Tuesday 7 March 2017

Pengertian Hukum Islam, Syariah, Fikih, dan Ushul Fikih

Pengertian Hukum Islam, Syariah, Fikih, dan Ushul Fikih 
Sistem hukum di setiap masyarakat memiliki sifat, karakter, dan ruang lingkupnya sendiri. Begitu juga halnya dengan sistem hukum dalam Islam. Islam memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal dengan sebutan hukum Islam. Ada beberapa istilah yang terkait dengan kajian hukum Islam, yaitu syariah, fikih, ushul fikih, dan hukum Islam sendiri.

Istilah syariah, fikih, dan hukum Islam sangat populer di kalangan para pengkaji hukum Islam di Indonesia. Namun demikian, ketiga istilah ini sering dipahami secara tidak tepat, sehingga ketiganya terkadang saling tertukar. Untuk itu, di bawah ini akan dijelaskan masing-masing dari ketiga istilah tersebut dan hubungan antarketiganya, terutama hubungan antara syariah dan fikih. Satu lagi istilah yang juga terkait dengan kajian hukum Islam adalah ushul fikih.

 Pada prinsipnya hukum Islam bersumber dari wahyu Ilahi, yakni alQuran, yang kemudian dijelaskan lebih rinci oleh Nabi Muhammad saw. melalui Sunnah dan hadisnya. Wahyu ini menentukan norma-norma dan konsep-konsep dasar hukum Islam yang sekaligus merombak aturan atau norma yang sudah mentradisi di tengah-tengah masyarakat manusia. Namun demikian, hukum Islam juga mengakomodasi berbagai aturan dan tradisi yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan dalam wahyu Ilahi tersebut.

Hukum Islam 
 Istilah hukum Islam berasal dari dua kata dasar, yaitu ‘hukum’ dan ‘Islam’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan dengan:
  • Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat;
  • Undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat;
  • Patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa tertentu;
  • Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (di pengadilan) atau vonis (Tim Penyusun Kamus, 2001: 410). 
Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa (Muhammad Daud Ali, 1996: 38). Kata
hukum sebenarnya berasal dari bahasa Arab al-hukm yang merupakan isim mashdar dari fi’il (kata kerja) hakama-yahkumu yang berarti memimpin, memerintah, memutuskan, menetapkan, atau mengadili, sehingg kata alhukm berarti putusan, ketetapan, kekuasaan, atau pemerintahan (Munawwir, 1997: 286). Dalam ujudnya, hukum ada yang tertulis dalam bentuk undangundang seperti hukum modern (hukum Barat) dan ada yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam.

PERAN DAN SIKAP ISLAM TERHADAP PERKEMBANGAN IPTEK

Adapun kata yang kedua, yaitu ‘Islam’, oleh Mahmud Syaltout didefinisikan sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya (Mahmud Syaltout, 1966: 9). Dengan pengertian yang sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. lalu disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Dari gabungan dua kata ‘hukum’ dan ‘Islam’ tersebut muncul istilah hukum Islam. Dengan memahami arti dari kedua kata yang ada dalam istilah hukum Islam ini, dapatlah dipahami bahwa hukum Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah SWT. dan Nabi Muhammad saw. untuk mengatur tingkah laku manusia di tengahtengah masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum Islam dapat diartikan sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam.

Dalam khazanah literatur Islam (Arab), termasuk dalam al-Quran dan Sunnah, tidak dikenal istilah hukum Islam dalam satu rangkaian kata. Kedua kata ini secara terpisah dapat ditemukan penggunaannya dalam literatur Arab, termasuk juga dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam literatur Islam ditemukan dua istilah yang digunakan untuk menyebut hukum Islam, yaitu al-syari’ah al-Islamiyah (مية س ا ريعة الش) (Indonesia: syariah Islam) dan al-fiqh alIslami (مي س ا الفقه) (Indonesia: fikih Islam). Istilah hukum Islam yang menjadi populer dan digunakan sebagai istilah resmi di Indonesia berasal dari istilah Barat.

