Wednesday, 29 March 2017

Mempertimbangkan Spritualitas dalam Epistemologi Islam

Mempertimbangkan Spritualitas dalam Epistemologi Islam
Dalam al-Qur’an, kata ilm, dengan berbagai bentuknya terulang sampai 854 kali. Yang berarti kejelasan, karena ia berakar dari bentuk kata yang bercirikan kejelasan. Selain itu, kata ilm, berasal dari kata dasar ‘ain, lam, dan mim, yang terambil dari perkataan ‘alamah, yang berarti tanda, petunjuk, atau indikasi yang dengannya sesuatu atau seseorang itu dikenal. Dengan demikian ma’lam, berarti “rambu-rambu jalan” atau “sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang”. Selaras dengan itu, ‘a’lam juga bisa diartikan dengan “petunjuk jalan”. Maka tidak heran jika kemudian, kata ‘ayah (jamaknya : ayat), yang berarti tanda, selalu merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an (qauliyah) dan fenomena alam (kauniyah).

Secara deskriptif, al-Qur’an sebenarnya telah memberikan gambaran bagaimana Allah memberikan pengetahuan pengetahuan kepada Adam, ketika para Malaikat tidak mampu menyebutkan “nama-nama” tersebut. Inilah sebenarnya esensi penciptaan manusia tersebut, yaitu untuk mempelajari alam semesta, hukum-hukum susunan batinnya, dan proses sejarah. Semua itu kemudian digunakan untuk “pengabdian kepada Tuhan”. Hal inilah yang membuat manusia dihormati sebagai sebaik-baiknya makhluq dan bahkan Malaikat, kecuali Iblis, bersujud dihadapan Adam, sebagai simbol manusia.

Karakteristik yang membedakan antara manusia dengan makhluq lain adalah kapasitasnya dalam memberikan “nama-nama” kepada benda-benda. Memberi “nama” benda-benda mempertegas kapasitas manusia dalam menemukan sifat-sifat benda, hubungan timbal balik dan hukum-hukum perilakunya. Ketika kita menamakan sesuatu itu batu, pohon, atau elektron, kita akan mengetahui bagaimana perilakunya, bisa mengetahui lebih banyak tentanya, bahkan bisa meramalkannya. Dengan kata lain, manusia berbeda dengan makhluq lainya adalah ketika ia mempunyai pengetahuan kreatif dan ilmiah mengenai benda-benda (ilmu eksakta), mengenai susunan batinnya (ilmu kejiwaaan), dan mengenai perilaku luar manusia sebagai suatu proses yang berjalan terus menerus dalam sebuah masa (ilmu kesejarahan)

Ketika kita tidak mampu berbicara tentang Tuhan kecuali dengan perumpamaan-perumpamaan, maka Tuhan berkomunikasi dengan manusia melalu “ayat”. Disini manusia bertanggungjawab untuk mengungkapkan dan memahaminya. Untuk mengungkap realitas dibalik ayat tersebut (the ultimate reality), manusia harus menggunakan potensi akal pikirannya, dengan cara mengaitkan ketiga realitas diatas berdasarkan prinsip fundamental tentang kesatuan (unity) dan keseluruhan (totality).

Ajakan untuk memahami relitas alam ini, sebenarnya sudah ada dalam al-Qur’an. Bahkan ayat pertama kali turun kepada Muhammad adalah “bacalah! Bacalah atas nama Tuhanmu apa-apa yang telah Dia ciptakan”. Jadi, sejak pertama umat Islam telah ditantang untuk membawa teks, berupa alam raya. Alam raya sendiri artinya “tanda” yang menunjukkan kepada realitas diluarnya. Dalam sebuah syairnya, Hamka menyebutkan tentang hal ini;

Mekar mengembang, fajar menyingsing
Ombak berdebur, gunung menjulang, langit menghijau
Rimba belukar sunyi, awan berarak menepi
Air mengalir, serasa terjun pimping dilereng dikecut angina
Anak menangis dalam pangkuan bundanya, ibu bernyanyi 
Mengingat ayahnya 
Keringat mengalir di dahi seorang yang baru pulang
Dari pekerjaannya dan anaknya berlari kehalaman
Menyanbutnya ayahnya pulang…………
Kemana saja … Yang mana saja! Menengadah keatas
Atau menekur kebawah
Hanya satu yang tampak di mata, di hati : “Allah!”
Hanya satu suara yang terdengar : “Allah!”
“Tuhanku, Tidaklah Engkau jadikan segalanya ini dengan sia-sia?”

