Saturday 18 March 2017

Teori Instrumen Birokrasi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat yang kehadirannya tidak mungkin terelakkan. Birokrasi adalah sebuah konsekuensi logis dari diterimanya suatu asumsi bahwa negara mempunyai kewajiban mulia yaitu untuk mensejahterakan rakyatnya melalui media birokrasi. Sebagai perwujudan dari kewajiban tersebut, maka negara dituntut untuk terlibat langsung menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh rakyatnya. Negara secara aktif terlibat dalam kehidupan sosial rakyatnya, bahkan jika perlu negara yang memutuskan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Dalam rangka itulah, maka negara membangun suatu sistem administrasi yang bertujuan untuk melayani kepentingan rakyatnya yang disebut dengan istilah birokrasi.

Sekalipun tingkat sosial dan ekonomi suatu masyarakat telah meningkat, peran pemerintah tetap diperlukan untuk melaksanakan fungsi regulasi, alokasi, distribusi, pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Fungsi-fungsi ini harus dilaksanakan oleh pemerintah agar tercapai keadilan dan pemerataan dalam masyarakat. Inti pemerintahan adalah sistem birokrasi yang diharapkan dapat menjalankan perannya secara optimal melalui fungsi-fungsi tersebut. Dalam kenyataannya, keberadaan birokrasi pemerintah seringkali dipandang secara dikotomis, selain dibutuhkan untuk melaksanakan urusan pemerintahan sehari-hari, birokrasi juga seringkali dianggap sebagai sistem yang menyebabkan jalannya pemerintahan dan layanan publik tersendat dan bertele-tele.

Gejala patologi (penyakit) birokrasi tersebut telah lama menggerogoti sistem birokrasi pemerintahan di Indonesia. Patologi birokrasi merupakan sesuatu yang kompleks, karena memiliki keterkaitan dengan berbagai aspek organisasional, baik yang menyangkut struktur maupun kultur. Bentuk-bentuk patologi dan berbagai penyebabnya pada dasarnya dapat diidentifikasi, namun terapi atau solusi untuk mengatasinya bukanlah suatu hal yang mudah. Hal ini seperti yang dialami di Indonesia, dimana reformasi birokrasi telah lama dilakukan oleh pemerintah, namun sampai saat ini sistem birokrasi belum mampu mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi.

Identifikasi terhadap bentuk-bentuk patologi birokrasi telah dilakukan oleh beberapa pakar administrasi, seperti yang akan diuraikan secara rinci pada bagian tinjauan pustaka. Beberapa pemikiran yang berkaitan dengan itu antara lain Caiden (dalam Jurnal Public Administration Review Vol. 51 No. 6, hal. 492) yang secara alfabetikal merinci adanya 175 penyakit dalam organisasi termasuk birokrasi. Demikian juga halnya dengan Siagian yang mengidentifikasi bentuk-bentuk patologi ke dalam lima kategori kelompok, yaitu: (1) Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi; (2) Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional; (3) Patologi yang timbul karena tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (4) Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif; (5) Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan (Siagian,1994:36).

Berkaitan dengan pelayanan publik dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, birokrasi publik tentunya memberikan kontribusi yang sangat besar, karena semua yang termasuk dalam lingkup penyelenggaraan negara tidak terlepas dari koteks public service dan public affairs. Barang dan jasa publik hendaknya dapat dikelola secara efisien dan efektif. Sedangkan konsekuensi dari pengelolaan tersebut menjadi tanggung jawab birokrasi. Dengan demikian peran pemerintah yang sangat strategis tersebut akan banyak ditopang oleh bagaimana birokrasi publik mampu melaksanakan tugas dan fungsinya.

Tantangan besar yang dihadapi birokrasi adalah bagaimana mereka mampu melaksanakan kegiatan secara efisien dan efektif, karena selama ini birokrasi diidentikkan dengan kinerja yang berbelit-belit, struktur yang terlalu besar, penuh dengan kolusi, korupsi dan nepotisme, serta tidak ada standar yang pasti. Sejumlah patologi birokrasi tersebut menjadi hambatan yang sangat berarti dalam rangka perwujudan suatu pelayanan yang memuaskan masyarakat. Atas dasar itulah sehingga birokrasi Indonesia sangat jauh dari apa yang disebut good governance.

Birokrasi bagi sebagian orang dimaknai sebagai prosedur yang berbelit-belit, menyulitkan dan menjengkelkan. Namun bagi sebagian yang lain birokrasi dipahami dari perspektif yang positif yakni sebagai upaya untuk mengatur dan mengendalikan perilaku masyarakat agar lebih tertib. Ketertiban yang dimaksud adalah ketertiban dalam hal mengelola berbagai sumber daya dan mendistribusikan sumber daya tersebut kepada setiap anggota masyarakat secara berkeadilan.

Pendapat yang berbeda di atas dapat dipahami dari perspektifnya masing-masing. Bagi yang berpandangan posisif terhadap birokrasi maka baginya birokrasi adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi bagi mereka yang berpandangan negatif maka birokrasi justru menjadi salah satu penghalang tercapainya tujuan. Pandangan negatif terhadap birokrasi bukan muncul tanpa alasan, melainkan melalui suatu proses interaksi dalam pola hubungan antara aparat birokrasi dengan masyarakat, baik dalam tataran pembuatan kebijakan maupun dalam tataran implementasi kebijakan, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik.

Konteks hubungan birokrasi dengan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik sudah sangat lama terdengar keluhan, namun sampai saat ini belum ada perubahan yang berarti. Bahkan, harapan masyarakat bahwa pergantian rezim akan membawa perbaikan terhadap penyelenggaraan layanan publik ternyata tidak pernah terwujud. Pemerintahan sudah mengalami pergantian selama beberapa kali, tetapi perilaku birokrasi terutama dalam pelayanan publik belum banyak berubah.

Keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik secara garis besar ditentukan oleh 3 (tiga) aspek, yaitu: bagaimana pola penyelenggaraannya, dukungan sumber daya manusia dan kelembagaan (organisasi). Berdasarkan ketiga aspek tersebut, maka penelitian ini akan diarahkan untuk mengkaji aspek sumber daya manusia dengan penekanan pada perilaku aparat birokrasi dalam pelayanan publik, terutama perilaku yang berisifat patologis. Perilaku birokrasi yang bersifat patologis bukanlah merupakan hal yang berdiri sendiri, tetapi merupakan hasil interaksi antara berbagai aspek, seperti struktur birokrasi, serta berbagai aspek yang ada dalam lingkungan, terutama aspek budaya, serta aspek penerapan teknologi, terutama teknologi informasi sebagai penunjang dalam pemberian layanan.

Birokrasi sebagai konsep, pengetahuan dan teknik secara umum pada kenyataannya dapat dipergunakan di setiap organisasi manapun, yang memanfaatkan untuk kepentingan kelancaran jalannya pencapaian tujuan organisasi tersebut. Dalam melaksanakan fungsinya birokrasi dapat tampil dalam dua sisi, yaitu satu sisi yang baik dan satu sisi yang lain adalah menunjukkan gambaran birokrasi yang buruk atau biasa disebut dengan patologi birokrasi.

Patologi birokrasi dalam konteks pemikiran paradigmatis tentu tidak dapat dipisahkan dengan teori Weber tentang birokrasi. Kast dan Rosenzweig (1981) membagi perkembangan paradigmatis dalam bidang pengetahuan organisasi dan manajemen dalam tiga kelompok, yaitu; (1) Konsep Organisasi dan Manajemen Tradisional, (2) Konsep Perilaku dan Ilmu Manajemen, (3) Konsep Organisasi dan manajemen Modern. Teori Weber dikelompokkan dalam Konsep Organisasi dan Manajemen yang terdapat pada paradigma 1 dan 2 Nicholas Henry atau paradigma 1 Frederickson (Sedarmayanti, 2010:11)

Kemudian dalam perspektif teori organisasi, patologi birokrasi dapat ditelusuri melalui evolusi teori seperti yang dikemukakan oleh Robbins (1994: 33) bahwa teori organisasi yang ada sekarang ini merupakan hasil dari sebuah proses evolusi. Selama beberapa dekade, para akademisi dan praktisi dari beberapa latar belakang dan perspektif telah mengkaji dan menganalisis organisasi-organisasi. Dalam pemetaan evolusi teori, Weber berada dalam klasifikasi teoritis tipe 1 yang dicirikan dengan perspektif tujuan rasional dengan tema utama efisiensi-mekanis. Ciri ini mewarnai birokrasi sebagai suatu organisasi yang kemudian dikritik oleh para teoritikus berikutnya yang berada dalam klasifikasi teoritis tipe 2 yang lebih mengutamakan orang dan hubungan manusia. Salah satu teoritikus dalam tipe ini adalah Bennis yang terkenal dengan pidatonya ”matinya birokrasi” (Robbins, 1994:45).

Berdasarkan pemetaan evolusi teori tersebut di atas, maka munculnya patologi birokrasi mungkin salah satu penyebabnya adalah sifatnya yang sangat mekanis, sementara dalam organisasi faktor-faktor yang sifatnya humanis justru memegang peranan yang sangat penting, karena berkaitan langsung dengan manusia yang memiliki karakteristik yang sangat heterogen. Munculnya berbagai bentuk patologi birokrasi sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia sebagai aktor kunci dalam penyelenggaraan tugas-tugas organisasi.

Secara obyektif sebenarnya harus diakui bahwa birokrasi memiliki ciri-ciri ideal dipandang dari aspek formalnya. Menurut Weber (dalam Albrow, 1989:33), secara rasional birokrasi memiliki ciri-ciri, yaitu: Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan mereka. Ada hirarki jabatan yang jelas. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara jelas. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi professional, idealnya berdasarkan suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian. Mereka memiliki gaji dan biasanya ada hak-hak pensiun, gaji berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki. Pejabat dapat selalu menempati posnya dan dalam keadaan-keadaan tertentu ia dapat diberhentikan. Pos jabatan adalah lapangan kerjanya sendiri atau lapangan kerja pokoknya. Terdapat suatu struktur karir, dan promosi dimungkinkan berdasarkan senioritas maupun keahlian (merit) dan menurut pertimbangan keunggulan (superior). Pejabat mungkin tidak sesuai baik dengan posnya maupun dengan sumber-sumber yang tersedia di pos tersebut. Ia tunduk pada sistem disipliner dan kontrol yang seragam.

Kalau dalam kenyataan praktek kerja ciri-ciri ideal tersebut luntur dan berubah menjadi sesuatu yang buruk dan merugikan, berarti memerlukan modifikasi serta perubahan dan pengembangan. Dengan kata lain, bahwa birokrasi dalam perspektif Weberian adalah birokrasi yang sehat, namun dalam penerapannya mengalami banyak kendala yang menyebabkan birokrasi tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi inilah yang menyebabkan birokrasi diasumsikan sebagai organ yang terjangkiti oleh penyakit atau dalam istilah yang lazim disebut dengan patologi birokrasi.

Istilah “patologi” dalam ilmu kedokteran diartikan sebagai ilmu tentang penyakit. Pentingnya patologi ialah agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia, meskipun sekaligus dimaklumi bahwa tidak ada manusia yang menderita semua jenis penyakit dalam waktu yang bersamaan. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintah negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang sifatnya politis, ekonomi, sosio-kultural dan teknologikal, berbagai “penyakit” yang mungkin sudah “dideritanya” atau mengancam akan “menyerangnya” perlu diidentifikasikan untuk kemudian dicarikan terapi pengobatannya yang paling efektif (Siagian, 1994: 35).

Patologi birokrasi dalam konteks ini difahami sebagai kajian dalam Ilmu Administrasi Publik untuk memahami berbagai penyakit yang melekat dalam suatu birokrasi, sehingga menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi. Bahkan para ilmuan administrasi publik sudah sejak lama menggunakan istilah patologi birokrasi untuk menjelaskan berbagai bentuk penyakit birokrasi, seperti Gerald E. Caiden (1991) menggunakan istilah bureaupathologies untuk mengemas berbagai bentuk penyakit birokrasi dan Barry Bozeman (2000) menggunakan bureaucratic pathology untuk menjelaskan red-tape sebagai salah satu penyakit birokrasi, serta Sondang P. Siagian (1994) yang meskipun diawal bukunya menjelaskan patologi sebagai ilmu tentang penyakit yang melekat pada organ manusia, namun pada bagian-bagian selanjutnya Siagian menggunakan istilah itu seolah sebagai penyakit dari birokrasi itu sendiri (Dwiyanto, 2011:59) 

Berbagai jenis atau bentuk penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan dirasakan masyarakat, antara lain ketika setiap mengurus sesuatu di kantor pemerintah merasakan prosedur yang berbelit-belit, lamban atau membutuhkan waktu yang lama, membutuhkan biaya yang besar termasuk biaya-biaya tambahan, pelayanan yang kurang ramah, terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme, dan lain-lain. Menghadapi berbagai penyakit birokrasi tersebut menyebabkan kinerja birokrasi sampai dewasa ini belum menunjukkan perubahan yang signifikan.

Kenyataan ini memberi suatu isyarat bahwa reformasi birokrasi memang perlu dilakukan dalam rangka perubahan yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan masyarakat. Menurut Hughes alasan untuk melakukan reformasi adalah dalam rangka: (1) merealisasikan pendekatan baru untuk menjalankan fungsi pelayanan publik yang lebih baik ke arah manajerial daripada sekedar administratif, (2) sebagai respon terhadap skala penanganan dan cakupan tugas pemerintah, (3) perubahan dalam teori dan masalah ekonomi, dan (4) perubahan peran sektor swasta dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Widaningrum, 2009: 355).

Belum optimalnya perubahan pada tubuh birokrasi dikarenakan secara internal masih menghadapi beberapa kendala antara lain; Pertama, dalam sudut pandang aparatur birokrasi, terutama pola karier tidak berjalan dengan semestinya yaitu masih banyak penempatan pejabat tidak menggunakan prinsip “knowledge and basic competention”, tetapi lebih kental dengan orientasi kedekatan atau nepotisme. Kedua, perkembangan dewasa ini cenderung semakin marak praktek “politisasi birokrasi”, menyebabkan terjadi disorientasi terhadap professionalisme dan kompetensi. Ketiga, desain organisasi pemerintahan masih cenderung berbadan gemuk, sehingga tidak efisien dan efektif. Keempat, struktur organisasi pemerintahan yang kecil dan rampaing, berbentuk “flat” yang lebih mengandalkan keahlian dan kompetensi sebagai tenaga fungsional, sampai saat ini belum juga dilaksanakan sebagai kebijakan nasional dalam reformasi birokrasi bidang kelembagaan. Kelima, seiring dengan arah kebijakan perbaikan renumerasi pegawai, belum menunjukkan keseriusan pemerintah menetapkan perubahan renumerasi di setiap unit instansi pemerintah. Keenam, penataan alokasi fasilitas kerja pada semua jabatan negeri secara adil dan merata, belum menjadi landasan kebijakan yang komprehensif dalam mengelola sumber daya aparatur yang profesional dan kompetens (Istianto,2011:143).

Patologi birokrasi dan kendala internal birokrasi sebagaimana diuraikan di atas, merupakan faktor hambatan yang saling berpengaruh dan bersifat kausalitas. Walaupun sesungguhnya pemerintah telah lama berupaya melakukan penyempurnaan dan pembaharuan birokrasi, namun dampak buruk dari patologi birokrasi kenyataannya telah menghambat upaya pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Menelusuri sejarah penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, berbagai upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah dalam rangka pembaharuan birokrasi, antara lain; Sejak pemerintahan Orde Lama., dengan program “retooling aparatur”. Kemudian pada jaman periode pemerintahan Orde Baru, dengan melalui program “Pengawasan dan Penertiban serta Pendayagunaan Aparatur”. Bahkan di era reformasi dan pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, kementerian yang menangani pembinaan aparatur birokrasi telah berubah nomenklaturnya menjadi “Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi”. Hal ini menunjukkan bahwa fokus perhatian pemerintah kearah perbaikan dalam pembinaan aparatur birokrasi sudah menjadi kebijakan yang lebih prioritas. Meskipun demikian upaya pemerintah yang sudah menunjukkan keseriusan tersebut belum memperlihatkan hasil yang optimal, sehingga melahirkan pertanyaan ada apa dengan birokrasi pemerintah Indonesia?. Pertanyaan ini juga menjadi suatu hal yang mendorong untuk mengkaji dan menelusuri berbagai problematika yang dihadapi birokrasi pemerintah di Indonesia, meskipun dalam lingkup lembaga birokrasi pemerintah yang terbatas yaitu birokrasi pelayanan administrasi pertanahan sebagai bahagian dari sistem kelembagaan birokrasi publik.

Gambaran mengenai hubungan birokrasi dan masyarakat akan lebih jelas melalui penelusuran berbagai agenda penelitian yang telah dilakukan oleh para ilmuan terdahulu. Karl D. Jackson (1988) tentang Bureaucratic Polity a Theoritical Framework for the analicys of Power and Communication in Indonesia”. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya dominasi birokrasi atas proses politik, dan keterasingan kekuatan sosial politik di luar birokrasi dari proses pembuatan pelaksanaan keputusan nasional. Penelitian lain dilakukan oleh Harold Crouch tentang “Patrimonialism and Military Rule in Indonesia”. Crouch (dalam World Politics, 1989) melihat bahwa birokrasi Indonesia masih cenderung bercorak patrimonial, di mana kekuasaan diperoleh dan dipertahankan dengan cara menukar loyalitas dan dukungan dengan jabatan dan kepentingan materiil. Kedua penelitian tersebut memang tidak tergolong baru, namun dalam konteks analisis tetap diperlukan untuk memberikan gambaran bagaimana corak birokrasi di Indonesia dalam kurun waktu dua dekade yang lalu yang bagaimanapun juga turut menentukan corak dan warna birokrasi saat ini.

Citra buruk birokrasi juga terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong. Hasil penelitian lembaga ini menilai birokrasi Indonesia termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti (Soebhan, 2000). Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia dan UGM tentang kinerja pelayanan publik dengan menggunakan sejumlah variabel, yaitu keadilan (equity), responsivitas, efisiensi pelayanan, suap dan rente birokrasi (Dwiyanto, dkk, 2003). Hasil Good Governance Survey 2002 yang dilakukan oleh UGM tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi pelayanan publik di Indonesia yang masih sarat dengan kepentingan birokrasi. Birokrasi kita masih cenderung dilayani daripada melayani.

Penelitian lain tentang birokrasi, yaitu; Budaya Patron-klien terhadap perilaku birokrasi di daerah dilakukan oleh Kausar A.S (2006) menunjukkan bahwa budaya patron-klien sangat mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintah daerah, utamanya memperlemah kinerja birokrasi dengan perilaku birokrasi yang menyimpang. Penelitian yang senada dengan itu dilakukan oleh Priyo Budi Santoso (1993) dan Masson C. Headly (2006) memiliki kesimpulan yang sama bahwa penyelenggaraan birokrasi di Indonesia sejak zaman kerajaan, sampai zaman pemerintahah Orde Lama dan Orde Baru dan ditambahkan oleh Masson, sampai era reformasi belum menunjukkan perubahan, yaitu “corak birokrasi yang feodalistik” (Istianto, 2011:75).

Penelitian yang berkaitan dengan patologi birokrasi dilakukan oleh Monsod (2008) terhadap birokrasi pemerintah di Philipina. Hasilnya menunjukkan bahwa birokrasi pemerintah Philipina memiliki tiga fitur bureau-pathology. Pertama tidak ada kejelasan kontrol atas jabatan: mana yang tunduk pada kewenangan prerogatif presiden, penunjukan politis dari kongres, dan sistem karir. Kedua, struktur insentif moneter dan non-moneter tidak berbasis kontribusi. Ketiga, kurangnya transparansi dalam peran dan kewenangan penasehat presiden, tidak ada kerangka acuan kerja yang jelas, dan tidak ada kerangka akuntabilitas terhadap entitas lain di luar kepresidenan.

Penelitian yang masih berkaitan dengan patologi birokrasi pelayanan publik, yaitu Studi Etika Pelayanan Publik (I Wayan Sudana, dkk, 2009) yang dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya ketidakpuasan masyarakat yang dibuktikan dengan beberapa fenomena pemberian pelayanan seperti tindakan aparat yang mengharapkan balas jasa, adanya penyalahgunaan wewenang, menghindar dari tanggung jawab, pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan, dan munculnya diskriminasi dalam pelayanan.

Hal yang sama juga terjadi pada instansi pelayanan pertanahan di kantor BPN (Dwiyanto, dkk, 2008:193). Berdasarkan observasi, terlihat bahwa aparat sangat membedakan dalam memberikan sapaan kepada masyarakat pengguna jasa. Berdasarkan hasil observasi ini, sekitar 30 persen masyarakat pengguna jasa di Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan pernah mengalami diskriminasi pelayanan yang dilakukan oleh aparat birokrasi.Salah satu imbas dari perilaku birokrasi tersebut adalah adanya kecenderungan penggunbaan perantara dalam menerima layanan. Berdasarkan data GDS 2006 (Dwiyanto, 2011: 89) menunjukkan prosentase warga yang menggunakan perantara pada saat mengurus pelayanan untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Sertifikat Tanah, ternyata jenis pelayanan yang disebutkan terakhir memperlihatkan prosentase yang lebih tinggi, yaitu di Jawa mencapai 57, 50% dan 66,50% untuk luar Jawa.

Penelitian yang berkaitan dengan pelayanan administrasi pertanahan dilakukan Yuliana Paris, yaitu “Etika Aparatur dalam Pelayanan Publik (Kasus Badan Pertanahan DKI Jakarta). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun secara normatif pelayanan pertanahan telah menggunakan Standar Prosedur Operasional Pelayanan Pertanahan (SPOOPP), namun praktek penyimpangan dalam pelayanan masih tetap terjadi, seperti; pemanfaatan jabatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi melalui lobi-lobi dan negosiasi dengan para aparat pertanahan diluar prosedur yang telah ditetapkan (Yuliana Paris, 2007:237-238).

Penelitian yang senada dilakukan oleh Baharuddin, “ Signifikansi Kompetensi dan Komitmen Pimpinan terhadap Kinerja Aparat Pelayanan Publik (Studi pada Kantor Badan Pertanahan Kota Makassar, Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kompetensi dan komitmen pimpinan tidak berpengaruh secara langsung terhadap kualitas pelayanan publik, tetapi berpengaruh melalui kinerja aparat. Sedangkan kinerja aparat berpengaruh positif terhadap kualitas pelayanan publik (Baharuddin, 2010: 326)

Berkaitan dengan kualitas pelayanan publik, Business Digest sebagai salah satu lembaga survey ekonomi independen yang hasil penelitiannya dilansir majalah ekonomi SWA Sembada edisi Juni 2007 (Majid, 2009:105-7), dimana Makassar menempati rangking ke-25 dari 50 kota di Indonesia dalam hal kekayaan atau sumber daya. Artinya, lembaga ini melihat Makassar memiliki potensi yang besar untuk terus berkembang secara cepat dan memiliki pertumbuhan eknomi yang tinggi. Tetapi Makassar hanya menempati rangking 21 dari 25 kota yang disurvei sebagai daerah yang menarik untuk investasi. Hal ini ternyata disebabkan oleh masalah kualitas pelayanan publik.

Salah satu titik layanan publik dalam lingkup Kota Makassar yang juga tergolong krusial, yaitu pelayanan administrasi pertanahan. Fenomena menarik yang menjastifikasi adanya masalah layanan publik adalah adanya kecenderungan mayarakat yang membutuhkan layanan lebih memilih menggunakan perantara ketimbang mengurus secara langsung ke tempat pelayanan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan data GDS 2006, seperti yang telah disebutkan di atas merupakan suatu hal yang menarik untuk dikembangkan. Kecenderungan penggunaan perantara dalam pemberian layanan adminsitrasi pertanahan memberikan isyarat adanya masalah dalam pelayanan tersebut. Berkaitan dengan ini berbagai pertanyaan bakal muncul, misalnya siapa yang menjadi perantara?, apakah penggunaan perantara akan mempercepat proses layanan?, Apakah penggunaan perantara tidak merusak mekanisme tatanan administrasi penyedia layanan?, dan bagaimanan nasib masyarakat yang tidak mampu menggunakan perantara?, serta masih banyak pertanyaan yang akan dikembangkan dalam penelitian ini untuk mengungkap berbagai sisi yang menjadi celah terjadinya patologi birokrasi.

Secara teoritis maupun praktis, penggunaan perantara dalam berbagai jenis pelayanan berpeluang melahirkan patologi birokrasi, meskipun dari satu sisi pihak pengguna layanan dengan dan pemberi layanan memperoleh keuntungan secara timbal balik, namun disisi lain akan merugikan pengguna jasa yang lain yang tidak menggunakan perantara. Fenomena ini membuktikan bahwa dari berbagai jenis layanan publik, maka pelayanan administrasi pertanahan tetap menarik untuk diteliti. Apalagi terhadap setting penelitian birokrasi pelayanan administrasi pertanahan, dimana pada umumnya peneliti lebih cenderung mengkaji obyek ini dari perspektif hukum, tanpa memperhatikan dimensi administratif sebagai suatu sistem yang sarat dengan patologi birokrasi. Dimensi inilah yang akan menjadi fokus penelitian yang aspek-aspeknya meliputi; struktur birokrasi, sumber daya manusia, penerapan teknologi dan lingkungan budaya. Berbagai aspek tersebut akan dikaji secara sistemik, sehingga hasil penelitian diharapkan lebih bersifat holistik dan substantif. Atas dasar inilah, sehingga penelitian ini dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai kebaruan.

B. Rumusan Masalah
Makna birokrasi sebagai lembaga pemerintah muncul karena lembaga pemerintah pada umumnya selalu berbentuk birokrasi. Skala organisasi pemerintah yang besar dan luas cakupannya mendorong mereka untuk memiliki birokrasi yang karakteristiknya sama dengan birokrasi Weberian. Karakteristik utama yang dapat dijumpai dalam organisasi pemerintah pada umumnya, yaitu adanya pembagian kerja, hierarki, prosedur tertulis, impersonalitas, dan sebagainya juga dimiliki oleh organisasi pemerintah yang dijadikan sebagai objek penelitian. Adapun instansi pemerintah yang dimaksud adalah keseluruhan instansi pemerintah yang berkaitan langsung dengan pelayanan administrasi pertanahan di Kota Makassar, yaitu Pemerintah Kelurahan, Pemerintah Kecamatan, dan Badan Pertanahan Kota Makassar.

