Hubungandan Persamaan Antara Sejarah dengan Ilmu-ilmu Sosial
A. Hubungan Antara Sejarah dengan Ilmu-ilmu Sosial
Untuk memahami masalah sejarah dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu sosial, perlu kiranya lebih dahulu dikemukakan mengenai apa yang dimaksud dengan ilmu-ilmu sosial itu, dan apa yang menjadi sasarannya, tujuan, serta hubungannya antara satu dengan lainnya. Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu sosial di sini adalah semua ilmu pengetahuan atau disiplin-disiplin akademis yang memiliki sasaran studinya pada manusia dalam hubungan sosialnya. (Kenzie, 1966: 7-8) Karena masalah manusia dalam kehidupan masyarakat mencakup pengertian yang luas maka untuk dapat mempelajari dan memahami secara mendalam diperlukan suatu pembagian lapangan perhatian yang secara khusus memusatkan pada salah satu segi dari tingkah laku manusia dalam pergaulannya yang dilola dalam kesatuan-kesatuan lapangan studi. (Suryo, 1980: 1) Nama-nama lapangan studi kemudian diberikan menurut jenis tingkah laku dari segi-segi kehidupan masyarakat yang menjadi pusat pengamatannya. Adapun nama-nama disiplin yang termasuk dalam kelompok ilmu sosial adalah ilmuekonomi, sosiologi, anthropologi sosial, ilmu politik, psikologi sosial, dan sejarah. Tiap-tiap disiplin ini memiliki sejarahnya sendiri, wengku pengamatan, permasalahan, sumber-sumber bahan dan sering juga memiliki teknik / metode penelitian sendiri-sendiri. (Suryo, Ibid)
Bahwasanya ilmu sejarah termasuk dalam lingkungan ilmu sosial, memerlukan sedikit penjelasan. Pertama perlu diketahui bahwa sejarah dikualifikasikan sebagai "ilmu" baru pada masa abad ke-19. Bila pada abad ke-18 sejarah dianggap arts, maka pada abad ke-19 sejarah dianggap lebih bersifat sebagai suatu sistem. Dalam bentuknya sebagai arts sejarah hanyalah merupakan bentuk pemikiran manusia yang disampaikan dalam bentuk narration yang secara literer melukiskan persitiwa masa lampau, dan bersifat mempersoalkan masalah; apa, kapan, di mana, dan bagaimana suatu peristiwa itu terjadi. Tekanan lebih banyak diarahkan pada segi-segi literernya, hal-hal yang unik, dan tidak menggunakan analisis. Maka dari itu dalam studi sejarah yang konvensional ini tidak mendapat persoalan kausalitas sebagai pusat penggarapannya, oleh karena itu tidak terdapat pertanyaan "mengapa". Selain tidak mempersoalkan masalah "mengapa", sejarah konvensional tidak memiliki kerangka konseptual dalam menggarap sasarannya.
Dalam keadaan yang sedemikian itu sejarah kurang mempunyai arti karena tidak dapat memberikan penjelasan mengenai masalah yang terjadi dalam kehidupan manusia. Berbeda dengan sejarah yang bersifat literer, maka sejarah sebagai sistem, menghendaki adanya sistematisasi dalam penggarapan sasaran studinya. Dalam hal ini sejarah memiliki kerangka kerja konseptual yang jelas dan memiliki peralatan metodologis dalam menganalisis sasaran yang dipelajarinya. Dengan menggunakan prosedur kerja metodologis seperti ini maka sejarah mampu mengungkapkan kausalitas secara tajam sehingga dapat memperoleh gambaran yang jelas dari suatu peristiwa.
Dilihat dari sasaran objeknya, maka studi sejarah dengan studi ilmu sosial lainnya tidaklah banyak berbeda. Mengenai masalah deskripsi dan analisis, bagi sejarah ataupun sosiologi dan juga ilmu-ilmu lain, dikotomi itu adalah membantu. Analisis menghendaki suatu deskripsi, demikian pula deskripsi yang memadai adalah deskripsi yang rumit, yang tergantung pada cukupnya sebab-sebab yang ada di dalamnya. (Kartodirdjo, 1970: 61-68) Dalam kecenderuangannya sekarang anatar keduanya dalam mencari sebab-sebab sama-sama punya arti. Sejarah mempelajari yang unik, sedangkan sosiologi mempelajari yang umum. Tanpa perhubungan antara keduanya, maka tidak akan diperoleh eksplanasi. Perlu dicatat, bahwa sekalipun sosiologi lebih mementingkan generalisasi, tetapi dalam penggarapannya memerlukan pula segi-segi keunikan secara historis. Sebaliknya dalam sejarah, sekalipun sasarannya lebih diarahkan pada keunikan, tetapi juga tidak berarti mengabaikan sifat-sifat yang umum. Sebagai contoh dalam sejarah diperlukan juga konsep-konsep umum untuk mengkonseptualisasikan gejala sejarah, seperti tercermin dalam penggunaan konsep feodalisme, borjuasi, kapitalisme, dan lain-lain. (Suryo, Ibid: 5)
Kemudian, bagaimana hubungan timbal balik antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial lainnya? Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Hubungan antara sejarah dengan sosiologi, tercermin dalam ungkapan yang berbunyi "sejarah adalah sosiologi dengan pekerjaan berat. Sosiologi adalah sejarah tanpa pekerjaan berat". Dalam perkembangan kedua disiplin saling berhubungan erat, sehingga timbul jenis-jenis pendekatan interdisipliner antara keduanya. Sebagai contoh dapat ditunjukkan tentang karya-karya yang sifatnya sosiologis dalam konsep-konsepnya dan historis dalam penggarapannya. Misalnya: Penulis yang menggunakan pendekatan sosiologis bahan-bahan sejarah (sociological history) antara lain: Caulanges, Giots, Pirenne, Maunier, Maitland, Stephenson, Marc Bloch. Tema yang diambil oleh penulis ini antara lain memusatkan pada lahir dan berkembangnya masyarakat tertentu, terutama yang berhubungan dengan masalah demografi, ekonomi, dan perpindahan penduduk. Kesemuanya memusatkan sejarah Eropa pada periode klasik atau pertengahan. Ada pula yang memusatkan pada masalah case-study tentang daerah kebudayaan. Contohnya: Howard Beeker, Jacob Burchard, Max Weber, Toynbee, dan lain-lain.
