segalanya ini dengan sia-sia?”[43]
Akan tetapi akal pikiran manusia belum merupakan segalanya. Karena peran penting manusia adalah membangun kembali gambaran ilmiuah dari realitas obyekltif dan menciptakan suatu tatanan moral yang berdasarkan pengetahuan ilmiah tersebut. Pemanfaatan alam semesta dengan kerangaka ilmiah tanpa disertai dengan suatu tatanan yang baik, atau mengetahui “nama-nama” tanpa memanfaatkannya, akan menjadi sesuatu yang menurut al-Qur’an adalah ‘abath, suatu perbuatan setan yang sia-sia, bahkan berbahaya. Hal ini persis seperti apa yang diungkapkan oleh Iqbal bahwa ‘aql (penalaran ilmiyah) tanpa ‘isyq (kreatifitas moral positif ) adalah perbuatan setan yang sesat, dan Barat jelas-jelas mengikuti hal ini menurut Iqbal. Sementara ‘isyq tanpa ‘aql, bukan hanya merupakan sesuatu yang steril, tetapi sesuatu yang jelas menipu diri sendiri, dan Iqbal menunjuk kaum Muslimin selama berabad-abad telah melakukan “pembohongan” ini.
Oleh sebab itu, pada dasarnya manusia tidaklah memiliki pengetahuan sama sekali, yang memiliki hanyalah Allah. Ketika Allah menggelarkan al-Qur’an dan Alam semesta di hadapan manusia, maka manusia dengan sendirinya ditutut untuk mendapatkan pengetahuan tentang-Nya. Sehingga, ketika seseorang akan melakukan pembacaan, penelitian, dan menemukan sebuah hukum atau teori, semua itu dilakukan atas dasar lillahi ta’ala. Baginya, segala kegiatan keilmuan yang dilakukan atas nama Allah yang telah menciptkan manusia dan telah mengajar manusia segala sesuatu (QS. Al-Alaq : 1, 2, dan 5).
Bagi illmuan Muslim, semestinya tidak mendasarkan kegiatan ilmiahnya semata-mata bersifat kognitif dan skill an sich, melainkan kesemuanya dilakukan atas dasar niat dan motivasi intrinsiknya yang keluar dari hati nurani (conscience) yang paling dalam untuk memenuhi aturan-aturan Allah. Sehingga atara science dan con-science merupakan satu kesatuan dan totalitas yang bermuara pada jiwa rabbaniyyat. (QS. Ali Imran : 79). Ketika mengembangkan dan menggali konsep teoritis dan praksis, semestinya tidak hanya berhenti pada the fact tetapi juga the fact behind the fact, pada saat mengemukakan makna ruhani atau metafisika pada setiap pernyataan fisika.
Prinsip Tauhidiiyah ini, tidak memisahkan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai moral religius. Antara ilmu dan etika, kesemuanya adalah satu kesatuan mutlak. Ilmu dan aktivitas keilmuan merupkan manifestasi dari pengabdian manusia kepada Tuhan. Tidak ada batas antara ilmu dan amal, tidak ada hijab antara ilmu dengan iman.
Implikasinya, seorang berilmu pengetahuan memiliki komitmen terhadap Tuhannya, sekaligus menerima sepenuh hati hukum moral yang diberikan-Nya.[44] Sehingga ia tumbuh sebagai insan yang mencintai perdamaian, dapat hidup selaras, stabil dan berbudi, yakin sepenuhnya akan kemurahan Tuhan yang tidak terbatas, keadilan-Nya yang tidak ada tandingannya, dan hidup dalam harmoni dengan alam.
Dengan demikian, selain makhluq rasional, manusia adalah makhluq spritual, yang mengapresiasikan “titah” Tuhan sebagai khalifah fil ardl, yang memiliki kekuasaan tidak terbatas untuk mengontrol dan mengatur alam semesta berdasarkan otoritas Tuhan, yang mampu menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya disetiap saat, dalam ketakjuban pada keindahan, kedahsyatan dan keharmonisan alam semesta, yang mendasarkan setiap aktivitasnya pada sinaran “nama-nama” Tuhan. Pemahaman interelasi antara Tuhan, manusia, dan alam semesta, menjadi sebuah kesadaran mutlak bagi pendidikan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Prinsip ini mirip dengan sebutan Chalen E. Westate sebagai “Spritual Welness”, yang diartikan sebagai suatu perwujudan pribadi yang tercermin dalam keterbukaan terhadap dimensi kehidupan lainnya.[45] Selanjutnya ia mengemukakan bahwa ada empat dimensi “Spritual Welness” ini,;
- Meaning of Life, yaitu berkemampuan untuk mewujudkan dirinya secara bermakna dalam setiap dimensi hidup secara terpadu dan utuh.