Hukum Islam merupakan terjemahan dari istilah Barat yang berbahasa Inggris, yaitu Islamic law. Kata Islamic law sering digunakan para penulis Barat (terutama para orientalis) dalam karya-karya mereka pada pertengahan abad ke-20 Masehi hingga sekarang. Sebagai contoh dari bukubuku mereka yang terkenal adalah Islamic Law in Modern World (1959) karya J.N.D. Anderson, An Introduction to Islamic Law (1965) karya Joseph Schacht, A History of Islamic Law (1964) karya N.J. Coulson, Crime and Punishment in Islamic Law: Theory and Practice from the Sixteenth to the Twenty-first Centuri 9 (2005) karya Rudolph Peters, An Introduction to Islamic Law (2009) kayra Wael B. Hallaq, dan Introduction in Islamic Law (2010) karya Ahmed Akgunduz. Para pakar hukum Islam yang menulis dengan bahasa Inggris juga menggunakan istilah itu dalam tulisan-tulisan mereka. Kata Islamic law sering digunakan untuk menunjuk istilah Arab fikih Islam. Ahmad Hasan menggunakan istilah Islamic law untuk fikih dalam karya-karyanya seperti dalam buku The Early Development of Islamic Jurisprudence (1970) dan The Principles of Islamic Jurisprudence (1994). Istilah inilah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi hukum Islam. Istilah ini kemudian banyak digunakan untuk istilah-istilah resmi seperti dalam perundang-undangan, penamaan mata kuliah, jurusan, dan lain sebagainya. Adapun untuk padanan syariah, dalam literatur Barat, ditemukan kata shari’ah. Untuk padanan syariah terkadang juga digunakan Islamic law, di samping juga digunakan istilah lain seperti the revealed law atau devine law (Ahmad Hasan, 1994: 396).

Istilah lain terkait dengan hukum Islam yang juga digunakan dalam literatur Barat adalah Islamic Jurisprudence. Istilah ini digunakan untuk padanan ushul fikih. Ada beberapa buku yang ditulis dalam bahasa Inggris terkait dengan istilah ini, di antaranya adalah dua buku tulisan Ahmad Hasan seperti di atas, The Origins of Muhammadan Jurisprudence (1950) karya Joseph Schacht, The Principles of Muhammadan Jurisprudence (1958) karya Abdur Rahim, dan juga dua karya Ahmad Hasan seperti di atas, yakni The Early Development of Islamic Jurisprudence (1970) dan The Principles of Islamic Jurisprudence (1994), serta karya Norman Calder, Islamic Jurisprudence in the Classical Era yang diedit oleh Colin Imber (2010).

Dari penjelasan di atas terlihat adanya ketidakpastian atau kekaburan makna dari Islamic law (hukum Islam) antara syariah dan fikih. Jadi, kata hukum Islam yang sering ditemukan pada literatur hukum yang berbahasa Indonesia secara umum mencakup syariah dan fikih, bahkan terkadang juga mencakup ushul fikih. Oleh karena itu, sering juga ditemukan dalam literatur tersebut kata syariah Islam dan fikih Islam untuk menghindari kekaburan penggunaan istilah hukum Islam untuk padanan dari kedua istilah tersebut.

Syariah 
Secara etimologis (lughawi) kata ‘syariah’ berasal dari kata berbahasa Arab al-syari’ah (ريعة الش) yang berarti ‘jalan ke sumber air’ atau jalan yang harus diikuti, yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan (alFairuzabadiy, 1995: 659). Orang-orang Arab menerapkan istilah ini 10 khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang tetap dan diberi tanda yang jelas terlihat mata (Ahmad Hasan, 1984: 7). Syariah diartikan jalan air karena siapa saja yang mengikuti syariah akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan binatang sebagaimana Dia menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia (Amir Syarifuddin, 1997, I:1). Ada juga yang mengartikan syariah dengan apa yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya (Manna’ alQaththan, 2001: 13).