Berdasar pada lingkup penelitian tersebut di atas, maka permasalahan utama penelitian ini adalah “Mengapa patologi birokrasi terjadi dalam pelayanan publik (Pelayanan Administrasi Pertanahan) di Kota Makassar?”. Permasalahan utama tersebut dikembangkan dalam beberapa pertanyaan penelitian, yaitu (1) Bagaimana bentuk patologi birokrasi dalam pelayanan publik (Pelayanan Administrasi Pertanahan) di Kota Makassar?. (2) Bagaimana sistem pelayanan administrasi pertanahan yang dapat meminimalisir patologi birokrasi tersebut?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan tentang terjadinya patologi birokrasi dalam pelayanan publik (Pelayanan Administrasi Pertanahan) di Kota Makassar. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
  1. Untuk Mengidentifikasi dan menjelaskan bentuk/jenis patologi birokrasi dalam pelayanan publik (pelayanan Administrasi Pertanahan) di Kota Makassar.
  2. Untuk menjelaskan dan menganalisis sistem pelayanan administrasi pertanahan yang dapat meminimalisir patologi birokrasi.
D. Kegunaan Penelitian
Birokrasi pemerintah dewasa ini banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat, baik yang berkaitan dengan pengambilan keputusan maupun perilaku aparat dan kualitas layanan di sektor publik. Bahkan munculnya citra buruk birokrasi pada umumnya bersumber pada kedua faktor tersebut yang secara spesifik lazim disebut dengan patologi birokrasi. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa di lingkungan birokrasi itu terdapat suatu masalah yang menyebabkan birokrasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. 

Bertolak dari pemikiran tersebut, maka penelitian ini diharapkan memberikan berbagai kontribusi teoritik maupun praktis dalam rangka mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik di lingkungan birokrasi pemerintah, khususnya dalam pelayanan adminsitrasi pertanahan di Kota Makassar. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Memperkaya kajian teoritik dalam pengembangan ilmu administrasi publik, terutama yang berkaitan dengan studi tentang birokrasi, khususnya dalam aspek patologi birokrasi dalam pelayanan publik. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi para peneliti lain yang berminat untuk melakukan pengembangan kajian, khususnya dalam hal studi tentang birokrasi dan pengembangan teori administrasi publik pada umumnya.
  2. Memberikan kontribusi kepada Pemerintah Kota Makassar untuk menemu-kenali berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan birokrasi, khususnya berbagai bentuk patologi birokrasi yang terjadi dalam penyelenggaraan pelayanan publik (administrasi pertanahan), serta berbagai solusi yang ditawarkan untuk mengatasi permasalahan tersebut, sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan perumusan berbagai kebijakan yang terkait. 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Birokrasi
Tulisan tentang dan kritik para teroritisi terhadap birokrasi publik sejak abad ke-18, dapat ditelusuri mulai dari M de Goumay yang mengajukan sejumlah pertanyaan tentang birokrasi, yaitu bagaimana manfaat birokrasi bagi masyarakat, apakah tujuan dasar dibentuknya birokrasi pemerintah, bagaimana pelaksanaan fungsi pelayanan birokrasi terhadap masyarakat. Istilah birokrasi yang pertama kali digunakan oleh M de Goumay mengacu kepada suatu penyakit yang melanda pemerintahan, ditandai dengan berbelit-belitnya prosedur biasanya dikeluhkan dengan pejabat, juru ketik, para sekretaris, para inspektur dan para intendan yang diangkat bukannya untuk menguntungkan kepentingan umum tetapi kepentingan individu, bahkan kepentingan umum itu untuk para pejabat (Albrow, 1996:1).

Perkembangan konsep birokrasi sebenarnya merupakan salah satu varian dari jenis pemerintahan demokrasi dan aristokrasi sebagaimana yang dapat dilihat dari tulisan de Goumay dan Mill. Para teoritisi pada abad ke-19 seperti Van Mohl, Olzewski dan Le Play banyak memfokuskan kepada ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah dan melihat birokrasi sebagai hasrat pegawai negeri yang digaji untuk selalu mencampuri urusan orang lain (Albrow, 1996:17).

Dalam abad ke-19, terdapat beberapa penulis dan pemikir yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan teori birokrasi, antara lain yaitu Gaetano Mosca dan Max Weber. Mosca dalam bukunya membagi semua pemerintahan menjadi dua tipe yaitu feudal dan birokratis berdasarkan kepada kelas yang memerintah. Dalam sistem pemerintahan feudal, kelas yang memerintah adalah kelas yang sederhana yang memonopoli fungsi-fungsi ekonomi, politik, militer atau administrasi. Setelah masyarakat berkembang menjadi lebih kompleks dan mempunyai fungsi terpisah satu sama lain, maka pemerintahan dijalankan oleh birokrasi, yaitu sekelompok pejabat yang digaji (Albrow, 1996:22).

Ilmuan yang sangat berjasa dalam memperkenalkan model organisasi birokratis adalah Max Weber. Dapat dikatakan bahwa konsep birokrasi yang diajukan oleh Weber masih menjadi acuan sampai sekarang ini, walaupun mendapat kritik dari ilmuan-ilmuan lain. Weber membahas peran organisasi dalam suatu masyarakat, dan mempertanyakan bentuk organisasi yang sesuai bagi sebuah masyarakat industri yang dijumpai di Eropa pada akhir abad ke 19. Ia mencoba melukiskan sebuah organisasi yang ideal—organisasi yang secara murni rasional dan yang akan memberikan efisiensi operasi yang maksimum (Robbins, 1994:337).

Kontroversi tentang penerapan model birokrasi Weberian dalam pemerintahan sudah lama berkembang, bahkan menimbulkan polemik yang belum berakhir sampai saat ini. Tidak dipungkiri bahwa ada kalangan yang cenderung menolak model birokrasi Weberian karena menganggap model birokrasi itu memiliki banyak kelemahan. Meskipun demikian, sebagian kalangan praktisi administrasi publik yang telah lama berkecimpung dalam lingkungan birokrasi, melihat bahwa model birokrasi Weberian masih diperlukan sampai saat ini. Alasan yang dikemukakan oleh kalangan yang disebutkan terakhir ini, bahwa sejauh ini belum ada model pengaturan kelembagaan alternatif yang cukup lengkap dan menyeluruh yang dapat digunakan untuk menggantikan birokrasi Weberian.

Dalam Ilmu Administrasi Publik, birokrasi memiliki sejumlah makna, di antaranya adalah pemerintahan yang dijalankan oleh suatu biro yang biasanya disebut dengan officialism, badan eksekutif pemerintah (the executive organs of government), dan keseluruhan pejabat publik (public officials), baik itu pejabat tinggi ataupun rendah (Albrow, 1989:116-117). Diantara ketiga makna tersebut, karakteristik umum yang melekat pada birokrasi adalah keberadaannya sebagai suatu lembaga pemerintah. Makna birokrasi sebagai lembaga pemerintah muncul karena lembaga pemerintah pada umumnya selalu berbentuk birokrasi. Skala organisasi pemerintah yang besar dan luas cakupannya mendorong mereka untuk memilih birokrasi yang memiliki karakteristik sebagai birokrasi Weberian.

Dalam konteks Indonesia, lembaga pemerintah pada umumnya memiliki hierarki yang panjang, prosedur dan standar operasi yang tertulis, spesialisasi yang rinci, dan pajabat karier yang menjadi karakteristik birokrasi Weberian. Oleh karena itu, lembaga pemerintah sering disebut sebagai birokrasi pemerintah. Karena kinerja birokrasi pemerintah pada umumnya cenderung buruk dan mengecewakan, khususnya yang berkaitan dengan pelayanan publik, sehingga pandangan masyarakat terhadap birokrasi pemerintah cenderung negatif yang pada akhirnya menimbulkan stereotif yang negatif tentang konsep birokrasi Weberian. Robbins (1994: 338) mengutip konsep birokrasi ideal dari Weber yang terdiri dari 7 elemen, sebagai berikut:
  1. Spesialisasi pekerjaan, yaitu semua pekerjaan dilakukan dalam kesederhanaan, rutinitas dan mendefinisikan tugas dengan baik.
  2. Hierarki kewenangan yang jelas, yaitu sebuah struktur multi tingkat yang formal, dengan posisi hierarki atau jabatan, yang memastikan bahwa setiap jabatan yang lebih rendah berada di bawah supervisi dan kontrol dari yang lebih tinggi.
  3. Formalisasi yang tinggi, yaitu semua anggota organisasi diseleksi dalam basis kualifikasi yang didemonstrasikan dengan pelatihan, pendidikan atau latihan formal.
  4. Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasarkan atas kemampuan, yaitu keputusan tentang seleksi dan promosi didasarkan atas kualifikasi teknis, kemampuan dan prestasi para calon.
  5. Bersifat tidak pribadi (impersonalitas), yaitu sanksi-sanksi diterapkan secara seragam dan tanpa perasaan peribadi untuk menghindari keterlibatan dengan keperibadian individual dan freferensi peribadi para anggota.
  6. Jejak karier bagi para pegawai, yaitu para pegawai diharapkan mengejar karier dalam organisasi. Sebagai imbalan atas komitmen terhadap karier tersebut, para pegawai mempunyai masa jabatan, artinya mereka akan dipertahankan meskipun mereka “kehabisan tenaga” atau jika kepandaiannya tidak terpakai lagi.
  7. Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan peribadi, yaitu pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
Tipe ideal birokrasi Weber tersebut di atas, sampai saat ini belum sepenuhnya dapat diimplementasikan di Indonesia sebagaimana yang diharapkan pencetusnya. Bahkan Weber mempertegas dalam teorinya bahwa satu-satunya cara bagi masyarakat modern untuk mengoperasikan secara efektif konsep ideal tersebut di atas ialah dengan mengorganisasikan spesialis-spesialis birokrasi yang fungsional dan terlatih. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh LeMay (2006:65), bahwa sebagai organisasi yang cenderung semakin besar, membutuhkan pembagian kerja yang lebih kecil atau bersifat khusus.

Weber sebenarnya memperhitungkan tiga elemen pokok dalam konsep birokrasinya, yaitu: (1) birokrasi dipandang sebagai instrumen teknis. (2) birokrasi dipandang sebagai kekuatan independen. (3) birokrasi dipandang mampu keluar dari fungsinya yang sebenarnya karena anggotanya cenderung berasal dari kelas sosial yang particular (Thoha, 2005:19). Konsep birokrasi weberian berasumsi bahwa birokrasi dibentuk independen dari kekuatan politik. Ia berada di luar atau di atas aktor-aktor politik yang saling berkompetisi satu sama lain. Birokrasi pemerintah diposisikan sebagai kekuatan yang netral, lebih mengutamakan kepentingan negara dan rakyat secara keseluruhan, sehingga siapapun kekuatan politik yang memerintah birokrat dan birokrasinya memberikan pelayanan terbaik kepadanya.

Pemikir lain yang juga penting untuk ditampilkan dalam pembahasan birokrasi adalah Karl Marx (Thoha, 2008:23). Pemikiran Marx tentang birokrasi merupakan suatu gejala yang bisa dipergunakan secara terbatas dalam hubungannnya dengan administrasi negara. Pandangannya terhadap birokrasi hanya bisa difahami dalam kerangka umum teorinya tentang perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dan pengembangan komunisme.

Marx mengelaborasi birokrasi dengan cara menganalisis filsafat Hegel tentang negara. Hegel berpendapat bahwa administrasi negara (birokrasi) sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan masyarakatnya. Adapun masyarakat itu terdiri dari kelompok-kelompok professional, usahawan dan lain kelompok yang mewakili bermacam-macam kepentingan particular (khusus). Meskipun Marx terinspirasi oleh pemikiran Hegel, namun Marx berpendapat bahwa negara itu tidak mewakili kepentingan umum. Bahkan ia mengatakan bahwa kepentingan umum itu tidak ada, yang ada adalah kepentingan partikular yang mendominasi kepentingan partikular lainnnya. Kepentingan particular yang memenangkan perjuangan kelas sehingga menjadi kelas yang dominan itulah yang berkuasa. Menurut Marx birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri. Birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial lainnya. Dengan kata lain, birokrasi memihak kepada kelas partikular yang mendominasi tersebut.

Hal yang sangat menarik adalah kritik yang disampaikan Warren Bennis (Robbins, 1994:349), bahwa struktur birokratik terlalu mekanis bagi kebutuhan organisasi modern. Ia menyatakan bahwa struktur tersebut telah usang, karena didesain untuk menghadapi lingkungan yang stabil, sedangkan kebutuhan saat ini adalah struktur yang dirancang untuk menanggapi perubahan yang terjadi secara efektif. Bennis mencoba melakukan prediksi masa depan tentang berbagai macam perubahan yang pada gilirannya akan mempengaruhi eksistensi birokrasi. Menurut Bennis, birokrasi merupakan penemuan sosial yang sangat elegan, suatu bentuk kemampuan yang luar biasa untuk mengorganisasikan, mengkoordinasikan proses-proses kegiatan yang produktif pada masa revolusi Industri. Birokrasi dikembangkan untuk menjawab berbagai persoalan yang hangat pada waktu itu, misalnya persoalan pengurangan peran-peran personal, persoalan subyektivitas yang berlebihan, dan tidak dihargainya hubungan kerja kemanusiaan.

Singkatnya, dalam pandangan Bennis, birokrasi adalah produk kultural dan sangat terikat oleh proses zaman pada saat kemunculannya. Kita sangat membutuhkan birokrasi yang berorientasi kemanusiaan, tidak secara konseptual semata tapi merambah pada tataran praktis di lapangan. Hal ini menjadi pekerjaan sangat penting untuk mendekatkan birokrasi pada manusia, bukan lagi pada mesin. Sebuah teori akan diuji menurut kelayakan historis dan kebutuhan pada sebuah masa. Birokrasi yang humanis masih menjadi pekerjaan rumah yang harus serius digarap oleh para pemerhati masalah-masalah adminsitrasi negara dan kebijakan publik. 

Nada pesimistik Bennis yang menggambarkan kondisi-kondisi sebagai penyebab matinya birokrasi dibantah oleh Robert Miewald (Robbins, 1994:349-352) dengan mengajukan argumentasi tandingan, bahwa birokrasi dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah dan dinamis. Miewald menegaskan bahwa Weber tidak pernah mengatakan bahwa karakteristik-karakteristik birokrasi akan berlaku untuk selama-lamanya. Sasaran utama dari Weber adalah menciptakan sebuah bentuk rasional dan efisien. Bentuk tersebut adalah birokrasi. Bentuk apapun yang diperlukan untuk mempertahankan rasionalitas seperti efisiensi akan menghasilkan birokrasi. Perkembangan birokrasi professional adalah contoh yang sempurna mengenai karakteristik birokrasi yang dimodifikasi.

Pengkritisi lain terhadap birokrasi Weber adalah Fried W. Riggs. Dalam penelitiannya di beberapa negara berkembang, ia menemukan model birokrasi yang disebutnya sebagai “model sala” atau biasa disebut dengan “model prismatic”. Kata sala diambil dari bahasa Spanyol yang sering menunjuk arti kantor pemerintah di negara-negara Amerika Latin. Arti sala secara umum ialah “ruangan”, bahasa Perancis menyebutnya “Salle” yang pada dasarnya masih serumpun. dalam penggunaan sehari-hari, kata sala mengandung arti ruangan pribadi dalam suatu rumah—keagamaan—ruangan pertemuan umum, tetapi juga dan bahkan terutama mengandung arti kantor pemerintah (Riggs, 1988:316)

Beberapa karakteristik birokrasi model sala yang dikemukakan oleh Riggs (1988:317-320), yaitu; struktur prismatic akan memperkokoh pemborosan birokrasi—Korupsi telah melembaga. Sementara pejabat menikmati kedudukannnya karena leluasa memeras uang suap—dalam penentuan anggaran, semua tergantunng pada keahlian serta besarnya pengaruh pejabat yang harus memperjuangkan pengajuan anggaran, beberapa ketentuan tidak dapat digunakan untuk mengatasi kekurangan anggaran suatu biro, sedang kenyataannya anggaran terbuang sia-sia di berbagai biro lainnya—dalam model prismatic, hubungan antara administrator dengan pengikut sudah demikian terstruktur, sehingga bobot berbagai sanksi akan memaksa para pejabat model sala lebih cenderung menggunakan kekerasan daripada menerapkan undang-undang. Terbukanya kesempatan menerima suap lebih mendorong para petugas pelaksana model sala menunda-nunda pekerjaan dan mengintroduksi berbagai hambatan teknis dengan tujuan agar dapat memetik imbalan pelayanan atas pekerjaan yang seharusnya tidak dipungut biaya.

Gambaran birokrasi pemerintah seperti yang dikemukakan oleh Riggs tersebut sangat bertentangan dengan substansi birokrasi yang dikemukakan oleh Weber. Meskipun kritik terhadap birokrasi Weber selalu muncul, namun kenyataaan menunjukkan bahwa birokrasi ada dimana-mana, perusahaan-perusahaan besar pada umumnya berstruktur birokrasi, bahkan untuk kelompok yang terdiri dari beberapa orang saja, birokrasi merupakan cara yang paling efisien untuk mengorganisasikan sesuatu, sehingga pertanyaannya adalah mengapa birokrasi dapat berjaya terus sampai saat ini. Mungkinkah karena karakteristik birokrasi yang dirumuskan oleh Weber itulah yang menyebabkan demikian atau mungkin ada faktor lain yang menjadi keampuhan birokrasi.

Salah satu agenda utama dan pertama yang harus dilakukan dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan birokrasi pemerintah terhadap masyarakatnya, adalah perubahan perilaku aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan. Paradigma perilaku birokrasi harus diubah dari yang lebih condong sebagai abdi negara ketimbang abdi masyarakat diubah menjadi lebih mengutamakan peranan sebagai abdi masyarakat ketimbang abdi negara. Pada hakekatnya, jika aparatur birokrasi sudah melaksanakan tugasnya dengan sepenuh hati maka sesungguhnya mereka telah melaksanakan tugasnya dengan baik sebagai abdi masyarakat maupun sebagai abdi negara. Dengan perilaku aparatur birokrasi yang berorientasi pada kepuasan masyarakat, maka diharapkan melahirkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat kepada birokrasi pemerintah dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian maka keberadaan birokrasi pemerintah bukan hanya karena adanya dukungan legalitas formal, tetapi keberadaannya didukung dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Birokrasi memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah fungsi pengaturan. Fungsi ini mutlak terselenggara dengan efektif, karena suatu pemerintahan negara diberi wewenang untuk melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan yang ditentukan oleh lembaga legislatif melalui berbagai ketentuan pelaksanaan dan kebijaksanaannya. Persoalan yang sering muncul dalam praktik, acapkali terjadi kekakuan dalam implementasi aturan. Kekakuan ini dapat terlihat pada interpretasi secara harfiah, padahal yang lebih diperlukan adalah menegakkan hukum dan peraturan itu dilihat dari semangat dan jiwanya, artinya bahwa pendekatan yang digunakan adalah pendekatan situasional (Siagian, 2000: 147).

B. Patologi Birokrasi
Patologi birokrasi di berbagai negara, terutama pada negara-negara berkembang menunjukkan adanya kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri, mempertahankan status-quo, resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat (centralized), dan dengan kewenangannya yang besar seringkali memanfaatkan kewenangannya itu untuk kepentingan sendiri. Hal ini merupakan suatu tantangan besar bagi administrasi negara dan birokrasi pada umumnya. Menurut Kartasasmita (1995), dari berbagai penelitian diketahui betapa tidak mudahnya melakukan pembaharuan di bidang administrasi negara. Sebabnya adalah pendekatan yang sering kali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-fungsi.

Solusi untuk mengatasi patologi birokrasi adalah dengan melakukan perubahan. Menurut Widaningrum (2009:368), sistem administrasi dan manajemen dalam birokrasi publik memang tidak didisain untuk sering berubah. Namun demikian, kenyataannya menunjukkan bahwa stabilitas seringkali bersifat sebaliknya (counter-productive). Dalam era yang penuh dengan perubahan seperti sekarang ini, sistem yang tidak dapat berubah justeru akan menemui banyak kegagalan.

Berkaitan dengan perubahan, yang sesungguhnya amat penting, tetapi lebih sulit dilakukan adalah pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia-manusia birokrat. Internalisasi nilai-nilai ini yang oleh Riggs (1996) disebut introfection, merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi. Terutama yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya.

Secara teoritik, disadari bahwa konsep birokrasi yang dirumuskan oleh Weber dengan berbagai karakteristiknya diyakini bahwa proses administrasi dalam kegiatan pemerintahan itu hanya dapat menjadi efisien, rutin dan nonpartisan apabila cara kerja organbisasi pemerintah itu dirancang sedemikian rupa sehingga menyerupai cara kerja sebuah mesin (Morgan, 1986). Persoalannya adalah mengapa ketika model ini diterapkan di beberapa negara, termasuk Indonesia justru menimbulkan berbagai fenomena yang menunjukkan adanya perilaku birokrasi yang bersifat patologis, bahkan dapat dianggap sebagai pengingkaran terhadap jiwa birokrasi itu sendiri.

Salah satu aspek birokrasi yang paling banyak disoroti adalah struktur birokrasi. Struktur birokrasi Weberian memiliki berbagai masalah internal yang pada tingkat tertentu berpotensi menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi (Caiden, 1991). Setiap aspek dan struktur birokrasi , selain memiliki manfaat dan kontribusi terhadap efisiensi dan kinerja birokrasi, juga memiliki potensi untuk menciptakan penyakit birokrasi. Suatu variabel struktur birokrasi dapat menghasilkan penyakit birokrasi jika intensitas dari variabel itu sudah menjadi berlebihan.

Sebagai contoh, hierarki dalam suatu organisasi sangat bermanfaat karena membantu pimpinan melakukan kontrol dan juga dapat membuat arus perintah dan informasi menjadi lebih jelas, sehingga mempermudah koordinasi. Namun, ketika hierarki semakin panjang, maka berbagai persoalan dalam organisasi akan muncul. Hierarki yang panjang menyebabkan arus perintah dan informasi menjadi semakin panjang dan cenderung mengalami distorsi, Proses pengambilan keputusan menjadi semakin lamban dan terkotak-kotak (fragmented). Bahkan hierarki juga dapat memperbesar ketergantungan bawahan terhadap atasan (Pye, 1978). Akibatnya seringkali muncul perilaku para pejabat birokrasi yang ABS (asal bapak senang), dan menunjukkan loyalitas secara berlebihan pada atasan.

Birokrasi publik di Indonesia yang memiliki hierarki ketat, panjang dan cenderung mendorong para pejabatnya untuk mengembangkan perilaku ABS memperoleh justifikasi dari lingkungannya karena budaya masyarakat yang paternalistis tidak bisa menjadi sensor bagi perilaku negatif yang muncul dari hierarki yang berlebihan. Sebaliknya budaya paternalistis itu justru mengajarkan kepada para pegawai untuk memberikan perlakuan istimewa kepada pimpinan. Budaya paternalistis mengajarkan mengenai suatu pola hubungan ternetu antara rakyat dan penguasa, serta antara bawahan dan atasan. Dalam budaya paternalistis bawahan harus memberikan pelayanan kepada atasan (Eisantadt, 1973). Mereka harus menunjukkan dedikasi dan loyalitas kepada atasannya. Bahkan dedikasi dan loyalitas itu cenderung mereka tunjukkan secara berlebihan, dengan maksud agar atasanya memberikan keistimewaan tertentu. Mereka meyakini bahwa yang menentukan nasib mereka dalam berkarier adalah atasan. Hal inilah yang menyebabkan para pejabat birokrasi memiliki ketergantungan yang sangat tinggi kepada atasan. Perilaku ABS di kalangan pejababt birokrasi ini terbentuk sebagai hasil interaksi antara budaya paternalistis dan struktur birokrasi Weberian yang selanjutnya menghasilkan penyakit birokrasi.

Dalam sistem politik yang tidak demokratis, penyakit birokrasi tidak mudah untuk dicegah, karewna kekuasaan terkonsentrasi pada pemerintah dan birokrasi. Masyarakat tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk mengontrol perilaku birokrasi. Oleh karena itu masyarakat tidak dapat berbuat banyak ketika para pejabat birokrasi publik hanya memikirkan kepentingan birokrasi, atasan, dan dirinya sendiri serta mengabaikan kebutuhan dan kepentingan publik. Pengguna layanan birokrasi berada pada posisi yang sangat lemah ketika berhadapan dengan birokrasi dan pejabatnya. Apalagi jika kapasitas dari unsur dan komponen masyarakat madani, seperti media, NGO, dan kelompok-kelompok madani lainnya masih sangat lemah, maka kontrol terhadap perilaku birokrasi menjadi sangat tidak efektif, sehingga penyakit birokrasi terus tumbuh dengan sangat subur.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa patologi birokrasi adalah merupakan hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel-variabel lingkungan yang salah. Struktur birokrasi yang hierarkis berinteraksi dengan budaya masyarakat yang paternalistis, sistem politik yang tidak demokratis dan ketidakberdayaan kelompok masyarakat madani cenderung melahirkan perilaku birokrasi paternalistis yang merugikan kepentingan publik. Patologi birokrasi bukan hanya disebabkan oleh struktur birokrasi yang salah dan tidak tepat, seperti hierarki yang berlebihan, prosedur yang rigid, fragmentasi birokrasi yang terlalu banyak, dan masalah structural lainnya. Selain masalah structural, patologi birokrasi disebabkan juga oleh interaksi berbagai variabel yang saling terkait antara satu dengan yang lainnya, baik yang terdapat dalam struktur birokrasi, budaya birokrasi, maupun variabel-variabel lain yang terdapat dalam lingkungan

C. Dimensi-Dimensi Patologi Birokrasi
Peristilahan konsep patologi berasal dari ilmu kedokteran yang mengkaji mengenai penyakit yang melekat pada organ manusia, sehingga menyebabkan tidak berfungsinya organ tersebut. Menjadikan istilah patologi sebagai metafora, patologi birokrasi dalam uraian ini tentunya difahami sebagai kajian dalam konteks Administrasi Publik yang diarahkan untuk menelusuri secara faktual dan teoritik berbagai penyakit yang melekat dalam tubuh birokrasi pemerintah, sehingga birokrasi tersebut mengalami disfungsi

Menurut Siagian (1994:35), agar seluruh birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang sifaynya politis, ekonomi, sosio-kultural, dan teknologikal, berbagai penyakit yang mungkin sudah dideritanya atau mengancam akan menyerangnya, perlu diidentifikasi untuk kemudian dicarikan terapi pengobatannya yang palimg efektif. Harus diakui bahwa tidak ada birokrasi yang sama sekali bebas dari berbagai patologi birokrasi. Sebaliknya tidak ada birokrasi yang menderita semua penyakit birokrasi sekaligus.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Siagian (1994: 36-145), mengidentifikasi berbagai patologi birokrasi yang dikategorikan ke dalam lima kelompok, yaitu:
  1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para pejabat di lingkungan birokrasi.
  2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya atau rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana berbagai kegiatan operasional.
  3. Patologi yang timbul karena tindakan para aparat birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional atau negatif.
  5. Patologi yang merupakan akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan.
Adapun beberapa jenis penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan dirasakan masyarakat yaitu ketika setiap mengurus sesuatu dikantor pemerintah, pengurusannya berbelit-belit, membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar, pelayanannya kurang ramah, terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme dan lain-lain. Sedangkan penyakit birokrasi yang lebih sistemik banyak sebutan yang diberikan terhadapnya yaitu antara lain; politisasi birokrasi, otoritarian birokrasi, birokrasi katabelece (Istianto, 2011:143).