Akan tetapi akal pikiran manusia belum merupakan segalanya. Karena peran penting manusia adalah membangun kembali gambaran ilmiuah dari realitas obyekltif dan menciptakan suatu tatanan moral yang berdasarkan pengetahuan ilmiah tersebut. Pemanfaatan alam semesta dengan kerangaka ilmiah tanpa disertai dengan suatu tatanan yang baik, atau mengetahui “nama-nama” tanpa memanfaatkannya, akan menjadi sesuatu yang menurut al-Qur’an adalah ‘abath, suatu perbuatan setan yang sia-sia, bahkan berbahaya. Hal ini persis seperti apa yang diungkapkan oleh Iqbal bahwa ‘aql (penalaran ilmiyah) tanpa ‘isyq (kreatifitas moral positif ) adalah perbuatan setan yang sesat, dan Barat jelas-jelas mengikuti hal ini menurut Iqbal. Sementara ‘isyq tanpa ‘aql, bukan hanya merupakan sesuatu yang steril, tetapi sesuatu yang jelas menipu diri sendiri, dan Iqbal menunjuk kaum Muslimin selama berabad-abad telah melakukan “pembohongan” ini.

Oleh sebab itu, pada dasarnya manusia tidaklah memiliki pengetahuan sama sekali, yang memiliki hanyalah Allah. Ketika Allah menggelarkan al-Qur’an dan Alam semesta di hadapan manusia, maka manusia dengan sendirinya ditutut untuk mendapatkan pengetahuan tentang-Nya. Sehingga, ketika seseorang akan melakukan pembacaan, penelitian, dan menemukan sebuah hukum atau teori, semua itu dilakukan atas dasar lillahi ta’ala. Baginya, segala kegiatan keilmuan yang dilakukan atas nama Allah yang telah menciptkan manusia dan telah mengajar manusia segala sesuatu (QS. Al-Alaq : 1, 2, dan 5).

Bagi illmuan Muslim, semestinya tidak mendasarkan kegiatan ilmiahnya semata-mata bersifat kognitif dan skill an sich, melainkan kesemuanya dilakukan atas dasar niat dan motivasi intrinsiknya yang keluar dari hati nurani (conscience) yang paling dalam untuk memenuhi aturan-aturan Allah. Sehingga atara science dan con-science merupakan satu kesatuan dan totalitas yang bermuara pada jiwa rabbaniyyat. (QS. Ali Imran : 79). Ketika mengembangkan dan menggali konsep teoritis dan praksis, semestinya tidak hanya berhenti pada the fact tetapi juga the fact behind the fact, pada saat mengemukakan makna ruhani atau metafisika pada setiap pernyataan fisika.

Prinsip Tauhidiiyah ini, tidak memisahkan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai moral religius. Antara ilmu dan etika, kesemuanya adalah satu kesatuan mutlak. Ilmu dan aktivitas keilmuan merupkan manifestasi dari pengabdian manusia kepada Tuhan. Tidak ada batas antara ilmu dan amal, tidak ada hijab antara ilmu dengan iman. 

Implikasinya, seorang berilmu pengetahuan memiliki komitmen terhadap Tuhannya, sekaligus menerima sepenuh hati hukum moral yang diberikan-Nya. Sehingga ia tumbuh sebagai insan yang mencintai perdamaian, dapat hidup selaras, stabil dan berbudi, yakin sepenuhnya akan kemurahan Tuhan yang tidak terbatas, keadilan-Nya yang tidak ada tandingannya, dan hidup dalam harmoni dengan alam.

Dengan demikian, selain makhluq rasional, manusia adalah makhluq spritual, yang mengapresiasikan “titah” Tuhan sebagai khalifah fil ardl, yang memiliki kekuasaan tidak terbatas untuk mengontrol dan mengatur alam semesta berdasarkan otoritas Tuhan, yang mampu menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya disetiap saat, dalam ketakjuban pada keindahan, kedahsyatan dan keharmonisan alam semesta, yang mendasarkan setiap aktivitasnya pada sinaran “nama-nama” Tuhan. Pemahaman interelasi antara Tuhan, manusia, dan alam semesta, menjadi sebuah kesadaran mutlak bagi pendidikan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. 