2. Hubungan antara sejarah dengan ilmu politik. Secara konvensional sejarah politik dalam hal ini banyak menampilkan segi politik secara menonjol. Dalam hubungannya dengan kedua disiplin ini melahirkan apa yang disebut pendekatan ilmu politik, dan pendekatan institusional, pendekatan legalistis, pendekatan kekuasaan, pendekatan nilai dan pengaruh, pendekatan kelompok, dan sebagainya.
3. Hubungan antara sejarah dan anthropologi juga erat terutama bagi sejarah karena mendapat manfaat dengan pendekatan kulturalnya. Anthropologi lazim mengkaji suatu komunitas dengan pendekatan sinkronis, yaitu seperti membuat suatu pemotretan pada momentum tertentu mengenai pelbagai bidang atas aspek kehidupan komunitas, sebagai bagian dari satu kesatuan atau sistem serta hubungan satu sama lain sebagai subsistem dalam suatu sistem. Rasanya gambaran sinkronis ini tidak memperlihatkan pertumbuhan atau perubahan. Justru dalam studi anthropologi diperlukan pula penjelasan tentang struktur-struktur sosial yang berupa lembaga-lembaga, pranata, sistem-sistem, kesemuanya akan dapat diterangkan secara lebih jelas apabila diungkapkan pula bahwa struktur itu adalah produk dari perkembangan di masa lampau. Hal ini akan dapat dijelaskan eksistensinya dengan melacak perkembangan sejarahnya. (Kartodirdjo, 1988: 165)
4. Hubungan antara sejarah dengan ekonomi. Sepanjang sejarah modern telah muncul kekuatan-kekuatan ekonomi pasar internasional maupun nasional. Dengan demikan, juga menyangkut soal metodologis untuk memahami perkembangan itu. Hubungan antara keduanya memungkinkan sejarah memperoleh hipotesa-hipotesa dan model-model yang berhubungan dengan tindakan sosial dalam hubungannya dengan alokasi sumber kehidupan dan pemilihan alternatifnya. (Suryo, Ibid: 7)
B. Pentingnya Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Ilmu Sejarah
Dalam perkembangan studi sejarah kritis sejak akhir Perang Dunia II menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ilmu sosial. Rapproachment atau proses saling mendekati antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (Kartodirdjo, 1988: 130)
1. Sejarah deskriptif-naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan pelbagai masalah atau gejala yang serba kompleks. Oleh karena objek yang demikian memuat pelbagai aspek atau dimensi permasalahan, maka konsekuensi logis ialah pendekatan yang mampu mengungkapkannya.
2. Pendekatan multidimensional atau social-scientific adalah yang paling tepat untuk dipakai sebagai cara menggarap permasalahan atau gejala tersebut di atas.
3. Ilmu-ilmu sosial telah mengalami perkembangan pesat, maka menyediakan berbagai teori dan konsep yang merupakan alat analitis yang relevan sekali untuk keperluan analisis historis.
4. Lagi pula studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian hal-hal informatif tentang apa, siapa, kapan, di mana, dan bagaimana saja, tetapi juga ingin melacak pelbagai struktur masyarakat, pola kelakuan, kecenderungan proses dalam berbagai bidang, dan lain-lain. Kesemuanya itu memerlukan dan menuntut adanya alat analitis yang tajam dan mampu mengekstrapolasikan fakta, unsur, pola, dan sebagainya.
Perlu diakui bahwa dalam periode tersebut di atas ilmu sejarah menerima pengaruh besar dari kemajuan pesat ilmu sosial, antara lain perspektivisme yang menonjol, sehingga terasa perlu mengadakan perubahan metodologis yang lebih canggih serta lebih produktif.
Peminjaman alat-alat analitis dari ilmu-ilmu sosial adalah wajar, oleh karena sejarah konvensional miskin akan hal itu, antara lain disebabkan oleh tidak adanya kebutuhan menciptakan teori dan istilah-istilah khusus serta memakai bahasa kehidupan sehari-hari dan common sense.
Rapproachment antara ilmu sejarah dengan ilmu-ilmu sosial sudah barang tentu akan mengarah pada integrasi antara pengkajian sejarah dengan ilmu-ilmu sosial, sekaligus juga mendorong terjadinya pengkajian sejarah yang interdisipliner. Apabila point-point di atas membicarakan sebab-sebab perlunya melakukan rapproachment, maka perlu pula dilihat keterkaitannya secara teoritis. (F.R. Ankersmit, 1987: 246-247)
1. Dengan bantuan teori-teori ilmu sosial yang menunjukkan hubungan antara berbagai faktor (misalnya inflasi, pendapatan nasional, pengangguran, dan sebagainya), pernyataan-pernyataan mengenai masa silam dapat dirinci, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
2. Suatu teori sosial ilmiah, mengadakan hubungan antara berbagai variabel. Ini dapat mendorong seorang sejarawan meneliti sebuah aspek dari masa silam yang serasi dengan variabel tertentu. Dengan demikian, dan dengan bantuan teori dari ilmu sosial lain, seorang sejarawan lalu dapat melacak hubungan antara aspek tadi dengan aspek-aspek lainnya. Misalnya, sebuah teori mengenai hubungan antara penghematan dengan investasi, dapat mendorong sejarawan untuk meneliti penghematan di Inggris pada abad ke-18, dan dengan demikian dapat menambah dimensi baru kepada diskusi mengenai latar belakang Revolusi Industri di Inggris. Pengkajian sejarah yang dilakukan secara interdisipliner, merangsang penelitian sejarah sendiri dan membuka jalan untuk memberi jawaban baru kepada pertanyaan-pertanyaan lama.