Al-Quran menggunakan dua istilah: syir’ah (Q.S. al-Maidah [5]: 48) dan syari’ah (Q.S. al-Jatsiyah [45]: 18) untuk menyebut agama (din) dalam arti jalan yang telah ditetapkan Tuhan bagi manusia atau jalan yang jelas yang ditunjukkan Tuhan kepada manusia. Istilah syarai’ (jamak dari syari’ah) digunakan pada masa Nabi Muhammad saw. untuk menyebut masalahmasalah pokok agama Islam seperti shalat, zakat, puasa di bulan Ramadlan, dan haji (Ahmad Hasan, 1984: 7). Syariah disamakan dengan jalan air mengingat bahwa barang siapa yang mengikuti syariah, ia akan mengalir dan bersih jiwanya (Manna’ al-Qaththan, 2001: 13). Al-Quran dan Sunnah tidak menggunakan istilah al-syari’ah dan al-Islamiyyah dalam waktu yang bersamaan, namun dalam buku-buku berbahasa Arab kedua istilah yang bersamaan itu sering ditemukan, baik dalam buku-buku lama maupun buku-buku yang baru.

 Adapun istilah al-syari’ah al-Islamiyyah didefinisikan sebagai apa yang disyariatkan oleh Allah kepada hamba-Nya baik berupa akidah, ibadah, akhlak, muamalah, maupun aturan-aturan hidup manusia dalam berbagai aspek kehidupannya untuk mengatur hubungan umat manusia dengan Tuhan mereka dan mengatur hubungan mereka dengan sesama mereka serta untuk mewujudkan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat. Sering kali kata syariah disambungkan dengan Allah sehingga menjadi syariah Allah (syari’atullah) yang berarti jalan kebenaran yang lurus yang menjaga manusia dari penyimpangan dan penyelewengan, dan menjauhkan manusia dari jalan yang mengarah pada keburukan dan ajakan-ajakan hawa nafsu (Manna’ al-Qaththan, 2001: 14). Kata syariah secara khusus digunakan untuk menyebut apa yang disyariatkan oleh Allah yang disampaikan oleh para Rasul-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Karena itulah, Allah disebut al-Syari’ yang pertama dan hukum-hukum Allah disebut hukum syara’.

Fikih 
Secara etimologis kata ‘fikih’ berasal dari kata berbahasa Arab: alfiqh/ه الفق, yang berarti pemahaman atau pengetahuan tentang sesuatu (alFairuzabadiy, 1995: 1126). Dalam hal ini kata ‘fiqh’ identik dengan kata fahm 13 atau ‘ilm yang mempunyai makna sama (al-Zuhaili, 1985, I: 15). Kata fikih pada mulanya digunakan orang-orang Arab untuk seseorang yang ahli dalam mengawinkan onta, yang mampu membedakan onta betina yang sedang birahi dan onta betina yang sedang bunting. Dari ungkapan ini fikih kemudian diartikan ‘pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu hal’. Dalam buku al-Ta’rifat, sebuah buku semisal kamus karya alJarjani, dijelaskan, kata ‘fiqh’ menurut bahasa adalah ungkapan dari pemahaman maksud pembicara dari perkataannya (al-Jarjani, 1988: 168). Kata fiqh semula digunakan untuk menyebut setiap ilmu tentang sesuatu, namun kemudian dikhususkan untuk ilmu tentang syariah.

Al-Quran menggunakan kata ‘fiqh’ atau yang berakar kepada kata ‘faqiha’ dalam 20 ayat. Kata ‘fiqh’ dalam pengertian ‘memahami secara umum’ lebih dari satu tempat dalam al-Quran. Ungkapan ‘liyatafaqqahu fiddin’ (Q.S. al-Taubah [9]: 122) yang artinya ‘agar mereka melakukan pemahaman dalam agama’ menunjukkan bahwa di masa Rasulullah istilah fikih tidak hanya digunakan dalam pengertian hukum saja, tetapi juga memiliki arti yang lebih luas mencakup semua aspek dalam Islam, yaitu teologis, politis, ekonomis, dan hukum (Ahmad Hasan, 1984: 1). Perlu dicatat bahwa di masa-masa awal Islam, istilah ‘ilm’ dan ‘fiqh’ seringkali digunakan bagi pemahaman secara umum. Diceritakan bahwa Rasulullah telah mendoakan Ibnu ‘Abbas dengan mengatakan ‘Allahumma faqqihhu fiddin’ yang artinya ya Allah berikan dia pemahaman dalam agama. Dalam doa tersebut Rasulullah tidak memaksudkan pemahaman dalam hukum semata, tetapi pemahaman tentang Islam secara umum (Ahmad Hasan, 1984: 2).