- Intrinsik Value, yaitu memiliki nilai-nilai intrinsik sebagai perpaduan berprilaku.
- Trancendence, yakni berkemampuan untuk mentransendensikan atau melakukan hubungan dengan dimensi yang lebih luas dan luhur. Dan
- Community of Shared Values and Support, adalah berkemampuan dalam melakukan hubungan kemasyarakatan dengan dukungan nilai-nilai bersama.
Dengan demikian, arah integrasi semestinya menuju pada pemaknaan yang hakiki di setiap sains. Dalam konteks ini, saya sebut dengan spritualisasi. Istilah spritualitas sering diartikan “miring” oleh banyak kalangan, terutama para pemikir muslim, karena istilah ini dikonotasikan kepada tradisi spritualitas Kristen. Tetapi, menurut Nasr, istilah spritualitas menunjukkan makna ruhaniyyah dalam bahasa Arab, dan memiliki arti ma’nawiyyah dalam bahasa Persianya.[46] Semua itu berarti menunjukkan hal-hal batin yang hakiki dan interioritas (bagian dalam), sebagai lawan dari “yang kasat mata”. Selain itu, spritualitas diartikan sebagai bentuk kesempurnaan moral dan kemurahan jiwa sejauh menyangkut umat manusia, sebagai entitas dari kedekatan manusia dengan Penciptanya.[47] Meskipun demikian spritualitas tidak begitu saja dimaknai sesuatu yang bersifat esoteris, yang merupaka lawan dari eksoteris. Ia memang sangat dekat dengan esoteris (al-Batiniyyah), tapi ia juga sangat dekat dengan eksoteris Islam, seperti hukum, teologi, filsafat, kesenian dan ilmu pengetahuan.
Esensi dari spritualitas Islam adalah realisasi dari ke-Esa-an Allah, mematuhi segala kehendak dan Hukum-Hukum Allah (sunnatullah), yang kesemuanya terkadung dalam al-Qur’an dengan segala sakramentalnya, melalui “bimbingan” dan teladan Nabi yang termanifestasi dalam al-Hadits dan al-Sunnah.
Dalam lintas spritualitas Islam, tradisi tasawuf atau sufi memiliki akar yang sangat mendasat dengan spritualitas Islam. Hal ini, dapat dilihat beberapa tulisan tentang spritualitas Islam, selalu merujuk pada khasanah tasawuf Islam. Di lihat dari proses penghambaan (abd al-Lah) mereka kepata Tuhannya, mereka sangat mengunggulkan kesucian dan kemuliaan hatinya. Sehingga mereka (selalu menklaim) mampu sedekat mungkin dengan Tuhan. Gambaran ketataatan, ini sebenarnya dapat kita lihat dalam al-Qur’an “Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan semua orang yang memanggil (berdo’a) jika Aku di panggil. (QS. Al-Baqarah :186). Di ayat lain Allah pun menegaskan bahwa “Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana kamu menghadap, disitu ada ‘wajah’ Tuhan. (QS. Al-Baqarah : 115). Itu semua adalah metafora dari keniscayaan seseorang akan kedekatannya denga Tuhan.
Salah satu hadits Qudsi (kudus, suci) yang dijadikan landasan oleh kaum Sufi adalah “hamba-Ku tidak pernah berhenti mendekati dirinya kepada-Ku, melalui pengabdian yang bebas sampai Kucintai dia, dan apabila Kucintai dia, maka Akulah Pendengar dengan apa yang ia dengar, mata dengan apa yang ia melihat, dan tengan dengan apa yang ia pegang, serta kaki dengan apa ia berjalan.[48] Hadis ini menunjukan akar spritual Islam yang bersumber langsung dari Tuhan. Inilah prototype kehidupan spritual dan kedalaman batin dengan Tuhan, yang menjadikan Nabi sebagai sumber spritualitas Islam, dan menjadikan Dzikr (mengingat Allah terus menerus) sebagai kesatuan dalam setiap ritme kehidupan. Disinilah urgensi tradisi sufi, untuk dijadikan sebagai basis spritualitas dalam pendidikan Islam.