Prinsip ini mirip dengan sebutan Chalen E. Westate sebagai “Spritual Welness”, yang diartikan sebagai suatu perwujudan pribadi yang tercermin dalam keterbukaan terhadap dimensi kehidupan lainnya. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa ada empat dimensi “Spritual Welness” ini,;
  1. Meaning of Life, yaitu berkemampuan untuk mewujudkan dirinya secara bermakna dalam setiap dimensi hidup secara terpadu dan utuh.
  2. Intrinsik Value, yaitu memiliki nilai-nilai intrinsik sebagai perpaduan berprilaku.
  3. Trancendence, yakni berkemampuan untuk mentransendensikan atau melakukan hubungan dengan dimensi yang lebih luas dan luhur. Dan
  4. Community of Shared Values and Support, adalah berkemampuan dalam melakukan hubungan kemasyarakatan dengan dukungan nilai-nilai bersama.
Dengan demikian, arah integrasi semestinya menuju pada pemaknaan yang hakiki di setiap sains. Dalam konteks ini, saya sebut dengan spritualisasi. Istilah spritualitas sering diartikan “miring” oleh banyak kalangan, terutama para pemikir muslim, karena istilah ini dikonotasikan kepada tradisi spritualitas Kristen. Tetapi, menurut Nasr, istilah spritualitas menunjukkan makna ruhaniyyah dalam bahasa Arab, dan memiliki arti ma’nawiyyah dalam bahasa Persianya. Semua itu berarti menunjukkan hal-hal batin yang hakiki dan interioritas (bagian dalam), sebagai lawan dari “yang kasat mata”. Selain itu, spritualitas diartikan sebagai bentuk kesempurnaan moral dan kemurahan jiwa sejauh menyangkut umat manusia, sebagai entitas dari kedekatan manusia dengan Penciptanya. Meskipun demikian spritualitas tidak begitu saja dimaknai sesuatu yang bersifat esoteris, yang merupaka lawan dari eksoteris. Ia memang sangat dekat dengan esoteris (al-Batiniyyah), tapi ia juga sangat dekat dengan eksoteris Islam, seperti hukum, teologi, filsafat, kesenian dan ilmu pengetahuan.

Esensi dari spritualitas Islam adalah realisasi dari ke-Esa-an Allah, mematuhi segala kehendak dan Hukum-Hukum Allah (sunnatullah), yang kesemuanya terkadung dalam al-Qur’an dengan segala sakramentalnya, melalui “bimbingan” dan teladan Nabi yang termanifestasi dalam al-Hadits dan al-Sunnah.

Dalam lintas spritualitas Islam, tradisi tasawuf atau sufi memiliki akar yang sangat mendasat dengan spritualitas Islam. Hal ini, dapat dilihat beberapa tulisan tentang spritualitas Islam, selalu merujuk pada khasanah tasawuf Islam. Di lihat dari proses penghambaan (abd al-Lah) mereka kepata Tuhannya, mereka sangat mengunggulkan kesucian dan kemuliaan hatinya. Sehingga mereka (selalu menklaim) mampu sedekat mungkin dengan Tuhan. Gambaran ketataatan, ini sebenarnya dapat kita lihat dalam al-Qur’an “Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan semua orang yang memanggil (berdo’a) jika Aku di panggil. (QS. Al-Baqarah :186). Di ayat lain Allah pun menegaskan bahwa “Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana kamu menghadap, disitu ada ‘wajah’ Tuhan. (QS. Al-Baqarah : 115). Itu semua adalah metafora dari keniscayaan seseorang akan kedekatannya denga Tuhan.