Istilah patologi lazim digunakan dalam wacana akademis di lingkungan administrasi publik untuk menjelaskan berbagai praktik penyimpangan dalam birokrasi, seperti; paternalisme, pembengkakan anggaran, prosedur yang berlebihan, fragmentasi birokrasi, dan pembengkakan birokrasi (Dwiyanto, 2011:59). Untuk keperluan teoritik, maka dimensi-dimensi patologis yang disebutkan terakhir akan diuraikan secara singkat seperti berikut.

1. Birokrasi Paternalistis
Perilaku birokrasi paternalistis adalah hasil dari proses interaksi yang intensif antara struktur birokrasi yang hierakis dan budaya paternalistis yang berkembang dalam masyarakat. Struktur birokrasi yang hierarkis cenderung mebuat pejabat bawahan menjadi sangat tergantung pada atasannya. Ketergantungan itu kemudian mendorong mereka untuk memperlakukan atasan secara berlebihan dengan menunjukkan loyalitas dan pengabdian yang sangat tinggi kepada pimpinan dan mengabaikan perhatiannya kepada para pengguna layanan yang seharusnya menjadi perhatian utama (Mulder, 1985).

Struktur birokrasi yang hierarkis mendorong pejabat bawahan untuk menunjukkan loyalitas dan penghormatan kepada atasan secara berlebihan, karena seorang pejabat bawahan hanya memiliki satu atasan. Pejabat atasan memiliki peran yang penting dalam pengembangan karier pegawai, karena informasi mengenai kinerja pegawai sangat ditentukan oleh atasannya. Bahkan penilaian kinerja pegawai itu dilakukan oleh atasan langsung. Informasi mengenai kinerja pegawai atau pejabat itu kemudian diteruskan oleh atasan langsung kepada pejabat atasan yang lebih tinggi.

Peranan atasan langsung dalam penilaian kinerja menjadi sangat penting sehingga wajar apabila para pejabat birokrasi cenderung memperlakukan atasannya secara berlebihan. Mereka cenderung menunjukkan perilaku ABS, yaitu meberikan laporan yang baik dan menyenangkan atasan dengan menciptakan distorsi informasi. Akibatnya, para pejabat atasan seringkali menjadi kurang memahami realitas masalah yang dihadapi oleh masyarakat (Harmon, 1995). Berbagai persoalan yang dikeluhkan oleh pengguna layanan tidak tersampaikan pada pejabat atasan, namun tidak diatasi sendiri oleh petugas pelayanan karena mereka tidak memiliki kewenangan yang memadai untuk meresponsnya. Mereka beranggapan bahwa menyampaikan persoalan yang terkait dengan pelaksanaan tugasnya dapat menciptakan penilaian buruk dari pejabat atasan terhadap kinerja mereka. Akibatnya responsivitas birokrasi dan pejabatnya terhadap dinamika lingkungannya menjadi sangat rendah.

2. Prosedur Yang Berlebihan
Prosedur yang berlebihan merupakan bentuk penyakit birokrasi publik yang menonjol di berbagai instansi pelayanan publik di Indonesia. Birokrasi publik bukan hanya mengembangkan prosedur yang rigid dan kompleks, tetapi juga mengembangkan ketaatan terhadap prosedur secara berlebihan. Dalam birokrasi publik, prosedur bukan lagi sebagai fasilitas yang dibuat untuk membantu penyelenggaraan layanan tetapi sudah menjadi seperti berhala yang harus ditaati oleh para pejabat birokrasi dalam kondisi apapun. Bahkan prosedur sudah menjadi tujuan birokrasi itu sendiri dan menggusur tujuan yang semestinya, yaitu melayani publik sexcara professional dan bermartabnat. Apapun penyebabnya, pelanggaran terhadap prosedur selalu dianggap sebagai penyimpangan dan karena itu pelanggarnya harus diberi sanksi.

Dalam birokrasi Weberian pengembangan prosedur yang rinci dan tertulis dilakukan untuk menciptakan kepastian pelayanan. Prosedur tertulis yang jelas dan rinci sebenarnya diperlukan oleh pejabat birokrasi sebagai penyelenggara layanan ataupun oleh para pengguna layanan. Para pejabat birokrasi memerlukan prosedur yang rinci dan tertulis karena dengan prosedur seperti itu mereka terhindar dari keharusan mengambil keputusan. Keberadaan prosedur pelayanan sangat membantu mereka dalam menentukan tindakan yang harus dilakukan untuk merespon berbagai persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan layanan. Risiko melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan bias dihindari dengan adanya prosedur pelayanan yang tertulis dan rinci.

Prosedur yang tertulis dan rinci juga menguntungkan bagi para pengguna layanan, karena mereka dapat lebih mudah memahami hak dan kewajibannya dalam mengakses pelayanan. Mereka juga menjadi semakin mudah mengetahui apakah hak-haknya sebagai warga negara dilanggar oleh para pejabat birokrasi atau tidak pada saat mereka mengakses pelayanan publik. Para pengguna layanan juga menjadi lebih mudah untuk turut serta mengontrol proses penyelenggaraan layanan publik. Tanpa prosedur yang jelas dan rinci maka sangat sulit bagi para pengguna layanan untuk memahami hak dan kewajibannya ataupun menjalankan peran kontrol terhadap proses penyelenggaraan layanan publik. Oleh karena itu, prosedur yang rinci dan tertulis sebenarnya diperlukan oleh pejabat birokrasi dan pengguna layanan. Tidaklah mengherankan jika prosedur kemudian berkembang semakin banyak sehingga menjadikan birokrasi mengalami over regulation yang juga merupakan salah satu penyakit birokrasi.

3. Pembengkakan Birokrasi
Mengamati sejarah perkembangan berbagai birokrasi pemerintah di Indonesia dengan mudah dapat dilihat perkembangan sejumlah birokrasi yang semula dibentuk dengan misi yang jelas dan struktur yang ramping, tetapi dalam waktu singkat birokrasi tersebut sudah berubah menjadi kerajaan birokrasi yang besar. Kecenderungan seperti ini sebenarnya bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di negara-negara lainnya. Fenomena ini lazim terjadi karena memang ada kecenderungan dari internal birokrasi untuk mengembangkan diri seiring dengan kegiatan untuk memperbesar kekuasaan dan anggaran.

Menurut Dwiyanto (2011:97) terdapat dua cara yang biasanya ditempuh untuk membengkakkan birokrasi. Cara pertama dilakukan dengan memperluas misi birokrasi. Pada saat pemerintah membentuk satuan birokrasi tertentu biasanya pemerintah memiliki gambaran yang jelas mengenai misi yang akan diemban oleh satuan birokrasi itu. Misi itu juga yang menjadi alasan dibentuknya sebuah atau beberapa satuan birokrasi. Namun, setelah terbentuk, para pejabat di birokrasi itu untuk selanjutnya cenderung memperluas misi birokrasi. Alasan utama yang mendorong mereka memperluas misi birokrasi tidak lain adalah keinginan para pejabat itu untuk dapat mengakses kekuasaan dan anggaran yang lebih besar.

Cara kedua untuk membengkakkan birokrasi adalah dengan melakukan kegiatan di luar misinya. Tindakan seperti ini banyak sekali dilakukan oleh satuan-satuan birokrasi, baik di pemerintah pusat maupun daerah. Munculnya inisiatif untuk membengkakkan birokrasi juga disebabkan oleh cara pengalokasian anggaran yang berorientasi pada input. Karena alokasi anggaran didasarkan pada input, maka birokrasi dan para pejabatnya yang ingin memperoleh anggaran besar cenderung memperbesar input. Cara termudah untuk memperbesar input adalah dengan menciptakan banyak kegiatan. 

4. Fragmentasi Birokrasi
Fragmentasi adalah pengkotat-kotakan birokrasi ke dalam sejumlah satuan yang masing-masing memiliki peran tertentu. Fragmentasi birokrasi memiliki beberapa interpretasi. Pragmentasi birokrasi dapat menunjukkan derajat spesialisasi dalam birokrasi. Dalam konteks ini pembentukan satuan-satuan birokrasi didorong oleh keinginan untuk mengembangkan birokrasi yang mampu merespons permasalahan publik yang cenderung semakin kompleks.

Namun, fragmentasi birokrasi yang tinggi juga dapat disebabkan oleh sejumlah motif lainnya. Pemerintah mengembangkan satuan birokrasi dalam jumlah banyak bias saja bukan karena keinginan pemerintah untuk merespon kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara efisien dan efektif, malainkan karena adanya tujuan tertentu.

Mencermati berbagai uraian tentang patologi birokrasi seperti yang dipaparkan di atas, secara umum memberi gambaran bahwa patologi birokrasi merupakan suatu kondisi dimana birokrasi mengalami suatu keadaan yang tidak normal atau berada pada situasi yang tidak dikehendaki menurut prinsip dan tujuan birokrasi itu sendiri. Bahkan untuk memudahkan identifikasi terhadap patologi birokrasi, Caiden secara sistematis telah merumuskan suatu daftar yang merangkum sebanyak 175 hal yang dapat dikatagorikan sebagai bureaupathologies.

D. Urgensi Sumber Daya Manusia Dalam Birokrasi
Pemberdayaan organisasi merupakan konsekuensi untuk menanggapi perubahan, utamanya difokuskan pada sumber daya manusia sebagai pelaku utama perubahan. SDM tidak sekedar menjadi alat untuk mencapai tujuan nmelainkan sebagai human capital yang berharga. Oleh karena itu, manajemen sumber daya manusia perlu mendapat perhatian terutama dalam upaya peningkatan kualitasnya.

Agar sumber daya manusia dapat menunjukkan “daya yang lebih” maka perlu adanya model pemberdayaan seperti; pemberian peran, penempatan dalam jabatan, motivasi pimpinan, menghubungkan tanggung jawab dan menumbuhkembangkan budaya organisasi yang kondusif untuk meningkatkan kinerja organisasi. Dalam hubungan pemberdayaan sumber daya manusia, juga diperlukan pengembangan strategi yang tepat, yaitu: inward looking, outward looking, dan mengembangkan kemitraan. Pemberdayaan sumber daya manusia dimaksud, diimplementasikan pada organisasi melalui pemberian kewenangan yang jelas, pengembangan kompetensi, pengembangan kepercayaan, pemanfaatan peluang, pemberian tanggung jawab, dan pengembangan budaya organisasi (Sedarmayanti, 2010:286).

Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan dalam pengelolaan SDM. Serangkaian aktivitas tersebut dilakukan secara berkelanjutan, sehingga tercipta SDM yang mampu mendukung organisasi. Dengan demikian ada jaminan bagi kemajuan dan perkembangan organisasi secara menyeluruh. Berkaitan dengan itu D. Harvey dan R. Bowin (1996) mengemukakan beberapa langkah penting untuk dilakukan yang disebutnya sebagai The Succes System Model (Matheus dan Sulistiyani, 2011:53-54), yaitu:
  1. Anticipating (antisipasi); Organisasi terlebih dahulu menentukan manajemen sumber daya manusianya. Sistem ini harus dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan di masa depan, mampu mengindikasikan kecenderungan terbaru dan mengembangkan program-program yang dapat memenuhi perubahan kondisi.
  2. Atracting (penarikan); Organisasi mulai memusatkan perhatian pada aktivitas yang ditujukan untuk meyakinkan bahwa organisasi mampu mencari orang-orang yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan, diantaranya meliputi analisis jabatan, penarikan, seleksi, yang didahului oleh issu legal yang berkaitan dengan penerimaan pegawai, yaitu Equal Employment Opportunity (EEO).
  3. Developing (pengembangan); Setelah organisasi mencari dan menemukan orang yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan, maka selanjutnya diikuti dengan pengembangan agar dapat menunjukkan kinerja yang tinggi. Upaya ini dimaksudkan dapat diperoleh dengan melalui pelatihan dan pengembangan pegawai, baik pada tingkat manajer maupun pada tingkat bawahan.Termasuk dalam aktivitas ini adalah penilaian kinerja pegawai, pelatihan, pengembangan organisasi dan pengembangan karier.
  4. Motivating (memotivasi); Motivasi perlu dilakukan agar mereka bekerja dengan baik, sehingga menghasilkan kinerja yang tinggi. Untuk itu haruslah diketahui bagaimana cara memotivasi pegawai yang ada, misalnya dengan sistem konmpensasi yang berfungsi untuk memotivasi pegawai, seperti; gaji, insentif, dan berbagai program keterlibatan pegawai.
  5. Maintaining (memelihara); Aktivitas ini harus diikuti dengan adanya komunikasi yang terbuka sebagai alat utama dalam memelihara hubungan dengan pegawai yang efektif. Hubungan pegawai merupakan faktor penting karena akan mempengaruhi berbagai aktivitas SDM.
  6. Changing for Success (perubahan untuk sukses); Dalam kondisi lingkungan yang terus berubah, manajemen sumber daya manusia memberikan pendekatan untuk mengembangkan strategi-strategi baru, yakni mengadakan perubahan budaya organisasi dan mengelola keragaman SDM. Aktivitas ini akan menjadi pengkajian ulang struktur organisasi, budaya dan proses manajerial, mengelola perubahan sikap, nilai dan prosedur sehubungan dengan keragaman SDM.
  7. Focusing (pemfokusan); Mengukur efektifitas SDM dapat dilakukan dengan mengevaluasi sejauhmana efektivitas SDM dilakukan dalam organisasi. Berbagai alat dapat digunakan, mulai dari survey tentang sikap pegawai sampai dengan formal audit SDM. Untuk menunjang aktivitas ini diperlukan sikap dan tindakan yang pro aktif dari para manajer SDM, sehingga dapat menghadapi situasi yang terus berubah
E. Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Pelayanan Publik
Penggunaan teknologi informasi (information technology) merupakan salah satu alternatif untuk melakukan inovasi birokrasi dan perbaikan pelayanan publik. Trend ini menjadi fenomena global, karena kecenderungan perkembangan masyarakat dan perekonomiannya semakin digerakkan oleh inovasi teknologi. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa di luar lingkungan birokrasi, inovasi-inovasi teknologi telah menghasilkan kualitas kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

Manfaat IT terhadap birokrasi pemerintah telah dibuktikan oleh berbagai kalangan, baik praktisi maupun akademisi. Bahkan Al Gore dan Tany Blair (Ardiyanto, 2007:47) secara bersemangat menjelaskan manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya e-governmen, yaitu:
  1. Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder-nya (masyarakat, kalangan usahawan, dan industri), terutama dalam hal kinerja efektivitas dan efisiensi diberbagai kehidupan bernegara;
  2. Meningkatkan transparansi, kontrol, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka penerapan konsep good corporate governance.
  3. Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholder-nya untuk keperluan aktivitas sehari-hari.
  4. Memberikan peluang pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan yang baru melalui interaksinya dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
  5. Menciptakan suatu lingkungan baru yang dapat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi secara cepat dan tepat sejalan dengan perubahan global dan trend yang ada.
  6. Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak yang lain sebagai mitra pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan publik secara merata dan demokratis.
Meskipun diakui bahwa manfaat e-government terhadap pelayanan birokrasi pemerintah, namun dalam prakteknya tidak luput dari berbagai kendala, antara lain faktor kultur. Budaya kerja birokrasi kita merupakan hambatan dalam implementasi penggunaan ICT/E-Gov dalam pelaksanaan tugas birokrasi. Terjadinya kristalisasi budaya Asal bapak Senang (ABS) terhadap atasanmenjadi salah satu faktor penolakan penggunaan ICT/E-Gov Turnip (dalam Pramusinto dan Kumorotomo, 2009: 353.

Berdasarkan pengalaman, dalam pelayanan administrasi pertanahan kantor-kantor pertanahan telah menggunakan berbagai produk teknologi informasi, namun dalam kenyataannya proses layanan masih tergolong lamban. Pelayanan pertanahan melalui Kantor Pertanahan pada prinsipnya adalah pelayanan data dan informasi pertanahan. Data yang tersimpan di Kantor Pertanahan merupakan data yang diperoleh dan diolah melalui proses yang rumit dan panjang mengikuti aturan yang tertuang pada Peraturan Kepala BPN nomor 1 tahun 2005 tentang Standar Prosedur Opersional Pelayanan Pertanahan (SPOPP). Pembaruan data selalu dilakukan apabila terjadi perubahan pada subyek atau obyek hak atas tanah.

Salah satu usaha untuk mengotimalkan tugas-tugas pelayanan pertanahan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi adalah pembangunan dan pengembangan komputerisasi kantor pertanahan (KKP). Kantor Pertanahan merupakan basis terdepan dalam kegiatan pelayanan. Dikembangkan model pelayanan yang berbasis on-line system. Pembangunan pelayanan on line, membangun data base elektronik, pembangunan infrastruktur perangkat keras dan jaringan koneksi, peningkatan sumber daya manusia dalam kemampuan penguasaan IT serta sosialisasi kegiatan di kalangan intern dan ekstren merupakan tahap-tahap kegiatan yang harus dilakukan pada kantor-kantor yang sedang dan sudah menerapakan KKP. 

Pembangunan Komputerisasi Kantor Pertanahan tidak hanya memberikan pelayanan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara on-line system, tetapi sekaligus membangun basis data digital. Melalui program KKP telah dilakukan digitalasisasi data pertanahan (Buku Tanah, Surat Ukur, Gambar Ukur dan Peta Pendaftaran Tanah). Suatu hal yang tidak dipungkiri bahwa stigma tentang pelayanan pertanahan dengan efek yang menyertainya adalah masalah yang harus menjadi tantangan bagi semua insan pertanahan. Sikap masyarakat semakin kritis dalam menyikapi setiap bentuk pelayanan apapun, terutama yang berkaitan pelayanan publik.

F. Lingkungan Birokrasi
Pembahasan tentanng birokrasi sebagai organisasi tidak dapat dipisahkan dengan faktor lingkungan. Kehadiran teori sistem sebagai pelopor perspektif modern membuka wawasan baru dalam teori organisasi. Berbeda dengan perspektif klasik, maka perspektif modern memasukkan unsur lingkungan sebagai determinan dan mencoba mengembangkan teori-teori yang menjelaskan hubungan organisasi dan lingkungan. Berkaitan dengan ini Hatch (1997:76) mengelompokkannya ke dalam dua periode, yaitu: (1) periode awal 1960-an hingga akhir 1970-an, dimana teori-teori yang dikembangkan bersifat kontingensi dalam arti lingkungan mempengaruhi organisasi, dan (2) periode awal 1980-an sampai sekarang, dimana teori-teori yang dikembangkan lebih ditekankan pada penjelasan secara lebih detail tentang bagaimana lingkungan mempengaruhi organisasi.

Burn dan Stalker (1961) dalam penelitiannya di Inggeris dan Scotlandia menemukan bahwa organisasi-organisasi yang mereka teliti ternyata dapat dibedakan menjadi dua jenis struktur yang berbeda, yaitu struktur mekanik dan organic (Gerlof, 1985:51). Meskipun penelitian ini dilakukan terhadap organisasi-organisasi industri, namun klasifikasi ini juga ditemukan pada organisasi publik atau birokrasi pemerintah.

Struktur organisasi yang mekanistik dibuat atas dasar pertimbangan bahwa sistem kerja yang stabil dibutuhkan agar organisasi dapat menjalankan berbagai fungsinyasecara efektif dan efisien. Oleh karena itu, untuk setiap posisi atau jabatan di dalam organisasi harus ditentukan secara jelas otoritas atau wewenangnya, kebutuhan informasi, kompetensi, dan aktivitas teknis yang dilakukan. Mereka yang menduduki posisi tersebut tidak boleh melanggar batas-batas yang telah ditentukan. Dengan cara ini, organisasi dapat berjalan secara efisien karena dodasarkan pada prosedur-prosedur yang distandardisasi, terutama untuk tugas-tugas yang bersifat rutin.

Sedangkan struktur organic bekerja dengan prinsip sebaliknya. Struktur ini mengandalkan kreativitas dan daya adaptasi individu dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Oleh karena itu batasan-batasan sebagaimana telah disebutkan diupayakan seminimal mungkin, sehingga anggota organisasi memiliki ruang yang lebih luas untuk menyesuaikan berbagai tugasnya sejalan dengan perubahan lingkungan yang dihadapi. Menurut Burn dan Stalker, bahwa organisasi mekanistik berjalan efektif jika lingkungan yang dihadapi stabil dan tugas-tugas yang dilakukan dapat ditangani dengan mekanisme yang bersifat rutin. Sementara untuk lingkungan yang cenderung berubah-ubah dan sifat permasalahannya tidak dapat diatasi dengan cara-cara rutin, organisasi organik akan lebih mendukung (Kusdi, 2009:73-74). 

Eksistensi birokrasi sebagai suatu organisasi memang tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan internal dan eksternal organisasi. Lingkungan internal organisasi tidak saja meliputi kondisi fisik yang sifatnya kasat mata, melainkan hal-hal yang tidak secara eksplisit terlihat akan tetapi juga mempengaruhi kondisi lingkungan internal, seperti budaya kerja, kebiasaan-kebiasaan pegawai, perilaku organisasi, sistem diskresi, dan lain-lain. Kondisi internal pegawai tersebut senantiasa berubah dan berkembang, sehingga menuntut sebuah pembelajaran yang sesuai, agar permasalahan-permasalahan yang muncul dapat diantisipasi. Sedangkan lingkungan eksternal meliputi instansi-instansi lain, organisasi swasta, masyaralat, kebijakan-kebijakan pemerintah, teknologi, kondisi sosial ekonomi yang mengalami dinamika dari waktu-ke waktu (Matheus dan Sulistiyani, 2011: 47-48)

Dalam konteks penelitian ini, salah satu faktor lingkungan yang menjadi fokus penelitian, yaitu budaya yang bersifat paternalistik. Pada masyarakat yang berbudaya paternalistic, dampak negatif struktur birokrasi yang hierakis tidak dapat dikoreksi oleh sistem budayanya. Tidak seperti di negara-negara barat yang memiliki budaya rasionalyang mampu berperan sebagai sensor efektif terhadap dampak negatif dari hierarki, seperti ABS, distrosi informasi, dan promosi atas dasar pertimbangan hubungan subyektif. Budaya rasional mengajarkan kepada masyarakat untuk menghargai orang atas dasar prestasi, bukan atas dasar loyalitas, keturunan dan ukuran-ukuran subjektif lainnya. Salah satu karakteristik penting yang membedakan antara birokrasi paternalistic dengan birokrasi yang rasional adalah konsep mereka mengenai jabatan. Dalam birokrasi paternalistis, jabatan dilihat sebagai fungsi dan kepercayaan atasan, sedangkan dalam birokrasi rasional jabatan adalah fungsi dan prestasi kerja (Gruber, 1988).

G. Etika Birokrasi
Konsep etika dalam berbagai literatur mengandung beberapa arti, seperti digambarkan oleh Bertens (2000) bahwa salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles telah mengunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta), etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; 1988), disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.

Mencermati beberapa sumber di atas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting dari konsep etika, yaitu:
  1. etika sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistem nilai”,
  2. etika sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”, dan
  3. etika sebagai ilmu tentang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”
Moral selalu dikaitkan dengan kewajiban khusus dihubungkan dengan norma sebagai cara bertindak yang berupa tuntutan, baik yang relatif maupun yang mutlak. Dengan demikian moral merupakan wacana normatif dan imperatif yang diungkapkan dalam kerangka baik/buruk, benar/salah yang dianggap sebagai nilai mutlak atau transenden, isinya adalah kewajiban-kewajiban. Dengan demikian kondep moral mengacu keseluruh aturan dan norma yang berlaku, yang diterima suatu masyarakat tertentu sebagai pegangan dalam bertindak dan diungkapkan dalam kerangka baik dan buruk, benar dan salah.

Menurut Chander dan Plano (1988) dalam etika terdapat empat aliran utama, yaitu: (1) empirical theory; melihat bahwa etika diturunkan dari pengalaman manusia dan persetujuan umum. Dalam konteks ini penilaian tentang baik dan buruk tidak terlepas dari atau tidak terpisahkan dari fakta dan perbuatan; (2) rational theory; melihat bahwa baik atau buruk sangat tergantung dari reasoning atau alasan dan logika yang melatarbelakangi suatu perbuatan, bukan pengalaman. Dalam konteks ini, setiap situasi dilihat sebagai suatu yang unik dan membutuhkan penerapan yang unik dari logika manusia dan memberikan kesimpulan yang unik pula tentang baik atau buruk; (3) intuitive theory; melihat bahwa etika tidak harus berasal dari pengalaman dan logika, tetapi manusia secara alamiah dan otomatis memiliki pemahaman tentang apa yang benar dan salah, apa yang baik dan yang buruk. Teori ini menggunakan hukum moral alamiah atau “natural moral law”; dan (4) revelation theory; melihat bahwa yang benar atau salah berasal dari kekuasaan di atas manusia yaitu dari Tuhan sendiri. Dengan kata lain apa yang dikatakan Tuhan (dalam berbagai kitab suci) menjadi rujukan utama untuk memutuskan apa yang benar dan apa yang salah.