Dalam salah satu bukunya yang sangat fenomenal, Danah Zohar dan Ian Marshal,[49] secara terbuka mengutip puisi Jalaludin al-Rumi untuk mendukung teori kecerdasan spritualnya.[50] Di sini, khazanah sufi telah mampu mempengaruhi tradisi psikologi Barat Modern, ditengah kegalauan mereka akan kedamaian spritual. Hal ini pula semakin mempertegas betapa kayanya khazanah tradisi spritualitas Islam.[51]
Cerdas secara spritual, merupakan kecerdasan yang berada pada bagian diri yang terdalam, kedalaman hati (deep insight), pemahaman dan kearifan berfikir. Kecerdasan spritual juga akan memberikan kesadaran yang akan mendorong kita tidak saja untuk mengakui nilai-nilai “suci” tetapi juga secara kreatif akan menemukan nilai-nilai baru. Sehingga tidak heran jika Danah Zohar dan Ian Marshal, menyebut kecerdasan ini sebagai The Ultimate Intelligensi, puncak kecerdasan.
Kecerdasan ini, justru hanya berada pada prototype manusia yang bersih secara spritual. Sehingga basisnya adalah self its self (fithrah dalam Islam) dimana ia dituntut untuk mengikuti jalur eksistensi diri yang dahulu ia berasal, “perjanjian primordial” istilahnya Nurcholis Madjid atau dalam bahasa kaum Perennialis “alam surgawi”, dan karenanya pula manusia selalu berada pada kondisi (istilah penganut filsafat eksistensialisme) “the peace of the allsufficience”. Dalam Islam keberadaan manusia seperti ini adalah al-Nafsu al-Muthmainnah, jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spritual dengan Ilâhi Rabbi. Dengan konsep dasar (fithrah) yang termanifestasi dalam konsep “perjanjian primordial” inilah,[52] menjadi modal bagi manusia untuk menjadikan kebaikan (tauhid, keesaan Tuhan) sebagai basis bagi semua prilaku manusia.[53] Oleh karena itu, manusia musti berada pada kondisi “bersih” secara spritual.
Menjadikan kecerdasan sufistik, sebagai basis pembelajaran dalam pendidikan Islam, merupakan sebuah upaya mensintesiskan kekayaan intelektual (rasionalitas) dengan kekayaan spritual yang berbasis pada penggalian sisi batiniyyah, yang mempertautkan dimensi terdalam manusia. Tidak heran jika kemudian, Kuntowijoyo pernah merekomendasikan untuk memasukkan khazanah sufi kedalam pendidikan Islam. Karena Sufi telah mampu mentransendensikan hodup manusia, juga kekayaan yang terkandung didalamnya, yang sangat menekankan aspek kedalaman (deepness) manusia.[54] Abdul Hadi WM, juga menegaskan perlunya memasukkan sastra-sastra sufi dalam pendidikan kita. Sebab baginya, sastra sufi mengandung semangat profetik.[55] Yaitu semangat yang mendorong kita untuk selalu menyambungkan dimensi sosial (kemanusiaan) dengan dimensi transcendental (Ilahi Rabbi).
Agama adalah keseluruhan dari setiap sisi dari kehidupan itu sendiri. Maka ruang kelas akan terlalu sempit dan terbatas jika diharapkan mampu untuk melakukan internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Di sini perlu adanya keteladanan dan latihan-latihan kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Maka sekolah pun harus mengembangkan keseluruhan nilai-nilai ajaran ketuhanan dalam setiap sisi mata pelajaran.
Penutup
Ketika manusia melakukan pencarian yang terus menerus tentang Tuhan dan ayat atau tanda-tanda-Nya, maka ia mutlak harus mempunyai kesiapan spritual. Kesiapan ini, tentunya harus dimulai dari lingkungan yang paling sederhana, yaitu keluarga, kemudian pada tingkat lembaga pendidikan, ia juga diarahkan pada pembimbingan kearah penanaman nilai-nilai universal rabbaniyah.