 Seperti halnya syariah, fikih semula tidak dipisahkan dengan ilmu kalam hingga masa al-Ma’mun (meninggal 218 H.) dari Bani Abbasiah. Hingga abad II H. fikih mencakup masalah-masalah teologis maupun masalah-masalah hukum. Sebuah buku yang berjudul al-Fiqh al-Akbar, yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah (meninggal 150 H.) dan yang menyanggah kepercayaan para pengikut aliran Qadariah, membahas prinsip-prinsip dasar Islam atau masalah-masalah teologis. Karenanya, judul buku ini menunjukkan bahwa kajian ilmu kalam juga dicakup oleh istilah fikih pada masa-masa awal Islam (Ahmad Hasan, 1984: 3).

Adapun secara terminologis fikih didefinisikan sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalil terperinci (Khallaf, 1978: 11; Abu Zahrah, 1958: 6; al-Zuhaili, 1985, I: 16; alJarjani, 1988: 168; dan Manna’ al-Qaththan, 2001: 183). Dari definisi ini dapat diambil beberapa pengertian sebagai berikut:
  1. Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’. Kata hukum di sini menjelaskan bahwa hal-hal yang tidak terkait dengan hukum seperti zat tidak termasuk ke dalam pengertian fikih. Penggunaan kata syara’ (syar’i) dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fikih itu menyangkut ketentuan syara’, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata syara’ ini juga menjelaskan bahwa sesuatu yang bersifat aqli seperti ketentuan satu ditambah satu sama dengan dua, atau yang bersifat hissi seperti ketentuan bahwa api itu panas bukanlah cakupan ilmu fikih. 
  2. Fikih hanya membicarakan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (praktis). Kata amaliyah menjelaskan bahwa fikih itu hanya menyangkut tindak-tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Karena itu, hal-hal yang bersifat bukan amaliyah seperti keimanan (aqidah) tidak termasuk wilayah fikih. 
  3. Pemahaman tentang hukum-hukum syara’ tersebut didasarkan pada dalil-dalil terperinci, yakni al-Quran dan Sunnah. Kata terperinci (tafshili) menjelaskan dalil-dalil yang digunakan seorang mujtahid (ahli fikih) dalam penggalian dan penemuannya. Karena itu, ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk dalam pengertian fikih. 
  4. Fikih digali dan ditemukan melalui penalaran para mujtahid. Kata digali dan ditemukan mengandung arti bahwa fikih merupakan hasil penggalian dan penemuan tentang hukum. Fikih juga merupakan penggalian dan penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh dalil-dalil (nash) secara pasti. 
Adapun yang menjadi objek pembahasan ilmu fikih adalah perbuatan orang mukallaf. Atau dengan kata lain, sasaran ilmu fikih adalah manusia serta dinamika dan perkembangannya yang semuanya merupakan gambaran nyata dari perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang ingin dipolakan dalam tata nilai yang menjamin tegaknya suatu kehidupan beragama dan bermasyarakat yang baik. Studi komprehensif yang dilakukan oleh para pakar ilmu fikih seperti al-Qadli Husein, Imam al-Subki, Imam Ibn ‘Abd al-Salam, dan Imam al-Suyuthi merumuskan bahwa kerangka dasar dari fikih adalah zakerhijd atau kepastian, kemudahan, dan kesepakatan bersama yang sudah mantap. Dan pola umum dari fikih adalah kemaslahatan (i’tibar al-mashalih) (Ali Yafie, 1994: 108).