Pada kenyataannya etika menjadi suatu hal yang amat dilekatkan dengan birokrasi. Alasannya sangat sederhana, yakni karena merekalah yang mempunyai kekuasaan dan mereka juga yang harus membuat keputusan-keputusan. Keputusan-keputusan mereka itu akan mempengaruhi publik secara keseluruhan. Oleh karena itu etika senantiasa dihubungkan dengan soal nilai yang mengatur perilaku manusia, dihadapkan pada benar atau salah sesuatu tindakan dan pada baik atau buruknya motif dan tujuan tindakan yang dilakukan. Dalam konteks birokrasi pemerintah, setiap aparatur pemerintah wajib memiliki sikap mental dan perilaku yang mencerminkan keunggulan watak, keluhuran budi, dan asas etis. Ia wajib mengembangkan diri, sehingga sunguh-sunggih memahami, menghayati dan menerapkan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan-kebajikan moral (khususnya keadilan) dalam tindakan jabatannya.

Berkaitan dengan itu, Dwight Waldo dalam “The Enterprise of Public Administration”, menyatakan bahwa petugas Negara memiliki kewajiban-kewajiban etis (ethical obligations). Oleh karena itu, setiap petugas administrasi pemerintahan wajib memahami asas-asas etis yang bersumber pada berbagai kewajiban moral, kemudian membina diri sehingga sungguh-sungguh menghayati asas-asas etis itu dalam melaksanakan tugasnya. Waldo mengemukakan berbagai asas etis (Sukidin, 2011: 26-29) yang pokok dalam administrasi pemerintahan, yaitu:

a. Pertanggujawaban (responsibility)
Asas etis ini menyangkut hasrat seseorang petugas untuk merasa memikul kewajiban penuh dan ikatan kuat dalam melaksanakan semua tugas pekerjaan secara memuaskan. Petugas administrasi pemerintahan harus mempunyai hasrat besar untuk melaksanakan fungsi-fungsinya secara efektif, sepenuh kemampuan, dan dengan cara paling memuaskkan pihak yang menerima pertanggungjawaban. Pertanggungjawabannya itu tertuju kepada rakyat umumnya, instansi pemerintahnya, maupun pihak atasan langsung.

Kecenderungan untuk melepaskan tanggung jawab atau keinginan untuk melemparkan tanggung jawab kepada pihak lain atau pun kebiasaan mengajukan dalih “hanya melaksanakan perintah” (just following orders), harus dihilangkan dari diri setiap aparatur pemerintah. Dengan demikian setiap petugas administrator pemerintahan harus siap untuk memikul pertanggung jawaban mengenai apa saja yang dilakukannya. Ia tidak boleh terjebak pada alasan bahwa ia hanya menjalankan petunjuk atau melaksanakan kebijakan pemerintah.

b. Pengabdian (dedication)
Pengabdian merupakan suatu keinginan untuk menjalankan tugas-tugas pekerjaan dengan semua tenaga (pikiran atau mental dan fisik), seluruh semangat kegairahan, dan sepenuh perhatian tanpa pamrih apa-apa yang bersifat pribadi, misalnya ingin cepat naik pangkat atau diberi tanda jasa. Setiap petugas dalam administrasi pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya harus selalu dan terus menerus menunjukkan keterlibatan diri (involvement of selself) dan penuh antusiasme. Kecenderungan bekerja setengah hati atau asal jadi, tidak boleh ada dalam diri setiap petugas yang baik. Pengabdian itu terarah pada jabatannya, keahliannya, dan bidang profesinya.

c. Kesetiaan (loyality)
Kesetiaan merupakan suatu kebajikan moral, yaitu sebagai kesadaran seseorang petugas untuk setulusnya patuh kepada tujuan bangsa, konstitusi Negara, peraturan perundang-undangan, badan/instansi, tugas/jabatan, maupun atasan demi tercapainya cita-cita bersama yang diharapkan. Pelaksanaan tugas pekerjaan dengan ukuran rangkap, pertimbangan untung-rugi, atau bahkan dengan kebiasaan sabotase, tidak dikenal dalam setiap petugas yang baik. Kalau seorang petugas tidak dapat menjalankan tugas jabatannya dengan sepenuh kemampuan, tidak bersedia terikat patuh pada badan/instansinya, atau tidak merasa cocok dengan kebijakan pihak pimpinannya, maka tindakan etis adalah mengundurkan diri dari jabatannya.

d. Kepekaan (sensitivity)
Asas etis ini mencerminkan kemauan dari kemampuan seseorang petugas untuk memperhatikan serta siaga terhadap berbagai perkembangan yang baru, situasi yang berubah, dan kebutuhan yang timbul dalam kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu dengan disertai usaha-usaha untuk menanggapi secara sebaik-baiknya. Sikap tidak peduli asalkan tugas rutin sudah selesai atau tidak mau susah payah melakukan pembaharuan harus disingkirkan dari setiap petugas administrasi pemerintahan yang baik.

e. Persamaan (equality)
Salah satu kebajikan pokok dari badan pemerintahan yang bertujuan mengabdi kepada seluruh rakyat dan melayani kepentingan umum ialah perlakuan adil. Perlakuan yang adil itu biasanya dapat diwujudkan dengan memberikan perlakuan yang sama tanpa membeda-bedakan atau pilih kasih kepada semua pihak. Persamaan dalam perlakuan, pelayanan, dan pengabdian harus diberikan oleh setiap petugas kepada publik tanpa memandang hubungan kerabat, ikatan politik, asal-usul keturunan, atau kedudukan sosial. Perbedaan perlakuan secara semena-mena atau berdasarkan kepentingan pribadi, tidak boleh dilakukan oleh petugas administrasi pemerintahan yang adil.

f. Kepantasan (equity)
Persamaan perlakuan terhadap semua pihak sebagai suatu asas etis, tidak selalu mencapai keadilan dan kelayakan. Persoalan dan kebutuhan dalam masyarakat sangat beraneka ragam, sehingga memerlukan perbedaan perlakuan asalkan berdasarkan pertimbangan yang adil atau alasan yang benar. Demikian pula, sesuatu faktor khusus atau situasi tertentu dapat membuat persamaan yang ketat menjadi suatu perlakuan yang tidak adil. Dengan demikian terhadap suatu kelompok tertentu dan untuk suatu keadaan tertentu, perlu diberikan perlakuan yang sama. Tetapi terhadap suatu golongan lain dan berdasarkan kondisi khusus yang berlainan, mungkin perlu ada perlakuan yang tidak sama. Untuk itu, asas yang harus diindahkan ialah kepantasan yang juga merupakan salah satu makna keadilan. Asas kepantasan mengacu pada suatu hal yang sepatutnya menurut pertimbangan moral atau nilai etis yang berlaku dalam kehidupan masyrakat.

Dalam pemberian pelayanan publik, telah terjadi pergeseran paradigma etika. Pergeseran tersebut diuraikan oleh Keban (2008; 173-6) dengan menelusuri tulisan Denhardt yang berjudul The Ethics Of Public Service (1988). Dalam tulisan ini digambarkan sejarah etika pelayanan publik mulai dari karya Wayne A.R.Leys tahun 1944 yang disebutnya sebagai Model I-The 1940s. Leys memberikan saran kepada pemerintah Amerika Serikat tentang bagaimana menghasilkan suatu “good public policy decision”. Ia berpendapat bahwa sudah waktunya meninggalkan kebiasaan atau tradisi (custom) yang selama ini selalu menjadi pegangan utama dalam menentukan suatu pembuatan keputusan karena pemerintah selalu berhadapan dengan berbagai masalah baru. Kebiasaan dan tradisi tersebut harus digoyang dengan standar etika yang ada, dimana etika harus dilihat sebagai “source of doubt”. Pertanyaan-pertanyaan etika harus digunakan dalam menilai apakah suatu keputusan sudah dianggap baik atau tidak. Singjkatnya dalam model ini dikatakan bahwa agar menjadi etis, diperlukan seorang administrator senantiasa menguji dan mempertanyakan standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan daripada hanya sekedar menerima atau tergantung pada kebiasaan dan tradisi yang ada (Denhardt, 1988:6).

Pada tahun 1953, Hurst A.Anderson dalam suatu pidatonya yang berjudul Ethical Values in Administration mengatakan, bahwa masalah etika sangat penting dalam setiap keputusan administratif, tidak hanya bagi mereka yang memformulasikan kebijakan publik, dan etika itu sendiri harus dipandang sebagai asumsi-asumsi yang menuntun kehidupan dan pekerjaan kita semua. Dengan kata lain, kita harus memiliki apa yang disebut “philosophy of personal and social living”. Pendapat ini diklasifikasikan oleh Denhardt (1988: 8) sebagai Model II-The 1950s, yang intinya bahwa agar dianggap etis maka seorang administrator hendaknya menguji dan mempertanyakan standar atau asumsi-asumsi yang digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan. Standar-standar tersebut harus merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat, dan tidak sekedar tergantung semata pada kebiasaan dan tradisi. Perlu diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan nilai-nilai dasar (core values) masyarakat meliputi antara lain kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan dan keindahan.

Kemudian pada tahun 1960an muncul suatu nuansa baru dalam etika pelayanan publik. Robert T. Golembiewski memaparkan dalam tulisannya yang berjudul Men, Management, and Morality tahun 1965, bahwa praktek-praktek organisasi yang telah berlangsung sekian lama yang didasarkan pada teori-teori organisasi tradisional telah membawa dampak negatif pada individu-individu yang bekerja dalam organisasi itu sendiri. Dengan kata lain, para individu tersebut merasa tertekan dan frustrasi dan oleh karena itu sisi etika dari praktek tersebut perlu mendapatkan perhatian. Standar-standar yang telah ditetapkan dalam organisasi jaman dulu belum tentu cocok sepanjang masa, karena itu harus dilihat apakah masih pantas dipertahankan atau tidak. Disini Golembiewski melihat etika sebagai “contemporary standards of right conduct” yang harus disesuaikan dengan perubahan waktu. Karena itu Denhardt (1988:9-10) melihat pendapat ini sebagai Model III-1960s, yang intinya bahwa agar menjadi etis, seorang administrator sebaiknya menguji dan mempertanyakan standar, atau asumsi yang melandasi pembuatan suatu keputusan. Standar-standar tersebut harus merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat dan tidak semata tergantung pada kebiasaan dan tradisi. Standar etika bisa berubah ketika kita mencapai suatu pemahaman yang lebih baik terhadap standar-standar moral yang absolut.

Pada tahun 1970an muncul para ahli administrasi publik yang tergolong dalam masyarakat New Public Administration, memberikan nuansa baru yaitu meminta agar administrator memperhatikan “administrative responsibility”. David K.Hart, salah seorang intelektualnya, menilai bahwa administrasi publik saat itu sudah bersifat “impartial” dan sudah waktunya merubah paradigma lama untuk memperbaiki kepercayaan publik yang waktu itu sudah pudar. Ia menyarankan agar “social equity” atau keadilan sosial harus menjadi pegangan pokok administrasi publik, sebagaimana disarankan oleh John Rawls dalam Teori Keadilan, yang dinilai benar-benar menggambarkan paradigma keadilan. Oleh karena itu, Denhardt (1988:16) menyebutnya sebagai Model IV-the 1970s, yang merupakan akumulasi penyempurnaan dari model-model sebelumnya, dimana dikatakan bahwa agar menjadi etis seoranmg administrator harus benar-benar memberi perhatian pada proses menguji dan mempertanyakan standar, atau asumsi yang melandasi pembuatan keputusan administratif. Standar-standar ini mungkin berubah dari waktu ke waktu dan administrator harus mampu merespons tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan baru dengan memperbaharui standar-standar tersebut. Isi dari standar-standar tersebut harus merefleksikan komitmen terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, dan administrator harus tahu bahwa ialah yang akan bertanggung jawab penuh terhadap satandart-standar yang digunakan dan terhadap keputusan-keputusan itu sendiri.

Perkembangan selanjutnya, muncul beberapa pendapat yang secara signifikan memberikan kontribusi bagi penyempurnaan paradigma etika pelayanan publik. Dua tokoh penting yang memberi kontribusi tersebut adalah John Rohr dalam karyanya Ethics for bureaucrats tahun 1978 dan Terry L. Cooper dalam The Responsible Administrator tahun 1986. John Rohr dalam tulisannya memberikan sumbangan yang sangat berarti, yaitu bahwa dalam proses pengujian dan mempertanyakan standard dan asumsi yang digunakan dalam pengambilan keputusan diperlukan “independensi”, dan tidak boleh tergantung dari pemikiran pihak luar seperti Mahkamah Agung atau Pengadilan Negeri, dsb. Karena itu Denhardt (1988:23) menyebutnya sebagai Model V-After Rohr, dimana dikatakan bahwa untuk dapat disebut etis, maka seorang administrator harus secara independen masuk dalam proses menguji dan mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan. Isi dari standar tersebut mungkin berubah dari waktu ke waktu ketika nilai-nilai sosial difahami secara lebih baik atau ketika masalah-masalah baru diungkapkan. Administrator harus memahami bahwa ia akan bertanggung jawab baik secara perorangan maupun kelompok terhadap keputusan-keputusan yang dibuat dan terhadap standar etika yang dijadikan dasar keputusan-keputusan tersebut.

Model akhir didasarkan pada pemikiran Cooper, sehingga Denhardt (1988:26) mentyebutnya sebagai Model VI-After Cooper. Model ini menggambarkan bahwa antara administrator, organisasi, dan etika terdapat hubungan penting dimana etika para administrator justru sangat ditentukan oleh konteks organisasi dimana ia bekerja. Jadi lingkungan organisasi menjadi sangat menentukan, bahkan begitu menentukan sehingga seringkali para administrator hanya memiliki sedikit “otonomi beretika”. Dengan kata lain, agar dapat dikatakan etis apabila seorang administrator mampu mengatur secara independen proses menguji dan mempertanyakan standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan, paling tidak keputusan yang secara sah dibuat pada tingkatan organisasi itu. Isi dari standar tersebut mungkin berubah dari waktu kewaktu bila nilai-nilai sosial difahami secara lebih baik dan masalah-masalah sosial baru mulai terungkap. Administrator dalam hal ini harus siap menyesuaikan standar-standar tersebut dengan perubahan-perubahan tersebut, senantiasa memberikan komitmennya pada nilai-nilai dasar masyarakat dan tujuan organisasinya. Administrator akan bertanggung jawab secara perorangan dan professional, dan bertanggung jawab dalam organisasi terhadap keputusan yang dibuat dan terhadap standar etika yang digunakan dalam keputusan itu. 

Berdasarkan gambaran singkat tentang pergeseran paradigm etika pelayanan publik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa selama ini etika dan moralitas sudah mendapatkan perhatian yang serius dalam dunia pelayanan publik atau administrasi publik. Tiga hal pokok yang menarik perhatian dalam paradigma tersebut, yaitu (1) proses menguji dan mempertanyakan standar etika dan asumsi, secara independen. (2) Isi standar etika yang seharusnya merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat dan perubahan standar tersebut, baik sebagai akibat dari penyempurnaan pemahaman terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, maupun sebagai akibat dari muculnya masalah-masalah baru dari waktu ke waktu; dan (3) konteks organisasi dimana para administrator bekerja berdasarkan tujuan organisasi dan peranan yang dimainkan mereka, yang dapat mempengaruhi otonomi mereka dalam beretika. Menurut Denis Thompson (Shafritz & Hide,1997), di dalam administrasi publik terdapat isu etika yang kontroversil dan dilemmatis, yaitu etika netralitas dan etika struktur. Etika netralitas menuntut seorang administrator untuk netral, artinya menerapkan prinsip etika sesuai dengan kebijakan organisasi atau sebagaimana diputuskan oleh organisasi, dan tidak boleh menerapkan prinsip etika yang dianutnya. Etika seperti ini menuntut loyalitas tinggi bagi seorang administrator, dan menyangkal otonomi beretika. Pertanyaan yang sering muncul menyangkut isi kebijakan atau keputusan organisasi, apakah keputusan atau kebijakan tersebut baik atau buruk, benar atau salah. Bila ada keinginan yang tidak baik di balik kebijakan atau keputusan tersebut, apakah administrator tetap harus mengikutinya? 

Untuk memahami relevansi etiuka dengan setiap aktivitas yang terdapat dalam birokrasi, perlu dirumuskan kembali lingkup administrasi negara itu sendiri yang pada akhirnya akan sampai pada perdebatan tentang paradigma. Kalau kita berbicara tentang paradigma maka kita harus memahami ilmu administrasi publik dari dua aspek. Aspek pertama disebut lokus yang menunjukkan tempat keberadaan suatu bidang ilmu, dan yang kedua adalah fokus yang menunjukkan kekhususan dari ilmu tersebut. Menururut Henry, paradigma yang terakhir mengatakan bahwa lokus administasi negara adalah mengenai kepentingan publik (public interest) dan urusan publik (public affairs), sedangkan fokusnya adalah teori organisasi dan ilmu manajemen (Henry, 1988: 33-65).

Berdasar pada hal tersebut, jelas bahwa administrasi publik merupakan proses yang rumit karena bukan saja berkaitan dengan aktivitas-aktivitas teknis yang berlandaskan ilmu manajemen untuk mencapai efisiensi yang tinggi melainkan juga aktivitas-aktivitas politis yang berusaha menafsirkan kehendak publik dan menerjemahkannya dalam kebijakan nyata. Kebijakan dapat didefinisikan sebagai seluruh gagasan mengenai tujuan dan cara/arah tindakan-tindakan manusia dalam organisasi (Surie, 1978:12).

Kebijakan menentukan norma dan mngatur administrasi negara pada tingkat strategis. Dari segi materi atau isi, administrasi negara berarti administrasi negara melakukan kebijakan publik yakni menetapkan dan melaksanakan suatu kebijakan yang berpengaruh kepada masyarakat umum. Dari segi formal atau bentuk, administrasi negara adalah pengambilan keputusan-keputusan yang mengikat orang banyak. Dari segi sosiologi, administrasi negara merupakan bentuk tindakan sosial tertentu yang diorganisasi. Jadi dalam praktek administrasi negara merupakan rangkaian pengambilan kebijakan, yang menghasilkan norma-norma formal, aturan-aturan, serta keharusan-keharusan bagi tindakan sosial. Proses pengaturan itu tentunya akan menunjang tertib sosial hanya apabila ia merujuk kepada rasa kebenaran dan keadilan dari warga masyarakatnya, sehingga setiap aktivitas administrasi negara akan selalu punya konsekuensi nilai (Kumorotomo, 2002:102). Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa proses administrasi negara senantiasa menuntut pertanggung jawaban etis.

H. Pelayanan Publik
Setiap negara di manapun serta apapun bentuk pemerintahannya selalu membutuhkan pelayanan publik. Pelayanan publik merupakan suatu keharusan bagi negara atau pemerintahan untuk melayani warga negaranya. Pelayanan publik tidak mudah dilakukan, dan banyak negara yang gagal melakukan pelayanan publik yang baik bagi warganya. Pelayanan publik (public service), merupakan salah satu pembahasan yang cukup aktual dalam kajian birokrasi.

Pelayanan publik menjadi ujung tombak interaksi antara masyarakat dan pemerintah. Kemampuan birokrasi dapat dinilai salah satunya dengan melihat sejauh mana kualitas pelayanan publik. Sebagai implementasi kebijakan birokrasi di lapangan, pelayanan publik pun menarik minat tersendiri untuk dipelajari. Penilaian terhadap kemampuan birokrasi publik tidak cukup hanya dilakukan dengan menggunakan indikator-indikator yang melekat pada birokrasi seperti efisiensi dan efektifitas, tetapi harus dilihat pula dari indikator-indikator yang melekat pada pengguna jasa, seperti kepuasan pengguna jasa, akuntabilitas dan responsivitas (Dwiyanto dkk, 2002).

Pelayanan publik merupakan segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik. Adapun penyelenggaranya adalah lembaga dan petugas pelayanan publik, baik Pemerintah Daerah maupun Badan Usaha Milik Daerah yang menyelenggarakan pelayanan publik. Sedangkan penerima pelayanan publik adalah orang perseorangan dan atau kelompok orang dan atau badan hukum yang memiliki hak, dan kewajiban terhadap suatu pelayanan publik.

Dalam hubungannya dengan pelayanan birokrasi pemerintah, aparatur birokrasi yang mendapat kepercayaan untuk melayani masyarakat perlu menyadari bahwa pada dirinya dituntut untuk memberikan pelayanan prima (excellent services), sebagai berikut: (a) sensitif dan responsif terhadap peluang dan tantangan yang dihadapi, (b) dapat mengembangkan fungsi instrumental dengan melakukan terobosan melalui pemikiran yang inovatif dan kreatif, (c) berwawasan futuris dan sistematis sehingga resiko yang bakal timbul akan diminimalisir, dan (d) berkemampuan dalam mengoptimalkan sumber daya yang potensial. Untuk menjadikan kepuasan pelanggan sebagai tujuan utama, maka perilaku aparatur birokrasi dalam memberikan pelayanan harus melakukan pekerjaannya dengan sepenuh hati (Patricia Patton: 1997).

Salah satu kekurangan mendasar organisasi pemerintahan atau birokrasi pemerintahan, khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah ketidakmampuannya menciptakan suatu iklim organisasi pembelajar. Padahal dalam tuntutan masyarakat yang semakin dinamis organisasi sangat diharapkan memiliki karakter organisasi pembelajar. Menurut Sangkala (2007: 210), bahwa organisasi pembelajar akan memiliki kemampuan memperbaiki dan meningkatkan adaptabilitas serta kapasitasnya dalam memenuhi tuntutan lingkungan. Organisasi yang di dalamnya berisi orang-orang yang senang belajar dan senantiasa membantu organisasi melahirkan pengetahuan dan keterampilan baru.

Kemampuan memperbaiki dan meningkatkan adaptabilitas serta kapasitasnya dalam memenuhi tuntutan lingkungan merupakan suatu issu penting yang justru kurang mendapat perhatian selama ini. Secara teoritik tuntutan dan kepentingan individu sebagai anggota masyarakat yang merupakan bagian dari lingkungan memang sangat bervariasi, sehingga dalam batas tertentu berpeluang melahirkan benturan kepentingan, khususnya dalam proses pengambilan keputusan oleh para pejabat birokrasi. Akibatnya pengambilan keputusan sebagai bagian proses administrasi seringkali menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat. Menurut Permana (2009: 39-40) persepsi masyarakat terhdap ketidakadilan itu muncul sebagai akibat perbedaan cara pandang individu terhadap kebijakan yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: preferensi individu (individual preference), etika (ethic), kebebasan individu (individual freedom), hak individu (individual rights), dan distribusi keadilan (distribution of justice). Proses pengambilan kebijakan publik yang berkeadilan ditunjukkan dengan skema/gambar sebagai berikut:

Fenomena ini banyak ditemukan di negara-negara yang sedang berkembang, seperti di Indonesia. Justifikasi yang sederhana bahwa secara filosofis Negara Republik Indonesia ini dibentuk dengan sejumlah tujuan yang luhur seperti yang tercantum dalam konstitusi yang antara lain yaitu: memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam kenyataan tujuan tersebut belum terealisasi sampai saat ini. Dalam konteks ini tentu yang paling menonjol untuk disoroti adalah masalah pelayanan publik.

a. Konsep Pelayanan Publik
Konsep Pelayanan publik (public service) sering digunakan dalam berbagai konteks oleh banyak kalangan, baik ilmuan maupun praktisi dengan makna yang berbeda-beda. Dalam sejarah perjalanan administrasi publik, pelayanan publik semula difahami secara sederhana sebagai pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Konsep pelayanan publik terdiri dari rangkaian dua kata, yaitu “pelayanan” dan “publik”. Pelayanan adalah cara melayani, membantu menyiapkan, dan mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau kelompok orang, artinya obyek yang dilayani adalah individu, pribadi-pribadi dan kelompok organisasi (Sianipar, 1998). Sedangkan publik secara umum diartikan sebagai masyarakat atau rakyat. Berdasarkan pengertian itu, maka secara sederhana pelayanan publik dapat diartikan sebagai suatu pelayanan atau pemberian terhadap masyarakat yang berupa penggunaan fasilitas-fasilitas umum, baik jasa maupun non jasa yang dilakukan oleh organisasi publik dalam hal ini adalah suatu pemerintahan. Dalam pemerintahan, pihak yang memberikan pelayanan adalah aparatur pemerintahan beserta segenap kelengkapan kelembagaannya. Semua barang dan jasa yang diselenggarakan oleh pemerintah kemudian disebut sebagai pelayanan publik.

Pelayanan publik juga dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tatacara yang telah ditetapkan (Kurniawan dalam Sinambella, 2008). Selanjutnya dalam Kepmenpan No.63/KEP/M.PAN/7.2003), pelayanan publik diartikan sebagai segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, pelayanan publik diartikan sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sementara penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang semata-mata dibentuk untuk kegiatan pelayanan publik.

Berdasarkan berbagai pengertian tersebut di atas, maka secara sederhana pelayanan publik dapat diartikan sebagai segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar sesuai dengan hak-hak dasar setiap warga negara dan penduduk atas suatu barang, jasa dan atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan publik. Adapun penyelenggaranya adalah lembaga dan petugas pelayanan publik, baik Pemerintah Daerah maupun Badan Usaha Milik Daerah yang menyelenggarakan pelayanan publik. Sedangkan penerima pelayanan publik adalah orang perseorangan dan atau kelompok orang dan atau badan hukum yang memiliki hak, dan kewajiban terhadap suatu pelayanan publik.