3. Akibat yang dapat diharapkan ialah kaitan yang diadakan oleh suatu teori sosial, serta permasalahan yang ditimbulkan oleh teori itu, juga akan memberi tempat baru kepada permasalahan tersebut dalam tinjauan sejarah. Teori-teori sosial dapat membantu seorang sejarawan, agar dapat menyusun pengetahuannya mengenai masa silam dalam struktur yang paling memadai.
4. Teori-teori dalam ilmu sosial, biasanya berkaitan dengan struktur umum dan supraindividual di dalam kenyataan sosio-historis. Oleh karena itu, teori-teori tersebut dapat menganalisis perubahan-perubahan yang mempunyai jangkauan luas. Suatu pendekatan sosio-historis dapat membantu kita, bila kita ingin mengerti perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan ribuan orang yang tak bernama. Dalam pengkajian sejarah, memang kelihatan suatu perhatian untuk suka duka orang-orang kecil pada masa silam. Hal ini sesuai dengan apa yang ingin ditampilkan oleh Prof. Sartono Kartodirdjo, bahwa perspektif historis dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial akan memberi tempat bagi rakyat kecil yang selama ini dianggap tidak memainkan peran dalam sejarah. Dengan kata lain rakyat kecil menjadi objek atau dramatis personae.
5. Bila teori-teori yang dipakai dalam ilmu-ilmu sosial memang dapat diandalkan dan dipercaya, maka dengan mempergunakan teori-teori itu, pengkajian sejarah dapat melepaskan diri dari cap subjektivitas yang sering dituduhkan kepada sejarawan. Penelitian sejarah yang ditopang oleh teori-teori yang dapat diandalkan, ternyata lebih dapat dipertanggungjawabkan objetivitas keilmuan sejarah itu sendiri.
Orientasi pengkajian sejarah kepada ilmu-ilmu sosial selama dua atau tiga dasawarsa terakhir ini, didukung oleh para sejarawan dan filsuf sejarah. Demikian D. Landes dan Ch. Tilly menandaskan, bahwa banyak masalah sejarah, baru dapat dipecahkan dengan bantuan sosiologi dan demografi. Cara kerja tradisional seorang peneliti sejarah tidak memadai, oleh karena itu harus minta bantuan dari teori-teori ilmu sosial yang membuka jalan untuk menerangkan dan melukiskan masa silam dengan cara yang lebih teliti. Selain itu, sejarawan dapat menyediakan bahan, guna memerinci dan memperbaiki teori-teori itu. Namun demikian, seorang sejarawan terutama harus bertindak dengan lebih sistematis, kuantifikasi harus menggantikan intuisi yang samar-samar. Tidak cukup mengatakan, bahwa pada tahun 1789, rakyat Perancis lebih makmur daripada seputar tahun 1750. Dengan tepat harus ditetapkan, berapa jumlah penghasilan nasionalnya atau pendapatan per kapitanya, baik pada tahun 1789 maupun tahun 1750. Pada tahun 1972, seorang sejarawan Amerika L. Benson, mengungkapkan harapannya, bahwa pada tahun 1984, semua sejarawan menjadi yakin, bahwa masa silam dapat diteliti dengan penuh arti, bila diminta bantuan dari ilmu-ilmu sosial.
Konsep-konsep dan teori-teori ilmu-ilmu sosial itu diakui sangat perlu. Meskipun demikian, tidak satu pun di antaranya memberikan jalan keluar yang siap pakai begitu saja diambil tanpa pengujian yang hati-hati, pengadaan eksperimen, dan adaptasi. Para sejarawan sendiri harus mencari data dan metode ilmu sosial yang dapat memperluas lingkup dan makna penelitian mereka. Mereka harus menentukan sendiri apa yang harus diubahsesuaikan, dan apa yang harus dipadukan dalam kombinasi-kombinasi baru secara bebas, untuk dapat memenuhi syarat-syarat yang diperlukan oleh mereka sendiri. (Ibrahim Alfian, 1985: 14)
C. Relevansi Metodologi Sejarah dengan Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial
Masalah ini merupakan masalah pokok dalam pembahasan pentingnya hubungan antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial dalam masalah pendekatan dan kerangka konseptual. Untuk menjelaskan relevansi metodologi sejarah dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial, kita perlu bertolak dari konsep sejarah sebagai sistem. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (Kartodirdjo, 1988: 131)
1. Sejarah sebagai suatu sistem
Suatu sistem terdiri atas unsur-unsur atau aspek-aspek yang merupakan suatu kesatuan. Bahwasannya suatu sistem itu bekerja dengan cara yang bagaimana, maka perlu dianalisis dengan ilmu-ilmu sosial. Dalam suatu sistem yang besar terdapat empat komponen yaitu kultur, biologi, ekologi, dan personality (pribadi) yang dengan fungsinya bersama-sama mendukung fungsi umum dari sistem yang besar itu. Di sini diperlukan pendekatan interdisipliner untuk menganalisis terjalinya fungsi berbagai komponen itu (ilmu kemanusiaan, Biologi, Ekologi, dan Psikologi). Biologi dan Ekologi sendiri memerlukan pembagian lebih lanjut atau pelbagai disiplin.