Salah satu hadits Qudsi (kudus, suci) yang dijadikan landasan oleh kaum Sufi adalah “hamba-Ku tidak pernah berhenti mendekati dirinya kepada-Ku, melalui pengabdian yang bebas sampai Kucintai dia, dan apabila Kucintai dia, maka Akulah Pendengar dengan apa yang ia dengar, mata dengan apa yang ia melihat, dan tengan dengan apa yang ia pegang, serta kaki dengan apa ia berjalan. Hadis ini menunjukan akar spritual Islam yang bersumber langsung dari Tuhan. Inilah prototype kehidupan spritual dan kedalaman batin dengan Tuhan, yang menjadikan Nabi sebagai sumber spritualitas Islam, dan menjadikan Dzikr (mengingat Allah terus menerus) sebagai kesatuan dalam setiap ritme kehidupan. Disinilah urgensi tradisi sufi, untuk dijadikan sebagai basis spritualitas dalam pendidikan Islam.

Dalam salah satu bukunya yang sangat fenomenal, Danah Zohar dan Ian Marshal, secara terbuka mengutip puisi Jalaludin al-Rumi untuk mendukung teori kecerdasan spritualnya. Di sini, khazanah sufi telah mampu mempengaruhi tradisi psikologi Barat Modern, ditengah kegalauan mereka akan kedamaian spritual. Hal ini pula semakin mempertegas betapa kayanya khazanah tradisi spritualitas Islam.

Cerdas secara spritual, merupakan kecerdasan yang berada pada bagian diri yang terdalam, kedalaman hati (deep insight), pemahaman dan kearifan berfikir. Kecerdasan spritual juga akan memberikan kesadaran yang akan mendorong kita tidak saja untuk mengakui nilai-nilai “suci” tetapi juga secara kreatif akan menemukan nilai-nilai baru. Sehingga tidak heran jika Danah Zohar dan Ian Marshal, menyebut kecerdasan ini sebagai The Ultimate Intelligensi, puncak kecerdasan.

Kecerdasan ini, justru hanya berada pada prototype manusia yang bersih secara spritual. Sehingga basisnya adalah self its self (fithrah dalam Islam) dimana ia dituntut untuk mengikuti jalur eksistensi diri yang dahulu ia berasal, “perjanjian primordial” istilahnya Nurcholis Madjid atau dalam bahasa kaum Perennialis “alam surgawi”, dan karenanya pula manusia selalu berada pada kondisi (istilah penganut filsafat eksistensialisme) “the peace of the allsufficience”. Dalam Islam keberadaan manusia seperti ini adalah al-Nafsu al-Muthmainnah, jiwa yang damai dan tenang, yang bisa menjalin kontak spritual dengan Ilâhi Rabbi. Dengan konsep dasar (fithrah) yang termanifestasi dalam konsep “perjanjian primordial” inilah, menjadi modal bagi manusia untuk menjadikan kebaikan (tauhid, keesaan Tuhan) sebagai basis bagi semua prilaku manusia. Oleh karena itu, manusia musti berada pada kondisi “bersih” secara spritual. 

Menjadikan kecerdasan sufistik, sebagai basis pembelajaran dalam pendidikan Islam, merupakan sebuah upaya mensintesiskan kekayaan intelektual (rasionalitas) dengan kekayaan spritual yang berbasis pada penggalian sisi batiniyyah, yang mempertautkan dimensi terdalam manusia. Tidak heran jika kemudian, Kuntowijoyo pernah merekomendasikan untuk memasukkan khazanah sufi kedalam pendidikan Islam. Karena Sufi telah mampu mentransendensikan hodup manusia, juga kekayaan yang terkandung didalamnya, yang sangat menekankan aspek kedalaman (deepness) manusia. Abdul Hadi WM, juga menegaskan perlunya memasukkan sastra-sastra sufi dalam pendidikan kita. Sebab baginya, sastra sufi mengandung semangat profetik. Yaitu semangat yang mendorong kita untuk selalu menyambungkan dimensi sosial (kemanusiaan) dengan dimensi transcendental (Ilahi Rabbi).

Agama adalah keseluruhan dari setiap sisi dari kehidupan itu sendiri. Maka ruang kelas akan terlalu sempit dan terbatas jika diharapkan mampu untuk melakukan internalisasi nilai-nilai ketuhanan. Di sini perlu adanya keteladanan dan latihan-latihan kongkrit dalam kehidupan sehari-hari. Maka sekolah pun harus mengembangkan keseluruhan nilai-nilai ajaran ketuhanan dalam setiap sisi mata pelajaran.

No comments:

Post a Comment