Dalam memahami konsep pelayanan publik, makna “publik” perlu difahami, baik dalam perkembangan historis atau latar belakang munculnya dan aplikasinya di dalam manajemen publik. Dalam perkembangan ilmu administrasi publik, konsep “publik” bermakna luas daripada hanya “government” (pemerintah saja). Sebagai akibat meluasnya makna konsep publik tersebut, milai-nilai keadilan, kewarganegaraan, (citizenship), etika, patriotisme, dan responsiveness menjadi kajian penting di samping nilai-nilai efisiensi dan efektivitas (Nurmandi, 2010:1)

Pemahaman terhadap sektor publik dan sektor privat menjadi perdebatan dalam diskursus ilmiah. Perdebatan itu antara lain menganggap bahwa kajian public sector merupakan bidang studi administrasi negara, sedangkan private sector merupakan kajian disiplin menajemen. Secara substansial diskursus mengenai isu-isu sektor privat dan publik sudah lama diperdebatkan di Amerika Serikat. Sebagai kesimpulan umum yang sangat relevan dapat dilihat pada uraian berikut (Bruce McCallum, 1984). Pertama, ada persamaan praktik-praktik manajemen pada sektor publik dan privat, sehingga yang lebih ditekankan adalah peranan respektif para manajer dibidangnya masing-masing. Kedua, ada persamaan praktik-praktik manajemen pada sektor publik dan privat ke arah meningkatkan over time. Ketiga, persamaan-persamaan dan perbedaan sektor publik dan privat relatif tidak penting, artinya tidak menghasilkan sifat-sifat yang fundamental. Keempat, karena peranan dan keahlian antara manajer sektor publik dan privat berbeda, maka training-training yang digunakan juga berbeda, manajer sektor publik mungkin akan gagal bila menjalankan sektor privat begitu juga sebaliknya. Kelima, gaya manajemen sektor publik berbeda dengan sektor privat. Mungkin prinsip atau teknik manajemen dapat diterapkan di dalam kedua sektor tersebut, tetapi dalam tataran praktis tetap berbeda. Keenam, ada pertukaran nilai antara manajer sektor publik dan sektor privat dalam menentukan program-program pelayanan kepada publik.

Beberapa dimensi yang dapat dijabarkan dalam melihat perbedaan antara sektor publik dan sektor privat seperti yang dikemukakan oleh Bruce McCallum (1984), yaitu dalam hal tujuan dan sasaran, akuntabilitas, merit system, jaminan kerja, koordinasi, keterlibatan politik dalam pembuatan keputusan, konsistensi dalam pengambilan keputusan, personalitas antara manajer publik dan privat.

Perbedaan antara manajemen sektor publik dan sektor privat dalam hal dimensi tujuan, yaitu sektor publik memiliki tujuan yang sangat banyak, seragam, bahkan terkadang kabur dan tidak nyata. Hal ini disebabkan karena ada polarisasi aspek politis dan ekonomis yang berarti public sector goal itu tidak begitu nampak seperti halnya private sector goal.

Akuntabilitas dalam sektor publik dan privat juga berbeda, dalam sektor privat kebebasan untuk memilih pekerjaan guna meraih tujuan yang dbebankan kepadanya akan dipertanggungjawabkan kepada komisaris dan pemegang saham. Dalam sektor publik atasan vertical bertanggung jawab pada institusi yang berwenang. Tanggung jawab itu mencakup finansial, administratif, politis serta pelaksanaan program kerja sesuai dengan yang ditetapkan. Ini merupakan konsekuensi peran administrator publik. Orang yang ditunjuk pada pelayanan publik adalah orang-orang yang memiliki kriteria tertentu dan dinilai berdasarkan keahlian, kualifikasi khusus, loyalitas secara politis. Sedangkan pada sektor privat, prinsip kepantasan sesuai dengan kualifikasi keahlian yang berdasarkan prinsip-prinsip manajemen modern, sehingga maximized profit yang dicapai akan terwujud.

Perbedaan lain adalah masalah jaminan kerja. Dalam sektor privat cenderung untuk meningkatkan jaminan dari jabatan yang diembannya. Dalam hal ini, sektor publik juga mengikuti trend demikian. Walaupun ada kecenderungan ke arah security of tenure dari masing-masing sektor, akan tetapi dalam praktiknya, jumlah imbalan yang diberikan berbeda. Kenyataan ini disebabkan oleh pengelolaan pada masing-masing sektor. Sektor privat selalu menggunakan sumber dana, sumber daya dan sumber-sumber lainnya mengikuti prosedur dan proses atau standar yang efektif dan efisien. Segala sesuatunya dihitung dari berapa jumlah biaya yang harus dikeluarkan dan profit yang akan diterima. Hasil keuntungan bersih organisasi privat itulah yang akan didistribusikan kepada pekerja sesuai dengan proporsi masing-masing. Fenomena yang terjadi pada sektor privat tersebut tidak terjadi pada sektor publik. Rumitnya jalur birokrasi serta tujuan yang bersifat sosial mengakibakan tidak efisiennya pengelolaan organisasi. Hal tersebut berdampak pada jaminan yang diberikan juga terbatas. Sektor publik memiliki koordinasi antardepartemen dan lembaga publik, sementara sektor privat koordinasinya antara pimpinan dan bawahan serta komisaris organisasi.

Mendefinisikan pelayanan publik tidak lagi dapat ditentukan dengan hanya melihat lembaga penyelenggaranya, yaitu pemerintah atau swasta. Pelayanan publik tidak lagi tepat untuk difahami sebagai pelayanan dari pemerintah, begitu juga pelayanan swasta yang tidak dapat difahami hanya sebagai pelayanan yang diberikan oleh lembaga non-pemerintah. Pelayanan publik harus dilihat dari karakteristik dan sifat dari pelayanan itu sendiri, bukan dari karakteristik lembaga penyelenggaranya atau sumber pembiayaannya semata. Kriteria yang selama ini secara konvensional digunakan untuk membedakan antara pelayanan publik dan pelayanan privat tidak dapat lagi digunakan dengan mudah untuk mendefinisikan pelayanan publik.

Atas dasar itu, maka muncul suatu pertanyaan, apa yang kemudian dapat digunakan untuk menentukan suatu pelayanan dapat dikategorikan sebagai pelayanan publik dan kapan pelayanan itu kehilangan sifatnya sebagai pelayanan publik?. Menurut Dwiyanto (2010:18-19) terdapat banyak kriteria untuk menentukan sebuah pelayanan (barang, jasa dan administratif) termasuk sebagai pelayanan publik atau bukan. Adapun kriteria tersebut dapat dilihat pada uraian berikut.

Kriteria pertama yang biasanya digunakan adalah sifat dari barang dan jasa itu sendiri (Stiglitz, 2000:128; Ostrom, Gradner & Walker:1994:7). Barang dan jasa yang termasuk dalam kategori barang publik atau barang yang memiliki ekternalitas tinggi biasanya tidak dapat diselenggarakan oleh korporasi atau diserahkan kepada pasar, karena mereka tidak dapat mengontrol siapa yang mengkonsumsi barang dan jasa tersebut, sementara barang dan jasa tersebut sangat penting bagi kehidupan warga dan masyarakat luas. Karena pelayanan ini sangat penting dan harus disediakan oleh negara, sehingga pelayanan tersebut seharusnya menjadi bagian dari pelayanan publik.

Kriteria kedua yang dapat digunakan untuk mendefinisikan pelayanan publik adalah tujuan dari pelayanan barang dan jasa. Penyediaan barang dan jasa yang dilakukan untuk mencapai tujuan dan misi negara, walaupun barang dan jasa itu bersifat privat, dapat dikatakan sebagai pelayanan publik. Tujuan dan misi negara biasanya diatur dalam konstitusi atau peraturan perundangan lainnya.

Semua pelayanan yang memenuhi salah satu dari kedua kriteria, yaitu merupakan jenis barang atau jasa yang memiliki eksternalitas tinggi dan sangat diperlukan oleh masyarakat serta penyediaannya untuk mencapai tujuan atau misi negara, baik dalam rangka memenuhi hak dan kebutuhan dasar warga, maupun tujuan strategis pemerintah, seharusnya dikategorikan sebagai pelayanan publik. Ketika sebuah pelayanan menjadi pelayanan publik, maka negara tidak dapat lepas tangan dan menyerahkan penyelenggaraannya kepada mekanisme pasar atau assosiasi sukarela sepenuhnya. Meskipun keterlibatan pasar untuk berpartisipasi telah meringankan beban pemerintah, namun untuk menghgindari agar keterlibatan tersebut tidak merugikan kepentingan warga pengguna, maka keterlibatan pasar atau assosiasi sukarela dalam penyelenggaraan layanan publik harus diatur dalam peraturan perundangan.

Berdasarkan kedua kriteria seperti yang telah disebutkan di atas, maka perbedaan ciri pelayanan publik dengan pelayanan privat dapat dijelaskan. Pelayanan privat dapat didefinisikan sebagai kegiatan untuk memenuhi kebutuhan perseorangan, yang bukan menjadi hajat hidup orang banyak, bukan menjadi kebutuhan bersama secara kolektif, dan tidak menjadi bagian dari komitmen pemerintah untuk memenuhi kebutuhan minimal warganya agar dapat hidup secara layak. Lembaga pemerintah dan swasta yang terlibat dalam penyelenggaraan layanan itu, tidak menjadi bagian dari lembaga penyelenggara layanan publik.

Sedangkan suatu pelayanan didefinisikan sebagai pelayanan publik, maka tanggung jawab penyediaannya menjadi tanggung jawab negara. Tentu hal ini tidak berarti pemerintah atau unsur penyelenggara negara lainnya harus melakukannya sendiri. Negara dapat melibatkan lembaga non pemerintah untuk menyelenggarakan pelayanan publik. Dalam penyelenggaraannya, negara harus menyediakan anggaran atau subsidi untuk menjamin semua warga memiliki akses terhadap pelayanan tersebut.

Berbagai pemikiran yang berkaitan dengan itu, antara lain dikemukakan oleh Frederickson (1997: 31-32), dengan membedakan berbagai perspektif dalam mendefinisikan publik, yaitu:
  1. Publik sebagai kelompok kepentingan (perspektif pluralis);
  2. Publik sebagai pemilih rasional (perspektif pilihan publik);
  3. Publik sebagai pihak yang diwakili (perspektif perwakilan);
  4. Publik sebagai pelanggan (perspektif penerima layanan publik)
  5. Publik sebagai warganegara.
Dalam perspektif pluralis, publik difahami sebagai kelompok kepentingan sebagaimana yang dikembangkan oleh ilmuan politik. Kepentingan (interest) publik disalurkan sedemikian rupa oleh kelompok kepentingan, baik dalam bentuk artikulasi kepentingan maupun agregasi kepentingan. Dalam demokrasi, sebuah atau beberapa kelompok kepentingan melakukan aliansi dengan partai politik untuk mengartikulasikan kepentingannya.

Pemahaman publik dalam perspektif pemilih rasional dikembangkan oleh Buchanan dan Tullock. Mereka mengembangkan model ekonomi untuk memformulasikan perilaku indovidu dalam sistem politik. Salah satu karya yang menerapkan model Buchanan dan Tullock adalah Down (dalam Frederickson, 1997:34) pada perilaku birokrat dalam mengkalkulasi preferensi pribadinya. Teori Down tentang instansi pemerintah adalah: Pertama, menekankan benefit positif pada kegiatan instansi pemerintah dan mengurangi biaya; Kedua, Menunjukkan bahwa perluasan pelayanan instansi akan lebih memenuhi harapan dan pengiritan akan kurang memenuhi harapan; Ketiga, Instansi lebih memberikan pelayanan pada kepentingan masyarakat dalam arti luas daripada kepentingan yang spesifik; Keempat, menekankan pada efisiensi pada instansi tingkat atas; Kelima, menekankan pada prestasi dan kemampuan, sementara mengabaikan kegagalan dan ketidakmampuan.

Perspektif ketiga adalah perspektif perwakilan, yang melihat publik sebagai pihak yang diwakili oleh elected officials (politisi). Dalam perspektif ini, kepentingan publik diasumsikan telah diwakili oleh wakilnya yang duduk di lembaga-lembaga perwakilan. Kelemahan utama perspektif ini adalah pada kenyataannya politisi tidak menyuarakan kepentingan publik, dan politisipun tidak pernah melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan.

Perspektif keempat, melihat publik sebagai pelanggan (customer) pelayanan publik yang diselenggarakan oleh birokrasi publik. Lipsky mengembangkan konsep street level bureaucracy untuk menunjukkan interaksi yang erat antara aparat pelayanan publik dengan masyarakat yang dilayani. Namun iapun mensinyalir bahwa birokrasi lebih melayani kepentingannya daripada kepentingan masyarakat, dan street level bureaucracy lebih memfungsikan dirinya sebagai kelompok kepentingan.

Perspektif terakhir melihat publik sebagai warganegara. Sebagai warganegara, seseorang tidak hanya mewakili kepentingan individu namun juga kepentingan publik. Model-model partisipasi publik dalam pengambilan keputusan lebih banyak menerapkan perspektif ini.

Berkaitan dengan produk pelayanan birokrasi, Gronroos dalam Dwiyanto yang dikutip dari LAN (2006:137) mengemukakan sejumlah karakteristik pelayanan publik, baik dalam bentuk barang maupun jasa.

b. Pergeseran Paradigma Pelayanan Publik 
Dalam konteks keilmuan, birokrasi pelayanan publik selalu mengalami perkembangan atau pergeseran sesuai dengan perspektif atau paradigma pelayanan publik itu sendiri atau biasa disebut dengan reformasi birokrasi. Menurut Denhardt dan Denhardt (2002: 28-29) pelayanan publik juga mengalami pergeseran seiring dengan pergeseran paradigma administrasi publik dari old administration ke new public management dan terakhir ke new public service. Secara garis besar pergeseran paradigma tersebut digambarkan oleh Keban (2008:244-8), sebagai berikut:

1. Old Public Administration
Woodrow Wilson merupakan tokoh penting yang memprakarsai gerakan perubahan dalam paradigma OPA. Ia menyarankan agar administrasi publik harus dipisahkan dari dunia politik (dikhotomi administrasi publik dengan politik). Berdasarkan pengalaman Wilson, negara terlalu memberi peluang bagi para administrator untuk mempraktekkan sistem nepotisme dan spoil.Oleh karena itu ia mengeluarkan doktrin untuk melakukan pemisahan antara dunia legislative (politik) dengan dunia eksekutif, dimana para legislator hanya merumuskan kebijakan dan para administrator hanya mengeksekusi atau menmgimplementasikan kebijakan. Sosok birokrasi yang ditawarkan Wilson ini sejalan dengan jiwa atau semangat bisnis. Wilson menuntut agar para administrator publik selalu mengutamakan nilai efisiensi dan ekonomis, sehingga mereka harus diangkat berdasarkan kecocokan dan kecakapan dalam bekerja ketimbang keanggotaan atau kedudukan dalam suatu partai politik. Ajaran Wilson untuk meniru dunia bisnis ini membawa suatu implikasi penting dalam pemerintahan, yaitu bahwa prinsip-prinsip dalam dunia bisnis yang diprakarsai oleh Taylor pantas untuk diperhatikan. Metode keilmuan menurut Taylor harus menggeser metode rule of thumb. Tenaga kerja harus diseleksi, dilatih dan dikembangkan secara ilmiah dan didorong untuk bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai tugas pekerjaan sesuai prinsip-prinsip keilmuan. Dunia telah mengakui kebesaran Taylor dalam membangun prinsip manajemen yang professional.

Sejalan dengan Wilson, Max Weber juga mengajak untuk melaksanakan prinsip-prinsip Taylor. Menurut Weber, ketika masyarakat berkembang semakin kompleks, maka diperlukan suatu institusi yang rasional yaitu birokrasi. Dalam birokrasi ini, diatur perilaku yang tidak saja produktif, tetapi juga loyal terhadap pimpinan dan organisasi. Perilaku yang impersonal dan saklek harus diterapkan. Hubungan kekeluargaan dan kelompok sosial tidak mendapat tempat untuk dipertimbangkan dalam birokrasi. Oleh karena itu, para anggota organisasi harus ditempatkan berdasarkan kemampuan yang dimiliki. Dikembangkan dan dituntun dengan peraturan yang jelas dalam menjalankan tugasnya.

Doktrin OPA, dalam perkembangannya menghadapi masalah (fallacies). Sebagai illustrasi misalnya, Weber yakin bahwa sosok organisasi birokrasi sangat ideal, padahal dalam perkembangannya bias berubah sifatnya menjadi sangat kaku, bertele-tele dan penuh red-tape (Weber fallacy). Demikian juga halnya dengan Taylor sangat yakin bahwa hanya ada satu cara terbaik (one way of doing the task) untuk melakukan tugas, padahal dalam perkembangan jaman terdapat banyak cara lain untuk bekerja terbaik, hasil rekayasa teknologi dan ilmu pengetahuan (Taylor fallacy). Hal yang sama juga terjadi pada Wilson, dimana ia cenderunmg melihat dunia administrasi publik sebagai kegiatan yang tidak bersifat politis,padahal dalam kenyataannya bersifat politis (Wilson fallacy).

Meskipun muncul berbagai masalah dalam paradigma Old Poblic Administration (OPA), namun belajar dari paradigma ini telah memberikan kontribusi pengetahuan yang penting bahwa dalam membangun birokrasi diperlukan profesionalitas, penggunaan prinsip keilmuan, hubungan yang impersonal, penerapan aturan dan standardisasi secara tegas, sikap yang netral dan perilaku yang mendorong efisisiensi dan efektifitas.

2. New Public Management
Paradigma New Public Management (NPM) muncul di Inggris, New Zealand, Amerika Serikat dan Canada. Istilah management pada New Public Management, diberikan lantaran istilah ini lebih agresif daripada istilah administration (Vigoda,2003).Paradigma ini didasarkan pada teori pasar dan budaya bisnis dalam organisasi publik (vigoda,2002). Paradigma tersebut muncul tidak hanya karena adanya krisis fiscal pada tahun 1970an dan 1980an, tetapi juga karena adanya keluhan bahwa sektor publik terlalu besar, boros, inefisien, merosotnya kenerja pelayanan publik, kurangnya perhatian terhadap pengembangan dan kepuasan kerja pegawai pemerintah (hope, 2002).

Kemunculan NPM pertama kali hanya meliputi lima doktrin, yaitu (1) penerapan deregulasi pada line management, (2) konversi unit pelayanan publik menjadi organisasi yang berdiri sendiri, (3) penerapan akuntabilitas berdasarkan kinerja terutama melalui kontrak, (4) penerapan mekanisme kompetisi seperti melakukan kontrak keluar, dan (5) memperhatikan mekanisme pasar (Hood, 1991). Dalam perkembangannya, telah menjadi sepuluh doktrin sebagaimana yang disampaikan dalam Reinventing Governmen (Gaebler dan Osborne, 1992). Beberapa tahun kemudian muncul lagi model NPM yang lebih variatif misalnya model efisiensi drive, downsizing and decentralization, in search of exelence dan public service orientation (Ferile et al, 1996). Berbagai variasi ini memberi kesan bahwa NPM hanyalah merupakan upaya para ahli dalam memodernisasikan sektor publik (Pollit, 1995).

Melalui berbagai doktrin NPM tersebut di atas, dapat dipelajari bahwa proses reformasi harus diarahkan pada enam dimensi kunci. Pertama, menyangkut productivity, yaitu bagaimana pemerintah menghasilkan lebih banyak hasil dengan biaya yang lebih sedikit. Kedua, marketization yaitu bagaimana pemerintah menggunakan insentif bergaya pasar agar melenyapkan patologi birokrasi. Ketiga, service orientation yaitu bagaimana pemerintah dapat berhubungan dengan warga masyarakat secara lebih baik agar program-programnya lebih responsif terhadap kebutuhan warga masyarakat. Keempat, decentralization yaitu bagaimana pemerintah membuat program yang responsif dan efektif dengan memindahkan program ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah, atau memindahkan tanggung jawab instansi pemerintah ke para menejer lapangan yang berhadapan langsung dengan warga masyarakat, atau memberi kesempatan kepada mereka untuk melakukan adaptasi terhadap kebutuhan warga masyarakat. Kelima, policy yaitu bagaimana pemerintah memperbaiki kapasitas kebijakan. Keenam, performance accountability yaitu bagaimana pemerintah memperbaiki kemampuannya untuk memenuhi janjinya (Kettl, 2000).

Reformasi birokrasi tersebut diarahkan untuk mencapai hasil nyata yang mencakup lima spek, yaitu (1) saving, (2) perbaikan proses, (3) perbaikan efisiensi, (4) peningkatan efektivitas, dan (5) perbaikan sistem administrasi, seperti peningkatan kapasitas, fleksibilitas dan ketahanan. Dalam hal saving, perbaikan proses dan efisiensi, serta sistem administrasi, Inggris dan Amerika telah mengklaim berhasil, tetapi dalam hal efektifitas masih belum dirasakan, karena hasil akhir program baru dirasakan beberapa tahun kemudian (Pollit, 2002). Di negara-negara berkembang, NPM masih bersifat embrio dan coba-coba. Keberhasilan NPM ini sangat tergantung dari konteks dan karakteristik negara dan sektor yang ditangani, kemampuan institusi, dan konteks dari institusi itu sendiri seperti iklim dan ideologi manajemen yang dianut, sikap terhadap otoritas, hubungan sosial dan kelompok (Fertie et al, 1996; Flynn, 2002).

Seperti halnya dengan OPA, NPM pun menghadapi banyak kritikan, karena para elit birokrasi cenderung berkompetisi untuk memperjuangkan kepentingan dirinya daripada kepentingan umum, dan berkolaborasi untuk mencapainya. Apalagi dasar NPM adalah teori Public Choice yang sangat didominasi oleh kepentingan pribadi (self interest) sehingga konsep seperti public spirit, public service, dsb, terabaikan (Kamensky, 1996:251). Hal yang demikian tidak akan mendorong proses demokratisasi. Disamping itu, NPM tidak pernah ditujukan untuk menangani pemerataan dan masalah keadilan sosial (Harrow, 2002). Munculnya NPM telah mengancam nilai inti sektor publik yaitu citizen self governance dan fungsi administrator sebagai servant of public interest (Box, 1999), bahkan kalau tidak berhati-hati , justeru akan meningkatkan korupsi dan menciptakan orang miskin baru (Haque, 2007).

Pelajaran penting yang dapat diambil dari NPM ini adalah bahwa pembangunan birokrasi harus memperhatikan mekanisme pasar, mendorong kompetisi dan kontrak untuk mencapai hasil, harus lebih responsif terhadap kebutuhan pelanggan, harus lebih bersifat mengarahkan (steering) daripada menjalankan sendiri (rowing), harus melakukan deregulasi, memberdayakan para pelaksana agar lebih kreatif, dan menekankan budaya organisasi yang lebih fleksibel, inovatif, berjiwa wirausaha dan pencapaian hasil, ketimbang budaya taat azas, orientasi pada proses dan input (Rossembloom & Krafchuck, 2005). 

3. New Public Service
Sebagai koreksi terhadap NPM, King dan Stivens (1998), menegaskan bahwa para administrator harus melibatkan warga masyarakat. Mereka harus melihat rakyat sebagai warga masyarakat (bukan sebagai pelanggan), sehingga dapat saling membagi otoritas dan melonggarkan kendali, serta percaya terhadap keefektifan kolaborasi. Mereka harus membangun trust dan bersikap responsif terhadap kepentingan atau kebutuhan masyarakat, dan bukan semata mencari efisiensi yang lebih tinggi sebagaimanja yang dituntut dalam NPM.

Di Inggris, muncul apa yang disebut joined up thinking and joined up action (Stewart at al, 1999), yang kemudian dikenal dengan paradigma New Public Service (NPS). Di dalam paradigma ini tidak ada lagi yang menjadi penonton, semua jadi pemain atau ikut bermain. Disini pemerintah harus menjamin hak-hak warga masyarakat, dan memenuhi tanggung jawabnya kepada masyarakat dengan mengutamakan kepentingan warga masyarakat.. Fiirst Citizens harus menjadi pegangan atau semboyan pemerintah (Denhardt &Gray, 1998). Isu tentang justice, equity, participation, dan leadership yang tidak diperhatikan dalam buku Reinventing Government (Osborn & Gaebler, 1992), justru harus mendapatkan perhatian utama (Denhardt & Denhardt, 2003). Paradigma ini sejalan dengan prinsip co-creating yang digagas oleh Prahalad dan Ramaswany (2004) sebagai sumber energi organisasi era demokrasi, karena dapat menjamin hak, kebutuhan dan nilai-nilai warga, dan bukan kebutuhan institusi.

Ada tujuh prinsip NPS (Denhardt & Denhardt; 2000; 2003; 2007) yang berbeda dari NPM dan OPA. Pertama, peran utama dari pelayan publik adalah membantu warga masyarakat mengartikulasikan dan memenuihi kepentingan yang telah disefakati bersama, daripada mencoba mengontrol atau mengendalikan masyarakat kearah yang baru. Kedua, administrator publik harus menciptakan gagasan kolektif yang disetujui bersama tentang apa yang disebut sebagai kepentingan publik. Ketiga, kebijakan dan program yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan publik dapat dicapai secata efektif dan responsif melalui upaya-upaya kolektif dan proses kolaboratif. Keempat, kepentingan publik lebih merupakan hasil suatu dialog tentang nilai-nilai yang disetujui bersama dari pada agregasi kepentingan pribadi para individu. Kelima, para pelayan publik harus memberi perhatian, tidak semata pada pasar, tetapi juga pada spek hukum dan peraturan perundangan, nilai-nnilai masyarakat, norma-norma politik, standard professional dan kepentingan warga masyarakat. Keenam, organisasi publik dan jaringan-jaringan yang terlibat akan lebih sukses dalam jangka panjang kalau mereka beroperasi melalui proses kolaborasi dan melalui kepemimpinan yang menghargai semua orang. Ketujuh, kepentingan publik lebih baik dikembangkan oleh pelayan-pelayan publik dan warga masyarakat yang berkomitmen memberikan kontribusi terhadap masyarakat, dari pada oleh manajer wirausaha yang bertindak seakan-akan uang adalah milik mereka.

Pelajaran penting yang dapat diambil dari paradigma NPS ini adalah bahwa birokrasi harus dibangun agar dapat memberi perhatian kepada pelayanan masyarakat sebagai warga negara (bukan sebagai pelanggan), mengutamakan kepentingan umum, mengikutsertakan warga masyarakat, berpikir strategis dan bertindak demokratis , memperhatikan norma, nilai dan standard yang ada, dan menghargai masyarakat.