Karena ketika manusia tidak mampu menangkap sinyal-sinyal spiritual dari Tuhan, itu pada dasarnya disebabkan tiga kemungkinan. Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahaya Ilahi yang seterang apapun tidak dapat ditangkap dengan cermin rohani yang dimilikinya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotor dan aniaya. Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapat penghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermin tersebut. Yang termasuk dalam kategori ini, orang-orang yang menjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasi hidupnya. Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumber cahaya hingga memang tak dapat diharapkan dapat tersentuh oleh cahaya petunjuk Ilahi.
Lihatlah realitas yang menjangkiti dunia modern seperti konsumerisme yang seolah tak mengenal kata puas, hedonisme yang telah menyebabkan merajalelanya AIDS, serta materialisme yang cenderung mencekal nilai-nilai spiritual; semua itu mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pola kehidupan yang semata-mata dipimpin oleh otak/akal (head) dan ketrampilan teknologis (hand) itu perlu diimbangi dan dikendalikan dengan kebeningan hati (heart). Tanpa itu semua, prosen transformasi dalam dunia pendidikan atau ketika kita akan melakukan proses pengkajian, justru akan terjebak pada persoalan-persoalan pragmatisme dan hedonisme semata. Tanpa itu semua, kita (kadang) patut mempertanyakan komitmen keilmuannya. Benarkah? Lihatlah disekiling anda…. Wallahu a’lam bi showab
Daftar Pustaka;
- Ahmad,. Amrullah. 1991. “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
- Ashraf,. Ali, 1996. Horison Baru Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus. 1996.
- Al-Jauhari., Imam Chanafie. 1999. Hermeneutika Islam ; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, Yogyakarta : Ittaqa Press.
- Fazlurrahman. 1985, Islam Dan Modernitas ; Tantangan Transformasi Intelektual. Bandung : Pustaka.
- ___________. 1967. “The Qur’anic Consept of God” dalam Islamic Studies, Jilid VI, no. 1.
- Hidayat, Komarudin. 1999. “Melampaui Nama-Nama Islam dan Postmodenisme” dalam edy A. Efendi,. Komaruddin (ed) Dekonstruksi Mazhab Ciputat. (Bandung : Zaman Wacana Mulia.
- Hamka. 1985. Filsafat Ketuhanan. Surabaya : Penerbit Karunia.
- Mulkhan,. Abdul Munir. 2002. Nalar Spritual Pendidikan ; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Yogyakarta : Tiara Wacana. 2002
- Rasyid Ridha., Muhammad. 1931. Tarikh al-ustadz al-Imam Syaikh Muhammad ‘Abduh, Kairo : Dar al-Maarif. 1931.
- Surya,. Muhammad, 2000. “Integrasi Tauhid Ilmu dalam Sistem Pendidikan Nasional” dalam Tauhi Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan. Bandung : Nuansa.
- Syafi’i Ma’arif,. Ahmad. 1991, “Pemikiran Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
- Syed S. Hussain dan Syed Ali Asyraf, 1979. Crisis Muslim Education, Jeddah : King Abdul Aziz University.
- Shihab., Quraish. 1999. Wawasan al-Qur’an. Bandung : Mizan.
- Wan Daud., Wan Mohd Nor. 2003. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. Bandung : Mizan.
Imam Hanafi ; Sekretaris ISAIS UIN Suska Pekanbaru.
[1] Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality). Lihat Ahmad Watik Pratiknya, "Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di Indonesia", Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991), h. 104. Namun bagi al-Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural. Lihat Isma'il Raji a!-Faruqi, Islamization of Knowledge : General Principles and Workplan (Hemdon : HIT, 1982), h. 37
[2] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Pustaka Muhammadiyah, Jakarta, 1960, h. 237.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,
[4] L. O. Kattsoff. Pengantar Filsafat, (tjm). (Yogyakarta : Tiara Wacana. 1987) h 143.
[5] Harun Hadiwijono. Sari Sejarah Filsafat Barat. (Yogyakarta : Kanisius. 1992), h. 40.
[6] Ibid, h. 22.
[7] Ibid, h. 55
[8] Dikutip dari tulisan A. Syafi’i Ma’arif. “Pemikiran Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia”, dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1991) h 147 – 148.