 Dengan demikian jelaslah bahwa pengertian fikih berbeda dengan syariah baik dari segi etimologis maupun terminologis. Syariah merupakan seperangkat aturan yang bersumber dari Allah SWT. dan Rasulullah saw. 15 untuk mengatur tingkah laku manusia baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya (beribadah) maupun dalam rangka berhubungan dengan sesamanya (bermuamalah). Sedangkan fikih merupakan pemahaman dan penjelasan atau uraian yang lebih rinci dari apa yang sudah ditetapkan oleh syariah. Adapun sumber fikih adalah pemahaman atau pemikiran para ulama (mujtahid) terhadap syariah (al-Quran dan Sunnah).

Hubungan antara Hukum Islam, Syariah, dan Fikih Di atas telah dijelaskan bahwa hukum Islam merupakan istilah yang lahir sebagai terjemahan dari istilah berbahasa Inggris Islamic law. Namun, kalau dikaji dari bentukan kata hukum Islam itu sendiri, yakni gabungan dari kata ‘hukum’ dan kata ‘Islam’, maka dapat dipahami bahwa hukum Islam itu merupakan hukum yang bersumber dari ajaran Islam.

Istilah hukum Islam tidak ditemukan dalam al-Quran, Sunnah, maupun literatur Islam. Untuk itu perlu dicari padanan istilah hukum Islam ini dalam literatur Islam. Jika hukum Islam itu dipahami sebagai hukum yang bersumber dari ajaran Islam, maka sulit dicari padanan yang dalam literatur Islam persis sama dengan istilah tersebut. Ada dua istilah yang dapat dipadankan dengan istilah hukum Islam, yaitu syariah dan fikih. Dua istilah ini, sebagaimana sudah diuraikan di atas, merupakan dua istilah yang berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan, karena keduanya sangat terkait erat. Dengan memahami kedua istilah ini dengan berbagai karakteristiknya masing-masing, dapatlah disimpulkan bahwa hukum Islam itu tidak sama persis dengan syariah dan sekaligus tidak sama persis dengan fikih. Tetapi juga tidak berarti bahwa hukum Islam itu berbeda sama sekali dengan syariah dan fikih. Yang dapat dikatakan adalah pengertian hukum Islam itu mencakup pengertian syariah dan fikih, karena hukum Islam yang dipahami di Indonesia ini terkadang dalam bentuk syariah dan terkadang dalam bentuk fikih, sehingga kalau seseorang mengatakan hukum Islam, harus dicari dulu kepastian maksudnya, apakah yang berbentuk syariah ataukah yang berbentuk fikih. Hal inilah yang tidak dipahami oleh sebagian besar bangsa Indonesia, termasuk sebagian besar kaum Muslim, sehingga mengakibatkan hukum Islam dipahami dengan kurang tepat bahkan salah.

Hubungan antara syariah dan fikih sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Syariah merupakan sumber atau landasan fikih, sedangkan fikih merupakan pemahaman terhadap syariah. Pemakaian kedua istilah ini sering rancu, artinya ketika seseorang menggunakan istilah syariah terkadang maksudnya adalah fikih, dan sebaliknya ketika seseorang 16 menggunakan istilah fikih terkadang maksudnya adalah syariah. Hanya saja kemungkinan yang kedua ini sangat jarang.
Meskipun syariah dan fikih tidak dapat dipisahkan, tetapi keduanya berbeda. Syariah diartikan dengan ketentuan atau aturan yang ditetapkan oleh Allah tentang tingkah laku manusia di dunia dalam mencapai kehidupan yang baik di dunia dan akhirat. Ketentuan syariah terbatas dalam firman Allah dan penjelasannya melalui sabda Rasulullah. Semua tindakan manusia di dunia dalam tujuannya mencapai kehidupan yang baik harus tunduk kepada kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasulullah itu sebagian telah terdapat secara tertulis dalam al-Quran dan Sunnah yang disebut syariah, sedang sebagian besar lainnya tersimpan di balik apa yang tertulis itu, atau yang tersirat.