Birokrasi tadisional yang bekerja berdasarkan ciri-ciri birokrasi perlu dipadukan dengan ciri-ciri demokrasi. Perpaduan ciri tentunya akan melahirkan ciri-ciri baru yaitu ciri-ciri birokrasi yang demokratis. Hal ini perlu dilakukan karena prinsip-prinsip kerja birokrasi berbeda dengan tuntutan moral dalam demokrasi.

Birokrasi dalam proses pencapaian tujuannya menekankan efisiensi dan mengandalkan kapabilitas satu orang, menekankan hirarcki, dan kewenangan yang mengalir secara vertikal mengikuti struktur yang berbeda dengan semangat yang ada dalam nilai-nilai demokrasi seperti persamaan hak dan kedudukan bagi semua warga negara, serta peluang untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Ciri-ciri birokrasi dan demokrasi ini dijelaskan oleh Denhardt dan Denhardt (2005).

Secara teoritis mungkin kesulitannya adalah bagaimana menggabungkan dua nilai yang kecenderungannya memiliki orientasi yang berbeda. Hal ini senada dengan pernyataan Denhardt dan Denhardt yang mengingatkan bahwa, “dalam organisasi publik, anda pasti sering menghadapi kesulitan menyatukan efisiensi dan daya tanggap.” Ciri-ciri birokrasi yang demokratis antara lain birokrasi yang memiliki daya tanggap (responsivitas) yang tinggi terhadap kebuuhan publik, memberi ruang partisipasi publik dalam pengambilan keputusan dan transparansi, atau lebih jelasnya adalah birokrasi yang menerapkan prinsip-prisip good governance seperti yang direkomendasikan oleh Bank Dunia, yaitu: participation, rule of law, transparency, responsiveness, consensus orientation, equity, efficienscy and effectiveness, accountability, dan strategic vision (Sjamsuddin, 2005: 68-69). Senada dengan Wilson seperti yang dikutip Frederickson (2003;56), menyimpulkan bahwa birokrasi sukses adalah birokrasi dengan eksekutif mampu menciptakan misi yang jelas, mengidentifikasi tugas yang harus dicapai untuk memenuhi misi, mendistribusikan otoritas di dalam organisasi menurut tugas, dan memberi bawahan otonomi yang memadai untuk mencapai tugas tersebut.

Malcolm Walters (1994) menambahkan bahwa kegagalan daripada pelayanan publik ini disebabkan karena aparat (birokrasi) tidak menyadari adanya perubahan dan pergeseran yang terjadi dalam budaya masyarakatnya dari budaya yang bersifat hirarkhis, budaya yang bersifat individual, budaya yang bersifat fatalis, dan budaya yang bersifat egaliter. Pelayanan publik yang modelnya birokratis cocok untuk budaya masyarakat hirarkhis; pelayanan publik yang modelnya privatisasi cocok untuk budaya masyarakat individual (yang anti hirarkhis); pelayanan publik yang modelnya kolektif cocok untuk budaya masyarakat fatalis (yang mendukung budaya hirarkhis dan anti budaya individu); sedangkan pelayanan publik yang modelnya memerlukan pelayanan cepat dan terbuka cocok untuk budaya masyarakat egaliter (yang anti budaya hirarkhis, anti budaya individu dan anti budaya fatalis).

Substansi pelayanan publik selalu dikaitkan dengan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang atau instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu institusi pelayanan publik dapat dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah. Jika pemerintah, maka organisasi birokrasi pemerintahan merupakan organisasi terdepan yang berhubungan dengan pelayanan publik. Dan jika non-pemerintah, maka dapat berbentuk organisasi partai politik, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan yang lain. Siapapun bentuk institusi pelayanananya, maka yang terpenting adalah bagaimana memberikan bantuan dan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.

Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan, birokrasi sebagai ujung tombak pelaksana pelayanan publik mencakup berbagai program-program pembangunan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Tetapi dalam kenyataannya, birokrasi yang dimaksudkan untuk melaksanakan tugas-tugas umum pemerintahan dan pembangunan tersebut, seringkali diartikulasikan berbeda oleh masyarakat. Birokrasi di dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan pelayanan publik) diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit apabila masyarakat menyelesaikan urusannya berkaitan dengan pelayanan aparatur pemerintahan. Akibatnya, birokrasi selalu mendapatkan citra negatif yang tidak menguntungkan bagi perkembangan birokrasi itu sendiri (khususnya dalam hal pelayanan publik).

Thompson, pernah menunjukkan bahwa budaya birokrasi membuat tuntutan-tuntutan tertentu pada klien serta organisasi pada karyawan. ada banyak orang di masyarakat kita yang belum mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan-tuntutan ini. mereka melihat birokrasi adalah kutukan. mereka tidak melihat baik dalam apapun, tetapi melihat tuntutan organisasi modern sebagai "pita merah" (Rossembloom, 2005: 442).

Perkembangan kehidupan masyarakat yang semakin dinamis, sejalan dengan tingkat kehidupan yang semakin baik, telah meningkatkan kesadarannya akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat yang semakin kritis dan berani untuk mengajukan keinginan, tuntutan dan aspirasinya, serta melakukan kontrol atas kinerja pemerintah. Masyarakat semakin berani menuntut birokrasi publik untuk mengubah posisi dan perannya (revitalisasi) dalam memberikan layanan publik. Kebiasaan suka mengatur dan memerintah mesti diubah menjadi suka melayani, dari yang lebih suka menggunakan pendekatan kekuasaan, berubah menjadi suka menolong, semuanya menuju ke arah fleksibelitas, kolaboratis dan dialogis, dan menghilangkan cara-cara yang sloganis menuju cara-cara kerja yang realistik pragmatis (Thoha, 1988:119).

Dalam kondisi masyarakat seperti digambarkan di atas, aparat birokrasi harus dapat memberikan layanan publik yang lebih profesional, efektif, efesien, serderhana, transparan, terbuka, tepat waktu, responsif, adaptif dan sekaligus dapat membangun “kualitas manusia” dalam arti meningkatkan kapasitas individu dan masyarakat untuk secara aktif menentukan masa depannya sendiri. Berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam tinjauan manajemen pelayanan publik, sangat dibutuhkan sistem birokrasi yang desentralistik. Ciri struktur birokrasi yang terdesentralisir memiliki beberapa tujuan dan manfaat antara lain :
  1. Mengurangi (bahkan menghilangkan) kesenjangan peran antara organisasi pusat dengan organisasi-organisasi pelaksana yang ada dilapangan.
  2. Melakukan efesiensi dan penghematan alokasi penggunaan keuangan.
  3. Mengurangi jumlah staf/aparat yang berlebihan terutama pada level atas dan level menengah (prinsip rasionalisasi).
  4. Mendekatkan birokrasi dengan masyarakat yang akan memperoleh pelayayan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam konteks pelayanan publik dapat digaris bawahi bahwa keberhasilan proses pelayanan publik sangat tergantung pada dua pihak yaitu birokrasi (pelayan) dan masyarakat (yang dilayani). Dengan demikian untuk melihat kualitas pelayanan publik perlu diperhatikan dan dikaji dua aspek pokok yakni: Pertama, aspek proses internal organisasi birokrasi (pelayan); Kedua, aspek eksternal organisasi yakni kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat pelanggan. 

Berkaitan dengan berbagai fenomena yang ada di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan birokrasi pelayanan publik, maka langkah yang harus dilakukan adalah melakukan reformasi birokrasi. Salah satu aspek yang perlu dilakukan dalam desentralisasi pemerintahan ialah reformasi birokrasi pemerintahan (birokrasi publik). Karena organisasi ini memegang peran utama dalam mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik (Good Governance). Terpenuhinya prinsip-prinsip good governance seperti partisipasi, transparansi, supremasi hukum, kesetaraan, responsivitas, efektivitas dan efisiensi serta akuntabilitas dapat menjadi indikator terlaksananya reformasi birokrasi pelayanan publik.

Target dan sasaran reformasi birokrasi, secara garis besar ada lima hal. Pertama, Terbentuknya birokrasi yang bersih, yaitu birokrasi yang anti KKN dan berkurangnya perilaku koruptif pegawai negeri. Kedua, birokrasi yang efisien dan hemat dalam menggunakan sumber daya yang terbatas. Ketiga, birokrasi yang transparan yakni birokrasi yang seluruh kebijakan dan aktivitasnya diketahui masyarakat dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Keempat, birokrasi yang melayani, yaitu birokrasi yang tidak minta dilayani, tetapi birokrasi yang melayani masyarakat. Kelima, birokrasi yang terdesentralisasi, yaitu kewenangan pengambilan keputusan terdesentralisasi kepada pimpinan unit kerja terdepan (Thoha, 2002).

Reformasi politik yang tidak diikuti oleh reformasi birokrasi ternyata tidak banyak menghasilkan perbaikan kinerja pelayanan publik. Dengan birokrasi yang masih kuat mempraktekan budaya korup, bersikap sebagai penguasa, dan tidak profesional maka perubahan apapun yang terjadi dalam pemerintahan tidak akan memiliki dampak yang berarti bagi perbaikan kinerja pelayanan publik. Karenya, menjadi sangat wajar kalau perbaikan kehidupan politik yang menjadi semakin demokratis sekarang ini belum memiliki dampak yang berarti pada kinerja birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang semakin penting dan strategis karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.

Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki Iklim investasi. Buruknya kinerja birokrasi publik di Indonesia sering menjadi determinan yang penting dari penurunan minat investasi. Dari berbagai studi dan observasi, kinerja birokrasi publik di Indonesia tidak banyak mengalami perbaikan, bahkan cenderung menjadi semakin buruk. Akibatnya, pemerintah mengalami kesulitan dalam menarik investasi, belum lagi ditambah dengan masalah-masalah lain, seperti ketidak-pastian hukum dan keamanan nasional.

Dalam kehidupan sosial, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki sistem kehidupan masyarakat yang lebih mengembangkan pola hubungan secara terbuka, taat aturan, menghargai hasil kerja secara profesional, dan berorientasi pada kepuasan hasil kerja (produktivitas). Pada akhirnya perbaikan kinerja birokrasi akan lebih mendorong tumbuhnya sistem sosial yang mengutamakan etos kerja dan moralitas sebagai bagian dari relasi sosial. Dalam kehidupan politik, perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik akan memiliki implikasi luas, terutama dalam memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Buruknya kinerja birokrasi selama ini menjadi salah satu faktor penting yang mendorong munculnya krisis kepercayaan kepada pemerintah. Protes, demonstrasi, dan bahkan pendudukan kantor-kantor pemerintah oleh masyarakat yang banyak terjadi di berbagai daerah menjadi indikator dari besarnya ketidak-puasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.

Perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik diharapkan akan memperbaiki kembali citra pemerintah di mata masyarakat karena dengan kualitas pelayanan publik yang semakin baik, kepuasan dan kepercayaan masyarakat bisa di bangun kembali. Oleh sebab itu, kajian mengenai kinerja birokrasi publik menjadi isu sentral dan memiliki nilai strategis, terutama yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik.

c. Pelayanan Administrasi Pertanahan
Keberadaan tanah merupakan suatu hal yang penting bagi manusia, karena tanah merupakan suatu kebutuhan hidup. Oleh karena itu segala hal yang berkaitan dengan tanah, dari zaman dahulu hingga sekarang menjadi salah satu agenda terpenting untuk dibahas. Tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai dimensi yang khas dan khusus. Tanah bukan sekedar benda mati yang bernilai tunggal, akan tetapi dipandang sebagai benda yang multi nilai. Hal ini menjadi bagian dari filosofis dalam melaksanakan sistem administrasi pertanahan.

Mengingat fungsi strategis dari tanah, sehingga pelayanan administrasi pertanahan menjadi sangat penting., Administrasi pertanahan adalah pemberian hak, perpanjangan hak, pembaruan hak, peralihan hak, peningkatan hak, penggabungan hak, pemisahan hak, pemecahan hak, izin lokasi, izin perubahan penggunaan tanah, serta izin penunjukan dan penggunaan tanah (Hermit, 2008). Dalam praktek pelaksanaan administrasi pertanahan sering menimbulkan berbagai masalah yang tidak jarang menimbulkan konflik di dalam masyarakat. Oleh karena itu diperlukan suatu kebijakan yang lebih komprehensif, yaitu kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada perbaikan internal birokrasi, tetapi yang lebih penting adalah juga memperhatikan kepentingan publik.

Kebijakan pertanahan nasional yang dirumuskan dalam pasal 33 UUD 1945 didasarkan pada konsepsi bahwa semua tanah adalah tanah bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang penguasaannya ditugaskan kepada negara yang pada intinya dirumuskan dalam pasal 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) memberikan kewenangan untuk mengatur dan menetapkan berbagai segi penguasaan tanah yang sejak semula menurut sifatnya selalu dianggap sebagai tugas pemerintah pusat. Pengaturan dan penetapan tersebut yang meliputi perencanaan peruntukan tanah, penguasaan dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah serta pendaftaran tanah, pelaksanaan ketentuan hukumnya pada asasnya selalu dilakukan oleh pemerintah pusat sendiri. Kalaupun ada pelimpahan kewenangan dalam pelaksanaannya, pelimpahan tersebut dilakukan dalam rangka dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat pemerintah pusat yang ada di daerah.

Berdasarkan fenomena tersebut, maka diperlukan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara jelas mengatur kewenangan-kewenangan apa yang ada di pemerintah pusat dan kewenagan-kewenangan yang didelegasikan kepada pemerintah daerah. Dari materi muatan yang terdapat dalam UUD 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, kewenangan dari pusat meliputi hukum, kebijakan, pedoman mengenai pemberian hak-hak atas tanah, pendaftaran, landreform, dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah maupun keputusan presiden. Sementara itu, kewenangan pemerintah daerah cukup pada pelayanan masyarakat dan pelaksanaan kebijakan yang dapat dituangkan dalam bentuk peraturan daerah maupun keputusan kepala daerah (Hutagalung, 2008: 59).

Dalam rangka menghemat biaya dan memudahkan tersedianya pejabat pelaksana yang professional dan berpengalaman, demikian juga dalam memelihara koordinasi dengan pelaksanaan tugas-tugas kewenangan lain di bidang pertanahan yang ada pada pemerintah, dalam melaksanakan urusan-urusan yang ditugaskan dalam rangka medebewind, tidak perlu pemerintah provinsi, kabupaten/kota membentuk perangkat pelaksana sendiri. Dengan tidak mengurangi tugasnya sebagai perangkat BPN, cukup kantor-kentor wilayah BPN provinsi, kantor-kantor pertanahan kabupaten/kota diperbantukan kepada provinsi, kabuoaten/kota yang bersangkutan dengan tetap berstatus perangkat Pemerintah Pusat, demikian juga pejabat dan karyawannya (Harsono, 2006:12).

Kewenangan pemerintah dalam bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota ditegaskan dalam pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Kewenangan tersebut meliputi: pemberian izin lokasi, penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan, penyelesaian sengketa tanah garapan, penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan, penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absente, penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat, pemanfaatan dan penyelesaian tanah kosong, pemberian izin membuka tanah, perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.

Sebagai tindak lanjut Keputusan Presiden tersebut, ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam Keputusan Kepala Badan Peranahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tersebut diatur secara rinci kewenangan bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Dari muatan-muatan undang-undang ataupun peraturan pemerintah dan keputusan presiden yang terdapat delegasi kewenagnan, dalam pelaksanaannya dapat dituangkan dalam peraturan daerah yang disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Khusus untuk masalah-masalah teknis yang dapat berubah dari waktu ke waktu, pelaksanaan peraturan daerah dapat dituangkan dalam keputusan kepala daerah setempat.

Dalam rangka menyerahkan kewenangan pertanahan pada pemerintah kabupaten/kota, perlu kiranya difahami makna politik pertanahan lokal dan administrasi pertanahan yang dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Secara garis besar politik pertanahan lokal berkaitan dengan kebijakan pemerintah lokal dalam rangka penataan tata guna tanah bagi peri kehidupan sosial maupun ekonomi guna memenuhi interaksi antarindividu di daerah. Pengaturan ini meliputi pembentukan zona ekonomi, alokasi tanah untuk kepentingan sosial, penetapan instrumen kebijakan pertanahan, pengawasan terhadap harga pasar tanah dan pencadangan terhadap tanah. Politik pertanahan ini tentu sepenuhnya harus dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota agar problema aplikasi sumber daya alam maupun sumber daya ekonomi dapat diwujudkan untuk kemaslahatan rakyat setempat. Kewenagan semacam ini memang pada tempatnya diserahkan pada pemerintah kabupaten/kota mengingat kebijakan pemerintah pusat tidak mampu menjangkau setiap detail permasalahan tersebut (Subyanto, 2002:6)

I. Prinsip-Prinsip Pelayanan untuk Meminimalisir Patologi Birokrasi
Dalam konteks birokrasi pelayanan publik di Indonesia, Dwiyanto (2011: 62) merumuskan suatu model seperti pada Gambar 2 yang mengkritisi birokrasi Weberian dimana pada awalnya dirancang untuk membuat birokrasi dapat menjalankan fungsinya dengan baik pada akhirnya justru menimbulkan berbagai penyakit yang membuat birokrasi mengalami disfungsi.

Struktur birokrasi memiliki berbagai masalah internal yang pada tingkat tertentu berpotensi menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi (Caiden, 2009:1991). Setiap aspek dan struktur birokrasi seperti hierarki, spesialisasi dan formalisasi, selain memiliki manfaat dan kontribusi terhadap efisiensi dan kinerja birokrasi, juga memiliki potensi untuk menciptakan penyakit birokrasi.

Penyakit birokrasi merupakan interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel lingkungan yang salah. Struktur birokrasi yang hierarkis berinteraksi dengan budaya masyarakat yang paternalistis, sistem politik yang tidak demokratis dan ketidak berdayaan kelompok masyarakat madani cenderung melahirkan perilaku birokrasi paternalistis yang merugikan kepentingan publik. Beberapa aspek penting yang berkaitan dengan struktur dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Hierarki
Dalam birokrasi yang hierarkis, persoalan seringkali menjadi lebih kompleks karena konsentrasi kekuasaan ada pada pimpinan. Pimpinan memiliki kewenangan

mengambil keputusan, sedangkan bawahan cenderung diposisikan sebagai pelaksana saja. Padahal, dalam kenyataan staf dan pejabat bawahan lebih mengetahui masalah, keluhan dan kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat. Mereka sehari-hari bergelut dengan berbagai masalah dan secara langsung berhadapan dengan masyarakat dalam kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Mereka juga yang sering menerima keluhan masyarakat dan dituntut untuk merespon dengan cepat berbagai kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat. Namun, pejabat bawahan justru tidak memiliki kewenangan untuk merespons karena kewenangan dan kekuasaan terkonsentrasi pada atasan. Atasan yang memiliki kewenangan dan kekuasaan seringkali tidak memiliki sense of urgency karena mereka jauh dari realitas kesulitan yang dihadapi masyarakat. Akibatnya, tindakan dan respons birokrasi terhadap berbagai persoalan cenderung lamban (Ripley & Franklin, 1986).

Hierarki juga membuat proses pengambilan keputusan dalam birokrasi menjadi sangat terkotak-kotak (fragmented), kerena arus informasi dan perintah hanya berjalan sevara vertikal. Pada organisasi yang hierarkis, setiap bagian cenderung menyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawabnya tanpa melibatkan bagian-bagian lainnya. Hal itu membuat proses penyelesaian masalah dalam suatu organisasi menjadi tidak pernah optimal.

Hierarki yang panjang seringkali juga menciptakan distrosi dalam komunikasi.Perintah dan peran pimpinan kepada bawahan melalui jenjang hierarki yang panjang cenderung membuat distorsi yang besar, karena setiap jenjang hierarki cenderung melakukan reinterpretasi sesuai ndengan cognitive style dan kepentingan dari masing-masing orang dalam hierarki itu. Hal yang sama terjadi pada arus informasi dan laporan dari bawahan kepada atasan. Semakin panjang hierarki dari suatu birokrasi, semakin besar kecenderungan terjadinya distorsi dalam komunikasi.

2. Formalisasi
Prinsip formalisasi organisasi ketika diterapkan secara kaku akan sangat menghambat munculnya perubahan dan inovasi dalam kehidupan organisasi publik. Eskipun demikian prinsip formalisasi tetap diperlukan sebagai dsar bagi pengambilan keputusan seorang pejabat birokrasi dalam memberikan pelayanan agar pelayanan yang diberikan dapat cepat dan adil. Tentu sangat sulit bagi birokrasi publik untuk dapat meberikan pelayanan yang cepat dan adil tanpa adanya prosedur dan aturan yang jelas. Apabila seorang pejabat birokrasi harus menilai dan memutuskan sendiri tanpa ada prosedur dan aturan yang dapat mempermudah dan membantunya setiap menghadapi warga negara yang membutuhkan pelayanan, pelayanan birokrasi akan sangat bertele-tele dan mungkin berbeda-beda antar warga negara, kendati mereka memiliki persoalan yang sama. Akibatnya akan muncul ketidakpastian pelayanan yang sangat tinggi, sehingga merugikan tidak hanya bagi warga pengguna layanan, tetapi juga bagi pejabat birokrasi.

Tidak adanya peraturan dan prosedur yang jelas membuat warga negara pengguna layanan tidak dapat mengetahui hak dan kewajibannya untuk memperoleh pelayanan. Berapa banyak mereka harus membayar harga pelayanan? Berapa lama harus menunggu? Apa pelayanan yang akan diterima? Apa yang dapat dilakukan jika pelayanan yang diterima ternyata tidak seperti yang dijanjikan? Semua itu tidak dapat diketahui oleh warga pengguna layanan dengan pasti. Warga negara berada dalam posisi yang sangat lemah. Bagi pejabat birokrasi, tidak adanya prosedur dan aturan yang jelas juga dapat sangat merugikan karena hal itu berarti mengharuskan mereka untuk selalu mengambil keputusan pada saat melayaniwarga. Situasi itu menghadapkan mereka bukan hanya pada kondisi kejiwaan yang tidak mengunbtungkan, seperti stress dan cemas, tetapi juga menghadapkan mereka pada peluang dan resiko untuk melakukan kesalahan dalam pengambilan keputusan.

3. Spesialisasi
Prinsip spesialisasi dalam organisasi diperlukan untuk meningkatkan efisiensi, karena dengan adanya spesialisasi memungkinkan untuk dilakukannya penyederhanaan dari proses administrasi. Proses administrasi yang kompleks dapat disederhanakan menjadi serangkaian kegiatan yang sederhana dan mudah dikelola jika spesialisasi atau pembagian kerja dilakukan dengan rinci. Spesialisasi juga menjadi basis dari pengembangan keahlian dan karena itu menjadi salah satu hal yang diperlukan bagi pengembangan profesionalisme.

Meskipun spesialisasi sangat diperlukan dalam suatu organisasi, namun di sisi lain tetap berpotensi menciptakan masalah dalam kehidupan birokrasi, yaitu munculnya satuan-satuan birokrasi yang berjumlah banyak dan terkotak-kotak, sehingga membuat proses administrasi dan pelayanan publik menjadi berbelit-belit dan panjang. Prosedur yang sederhana, murah dan cepat sulit diwujudkan karena harus melibatkan banyak satuan birokrasi.

Spesialisasi juga dapat mewujudkan terjadinya fenomena individualism, yaitu orang hanya peduli terhadap tugas dan tanggung jawab sendiri, tidak peduli dengan tugas kolega atau bagian lainnya, serta mengabaikan kepentingan dan misi organisasi. Ketika pembagian kerja dilakukan secara rinci dan tugas untuk melaksanakan setiap kegiatan diserahkan kepada masing-masing aparat, maka setiap aparat akan merasa bahwa tugasnya adalah melaksanakan apa yang telah menjadi deskripsi pekerjaannya. Mereka menjadi tidak peduli dengan pekerjaan dan tanggung jawab orang lain dalam organisasinya.

4. Impersonalitas
Prinsip impersonalitas dalam organisasi mendorong agar aparat birokrasi dapat bertindak adil dan bersikap nonpartisan dalam melayani masyarakatnya juga dapat menimbulkan efek ganda. Pada satu sisi, penerapan impersonalitas hubungan antara aparat birokrasi dan warga pengguna layanan birokrasi akan membuat birokrasi menjadi lebih lugas dan bertindak obyektif. Namun di sisi yang lain, ketika penerapan prinsip tersebut menjadi berlebihan, maka aparat birokrasi dapat menjadi robot yang tidak memiliki sense of human being. Birokrasi juga akan kehilangan peluang untuk menjadi instrument pemihakan terhadap kelompok-kelompok marginal, yang tanpa bantuan birokrasi tidak dapat memperoleh kehidupan yang layak dan bermartabat.

Prinsip impersonalitas yang diajarkan oleh Weber memperlakukan pengguna layanan sebagai kasus, bukan sebagai orang dengan segala karakteristik subyektifnya. Hal itu dimaksudkan agar birokrasi menjadi nonpartisan, tidak memihak, dan memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap pengguna layanan birokrasi. Namun, penerapan prinsip tersebut dapat membuat birokrasi menjadi kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat penting dalam mengelola kegiatan birokrasi. Birokrasi pemerintah tidak boleh mengabaikan kenyataan bahwa warga memiliki akses yang berbeda-beda terhadap pelayanan birokrasi. Sebagian warga memiliki akses yang besar dan dapat dengan mudah memanfaatkan keberadaan birokrasi dan pelayanannnya, sementara sebagian warga lainnya memiliki akses yang terbatas terhadap pelayanan birokrasi. Menganggap setiap warganegara sebagai kasus yang sama dengan karakteristik, kapasitas dan akses yang sama tentu adalah sebuah kekeliruan (Dwiyanto, 2011:40).

Kondisi patologis tersebut tentu memerlukan solusi untuk keluar dari berbagai masalah yang tidak tertutup kemungkinan akan semakin menambah buruk citra birokrasi bagi masyarakat. Sebagai alternatif, lahir doktrin baru yang menggantikan Old Public Administration, yaitu New Publik Managemen (NPM) atau Reinventing Government yang didasarkan pada pengalaman Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru pada beberapa dekade terakhir (Hood,1991; Pollit, 1993; Osborne & Gaebler,1993) secara berangsur-angsur dipromosikan ke dalam manajemen pemerintahan di berbagai negara, termasuk negara sedang berkembang.