[9] Istiilah ini memang terjadi perdebatan, dalam devinisi Encyclopedia Wikipedia, Islamic science is science in the context of traditional religious ideas of Islam, including its ethics and philosophy. A Muslim engaged in this field is called a Muslim scientist. Encyclopedia Wikipedia, lihat http://www.answers.com/topic/islamic-science. pandangan yang parsial ini juga dipahami oleh Muhammad Muhsin Khan, yang ketika menerjemahkan kata ‘ilm sebagai ilmu-ilmu keagamaan (religious knowledge). Lihat Muhammad Muhsin Khan, The Translation of the Meaning of Sahih Al-Bukhari, Kitab Bhavan, New Delhi, 1987, vol. 1-9. Bahkan Ahmad Dallal juga mengartikan Islamic Science sebagai Arabic Science (ilmu-ilmu Arab).
[10] Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan; Pengantar Epistemologi Islam. (Bandung: Mizan, 2003), h.h. 21
[11] Ibid, 22
[12] Ibid, 22
[13] Ibid, h. 34
[14] Ibid, h. 23
[15] Abu Hamid Muhammad al-Gazali (450 H/ 1058 M-505 H/ 1111 M) nama latinya al-Gazel bukanlah seorang saintis dan filosof dalam arti biasa, tapi meninggalkan pengaruh yang luar biasa pada kehidupan intelektual Islam, hingga tak cukuplah ketika bicara soal sains tanpa menyinggung peranya. Seyyed Hossein Nasr, Sains dan Peradaban di dalam Islam, (Bandung: Pustaka Bandung,1986), h. 34
[16] Seyyed Hossein Nasr Intelegensi dan Spritualitas Agama-Agama, (Jakarta: Inisani Press, 2004), h.11
[17] Mehdi Ha’iri Yazdi Menghadirkan Cahaya Tuhan, (Bandung: Mizan, 2004), h. 17
[18] Mulyadi Kartanegara Menyibak Tirai Kejahilan, (Bandung: Mizan, 2003), h. 43
[19] Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks secara langsung atau tidak langsung dan dijustifikasi oleh akal. Kebahasaanya yang di gali lewat infrensi (istidlal) secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikanya tanpa perlu pemikiran secara langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu ditafsir meskipun demikian akal atau rasio tidak bebas menentukan makna dan maksudnya tetapi tetap harus bersandar pada teks. Bayani berasal dari kata Arab yang berarti penjelasan eskplanasi, al-Jabbiri mengatakan berdasarkan beberapa makna yang di berikan kamus lisan al arab suatu kamus karya ibn Mansur dan di anggap sebagai karya pertama yang belum tercemari pengetahuan lain tentang kata ini memberikan arti sebagai al Fashl wa Intishal (memisah dan terpisah) dan ad Dhuhur wa al Idhar (jelas dan menjelaskan )makna al-fashl wa al Idhar dalam kaitanya dengan metodologi sedang wa Dhuhur berkaitan dengan visi (ra’y) dari metode bayani. A. Khudhori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2004), h. 177
[20] Tajribi adalah metode yang mengkaji objak-objak fisik yang tentunya Indra adalah alat dan sekaligus sumber utamanya utamanya, lihat Mulyadi Op Cit, h. 52
[21] al-Burhani secara sederhana bisa diartikan sebagai suatu aktifitas untuk menetapkan kebenaran proposisi yang satu dengan yang lain yang telah terbukti kebenaranya secara aksiomatik, menurut al Jabbiri pringsip-pringsip burhani pertamakali di kenalkan oleh Ariestoteles yang di kenal dengan metode analitik ( tahlili) suatu cara berfikir yang didasarkan atas proposisi tertentu, proposisi hamliyah( kategori) atau proposisi sartiyah dengan mengambil 10 kategori sebagai objek kaitan yaitu kualitas, ruang, waktu dan seterusnya. Pada masa Alexander Aprodisi murid serta komentator Aristoteles di gunakan istilah Logika dan ketika masuk khasanah pemikiran Islam berganti nama dengan Burhani. A. Khudori Soleh Op Cit, h. 220
[22] Irfani berasal dari kata dasar bahasa Arab ‘Arafa semakna dengan Ma’rifat berarti pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman (ekperiens) sedang ilmu menunjuk pada pada pengatahuan yang di peroleh lewat tranformasi ( Naql) atau rasional (Aql) karena secara termenilogi Irfan bias diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang di peroleh lewat penyinaran oleh ruhani ( Riyadlah) yang dilakukan atas dasar cinta. Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan, (Bandung: Mizan, 2004), h.47-48 . Hal ini merupakan kebalikan dari metode Bayani,karena sasaran bidik Irfani adalah aspek esoteris syariat, apa yang ada di balik teks. A. Khudori Soleh, Op Cit, h. 194
[23] Mulyadi Kartanegara Op Cit, h. 53
[24] Ibid, h. 56
[25] Ibid, h. 60
[26] Munawwar Ahmad Anees, What Islamic sciences is Not, MAAS Journal of Islamic sciences 2, (1), Januari 1986, h. 19-20.