Pada subsistem kultur, terdapat tiga unsur yang mendukungnya, yaitu ekonomi, sosial, dan politik, yang kesemuanya merangkum dalam satu subsistem yaitu kultur itu sendiri.
Ekonomi sebagai sistem jaringan atau distribusi komoditi sangat ditentukan oleh sistem sosial, seperti stratifikasi sosialnya. Society sebagai sistem jaringan atau distribusi hubungan sosial yang sebagai sistem sangat ditentukan oleh polity, ialah sistem distribusi kekuasaan. Dengan demikian jelaslah terdapat hubungan yang saling pengaruh mempengaruhi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga komponen itu pada hakekatnya sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, maka ketiganya dapat dicakup dalam kultur sebagai sistem. Jika kita menghadapi proses politik sebagai gejala sejarah maka untuk mengetahui proses itu, bagaimana pekerjaannya, perlu dilacak struktur kekuasaan yang ada di “belakangnya” sedangkan struktur politik dengan sendirinya kembali pada polity, yang seperti dijelaskan di atas mempunyai dimensi sosial, ekonomi, dan kultural. Tidak dapat diingkari bahwa tanpa bantuan kerangka konseptual dari ilmu-ilmu sosial, gejala politik tersebut di atas sukar dianalisis dan dipahami jalannya prosesnya. Di sini kita tidak langsung berurusan dengan kausalitas tetapi lebih banyak dengan kondisi-kondisi dalam pelbagai dimensinya.
Selanjutnya gejala ekonomis dan sosial perlu ditelaah juga dari aspek politik dan kulturalnya. Kombinasi antara pelbagai perspektif akan mampu mengekstrapolasikan interdependency antara berbagai aspek atau unsur. Dengan demikian gambaran gejala akan memperoleh lebih banyak relief. Di sini terdapat keuntungan pendekatan ilmu sosial, ialah menyoroti secara multi perspektivitas atau multidimensionalitas. Sebaliknya bentuk naratif hanya mampu memberi gambaran “datar” sehingga mudah terjebak dalam determinisme.
Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial lain bersama dengan metode-metodenya dapat dikerahkan untuk menunjang terwujudnya keterangan sejarah, supaya relief kenyataan sejarah lebih penuh menampakkan diri. Namun demikian, ilmu-ilmu tadi perlu dibatasi pada jabatannya sebagai penunjang ilmu sejarah dalam usahanya menerangkan masa lampau tersebut. (Poespoprodjo, 1987: 62) Sebagai contoh misalnya Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten Tahun 1888, menyatakan: “Dalam menganalisis konflik-konflik sosial dalam masyarakat Banten, kita harus memperhatikan sistem-sistem nilai tradisional dan keagamaan, sebagai suatu kekuatan konservatif yang menentang westernisasi ... Usaha untuk mengadakan korelasi antara kecenderungan-kecenderungan sosial dan peristiwa-peristiwa politik di satu pihak dan pola-pola kultural di pihak lain melibatkan suatu pendekatan sosio-antropologis. (Kartodirdjo, 1984: 26) Sementara untuk memperoleh pemahaman yang lengkap mengenai determinan-determinan gerakan sosial, kita perlu memperhitungkan proses politik sebagai suatu konsep yang mengacu kepada interaksi antara pelbagai unsur sosial yang bersaing untuk memperoleh alokasi otoritas. Analisis semacam ini perlu menggunakan konsep-konsep ilmu politik.
2. Kecenderungan Penulisan Sejarah Struktural
Kecenderungan penulisan sejarah struktural tidak bisa dilepaskan dengan pemahaman masalah masyarakat yang terikat pada struktur-struktur tertentu, sehingga perlu penjelasan yang lebih komprehensif tentang struktur itu sendiri. Sudah barang tentu penjelasan tentang struktur juga tidak bisa dilepaskan dengan sejarah prosessual. Ini berarti unsur struktur dan proses merupakan pijakan perspektif historis bilamana kita akan membahas peristiwa masa lampau secara kritis dan analitis.
Dengan perlengkapan metodologi baru, seperti penggunaan pendekatan ilmu sosial, studi sejarah kritis memperluas daerah pengkajiannya, sehingga terbukalah kemungkinan melakukan penyerotan aspek atau dimensi baru dari pelbagai gejala sejarah. Kalau pada umumnya segi prosessual yang menjadi fokus perhatian sejarawan dengan pendekatan ilmu sosial dapatlah digarap aspek strukturalnya. Selanjutnya dipahami bahwa banyak aspek prosessual yang hanya dapat dimengerti apabila dikaitkan dengan aspek strukturalnya, bahkan dapat dikatakan pula bahwa proses hanya dapat "berjalan" dalam kerangka struktural. (Kartodirdjo, 1988: 134) Selanjutnya Sartono Kartodirdjo memberikan contoh, bahwa tindakan manusia dalam pergaulan senantiasa mengikuti kebiasaan, adat atau pola kehidupan yang berlaku dalam masyarakat itu. Pola atau kebiasaan yang mantap menimbulkan suatu kelembagaan, seperti adat-istiadat, etika, etiket, upacara, dan sebagainya. Dengan demikian kelakuan manusia dalam masyarakat selalu distrukturasikan sesuai dengan tradisi atau konvensi. Di sini struktur kelakuan yang mantap melatarbelakangi tindakan atau kelakuan tertentu seseorang. Apabila tidak ada struktur yang melandasinya, maka tindakan itu sukar "diramalkan" atau "ditafsirkan" oleh sesamanya, jadi timbul kekalutan sosial, suatu keadaan yang tidak mungkin kehidupan bersama secara teratur dan beradab. Meskipun demikian, bagaimanapun menariknya sejarah struktural, akan tetapi sejarah bukanlah sejarah apabila tidak memuat cerita tentang bagaimana terjadinya. Oleh karena itu seyogyanya campuran antara sejarah prosessual dan struktural yang paling memadai. Committee SSRC menjelaskan, "The fundamental problem of historical study is the analysis of change over time. Some social science have found it possible, in general, to push the problem of time into the background. (SSRC, 1954: 24) Sejarah struktural dapat diibaratkan kerangka tanpa daging, jadi tanpa kehidupan. Sebaliknya sejarah prosessual tanpa struktur tidak mempunyai bentuk. Kehidupan hanya dapat dimasukkan dalam konstruk apabila ada naratif yang mempunyai rethorik yang menggairahkan.