Dalam doktrin NPM atau Reinventing Government, pemerintah dianjurkan untuk meninggalkan paradigma administrasi tradisional yang cenderung mengutamakan sistem dan prosedur dan menggantikan dengan orientasi pada hasil kerja. Pemerintah juga dianjurkan untuk melepaskan diri dari birokrasi klasik dengan mendorong organisasi dan pegawai agar lebih fleksibel, dan menetapkan tujuan serta target organisasi secara lebih jelas, sehingga memungkinkan pengukuran hasil. Di samping itu, pemerintah juga diharapkan meneraokan sistem desentralisasi, member perhatian pada pasar, melibatkan sektor swasta dan melakukan privatisasi (Hood, 1995).

Osborne dan Gaebler (1993) di dalam buku Reinventing Government menekankan, harus ada upaya untuk mentransformasikan entrepreneurial spirit atau jiwa kewirausahaan, karena dalam masa di mana sumber daya publik semakin langka, pemerintah harus berumah dari bureaucratic model ke enterprunerial model. Oleh karena itu manajemen pemerintahan yang mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat berorientasi pada jiwa dan semangat kewirausahaan, maka manajemen publik baru di tubuh pemerintah dapat disebut sebagai kewirausahaan.

Dampak dari penerapan model NPM ini mulai terasa tidak saja di negara maju, akan tetapi juga di negara-negara sedang berkembang, seperti penerapan lima prinsip inti, yaitu: (1) sistem desentralisasi dengan memindahkan otoritas pengambilan keputusan yang lebih dekat pada penerima pelayanan; (2) privatisasi dengan mengalokasikan barang dan jasa publik ke sektor privatl; (3) downsizing dengan melakukan pemangkasan atau penyederhanaan jumlah dan ruang lingkup organisasi pada sturuktur pemerintahanl; (4) debirokratisasi dengan melakukan restrukturisasi organisasi pemerintah dengan menekankan hasil daripada proses; dan (5) manajerialisme dengan menerapkan gaya bisnis pada organisasi pemerintah (Vigoda, 2003:813)

Pemberlakuan doktrin desentralisasi dan NPM atau manajemen kewirausahaan ke dalam sistem pemerintahan membawa harapan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Implementasinya lebih fleksibel, lebih cepat meberi respons terhadap perubahan lingkungan, dan kebutuhan masyarakat di daerah, lebih melibatkan partisipasi aktif para pihak dalam pengambilan keputusan daripada menunggu keputusan pemerintah pusat. Juga lebih inovatif dengan member peluang dengan melibatkan masyarakat di daerah dalam pengambilan keputusan dengan alternative solusi yang lebih banyak, menghasilkan semangat kerja, dan komitmen yang lebih tinggi, serta lebih produktif (Osborne & Gaebler, 1993; Pollit, Birchall dan Putman, 1998).

Sebagai unsur penting dari prinsip NPM atau manajemen kewirausahaan, sistem desentralisasi ini telah diakui memiliki sisi positif secara ekonomis dan sosial politik. Secara ekonomis, sistem ini dapat memperbaiki tingkat efisiensi, mengurangi biaya, memperbaiki output, dan lebih efektif memanfaatkan sumber daya manusia. Secara sosial politik dapat memperkuat akubtabilitas, keterampilan berpolitik, dan integrasi nasional, membawa pemerintah dekat dengan rakyat, dan mendorong kebebasan kesetaraan serta kesejahteraan (Smith, 1985:3-7)

Selain itu, sistem ini juga diakui mampu mengatasi kekurangan sentralisasi dalanm perencanaan pembangunan nasional, menghilangkan red-tape, dan prosedur yang berbelit-belit, mendorong pengetahuan dan sensitivitas terhadap masalah local, membawa tingkat penetrasi yang lebih baik, menjamin keterwakilan, kemampuan administratif pemerintahan, koordoinasi dan partisipasi masyarakat local (Rondinelli & Cheema, 1983

Reformasi terus bergulir dengan munculnya doktrin yang lebih baru, yaitu New Public Service (Denhardt & Denhardt, 2003). Aliran The New Publik Service memberikan definisi yang lain terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik adalah hasil dari sebuah dialog tentang nilai-nilai bersama yang diagregasikan dari kepentingan individual. Oleh karena itu, pelayan publik tidak hanya selalu merespon permintaan “pelanggan”, tetapi lebih berfokus pada membangun hubungan baik dengan kepercayaan dan kolaborasi dengan dan atar warganegara. Pelayanan publik merupakan hubungan antara lembaga publik secara keseluruhan dengan citizen secara keseluruhan (Nurmandi, 2010:21).

Penerapan prinsip New Public Management dan New Public Service dalam sektor pemerintahan di Indonesia tidak semudah dengan yang dibayangkan seperti keberhasilan di beberapa negara. Hal ini senada dengan nada pesimis yang diungkapkan oleh Golembiewski (2003: 140-152), bahwa ada empat hal yang dapat menggagalkan penerapan NPM, yaitu:
  1. tidak memiliki model penerapan atau road map yang jelas;
  2. tidak mempertimbangkan kekhasan lingkungan atau milieu-specificity dimana NPM hendak diterapkan
  3. tidak melakukan cultural preparedness atau kesiapan budaya bagi institusi dan pegawainya, dan
  4. cenderung dihambat dan diganggu oleh birokrasi itu sendiri.
Meskipun demikian, prinsip-prinsip New Public Management dan New Public Service memiliki banyak nilai-nilai positif yang dapat diadopsi untuk diterapkan pada sektor pemerintahan dengan melakukan adaptasi atau penyesuaian dengan lingkungan dan kondisi masyarakat.

Berdasarkan berbagai model birokrasi pelayanan yang telah diuraikan di atas, maka ada beberapa faktor yang dianggap berpeluang memicu terjadinya patologi birokrasi, yaitu: Struktur birokrasi, Sumber daya manusia, Kepemimpinan, Etika birokrasi dan Lingkungan. Melalui kelima komponen ini akan dijadikan sebagai dasar untuk membangun sebuah model birokrasi pelayanan dengan mengadopsi berbagai unsur dalam New Public Management dan New Public Service yang dianggap positif dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dengan demikian model temuan diharapkan dapat meminimalisir patologi birokrasi, terutama terhadap birokrasi pelayanan publik.

J. Penelitian Terdahulu
Gambaran mengenai hubungan birokrasi dan masyarakat akan lebih jelas melalui penelusuran berbagai agenda penelitian yang telah dilakukan oleh para ilmuan terdahulu. Khusus penelitian tentang birokrasi dalam konteks Indonesia telah dilakukan oleh para peneliti, antara lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Karl D. Jackson (1988) tentang Bureaucratic Polity a Theoritical Framework for the analicys of Power and Communication in Indonesia”. Hasil penelitiannya menunjukkan adanya dominasi birokrasi atas proses politik, dan keterasingan kekuatan sosial politik di luar birokrasi dari proses pembuatan pelaksanaan keputusan nasional. Hal ini dapat dijadikan sebagai salah satu indikator yang membuktikan belum menguatnya civil society di Indonesia. Begitu besarnya peran pemerintah atau birokrasi untuk mengontrol hak dan kebebasan politik warga negara, sehingga diciptakan suatu aturan main, baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, maupun berbagai bentuk pengaturan yang lainnya.

Penelitian lain dilakukan oleh Harold Crouch tentang “Patrimonialism and Military Rule in Indonesia”. Crouch (dalam World Politics, 1989) melihat bahwa birokrasi Indonesia masih cenderung bercorak patrimonial, di mana kekuasaan diperoleh dan dipertahankan dengan cara menukar loyalitas dan dukungan dengan jabatan dan kepentingan materiil. Pola hubungan antara penguasa (patron) dengan yang dikuasai (client) mencerminkan hubungan saling menguntungkan, di mana client memberikan dukungan berupa kepatuhan dan kesetiaan terhadap patron, sedangkan patron memberikan perlindungan dan rasa aman terhadap client.

Mencermati hasil-hasil penelitian tersebut, pada dasarnya bernada pesimistik dalam melihat sistem birokrasi di Indonesia. Hal ini dapat diinterpretasi bahwa mereka cenderung memandang kekuasaan birokrasi yang terlalu besar dan menghambat proses demokratisasi yang sedang dilaksanakan. Kedua penelitian tersebut memang terkesan klasik, namun dalam konteks analisis tetap diperlukan untuk memberikan gambaran bagaimana corak birokrasi di Indonesia dalam kurun waktu dua dekade yang lalu.

Buruknya kondisi birokrasi Indonesia juga terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hongkong. Lembaga ini meneliti pendapat para eksekutif bisnis asing (expatriats), hasilnya birokrasi Indonesia dinilai termasuk terburuk dan belum mengalami perbaikan berarti dibandingkan keadaan di tahun 1999, meskipun lebih baik dibanding dengan keadaan China, Vietnam dan India. Pada tahun 2000, Indonesia memperoleh skor 8,0 atau tak bergerak dari skor 1999, dari kisaran skor yang dimungkinkan, yakni nol untuk terbaik dan 10 untuk terburuk. Skor yang jauh dibawah rata-rata ini diperoleh berdasarkan pengalaman dan persepsi expatriats yang menjadi responden bahwa antara lain menurut mereka masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memanfaatkan posisi mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat (Soebhan, 2000).

Penelitian lain yang berkaitan dengan efektifitas birokrasi adalah yang dilakukan oleh Bank Dunia dan UGM tentang kinerja pelayanan publik dengan menggunakan sejumlah variabel, yaitu keadilan (equity), responsivitas, efisiensi pelayanan, suap dan rente birokrasi (Dwiyanto, dkk, 2003). Hasil Good Governance Survey 2002 yang dilakukan oleh UGM tersebut dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi pelayanan publik di Indonesia. Hasil penelitian ini berkesimpulan bahwa pelayanan publik di Indonesia masih sarat dengan kepentingan birokrasi. Birokrasi kita masih cenderung dilayani daripada melayani. Birokrasi dalam segala urusan belum bisa mengedepankan kepentingan umum daripada kepenitngan diri dan kelompoknya.

Penelitian lain tentang birokrasi, yaitu; Budaya Patron-klien terhadap perilaku birokrasi di daerah dilakukan oleh Kausar A.S (2006) menunjukkan bahwa budaya patron-klien sangat mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintah daerah, utamanya memperlemah kinerja birokrasi dengan perilaku birokrasi yang menyimpang.

Penelitian yang senada dengan itu dilakukan oleh Priyo Budi Santoso (1993) dan Masson C. Headly (2006) memiliki kesimpulan yang sama bahwa penyelenggaraan birokrasi di Indonesia sejak zaman kerajaan, sampai zaman pemerintahah Orde Lama dan Orde Baru dan ditambahkan oleh Masson, sampai era reformasi belum menunjukkan perubahan, yaitu “corak birokrasi yang feodalistik”. Artinya para aparatur birokrasi masih memandang bahwa melaksanakan tugas dan jabatan yang dipangkunya merupakan sumber kekuasaan, jadi cara pandangnya masih sebagai “penguasa”. Sedang dalam konsep negara modern, Administrasi Negara sebagai badan eksekutif yang merupakan pelaksana kebijakan secara jelas diartikan “public servent”, artinya bahwa para aparatur birokrasi sesungguhnya sebagai “pelayan masyarakat”.Demikian pula dalam konsep negara demokrasi, pejabat publik adalah dipilih oleh rakyat. Oleh karena itu kedudukan sebagai pejabat publik adalah melaksanakan atas nama rakyat. Dengan demikian perbedaan paradigma para aparatur birokrasi antara sebagai “penguasa” dengan sebagai “pelayan”, dalam praktek penyelenggaraan birokrasi memiliki implikasi yang berbeda. Jika sebagai penguasa, karena dirinya merasa memiliki kedudukan, bukan memberikan pelayanan yang terbaik, tetapi justru meminta dilayani. Dan terhadap bawahan bukan sebagai team work atau rekan kerja, tapi cenderung dianggap sebagai pembantunya yang harus siap meleyani keinginan pimpinan, bahkan terkadang bukan melaksanakan tugas kedinasan. Sedangkan jika aparatur sebagai “pelayan masyarakat”, maka akan memberikan pelayanan yang terbaik. Kedua macam paradigma yang saling bertolak belakang tersebut memang dilatarbelakangi oleh kondisi sosial dan budaya yang berbeda. Secara konseptual sikap dan perilaku sebagai “penguasa” menunjukkan latar belakang budaya “paternalistik”, sedangkan sebagai “pelayan masyarakat” menunjukkan latar belakang budaya yang “egaliter” (Istianto, 2011:75).

Salah satu penelitian yang berkaitan dengan patologi birokrasi dilakukan oleh Monsod (2008) terhadap birokrasi pemerintah di Philipina. Birokrasi yang diteliti adalah depertemen pemerintah dan hubungannnya dengan pimpinan politik tertinggi, yakni presiden dan kongres. Fokus penelitian ini adalah fitur bureau-pathology. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa birokrasi pemerintah Philipina memiliki tiga fitur bureau-pathology. Pertama tidak ada kejelasan kontrol atas jabatan: mana yang tunduk pada kewenangan prerogatif presiden, penunjukan politis dari kongres, dan sistem karir. Kedua, struktur insentif moneter dan non-moneter tidak berbasis kontribusi. Ketiga, kurangnya transparansi dalam peran dan kewenangan penasehat presiden, tidak ada kerangka acuan kerja yang jelas, dan tidak ada kerangka akuntabilitas terhadap entitas lain di luar kepresidenan.

Penelitian yang masih berkaitan dengan patologi birokrasi pelayanan publik, yaitu Studi Etika Pelayanan Publik (I Wayan Sudana, dkk, 2009) yang dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Denpasar. Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan, yaitu: (1) Etika birokrasi dalam pelayanan publik masih jauh dari harapan pada umumnya. Oleh karena itu timbul ketidakpuasan masyarakat sebagai pengguna jasa yang nampak pada keluhan yang disampaikan dalam hal pelayanan KTP. (2) Berdasarkan indikator penelitian, etika birokrasi dalam pelayanan publik masih sangat jauh dari yang diharapkan. Fenomena pemberian pelayanan ini terlihat seperti tindakan aparat yang lebih mengharapkan balas jasa, adanya penyalahgunaan wewenang, menghindar dari tanggung jawab, pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan, dan munculnya diskriminasi dalam pelayanan.

Di dalam penyelenggaraan pelayanan publik terdapat dua pihak yang berhadapan dan saling berbeda kepentingan. Pihak aparat birokrasi sebagai pemberi layanan yang berhadapan dengan masyarakat sebagai pengguna jasa layanan, antara keduanya acapkali terjadi perbedaan kepentingan yang mencolok. Aparat birokrasi pada dasarnya adalah seorang abdi, bukannya seoranmg tuan. Persoalannya adalah, persepsi tersebut tidak ditanamkan dalam lingkungan birokrasi. Akibatnya, muncul sikap arogansi birokrasi, seperti merasa sebagai pihak yang paling dibutuhkan oleh orang banyak, atau bersikap seenaknya kepada masyarakat. Sikap yang ditunjukkan oleh sebagian besar aparat birokrasi tersebut membuat masyarakat merasa tidak memperoleh pelayanan seperti yang diharapkan, bahkan masyarakat seringkali merasa disepelekan oleh aparat birokrasi.

Perbedaan sikap pelayanan secara normatif dengan sikap pelayanan secara faktual yang dilakukan oleh aparat birokrasi terungkap dari banyaknya keluhan yang dirasakan oleh masyarakat pengguna jasa pada saat menerima pelayanan. Pengamatan di lapangan menunjukkan adanya kecenderungan diskriminasi yang sangat mencolok dalam memberikan pelayanan. Realitas pelayanan menunjukkan bahwa aparat birokrasi dalam kenyataannya melakukan perbedaan pelayanan terhadap masyarakat pengguna jasa.

Berdasarkan observasi pada instansi pelayanan pertanahan di kantor BPN (Dwiyanto, dkk, 2008:193), terlihat bahwa aparat sangat membedakan dalam memberikan sapaan kepada masyarakat pengguna jasa. Aparat akan terlihat lebih ramah kepada masyarakat pengguna jasa yang telah dikenal sebelumnya atau karena status sosial ekonomi pengguna jasa yang menunjukkan sebagai orang kaya, sedangkan masyarakat pengguna jasa yang berasal dari desa dengan penampilan sederhana, biasanya akan mendapat perlakuan yang tidak sebaik kelompopk masyarakat pengguna jasa yang pertama. Stigma pelayanan yang sudah dimaklumi oleh publik tersebut menjadikan masyarakat pengguna jasa seakan saling berlomba untuk dapat memperoleh hak istimewa dari aparat birokrasi. Berdasarkan hasil observasi ini, sekitar 30 persen masyarakat pengguna jasa di Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan pernah mengalami diskriminasi pelayanan yang dilakukan oleh aparat birokrasi.

Dibandingkan dengan jenis pelayanan lain, seperti; pelayanan kependudukan (KTP), pelayanan untuk memperoleh SIM, maka pelayanan administrasi pertanahan lebih kompleks dan rumit. Berdasarkan data GDS 2006 (Dwiyanto, 2011: 89) menunjukkan persentase warga yang menggunakan perantara pada saat mengurus pelayanan untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Sertifikat Tanah, ternyata jenis pelayanan yang disebutkan terakhir memperlihatkan prosentase yang lebih tinggi, yaitu di Jawa mencapai 57, 50% dan 66,50% untuk luar Jawa.

Berkaitan dengan kualitas pelayanan publik, suatu hasil penelitian yang dilakukan Business Digest, sebagai salah satu lembaga survey ekonomi independen yang dilansir majalah ekonomi SWA Sembada edisi Juni 2007 (Majid, 2009:105-7), Makassar menepati rangking ke-25 dari 50 kota di Indonesia sdalah hal kekayaan atau sumber daya. Artinya, lembaga ini melihat Makassar memiliki potensi yang besar untuk terus berkembang secara cepat dan memiliki pertumbuhan eknomi yang tinggi. Tetapi Makassar hanya menempati rangking 21 dari 25 kota yang disurvei sebagai daerah yang menarik untuk investasi. Hal ini ternyata disebabkan oleh masalah kualitas pelayanan publik.

Makassar, berada pada posisi juru kunci atau ranking terendah dari 16 kota lainnya di Indonesia dalam hal City Public Service (CPS) Index. Terdapat 15 titik layanan yang diukur dalam survey ini, yaitu telepon, air bersih, listrik, KTP, SIP/STNK, perizinan usaha, IMB/HGB, pajak, keamanan, transfortasi umum, kesehatan, pendidikan, penerangan jalan, kebersihan kota, dan prasarana jalan raya. Dari 15 titik layanan, hampir seluruh responden memberikan nilai kurang baik atau bahkan buruk. Angka yang diperoleh Makassar semuanya rendah. Posisi tertinggi diraih oleh Kota Gorontalo dan Jakarta. Makassar bahkan jauh berada di bawah Medan, Balikpapan, Manado dan Palembang.

Salah satu titik layanan publik dalam lingkup Kota Makassar yang juga tergolong krusial, yaitu pelayanan administrasi pertanahan. Fenomena menarik yang menjastifikasi adanya masalah layanan publik adalah adanya kecenderungan mayarakat yang membutuhkan layanan lebih memilih menggunakan perantara ketimbang mengurus secara langsung ke tempat pelayanan sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan data GDS 2006, seperti yang telah disebutkan di atas menunjukkan prosentase yang melampaui 50 % penggunaan perantara dalam pemberian layanan, yaitu masing-masing 57, 50% dan 66,50% untuk wilayah Pulau Jawa dan Wilayah di Luar Pulau Jawa.

Bedasarkan fakta tersebut di atas, maka fenomena ini menarik untuk dikembangkan, dimana kecenderungan penggunaan perantara dalam pemberian layanan adminsitrasi pertanahan memberikan isyarat adanya masalah dalam pelayanan tersebut. Berkaitan dengan ini berbagai pertanyaan bakal muncul, misalnya siapa yang menjadi perantara?, apakah penggunaan perantara akan mempercepat proses layanan?, Apakah penggunaan perantara tidak merusak mekanisme tatanan administrasi penyedia layanan?, dan bagaimanan nasib masyarakat yang tidak mampu menggunakan perantara?, serta masih banyak pertanyaan yang akan dikembangkan dalam penelitian ini berdasarkan fenomena tersebut.

Penggunaan perantara dalam berbagai jenis pelayanan tersebut berpeluang munculnya patologi birokrasi, meskipun dari satu sisi pihak pengguna layanan dengan dan pemberi layanan memperoleh keuntungan secara timbal balik, namun disisi lain akan merugikan pengguna jasa yang lain yang tidak menggunakan perantara. Fenomena ini membuktikan bahwa dari berbagai jenis layanan publik, maka pelayanan administrasi pertanahan tetap menarik untuk diteliti.

K. Kerangka Pikir
Kerangka pikir ini dikembangkan berdasarkan berbagai macam pemikiran yang bersifat dialogis dimana diskusi tentang penerapan birokrasi Weberian dalam organisasi publik mengalami pro dan kontra. Perdebatan teoritik yang penting untuk diketengahkan sebagai landasan kerangka pikir ini antara lain kritik yang disampaikan Warren Bennis (Robbins, 1994: 349), bahwa struktur birokratik terlalu mekanis bagi kebutuhan organisasi modern. Menurut Bennis, birokrasi merupakan penemuan sosial yang sangat elegan, suatu bentuk kemampuan yang luar biasa untuk mengorganisasikan, mengkoordinasikan proses-proses kegiatan yang produktif pada masa revolusi Industri. Birokrasi dikembangkan untuk menjawab berbagai persoalan yang hangat pada waktu itu, misalnya persoalan pengurangan peran-peran personal, persoalan subyektivitas yang berlebihan, dan tidak dihargainya hubungan kerja kemanusiaan. Bennis menegaskan bahwa kita sangat membutuhkan birokrasi yang berorientasi kemanusiaan, tidak secara konseptual semata tapi merambah pada tataran praktis di lapangan. Hal ini menjadi pekerjaan sangat penting untuk mendekatkan birokrasi pada manusia, bukan lagi pada mesin. Sebuah teori akan diuji menurut kelayakan historis dan kebutuhan pada sebuah masa. Birokrasi yang humanis masih menjadi pekerjaan rumah yang harus serius digarap oleh para pemerhati masalah-masalah administrasi negara dan kebijakan publik.

Nada pesimistik Bennis dibantah oleh Robert Miewald (Robbins, 1994: 349-352) dengan menegaskan bahwa Weber tidak pernah mengatakan bahwa karakteristik-karakteristik birokrasi akan berlaku untuk selama-lamanya. Sasaran utama dari Weber adalah menciptakan sebuah bentuk rasional dan efisien. Bentuk tersebut adalah birokrasi. Bentuk apapun yang diperlukan untuk mempertahankan rasionalitas seperti efisiensi akan menghasilkan birokrasi. Perkembangan birokrasi professional adalah contoh yang sempurna mengenai karakteristik birokrasi yang dimodifikasi.

Perdebatan teoritik tersebut di atas menjadi dasar inspirasi yang melahirkan suatu pemikiran bahwa dalam konteks kekinian birokrasi Weberian dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya memerlukan nuansa baru untuk menjawab tantangan masyarakat organisasional yang selalu berubah dan berkembang. Nuansa baru tersebut secara sederhana dapat difahami melalui pergeseran paradigma dari Old Public Administration ke New Public Management dan New Public Service.

Adaptasi terhadap prinsip-prinsip baru tersebut bukanlah merupakan hal yang mudah, karena bersentuhan dengan berbagai aspek-aspek organisasional yang lainnya, seperti: struktur birokrasi, sumber daya manusia, penerapan teknologi, dan lingkungan budaya masyarakat yang bersifat paternalistik. Berbagai aspek ini saling berinteraksi secara sistemik yang jika dikelola dengan baik akan melahirkan sistem birokrasi yang sesuai dengan tuntutan masyarakatnya. Demikian juga sebaliknya, jika interaksi antara berbagai aspek tersebut tidak sinerjik, maka akan berpeluang melahirkan berbagai patologi birokrasi.

Dalam konteks Indonesia, fenomena patologi birokrasi terjadi sebagai hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel lingkungan yang salah. Struktur birokrasi yang hierarkis berinteraksi dengan budaya masyarakat yang paternalistis, sistem politik yang tidak demokratis dan ketidakberdayaan kelompok masyarakat madani cenderung melahirkan perilaku birokrasi paternalistis yang merugikan kepentingan publik. Dengan kata lain bahwa patologi birokrasi bukan hanya disebabkan oleh struktur birokrasi yang salah dan tidak tepat, seperti hierarchi yang berlebihan, prosedur yang rigid, fragmentaasi birokrasi yang terlalu banyak, dan masalah struktur lainnya. Selain masalah struktural, penyakit birokrasi disebabkan juga oleh interaksi berbagai variabel yang saling berkaitan antara satu sama lainnya, baik yang terdapat dalam struktur birokrasi, budaya birokrasi, maupun variabel-variabel lain yang terdapat dalam lingkungan. Termasuk di dalam variabel lingkungan itu adalah budaya masyarakat, sistem politik yang kurang demokratis, dan kelompok masyarakat madani yang tidak mampu menjalankan fungsi kontrol (Dwiyanto, 2011:64).