[27] Upaya “Nilaisasi Ilmu” misalanya dikemukakan oleh Prof. Amril Mansur, Dosen UIN Suska Riau. Lihat Amril Mansur, “Nilaisasi Ilmu; (Sebuah Upaya Integrasi Ilmu dalam Pembelajaran Sekolah di Era Globalisasi)”, dalam Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 7, No. 2, Juli-Desember 2008.
[28] Sains agama ini merujuk pada teologi (ilmu kalam), Hukum (termasuk fiqh, ushul fiq dan lain-lain), ulumul Qur’an, ulumul Hadits, dls. sains rasional biasanya dialamatkan pada ilmu-ilmu fislafat, retorika, aritmatika, astronomi, kedokteran, dls. Amrullah Ahmad. “Kerangka Dasar Masalah Paradigma Pendidikan Islam” dalam Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia ; Antara Cita dan Fakta. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 1991) h 83.
[29] Menurut Rahman, selain serangan al-Ghazali tersebut, ada beberapa alasan tentang hal ini. Pertama, adanya pandangan bahwa hidup ini relatif singkat. Sehingga orang kemudian memprioritaskan ilmu-ilmu agama untuk memberikan “jaminan” pada kehidupan akhirat. Kedua, adanya tradisi sufi yang dengan sengaja menolak rasionalisme-intelektual dalam pencapaian pengetahuan. Dan Ketiga, ijazah-ijazah yang mendapat legislasi untuk bekerja sebagai mufti atau qadi pada saat itu adalah ilmu-ilmu agama, sementara filsuf dan saintis hanya tersedia lowongan kerja diistana saja. Lihat Fazlurrahman. Islam Dan Modernitas ; Tantangan Transformasi Intelektual. (Bandung : Pustaka. 1985) h 39.
[30] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Mizan Bandung, Cetakan I 2003, h. 336.
[31] Misalnya tentang persoalan epistemologis praksis dari pemberlakuan integrasi ilmu di UIN, sepertinya hanya didasarkan pada kebutuhan pragmatis dan apologis. Realisasi dari persoalan apakah integrasi itu adalah pemberlakuan nilai-nilai Islami, yaitu setiap ilmu umum di “sinari” dengan nilai-nilai Islam, ataukah disiplin ilmu itu berdiri sendiri meskipun didalamnya ilmu-ilmu dasar Islam diajarkan? Yang tidak kalah pentingnya untuk dicermati adalah pemberian gelar yang “jelas-jelas” memperlebar dikotomi antara Perguruan Tinggi Agama (UIN) dan Perguruan Tinggi Umum.
[32] Abdul Munir Mulkhan. Nalar Spritual Pendidikan ; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Tiara Wacana. 2002) h. 188.
[33] Kesuksesan ini bisa kita baca penuturan salah satu muridnya, Muhammad Rasyid Ridha dalam buku Tarikh al-ustadz al-Imam Syaikh Muhammad ‘Abduh, (Kairo : Dar al-Maarif. 1931) h. 254.
[34] Lihat Syed S. Hussain dan Syed Ali Asyraf, Crisis Muslim Education, (Jeddah : King Abdul Aziz University. 1979) h 56.
[35] Quraish Shihab. Wawasan al-Qur’an (Bandung : Mizan. 1999) h 234.
[36] Misalnya ‘alam (bendera), ‘ulmat (bibir sumbing), ‘a’lam (gunung-gunung), ‘alamat (alamat), dsb.
[37] Wan Mohd Nor Wan Daud. Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas. (Bandung : Mizan. 2003) h 144.
[38] Fazlur Rahman. “The Qur’anic Consept of God” dalam Islamic Studies, Jilid VI, no. 1. 1967, h 8 – 11.
[39] Ibid.
[40] Imam Chanafie Al-Jauhari. Hermeneutika Islam ; Membangun Peradaban Tuhan di Pentas Global, (Yogyakarta : Ittaqa Press. 1999) h 53.