 Untuk mengetahui keseluruhan apa yang dikehendaki Allah tentang tingkah laku manusia itu harus ada pemahaman yang mendalam tentang syariah hingga secara amaliyah syariah itu dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi bagaimana pun. Hasil pemahaman itu dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terperinci. Ketentuan terperinci tentang tingkah laku orang mukallaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil pemahaman terhadap syariah itu disebut fikih.

Pemahaman terhadap hukum syara’ atau formulasi fikih itu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi manusia dan dinamika serta perkembangan zaman. Fikih biasanya dinisbatkan kepada para mujtahid yang memformulasikannya, seperti Fikih Hanafi, Fikih Maliki, Fikih Syafi’i, Fikih Hanbali, Fikih Ja’fari (Fikih Syi’ah), dan lain sebagainya, sedangkan syariah selalu dinisbatkan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Jadi, secara umum syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah yang belum dicampuri daya nalar (ijtihad), sedangkan fikih adalah hukum Islam yang bersumber dari pemahaman terhadap syariah atau pemahaman terhadap nash, baik al-Quran maupun Sunnah. Asaf A.A. Fyzee membedakan kedua istilah tersebut dengan mengatakan bahwa syariah adalah sebuah lingkaran yang besar yang wilayahnya meliputi semua perilaku dan perbuatan manusia; sedang fikih adalah lingkaran kecil yang mengurusi apa yang umumnya dipahami sebagai 17 tindakan umum. Syariah selalu mengingatkan kita akan wahyu, ‘ilmu (pengetahuan) yang tidak akan pernah diperoleh seandainya tidak ada alQuran dan Sunnah; dalam fikih ditekankan penalaran dan deduksi yang dilandaskan pada ilmu terus-menerus dikutip dengan persetujuan. Jalan syariah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya; bangunan fikih ditegakkan oleh usaha manusia. Dalam fikih satu tindakan dapat digolongkan pada sah atau tidak sah, yajuzu wa ma la yajuzu, boleh atau tidak boleh. Dalam syariah terdapat berbagai tingkat pembolehan atau pelarangan. Fikih adalah istilah yang digunakan bagi hukum sebagai suatu ilmu; sedang syariah bagi hukum sebagai jalan kesalehan yang dikaruniakan dari langit (Fyzee, 1974: 21). Dari uraian di atas dapat disimpulkan mengenai perbedaan antara syariah dan fikih sebagai berikut:
  1. Syariah berasal dari Allah dan Rasul-Nya, sedang fikih berasal dari pemikiran manusia. 
  2. Syariah terdapat dalam al-Quran dan kitab-kitab hadis, sedang fikih terdapat dalam kitab-kitab fikih. 
  3. Syariah bersifat fundamental dan mempunyai cakupan yang lebih luas, karena oleh sebagian ahli dimasukkan juga aqidah dan akhlak, sedang fikih bersifat instrumental dan cakupannya terbatas pada hukum yang mengatur perbuatan manusia. 
  4. Syariah mempunyai kebenaran yang mutlak (absolut) dan berlaku abadi, sedang fikih mempunyai kebenaran yang relatif dan bersifat dinamis. 
  5. Syariah hanya satu, sedang fikih lebih dari satu, seperti terlihat dalam mazhab-mazhab fikih. 
  6. Syariah menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fikih menunjukkan keragaman dalam Islam.  
Ushul 
Fikih Istilah ushul fikih sebenarnya merupakan gabungan (kata majemuk) dari kata ‘ushul’ dan kata ‘fikih’. Makna dari kata ‘fikih’ sudah diuraikan di atas baik secara etimologis maupun secara terminologis. Secara etimologis, fikih berarti paham, dan secara terminologis fikih berarti ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci dari al-Quran dan Sunnah. Sedang kata ‘ushul’ berasal dari bahasa Arab al-ushul/ول ص ا yaitu isim jama’ (plural) dari kata dasar (mufrad) ‘alashl/ل ص ’ yang artinya pokok, sumber, asal, dasar, pangkal, dan lain sebagainya (Munawwir, 1997: 23). Dengan mengetahui makna kata ‘ushul’ dan ‘fikih’, dapatlah dipahami makna ushul fikih yang sebenarnya tidak jauh 18 dari makna kedua kata yang menjadi unsur-unsurnya, yakni dasar atau pokok fikih.