Suatu analisis struktural dari riset sosiologi sangat penting untuk digunakan dalam mengkaji struktur masyarakat masa lampau. Contoh populer tentang hal ini adalah studi Floyd Hunter mengenai struktur kekuasaan masyarakat Atlanta, Georgia. Tesis dasar yang dicoba untuk didokumentasikan ialah bahwa sebagian besar kekuasaan yang efektif dalam masyarakat itu terpusat pada individu yang jumlahnya sangat kecil. Secara lebih khusus ia membuat hipotesis bahwa di belakang pemerintah yang terpilih secara resmi di Atlanta, berdiri pula beberapa elit tidak resmi yang sangat berkuasa yang merupakan orang-orang yang sebenarnya "membawa" masyarakatnya. Dengan menguasai sumber-sumber vital, bisnis, dan industri besar, fasilitas komunikasi, perbankan dan aktivitas keuangan lainnya, serta mengatur partai-partai politik, dan diduga dapat mendominasi semua keputusan dan program utama. Sebagai akibat yang wajar dari tesis ini bahwa tidak seorang pun di luar struktur kekuasaan yang sangat terpusat, benar-benar mempunyai kontrol terhadap kepentingan masyarakat. (Olsen, 1968: 212) Konsep sosiologi ini sangat penting dalam analisis sejarah yang ingin mengetahui struktur kekuasaan dalam perkembangannya di negara Atlanta.
Dalam masalah struktur ini, sejarawan yang ingin membuat bagian analisis ilmu pengetahuan bagi kepentingan pemikirannya, tidak hanya digunakan untuk kepentingan sejarah saja, tetapi juga untuk kepentingan analisis studi lainnya. Namun demikian, sejarah sangat penting untuk menggunakan konsep dari ilmu pengetahuan ini. SSCR, misalnya mengatakan bahwa "There are two other ways of viewing and interpreting the subject matter of history. One is terms of the structure of the situation in which events take place ...". (SSCR, 95).
Demikian halnya dengan masalah proses, James Thomson dan William Mc.Ewen mengajukan argumentasi bahwa tujuan organisasi tidaklah statis, tetapi agak berubah-ubah oleh adanya interaksi di dalam organisasi itu sendiri, dan antara organisasi dengan lingkungannya. Menurut mereka penempatan organisasi harus dilihat sebagai suatu proses yang terus menerus yang selalu sensitif menerima tekanan-tekanan sosial. (Olsen, 1968: 217) Dari contoh ini maka dapat disimpulkan bahwa peranan proses tidak bisa diabaikan dalam melihat suatu perkembangan. Sementara sejarah itu sendiri mempunyai titik tekan analisis pada perkembangan atau proses.
Apabila kita bertolak dari pendapat bahwa setiap proses sejarah adalah momentum-momentum dari perubahan sosial. Di satu pihak kejadian sejarah atau peristiwa merupakan proses, dan di pihak lain dapat dipandang sebagai aktualisasi dari suatu struktur. Dengan perkataan lain setiap struktur merupakan aspek statis dari suatu proses, dan sebaliknya setiap proses merupakan aspek dinamis dari suatu struktur. Hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut: Tindakan atau kelakuan manusia pada saat tertentu selalu mengikuti pola tertentu sesuai dengan nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya., dengan perkataan lain menurut pranata sosialnya. Ini berarti bahwa kelakuan atau aksi itu telah dibentuk atau distrukturasikan. Pada umumnya struktur sendiri berubah karena adanya pengaruh dari lingkungan, seperti dicontohkan misalnya adanya disorganisasi dan disintegrasi pola peranan. Namun demikian suatu destrukturasi akan diikuti oleh restrukturasi. Justru di sini dapat diobservasi proses-proses yang mulai membentuk dan memantapkan pola kelakuan baru sehingga akhirnya muncul struktur baru. (Kartodirdjo, 1988: 124).
Antropolog Radcliffe Brown dalam bukunya Structure and Function in Primitive Society menjelaskan tentang fenomena sosial yang ditekankan pada hubungan antara kelompok dan individu sebagai organisme, yang disebut dengan istilah "struktur sosial". Menurut Brown, inilah yang merupakan studinya sebagai seorang antropolog sosial. Di sinilah letak antropologi sosial sebagai ilmu alam, yang menentukan ciri-ciri umum struktur sosial masyarakat sebagai kesatuan komponen. Dimensi struktur sosial menurut Brown ialah: 1) Hubungan diadik, yaitu hubungan sosial dari individu pada individu yang lain; 2) hubungan deferensial, yaitu hubungan sosial mereka dengan individu atau kelompok yang berbeda-beda. Dengan demikian, realitas konkret dalam struktur sosial adalah rangkaian hubungan yang benar-benar ada, yang terjadi pada suatu waktu. Dengan kata lain, bahwa hubungan aktual individu-individu dan kelompok-kelompok individu berubah dari tahun ke tahun atau dari hari ke hari. Adapun bentuk sosialnya juga mengalami perubahan tetapi sedikit demi sedikit. Struktur sosial itu ada dan dapat dipahami dengan pendekatan pada masyarakat sederhana (individu) maupun masyarakat yang kompleks atau manusia dalam sistem struktur. (Brown, 1965: 188 et.seq.) Dengan demikian teranglah bahwa peranan ilmu sosial sangat penting untuk memahami masyarakat secara mendalam dan ini sangat berguna bagi sejarah.