[41] QS. Al-‘Alaq : 1.
[42] Komaruddin Hidayat, “Melampaui Nama-Nama Islam dan Postmodenisme” dalam edy A. Efendi (ed) Dekonstruksi Mazhab Ciputat. (Bandung : Zaman Wacana Mulia. 1999) h 96
[43] Hamka. Filsafat Ketuhanan. (Surabaya : Penerbit Karunia. 1985), h 113.
[44] Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, (Jakarta : Pustaka Firdaus. 1996) h 23 – 24.
[45] Dikutip dari Muhammad Surya, “Integrasi Tauhid Ilmu dalam Sistem Pendidikan Nasional” dalam Tauhi Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan. (Bandung : Nuansa. 2000) h 84 – 85.
[46] SH. Nasr. Spritualitas dan Sni dalam Islam. (trj) (Bandung : Mizan. 1993) h. 16. terutama pada footnote 9.
[47] Bandingkan dengan SH. Nasr (ed), Ensiklopedi Tematis ; Spritualitas Islam, (trj), (Bandung : Mizan. 2002) h xxii.
[48] Hadits ini penulis kutip dari buku SH. Nasr. Islam ; Antara Cita dan Fakta, (trj). (Yogyakarta : Pusaka. 2001) h 57.
[49] Danah Zohar dan Ian Marshal. SQ ; Memanfaatkan Kecerdasan Spritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk memahami Hidup (trj). (Bandung : Mizan. 2000)
[50] Teks lengkapnya baca halaman 9.
[51] Lihatlah misalnya pada abad III – VII H, kreatifitas dan dinamika sufistik telah mampu memberikan inspirasi pada pemikir-pemikir, baik dibidang filsafat, kalam, dan hukum. Tokoh-tokoh seperti al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajah, Ibn Tufail, Suhrawardi, al-Ghazali, bahkan tokoh-tokoh ahli kimia dan fisika ; al-Iraqi, Jubir Ibn Hayyan (penggali pertama ilmu aljabar), dan al-Razi (ahli Ilmu Optik) adalah orang-orang sufi. Begitu pula Nash al-Din at-Thusi dan Ibn Bana’ al-Marakusyi. Bahkan spritualitas Sufistik telah mempengaruhi peradaban materal. Hampir setiap bentuk seni mulai puisi, sajak cerita-cerita,sampai pada bentuk arsitektur ; masjid, Istana memperlihatkan keterpaduan dengan sufi. Pengaruh ini dapat dilihat dalam buku SH. Nasr. Spritualitas dan Seni Islam. (Bandung : Mizan. 1993).
[52] Yang dimaksud dengan “perjanjian primordial” ini adalah suatu ikatan janji yang terjadi pada zaman azali dengan Tuhan dan manusia, bahwa manusia primordial mengakui Dia sebagai Tuhan. Hal ini dapat kita lihat dalam ayat “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak cucu Adam dari tulang selangkangan mereka, kemudian Dia meminta persaksian mereka atas diri mereka sendiri, (dan Allah berkata) “bukankah Aku adalah Tuhanmu sekalian?”, mereka semua menjawab “ya, benar, kami semua menjadi saksi”..(QS. Al-A’raf : 172).
[53] Munzir Hitami. Mengonsep Kembali Pendidikan Islam. (Pekanbaru : Infinite. 2004) h 11 – 14.
[54] Kuntowijoyo menyebutkan ; “Substansi sufisme seperti khauf (penuh rasa takut), Rajâ’ (sangat berharap), Qonâ’ah (menerima pemberian Allah), Tawakkal ((pasrah), SyukĂ»r, Ikhlâs dan sebagainya, dapat menjadi materi pendidikan Islam”. Sementara dalam pendidikan moral, dia menambahkan “kalau direct theaching tidak sesuai lagi, dan tidak examplery center yang dipercayai, maka târikh Nabi, para Shahabat, dan teladan orang-orang suci dapat dimasukkan, demikian juga sejarah, mitos dan sastra”. Lihat Kuntowijoyo, “Krisis Kebudayaan ; Kesenjangan Antara Kesadaran dan Prilaku” dalam Republika, edisi Rabu 16 Desember 1998).
[55] Abdul Hadi WM, “Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern” dalam Horison, no 6, tahun XXII, Juni 1998, h 184.
No comments:
Post a Comment