Dalam beberapa buku dapat ditemukan variasi definisi tentang ushul fikih, meskipun maksudnya sama. Dalam buku al-Ta’rifat, al-Jarjani mendefinisikan ushul fikih sebagai ilmu tentang kaidah-kaidah untuk memahami fikih (al-Jarjani, 1988: 28). Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan ushul fikih sebagai ilmu tentang kaidah-kaidah dan pembahasanpembahasan untuk menghasilkan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang digali dari dalil-dalil yang terperinci (Khallaf, 1978: 12). Sementara itu, Wahbah al-Zuhaili menyebutkan dua pengertian tentang ushul fikih, satu pengertian dari golongan Syafi’iyah dan satu pengertian dari golongan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Golongan Syafi’iyah mengartikan ushul fikih dengan pengetahuan tentang dalil-dalil fikih secara global (ijmali), cara-cara menggunakannya, serta kondisi penggunanya. Sedang golongan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah mengartikan ushul fikih dengan kaidah-kaidah yang mengantarkan pada pembahasan tentang istinbath hukum dari dalil-dalilnya yang terperinci atau ilmu tentang kaidah-kaidah ini (al-Zuhaili, 1985, I: 23-24). Dari beberapa definisi tersebut dapat dipahami bahwa ushul fikih merupakan suatu ilmu yang mendasari ilmu fikih. Dengan ushul fikih inilah dapat dipahami proses terbentuknya hukum fikih (hukum-hukum mengenai perbuatan manusia). Secara sederhana, perbedaan fikih dengan ushul fikih adalah, kalau fikih itu ilmu tentang hukum syara’, sedang ushul fikih ilmu tentang cara-cara mengeluarkan atau menemukan hukum-hukum syara’ tersebut.

Untuk mengetahui perbedaan antara fikih dan ushul fikih dapat disimak ilustrasi contoh berikut. Dalam kitab-kitab fikih dapat ditemukan bahwa shalat hukumnya wajib. Wajibnya shalat ini merupakan hukum syara’. Al-Quran dan Sunnah tidak pernah mengungkapkan secara tegas bahwa shalat itu wajib. Wajibnya shalat ini dalam al-Quran hanya ditunjukkan dengan ayat yang berbunyi: ‘aqimu al-shalah’ (dirikanlah shalat) (misalnya Q.S. al-Baqarah [2]: 43). Ayat al-Quran yang mengandung perintah untuk mengerjakan shalat ini disebut dalil syara’. Untuk menemukan hukum syara’, dalil-dalil syara’ itu harus berpedoman pada aturan-aturan atau kaidah yang sudah ada, umpamanya setiap perintah itu menunjukkan wajib. Jadi, dari bentuk perintah dalam dalil syara’ seperti ‘dirikanlah shalat’ dapat diketahui hukum syara’ bahwa shalat itu wajib dilakukan. Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara’ tersebut disebut ushul fikih.

 Adapun tujuan yang ingin dicapai dari ilmu ushul fikih adalah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terperinci agar sampai kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali (praktis) yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah-kaidah ushul ini dapat dipahami nash-nash syara’ dan hukum yang terkandung di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat apa-apa yang dirumuskan para ulama (mujtahid) dan bagaimana mereka sampai kepada rumusan itu (Amir Syarifuddin, 1997, I: 41). Pokok bahasan ushul fikih sangat berbeda dengan fikih. Pokok bahasan ushul fikih berkisar pada tiga hal, yaitu (1) dalil-dalil atau sumber hukum Islam; (2) hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil-dalil itu; dan (3) kaidah-kaidah tentang usaha dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil atau sumber yang mengandung hukum tersebut (Amir Syarifuddin, 1997, I: 41; al-Zuhaili, 1985, I: 27).

No comments:

Post a Comment