Oleh karena itu pendekatan struktural merupakan implikasi metodologis dari ilmu sejarah karena mau tidak mau sejarah akan menggunakan pendekatan analitis dan multidimensional, bila melakukan rapproachment terhadap ilmu-ilmu sosial lainnya.
D. Penggunaan Konsep-konsep dan Teori-teori dalam Analisis Historis
Bila pada bagian di atas menjelaskan beberapa alasan dan latar belakang serta relevansi ilmu-ilmu sosial bagi kepentingan analisis sejarah, sekarang bagaimana hal itu dilakukan, atau dengan kata lain bagaimana praktek penerapannya.
Di atas telah disinggung, bahwa masalah metodologi sangat berkaitan dengan masalah teori. Teori sebagaimana dikemukakan oleh Percy S. Cohen, dibagi dalam empat kelompok besar, yaitu: 1) Teori-teori analitis, seperti logika dan matematika; 2) teori-teori normatif, seperti etika dan estetika; 3)Teori-teori saintifik; dan 4) Teori-teori metafisis. Selanjutnya Cohen mengatakan bahwa teori saintifik disebut universal karena teori itu menyatakan sesuatu mengenai kondisi-kondisi yang yang melahirkan beberapa peristiwa atau jenis peristiwa. Sementara itu, konsep dapat didefinisikan sebagai kata benda umum manapun juga. Kekuasaan, kewibawaan, perkembangan, perubahan misalnya adalah konsep-konsep yang biasa dalam ilmu politik. (Ibrahim Alfian, 1992: 365-366)
Fungsi teori dalam disiplin sejarah seperti dikemukakan oleh Social Science Research Council di New York dalam sebuah laporan Panitia Historiografi, sungguh sama dengan yang terdapat dalam disiplin-disiplin lain, yaitu untuk mengidentifikasi masalah yang hendak diteliti, menyusun kategori-kategori untuk mengorganisasikan hipotesis-hipotesis yang melaluinya berbagai-bagai macam interpretasi data dapat diuji, dan memperlihatkan ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu. Teori tidak dapat memberikan "jawaban" kepada peneliti, akan tetapi membekali peneliti dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan terhadap fenomena yang hendak ditelitinya. (Ibrahim Alfian, Supplement buku Dari Babad dan Hikayat sampai Sejarah Kritis: 5)
Prof Dr. Ibrahim Alfian menjelaskan tentang hal ini dengan memberikan beberapa contoh misalnya, karya Sartono Kartodirdjo, Protest Movements in Rural Java (1973) telah mempergunakan kerangka analitis yang pernah dikemukakan oleh Henry A. Landsberger dalam The Role of Peasant Movement (1968) untuk memahami asal-usul, perkembangan, dan akibat-akibat pergerakan yang bersifat protes sosial. Dalam semua kasus multiplisitas faktor-faktor harus dikaji dan fenomena keresahan sosial hanya dapat dijelaskan melalui kombinasi sebab-sebab yang terpisah. Aspek-aspek analitis yang menjadi kerangka penelitian beliau adalah: 1) Struktur politik ekonomi pedesaan Jawa di abad XIX dan abad XX; 2) basis massa pergerakan sosial; 3) kepemimpinan pergerakan-pergerakan sosial; 4) ideologi-ideologi pergerakan, dan 5) dimensi kultural yang bersifat mendorong pergerakan sosial. (Ibid., p. 6)
Dalam mengkaji masalah nasionalisme, Sartono Kartodirdjo menggunakan konsep dari psikologi sosial. Dikatakannya, bahwa nasionalisme dapat dilihat sebagai fakta sosio-psikologis, terutama pada tingkat pembentukannya, seperti yang terjadi di zaman Pergerakan Nasional. Kesadaran kelompok, sentimen dan kehendak kelompok yang dinyatakan pada berbagai organisasi nasional, merupakan wujud dan institusionalisasi tindakan kelompok. Dengan sudut pandang seperti ini, maka konseptualisasi metodologis nasionalisme mungkin dapat dicapai melalui sudut pandangan nasionalisme sebagai fakta sosio-psikologis itu. Sebagai tindakan kelompok nasionalisme mempunyai tiga aspek yang dapat dibedakan, yaitu: a) aspek kognitif; b) aspek orientasi nilai / tujuan; dan c) aspek afektif. (Kartodirdjo, 1992: 245)
Sebuah pendekatan lain adalah pendekatan yang dilakukan oleh Prof. Ibrahim Alfian dalam disertasinya berjudul Perang di Jalan Allah (1987) dengan menggunakan pendekatan eklektik dengan mempergunakan teori dari pakar sosiologi Amerika, Neil J. Smelser, yang dikemukakan dalam bukunya Theory of Collective Behavior (1962). Menurut Smelser, komponen pokok aksi sosial adalah: nilai-nilai, norma-norma, mobilisasi motivasi perseorangan untuk aksi yang teratur dalam peran-peran kolektivitas, dan fasilitas situasional atau informasi, ketrampilan, alat-alat dan rintangan dalam mencapai tujuan-tujuan yang konkrit. Setiap gejolak sosial, diarahkan pada komponen-komponen tertentu aksi sosial itu, yakni ditujukan agar dapat merubah nilai-nilai, norma-norma, peranan-peranan, dan fasilitas-fasilitas. (Ibrahim Alfian, 1985: 18) Selanjutnya menurut Smelser gejolak sosial dapat terjadi apabila terdapat sejumlah determinan atau necessary conditions yang berturut-turut terdiri atas hal-hal sebagai berikut:
a. Kekondusifan struktural (structural condusiveness), yaitu kondusif atau tidaknya struktur sosial budaya masyarakat terhadap gejolak sosial;
b. Ketegangan struktural (structural strain) yang timbul, misalnya berupa ancaman dan deprivasi ekonomi;
c. Penyebaran keyakinan yang dianut (the spread of generalized belief). Dalam hal ini situasi harus dibuat bermakna bagi para pelaku yang potensial, sumber ketegangan dan cara-cara menghadapinya harus diidentifikasi;
d. Faktor pencetus ide (the precipatating factor) berupa sesuatu yang dramatik;
e. Mobilisasi untuk mengadakan aksi (mobilization into action). Dalam kondisi ini peranan pemimpin sangat penting. Situasi dapat dimulai dengan adanya kepanikan, timbulnya permusuhan, dan diteruskan dengan agitasi untuk reform atau revolusi;
f. Pengoperasian kontrol sosial (the operation of social control). (Ibid. Lihat juga: Neil J. Smelser, 1962: 15-17)
Teori inilah yang digunakan oleh Prof. Ibrahim Alfian dalam menggarap disertasinya.
Inilah yang merupakan contoh penerapan suatu teori dari ilmu sosial dalam mengkaji peristiwa masa lalu yang dilakukan oleh dua pakar sejarah Indonesia.
E. Pandangan dan Tanggapan Terhadap Multidimensional Approach
Perlu kiranya dibahas di sini tentang pandangan maupun penilaian dan perkembangan gagasan metodologi sejarah dalam kaitannya dengan penggunaan dan peminjaman konsep-konsep dan teori-teori dari ilmu-ilmu sosial lain.
F.R. Ankersmit, telah menginventarisasi keberatan-keberatan yang diajukan oleh pihak yang kontra terhadap pengkajian sejarah yang berorientasi pada ilmu-ilmu sosial, antara lain: (F.R. Ankersmit, 1987: 247-250)
1. Dua keberatan yang sifatnya praktis, yaitu bahan yang kita peroleh dari sumber-sumber sejarah sering tidak lengkap, sehingga kurang memberi pegangan untuk menerapkan teori-teori dari ilmu sosial. Pengkajian secara kuantitatif dengan mempergunakan teori-teori dari ilmu sosial bagi kurun waktu sebelum tahun 1800 praktis tidak mungkin.
2. Sering juga pendekatan sosio-historis dipersalahkan memotong-motong kekayaan historis, karena ia hanya menaruh minat terhadap segi-segi masa silam yang diteliti dengan bantuan ilmu-ilmu sosial. Akan tetapi keberatan itu kurang meyakinkan. Tak ada seorang sejarawan pun yang dapat memaparkan seluruh kekayaan masa silam. Seorang sejarawan tradisional juga mengadakan seleksi, sekalipun lain daripada sejarawan yang bersandar pada ilmu-ilmu sosial.
3. Pengkajian tradisional lebih mampu menampilkan suatu pemandangan luas mengenai masa silam, daripada suatu pendekatan sosio-ekonomis yang hanya membeberkan statistik-statistik hasil pertanian dan angka-angka ekspor impor.
4. Pendekatan terhadap masa lampau yang mempergunakan teori-teori dari ilmu sosial lainnya hanya dapat diandalkan sejauh teori itu dapat diandalkan. Kesahihan teori-teori sosial sering disangsikan, apalagi kalau dibandingkan dengan bobot ilmiah yang terkandung dalam ilmu alam.
5. Suatu teori ilmu sosial tidak dapat digeneralisasikan secara universal, tetapi hanya berlaku terhadap suatu bagian dari masa silam yang ingin diteliti. Jadi, pekerjaan yang harus dilakukan seorang peneliti sejarah justru bertambah, tidak diperhemat. Mempergunakan teori-teori dari ilmu sosial hanya mempunyai fungsi heuristis, artinya memberi ide kepada seorang sejarawan untuk meneliti ini dan itu.
6. Keberatan terakhir tidak merupakan terhadap penggunaan teori-teori ilmu sosial, melainkan lebih merupakan sebuah peringatan, apa yang dapat dan apa yang tidak dapat diharapkan dari ilmu-ilmu sosial, bagi pengkajian sejarah. Bila seorang sejarawan melukiskan sebagian dari masa silam, maka dalam buku atau karangan yang membahas bagian dari masa silam, ia menampilkan suatu gambaran mengenai bagian masa silam itu. Tentunya supaya gambaran itu berbeda daripada gambaran-gambaran yang pernah dilukiskan oleh sejarawan-sejarawan terdahulu. Ilmu-ilmu sosial hanya berguna untuk memerinci detail-detail dalam sebuah uraian historis. Bila seorang sejarawan kita tafsirkan sebagai seorang guru gambar mengenai bagian-bagian dalam masa silam, maka ilmu-ilmu bantu, artinya membantu seorang sejarawan mengadakan seleksi apa yang merupakan masalah parsial saja, bila dipandang dari perspektif uraian historis seluruhnya.
Apabila dilihat perkembangan dari gagasan metodologi multidimensional ini, khususnya di Indonesia, maka sangat menarik apa yang diungkapkan oleh Taufik Abdullah, bahwa pertama multidimensional approach, dikatakannya masih merupakan suatu harapan, karena dari sudut metodologis tidak banyak terjadi perubahan yang berarti. Kedua, ada dimensi yang dilupakan bila tidak dikatakan hilang, oelh sejarawan profesional Indonesia pasca multidimensional approach, yaitu dimensi "makna" dari hasil penulisan mereka. Benarkah demikian?
Pembahasan terhadap masalah ini haruslah bertolak dari ciri ilmu sejarah itu sendiri, yaitu bahwa berbicara tentang sejarah adalah berbicara tentang sesuatu yang tidak pernah tuntas. Mengapa demikian? Ya, karena setiap hasil penulisan sejarah adalah rethinking kembali terhadap kajian masa lampau yang pernah ditulis oleh penulis masa lalu. Hal ini wajar karena sesuai dengan kata Cicero, bahwa sejarah adalah anak zaman. Setiap generasi akan menuliskan sejarahnya. Sudah barang tentu, setiap ditemukannya bukti-bukti yang baru dan interpretasi ataupun penggarapan dengan metodologi yang lebih "canggih" akan memunculkan suatu hasil baru, yang sebenarnya justru akan melengkapi kajian yang pernah atau telah dilakukan sebelumnya.
Bila kita lihat perkembangan penulisan sejarah di Indonesia sejak diadakannya Seminar Sejarah I di Yogyakarta, maka keinginan untuk mengungkapkan sejarah dari "dalam" dan bersifat nasionalistis, dengan mengadakan suatu sintesis ke arah kesatuan geopolitik (integrasi) dengan menggunakan pendekatan multidimensional approach, maka dapatlah kita pahami, bahwa sejak semula multidimensional approach dimaksudkan untuk memberikan bobot ilmiah, kekritisan, dan Indonesia View dari suatu rekonstruksi sejarah Indonesia. Oleh karena itu, perlu disadari bahwa kekritisan yang diharapkan dengan penggunaan konsep-konsep dan teori-teori dari berbagai ilmu sosial bersifat problem oriented, sehingga sangat berkonsekuensi terhadap sikap "academical actions". Dengan demikian, sudah barang tentu, multidimensional approach merupakan salah satu upaya "pengilmiahan" dengan ciri "kegelisahan" mencari dan kesediaan untuk menguji asumsi yang dipaparkannya. (Indriyanto, 1992: 3)
Memang, seperti apa yang disinyalir oleh Taufik Abdullah, bahwa multidimensional approach secara metodologis tidak banyak menghasilkan perubahan dalam penulisan sejarah di Indonesia. Beberapa implikasi baik secara teoritis maupun praktis dikemukakan oleh Taufik antara lain: 1)Secara implisit menolak determinisme sejarah; 2) Masalah objektivitas sejarah "dipindahkan" dari lapangan filsafat ke problem-problem metodologis; 3) Makin intimnya sejarawan dengan konsep ilmu-ilmu sosial sehingga berakibat pada usaha pemberitaan historis; 4) Sejarah lokal dan agraria semakin menjadi "primadona" dalam historiografi Indonesia; 5) Lebih menekankan pada peristiwa struktural daripada event; mode of explanation yang bercorak argumentatif teoritis, sehingga menyebabkan rekonstruksi harus selalu diuji dan diperdebatkan.
Dari beberapa hal di atas, masih harus ditambah lagi dengan kenyataan bahwa dalam "peredaran" karya sejarah dalam masyarakat luas terkesan masih didominasi oleh sejarawan konvensional. Apa yang dihasilkan oleh multidimensional approach lebih merupakan gagasan teoritis. Hal itu dibuktikan dengan beberapa disertasi yang masih terikat dengan pertanyaan konvensional dan adanya "perdebatan terselubung" dari disertasi-disertasi produk setelah multidimensional approach dipopulerkan. Taufik mencontohkan disertasi Djoko Suryo yangmemperkenalkan quanto-history, Ibrahim Alfian yang mencoba melakukan pendekatan dari dalam yang bertolak dari cluster of events, suatu hal yang menyebabkan beliau bergumul dengan interpretasi teks. Kedua studi ini merupakan contoh yang cukup ekstrim bila ditarik pada konsekuensi logisnya karena memperdebatkan asumsi teoritis yang berbeda. Di samping itu, Sutjipto yang lebih melakukan penekanan sumber yang exhaustive, Kuntowijoyo dan Onghokham yang menekankan pada masalah tematis dengan kecermatan konseptualisasi, Hamid Abdullah yang menggunakan oral tradisi, dan berbagai makalah seminar dengan konsep yang segar dan manantang yang tertuju pada tema-tema kecil. Semua itu menunjukkan pada suatu kecenderungan ilmiah lain dari multidimensional approach. Karya-karya mereka masih menunjukkan pada kemajemukan konsep dan trends yang sedang "in".
Fenomena seperti ini sebenarnya bukanlah merupakan sesuatu yang merisaukan, bahkan justru menggembirakan. Mengapa demikian? Ya, karena sesuai dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri, maka metodologi merupakan sesuatu yang berdinamika dan terus berkembang. Bukankah salah satu kebutuhan yang urgen pada saat ini adalah visi baru pada sejarah modern, seperti yang dikatakan oleh Alfred Weber? (Mayerhoff, 1959: 29) Yang jelas, mereka telah berjasa dengan berbagai konsep metodologisnya sendiri-sendiri. Adalah sesuatu yang nonsense bila kemajuan penulisan sejarah hanya didasarkan pada satu view of approach saja.
No comments:
Post a Comment