Kast dan Rosenzweig (1981) mengemukan bahwa struktur internal setiap “sistem organisasi” terdiri dari beberapa sub sistem: goal values (bersumnber dari lingkungan sosial budaya yang luas), technical termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas), psychosocial (terdiri dari individu dan kelompok individu dengan berbagai sikap, aspirasi, motivasi, status, interaksi, dan sebagainya), structural (terdiri dari pembagian pekerjaan dan koordinasi, dengan pola kewenangan dan sistem komunikasi tertentu), dan managerial (berperan untuk melakukan kepemimpinan dalam organisasi serta dalam interaksi dengan lingkungannya (Sedarmayanti, 2010:11)

Upaya mengatasi patologi birokrasi sesungguhnya sejak lama telah dilakukan oleh pemerintah melalui reformasi birokrasi dalam berbagai bentuk. Beberapa diantaranya dapat disebutkan, seperti pelayanan yang berbelit-belit (red tape), misalnya telah diatasi dengan cara memperpendek mekanisme dan prosedur pelayanan di beberapa jajaran birokrasi. Sebagai contoh pelayanan Kartu Tanda Penduduk yang semula sampai pada tingkat kabupaten, telah diperpendek hanya sampai pada tingkat kecamatan, sehingga dengan demikian telah memangkas jalur dan waktu pelayanan. Demikian juga halnya dengan reformasi di bidang pelayanan perizinan, seperti IMB yang sekarang dilakukan dengan sistem satu pintu, juga dapat diartikan sebagai pemangkasan mata rantai birokrasi yang terlalu panjang. Sementara pelayanan publik dalam bidang administrasi pertanahan sampai saat ini masih menimbulkan berbagai masalah, seperti kelambanan dalam proses penerbitan sertifikat tanah, munculnya perantara (calo) dalam proses pelayanan yang berpeluang menimbulkan masalah-masalah patologis, misalnya; munculnya biaya-biaya tambahan dalam proses pelayanan, terjadinya perbedaan-perbedaan perlakuan terhadap masyarakat dalam menerima layanan yang bertentangan dengan prinsip impersonalitas, bahkan persoalan fatal yang kerapkali muncul yaitu terbitnya sertifikat ganda, serta masalah-masalah krusial lainnya yang banyak menimbulkan keluhan masyarakat penerima layanan.

Sistem pelayanan administrasi pertanahan pada Kantor Pertanahan Kota Makassar menggunakan sistem loket. Adapun secara rinci loket-loket yang dimaksud, yaitu:

1. Loket 1 : Informasi Pelayanan
Setiap permohonan yang dating ke loket informasi dapat menerima penjelasan mengenai jenis pelayanan yang diinginkan pemohon oleh petugas loket. Setelah menerima penjelasan dari loket 1 untuk kelengkapan berkas pengurusan sertipikat dalam pelayanan pendaftaran tanah hak milik. Maka pemohon dianjurkan ke koperasi untuk mengambil blanko pengukuran dan permohonan hak yang alkan diisi pemohon sesuai dengan pelayanan yang diinginkan.

2. Loket 2 : Penerimaan Berkas Permohonan
Berkas pemohon telah diisi dengan benar maka pemohon menyetorkan berkas permohonan pengukuran ke loket 2a dengan disertai tanda terima berkas dari aparat petugas loket dan membayar administrasi ke loket 3. Pemohon menyerahkan berkas melalui loket ini, yang terlebih dahulu diteliti oleh petugas mengenai kelengkapan persyaratan. Adapun loket penyerahan berkas permohonan terbagi dalam beberapa loket pelayanan menurut jenis pelayanan pertanahan yang diberikan, antara lain :
  • Loket 2a. Loket Pengukuran, Kutipan SU, Pengembalian Batas.
  • Loket 2b. Loket Pelayanan Konversi/Pengakuan, Pemberian Hak, Peningkatan Hak.
  • Loket 2c. Pendaftaran SK, Pemecahan/Pemisahan, Penggabungan, Penggantian Sertipikat.
  • Loket 2d. Loket Pngecekan Sertipikat.
  • Loket 2e. Peralihan Hak, Pemasangan Hak Tanggungan, Tukar Menukar, Ganti Nama.
3. Loket 3 : Penerimaan Biaya
Pembayaran dilaksanakan melalui loket ini pada Bendaharawan Khusus Penerima (BKP) dan kepada pemohon diberikan tanda bukti pembayaran berupa kwitansi.

4. Loket 4 : Pengambilan Produk
Segala produk pelayanan pertanahan dapat diambil pada loket ini. Adapun jenis produk pelayanan meliputi :
  • Seripikat tanah
  • Surat Keputusan Pemberian Hak atas Tanah
  • Surat keputusan Ijin Perubahan Penggunaan Tanah
Proses pelayanan melalui loket-loket tersebut melibatkan interaksi secara internal antar unit kerja dan secara eksternal dengan masyarakat penerima layanan. Proses inilah acapkali melahirkan berbagai bentuk patologi birokrasi. Atas dasar itu, maka berbagai aspek yang mengkonstruksi proses tersebut akan dijadikan sebagai kerangka nalisis. Adapun aspek-aspek yang dimaksud meliputi; struktur birokrasi pelayanan, sumber daya manusia, penerapan teknologi dalam pelayanan, dan lingkungan budaya. Adapun skema kerangka pikir.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan proses berfikir yang bersifat deduktif, yaitu suatu penelitian yang didekati dari segi konsep dan teori yang berkaitan dengan patologi birokrasi dalam pelayanan publik yang selama ini telah banyak disoroti, dan dikaji, serta dikembangkan oleh berbagai kalangan. Berbagai konsep dan teori yang relevan tersebut kemudian dilakukan modifikasi dan reduksi sehingga melahirkan fokus penelitian dan kerangka konseptual. Sedangkan pendekatan berdasarkan paradigma penelitian yang digunakan adalah paradigma kualitatif, karena data yang digunakan adalah data kualitatif yang diperoleh melalui metode dan analisis data kualitatif. Bogdan dan Taylor menyebutnya sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 1994:3). Meskipun demikian data kuantitatif tetap diperlukan sebagai data pendukung untuk kelengkapan analisis data penelitian.

Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Menurut Yin (1996:1) studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki dan bilamana fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata. Berkaitan dengan fenomena yang akan diteliti, yaitu “Patologi Birokrasi Dalam Pelayanan Publik: Studi Pelayanan Administrasi Pertanahan di Kota Makassar”, maka strategi penelitian studi kasus dianggap cocok untuk digunakan.

Menurut Denzin dan Loncoln (2009: 300-1) Strategi penelitian studi kasus memiliki 3 (tiga) jenis kajian (study), yaitu: studi kasus intrinsik (intrinsic case study), studi kasus instrumental (instrumental case study), dan studi kasus kolektif (collective case study). Jenis yang pertama ditempuh oleh peneliti yang ingin memahami sebuah kasus tertentu. Jenis ini ditempuh bukan karena suatu kasus mewakili kasus-kasus lain atau karena menggambarkan sifat atau problem tertentu, namun karena dalam seluruh aspek kekhususan dan kesederhanaannya, kasus itu sendiri menarik minat. Tujuannya bukan untuk memahami fenomena umum tertentu dan bukan untuk merumuskan suuatu teori, melainkan tujuannya adalah karena minat intrinsik. Jenis kedua digunakan untuk meneliti suatu kasus tertentu agar tersaji sebuah perspektif tentang isu atau perbaikan suatu teori. Dalam hal ini kasus tidak menjadi minat utama, kasus memainkan peranan supportif, yang memudahkan pemahaman kita tentang sesuatu yang lain. Pemilihan sebuah kasus lebih disebabkan karena hasrat kita untuk meningkatkan pemahaman tentang minat-minat yang lain tersebut. Jika seorang peneliti merasa kurang tertarik mengkaji satu kasus tertentu, maka dapat meneliti sejumlah kasus secara bersamaan yang disebut dengan studi kasus kollektif (collective case studi). Studi kasus kolektif pada intinya sama dengan istilah yang digunakan oleh Herriot dan Firestone (1983) sebagai “penelitian kualitatif dengan banyak lokasi (multisite qualitative research”.

Penelitian ini memilih jenis kedua yaitu studi kasus instrumental, karena penelitian ini dimaksudkan untuk menuntun peneliti dalam menggambarkan bagaimana perhatian peneliti dan teoretisi tercermin dalam suatu kasus. Dalam studi kasus instrumental, tidak menentukan terlebih dahulu kasusnya, melainkan mencari kasus yang sesuai untuk dipilih. Penelitian ini berkenaan dengan patologi birokrasi dalam pelayanan publik dengan memfokuskan diri pada aktivitas birokrasi dalam pelayanan administrasi pertanahan. Dalam proses ini akan terlihat interaksi antara aparatur birokrasi dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan, serta bagaimana keterkaitannya dengan struktur birokrasi, manajemen sumber daya manusia, penerapan teknplogi, dan pengaruh lingkungan terutama budaya masyarakat yang bersifat paternalistic.

B. Pengelolaan Peran Peneliti
Peran peneliti dalam penelitian kualitatif sangat penting, karena peneliti itu sendiri merupakan instrumen, bahkan instrumen utama, di samping instrumen-instrumen yang lainnya sebagai instrumen pendukung peneliti. Urgensi peran peneliti nampak dalam proses penelitian mulai dari awal sampai akhir penelitian yang meliputi: menentukan informan, wawancara dengan informan, meneliti dokumentasi, membuat rekaman arsip, membuat reduksi data, menyajikan data, menganalisis data, menguji validitas data, dan menginterpretasi hasil penelitian.

Bagian lain yang tidak terpisahkan dengan proses penelitian adalah observasi, dimana peran peneliti dituntut untuk melakukan pengamatan terhadap aktivitas yang terjadi dalam birokrasi, seperti hubungan-hubungan antara staf dengan staf, antara pimpinan dengan staf, dan berbagai hal yang berkaitan dengan perilaku aparat dalam melaksanakan tugasnya, seperti pemberian pelayanan kepada masyarakat. Keseluruhan aktivitas tersebut akan diamati dan dianalisis Dalam observasi, peneliti akan melakukan pengamatan langsung terhadap aktivitas pelayanan yang berkaitan dengan administrasi pertanahan, baik pada kantor pertanahan maupun terhadap instansi pemerintah yang terkait, seperti pemerintah kelurahan dan pemerintah kecamatan sebagai bagian yang integral dengan proses administrasi pertanahan.

C. Lokasi Penelitian 
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar sebagai Ibukota Propvinsi Sulawesi Selatan. Pertimbangan pemilihan Kota Makassar sebagai lokasi penelitian didasarkan pada beberapa aspek; Pertama, Kota Makassar sebagai Ibukota Propinsi tentunya meiliki volume aktivitas pemerintahan yang sangat tinggi, dengan akses teknologi informasi yang lebih mudah dan tersedia, sehingga dapat mendukung penyelenggaraan pemerintahan, khususnya dalam pelayanan publik. Kedua, Kota Makassar lebih memiliki heterogenitas, terutama heterogenitas budaya, sehingga tercipta hubungan-hubungan yang dapat meminimalisir pengaruh-pengaruh primordialisme yang mungkin akan berpengaruh terhadap analisis.

Di samping itu, berdasarkan hasil survey seperti yang telah dikemukakan terdahulu, bahwa Makassar menempati rangking ke-25 dari 50 kota di Indonesia dalam hal kekayaan atau sumber daya. Artinya, lembaga ini melihat Makassar memiliki potensi yang besar untuk terus berkembang secara cepat dan memiliki pertumbuhan eknomi yang tinggi. Tetapi Makassar hanya menempati rangking 21 dari 25 kota yang disurvei sebagai daerah yang menarik untuk investasi. Hal ini ternyata disebabkan oleh masalah kualitas pelayanan publik, dimana kota Makassar berada pada posisi juru kunci atau ranking terendah dari 16 kota lainnya di Indonesia dalam hal City Public Service (CPS) Index. Terdapat 15 titik layanan yang diukur dalam survey ini, yaitu telepon, air bersih, listrik, KTP, SIP/STNK, perizinan usaha, IMB/HGB/, pajak, keamanan, transfortasi umum, kesehatan, pendidikan, penerangan jalan, kebersihan kota, dan prasarana jalan raya. Dari 15 titik layanan, hampir seluruh responden memberikan nilai kurang baik atau bahkan buruk. Angka yang diperoleh Makassar semuanya rendah. Posisi tertinggi diraih oleh Kota Gorontalo dan Jakarta. Makassar bahkan jauh berada di bawah Medan, Balikpapan, Manado dan Palembang.

D. Fokus Penelitian
Studi tentang birokrasi publik telah banyak dilakukan, kritik terhadap birokrasi publik telah banyak dilontarkan, dan bahkan reformasi terhadap birokrasi publik pun telah menjadi agenda pemerintah di sepanjang masa. Namun demikian birokrasi publik di Indonesia nampaknya banyak menimbulkan masalah, terutama dalam kaitannnya dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Berbagai permasalahan yang muncul dalam birokrasi pelayanan publik tersebut dalam penelitian ini dikatagorikan sebagai patologi birokrasi.

Salah satu jenis pelayanan publik yang menjadi obyek penelitian adalah pelayanan administrasi pertanahan, yakni proses penerbitan serttifikat atas tanah. Peyelenggaraan pelayanan publik ini banyak mendapat sorotan dari berbagai kalangan dikarenakan adanya berbagai masalah yang muncul dalam pelaksanaannya, seperti kelambanan dalam pelayanan, kelaziman penggunaan perantara dalam mengakses layanan, munculnya biaya-biaya tambahan dalam pelayanan, dan perilaku aparat birokrasi lainnya yang bertentangan dengan norma-norma etika, bahkan yang sangat fatal adalah kerapkali muncul sertifikat ganda sebagai produk layanan, sehingga banyak menimbulkan masalah di dalam masyarakat.

Persoalan-persoalan patologis tersebut akan dikaji berdasarkan berbagai aspek yang dianggap berpeluang menjadi pemicu terjadinya patologi birokrasi. Adapun faktor-faktor tersebut, yaitu: (1) Struktur birokrasi; (2) Sumber Daya Manusia; (3) Penggunaan Teknologi Imformasi dan (4) Lingkungan budaya.

E. Sumber Data
Penelitian lapangan yang dilakukan di wilayah Kota Makassar diarahkan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan patologi birokrasi dalam pelayanan publik, yaitu pelayanan adminsitrasi pertanahan di kota Makassar. Sumber data dalam penelitian ini adalah: (1) Informan yang dipilih secara sengaja dalam rangka melakukan wawancara, yaitu: Kepala Kantor Pertanahan Kota Makassar, Para Kepala Seksi dalam Lingkup Kantor Pertanahan Kota Makassar Camat, Lurah, dan aparat birokrasi yang berkaitan dengan lokasi kasus yang akan didalami dalam lingkup Kota Makassar, serta tokoh masyarakat dan masyarakat pengguna layanan (2) Tempat dan peristiwa merupakan sumber data tambahan yang dilakukan dengan mengamati secara langsung aktivitas-aktivitas aparat birokrasi dalam menjalankan tugasnya yang meliputi berbagai pola hubungan, yaitu: hubungan antara pimpinan dan staf, antara staf dengan staf dan antara pimpinan/staf dengan masyarakat. (3) Dokumen sebagai sumber data lain yang melengkapi data utama, yaitu berupa: peraturan perundang-undangan yang terkait, data kepegawaian, dan berbagai data lain yang dapat dijadikan sebagai bahan analisis.

Menurut Yin, dalam studi kasus terdapat enam sumber bukti yang dapat dijadikan sebagai fokus bagi pengumpulan data yaitu dokumen, rekaman arsip, wawancara, observasi langsung, observasi peran serta, dan perangkat fisik (Yin 2008: 103). Keenam sumber bukti ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga sumber data yaitu dokumen dan rekaman arsip dikelompokkan ke dalam sumber dokumen, wawancara bersumber dari orang/informan, dan observasi langsung, observasi peran serta dan perangkat fisik dikelompokkan ke dalam sumber observasi. Berkenaan dengan penelitian ini data akan dihimpun dari sumber dokumen, rekaman arsip, wawancara, dan observasi langsung. Semua sumber bukti ini akan ditetapkan dengan teknik purposive sampling yaitu sumber-sumber yang datanya dapat digunakan untuk menjelaskan fokus penelitian

Sumber-sumber data ini dikelompokkan menjadi dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Semua sumber data yang disebutkan sebelumnya yang datanya berkaitan langsung dengan kasus yang diteliti dikelompokkan ke dalam sumber data primer. Sedangkan semua sumber data yang datanya tidak berkaitan langsung/hanya sebagai data pendukung dengan kasus yang diteliti dikelompokkan ke dalam sumber data sekunder.

F. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik mencatat atau merekam dari berbagai sumber, baik melalui wawancara, observasi maupun dari dokumen yang ada pada dinas/badan/kantor yang terkait. Untuk menghindari kelemahan dari aspek representativeness, maka data yang berhasil dikumpulkan diverifikasi melalui wawancara dengan beberapa orang yang dianggap mempunyai keterkaitan atau memahami substansi dari data tersebut. Jika dianggap perlu, data temuan dibandingkan dengan data yang tersedia, sehingga keakuratan data dapat lebih terjamin.

Pengumpulan data yang dilakukan dengan teknik wawancara mendalam melibatkan aparatur pemerintah, yaitu: Kepala Kantor Pertanahan, Para Kepala Seksi dalam lingkup Kantor Pertanahan Kota Makassar, Camat, Lurah, dan staf terutama yang berkaitan dengan pelayanan administrasi pertanahan, serta tokoh masyarakat dan masyarakat pengguna layanan. Instrumen pendukung dalam proses wawancara antara lain pedoman wawancara, catatan wawancara, dan jika memungkinkan menggunakan alat perekam.

Penentuan informan dilakukan secara purposive, dengan maksud untuk memperoleh informasi sebanyak mungkin dengan tetap menjaga relevansi dengan konteks penelitian. Seluruh hasil wawancara direkonstruksi menjadi berkas-berkas catatan lapangan, kemudian membaca secara cermat, menyusun serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan analitik dalam rangka mendapatkan informasi yang lebih baik dan mendalam serta untuk memberikan dasar bagi analisis lebih lanjut.

Penelitian lapangan dilakukan bersamaan dengan analisis selama pengumpulan data (analysis during data collection). Pada saat penelitian berakhir, maka peneliti melakukan analisis pasca pengumpulan data (analysis after data collection). Sedangkan pada tahap pasca kegiatan penelitian, peneliti berkonsentrasi pada pengolahan dan interpretasi data.

G. Teknik Analisis Data
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka metode analisis data yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Melalui teknik tersebut, akan digambarkan seluruh fakta yang diperoleh dari lapangan dengan menerapkan prosedur sebagai berikut: analisis deskriptif kualitatif dengan mengembangkan kategori-kategori yang relevan dengan tujuan penelitian. Penafsiran terhadap hasil analisis deskriptif kualitatif dengan berpedoman kepada teori-teori yang sesuai.

Menurut Miles dan Huberman (1992:16), secara umum analisis data kualitatif terdiri dari 3 (tiga) alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan masing-masing adalah :
1. Reduksi Data
Reduksi data yaitu sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dilapangan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang memanajemen, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengoordinasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

2. Penyajian Data
Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis data adalah penyajian data dalam bentuk sekumpulan informasi yang tersusun secara lebih sistematis yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan melihat penyajian data kita akan dapat memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, lebih jauh menganalisis atau mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian data tersebut. Data dapat disajikan dalam bentuk matriks, jaringan grafik, bagan dan sebagainya yang mempermudah peneliti memahami pola umum dari data atau informasi yang diperoleh.

3. Menarik Kesimpulan/Verifikasi
Pengambilan kesimpulan pada hakekatnya adalah memberi pemaknaan dari data yang diperoleh. Untuk itu sejak pengumpulan data awal, peneliti berusaha memaknai data yang diperoleh dengan cara mencari pola, model, tema, hubungan persamaan, alur sebab-akibat dan hal lain yang sering muncul. Pada awalnya kesimpulan itu masih kabur tetapi semakin lama kesimpulan akan semakin jelas setelah dalam proses selanjutnya didukung oleh data yang semakin banyak. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Singkatnya makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya dan kecocokannya sehingga akan diperoleh satu keyakinan mengenai kebenarannya.

H. Pengecekan Validitas Temuan
Dalam rangka menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan atau pengecekan validitas temuan. Di dalam penelitian ini, teknik yang akan digunakan adalah; perpanjangan keikutsertaan, ketekunan pengamatan, dan pemeriksaan sejawat melalui diskusi.

Perpanjangan keikutsertaan peneliti diharapkan akan meningkatkan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan. Sedangkan ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Untuk lebih meningkatkan keakuratan data, maka akan dilakukan pemeriksaan sejawat melalui diskusi, yaitu dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat.

DAFTAR PUSTAKA;
  • Albrow, Martin,1989. Birokrasi.Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
  • Andrianto, Nico. 2007. Good E-Government: Transparansi dan Akuntabilitas Publik Melalui E.Governement. Malang: Bayu Media Publishing.
  • Armstrong, Michael and Angela Baron. 1998. Performance Management the New Realities, Institute of Personnel and Development, London.
  • Arep, Ishak dan Hendri Tanjung. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Penerbit Universitas Trisakti.
  • Bevir, Mark (editor), 2007. Encyclopedia of Governance, SAGE Publication, Thousand Oaks-London-New Delhi.
  • Blau Peter M dan Marshall W. Meyer, 2000. Birokrasi Dalam Masyarakat Modern, Penerbit Prestasi Pustakaraya, Jakarta.
  • Blumberg, M. dan Charles D.Pringgle. 1992. The Missing Opportunities of Organizational Research : Some Implications for a theory of work performance. Academy of Management Review, Vol. 7, No. 4.
  • Bouckaert, G., Verhoest, K. and Verschuere, B., 2003, Public Management and Governance: An Introductory Text, London: Routledge.
  • Bryant, Caroline., dan Louise G White. 1989. Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang, LP3ES, Jakarta.
  • Caiden,G.E, 1991. Administrative Reforms Comes of Age, New York, Walter de Gruyter.
  • Caiden, G.E., 1991. “What Really is Public Administration?” dalam Public
  • Admnistration Review, Vol.51, No. 6.
  • Chandler Ralph C. and and Plano Jack, C. 1982. The Public Administration Dictionary, John Wiley & Sons, New York, Brisbane,
  • Crouch, Harold, “Patrimonialism and Military Rule in Indonesia,” dalam World Politics, Vol. 31, 1989.
  • Cooper,P.J. 1998. Public Administration for the Twenty-first Century. Orlando, Florida, : Harcourt Brace.
  • Davis, Keith dan John W. Newstrom. 1985. Perilaku dalam Organisasi, Penerbit Erlangga
  • Denhardt Robert B. dan Denhardt Janet V. 2006. Public Administration: An Action Overview, Fifth Edition.
  • ---------, 2003. The New Public Service Serving, not Steering, M.E. Sharpe, Armonk New York, London England.
  • Denzin, Norman K., & Lincoln, Yvonna S., 2009. Handbook Of Qualitative Research., Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
  • Dessler, Gary. 2000. Human Resource Management. New Jersey 07458, Prentice Hall Inc.
  • Denhardt Robert, B. and Janet V. Denhardt. 2006. Public Administration:An Action Overview, Fisth Edition, Thomson Wadsworth, United States of America.
  • Derhart Janet V. dan Robert B. Denhart, 2007. The New Public Service – Serving, Not Steering, Expanded Edition, M.F. Sharpe, Armonk, New York, London, England
  • Donovan, F. & A.C. Jackson. 1991. Managing Human Service Organization. New York, N.Y. Prentice Hall.
  • Dwiyanto Agus, dkk. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.
  • ---------------, 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Seri Kajian Birokrasi: Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
  • Dwiyanto Agus (editor), 2006. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
  • ---------------, 2010. Manajemen Pelayanan Publik: Peduli, Inklusif, dan Kolaboratif. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • ---------------, 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
  • Dwiyanto, Agus, dkk., 2008. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Eisanstadt, S.N, 1973. Traditional Patrimonialism and Modern Neopatrimonialism. California: Sage Publications.
  • Farazmand, Ali (ed). 2009. Bureaucracy and Administration, New York: Taylor & Francis Geou
  • Fink, Hans, 2003. Filsafat Sosial Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Frederickson, George H., (terjmh), 1987. Administrasi Negara Baru. Jakarta: LP3ES.
  • Frederickson, George H., 1977. Spirit of Public Administration. Jossey Bas Public Administration Series. Alabama.
  • Frederickson, George, H., dan Kevin B. Smith, 2003. The Public Administration Theory Primer. Westview Press.
  • Gareth R. Jones, 2007. Organizational Theory, Design and Change. New Jessey : Pearson Prentice Hall.
  • Gerlof,E.A. 1985. Organizational Theory and Design: A Strategi Aproach For Management. Singapura:McGraw-Hill.
  • Golembbiewski, Robert T. 2003. Ironies in Organization Development , New York: Marcell Dekker.
  • Gruber, J>E. (1988). Controlling Bureaucracies: Dilemmas in Democratic Governance. Berkeley: University of California Press.
  • Hardiman, Budi F. 2009. Demokrasi Deliberatif – Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jürgen Hubermas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
  • Harmon, M.M, 1995. Responsibility as Paradox: A Critique of Rational Discourse on Gornment. London Sage Publications.
  • Haryatmoko, 2011. Etika Publik : Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi. Jakarta; PT. Gramedia Pustaka Utama.
  • Hasibuan, Malayu SP. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi. Jakarta :Penerbit Bumi Aksara.
  • Hatch,M.J. 1997. Organization Theory Modern, Symbolic, and Post Modern Perspective Oxford Univ. Press.
  • Hatch Mary Jo dengan Cunliffe Ann, L. 2006. Organization Theory, Modern, Syimbolic, and Postmodern Perspectives, Second Edition, Oxford University Press.
  • Henry Nicholas, 1995. Administrasi Negara dan Masalah-Masalah Publik, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
  • Heselbein, Prances, Marshal Goldsmith dan Richard Beckhard. 2001. Organisasi Masa Depan (terjemahan). Jakarta: PT. Elex Media Komputelindo.
  • Hidayat, Syarif, 2007. Too Much Too Soon: Local State Elite’s Perspective On and The Puzzle Of Contemporarry Indonesian Regional Autonomy Policy. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
  • Hood, Christopher, 1995/ “The New Public Management’ in the 1980s: Variations on the theme” , Accounting, Organization and Society. Volume 20 Number 2/3.
  • Huberts, Maesschalek & Jurkiewicz, (ed.), 2008. Ethics and Integrity of Governance: Perspectives Actors Frontiers. Edward Elgar, Cheltenham, UK- Northampton, MA, USA.
  • Hughest, K, Eds. The Future of UK Compettitiveness and Role of Industrial Policy. London :Policy Studies Institute
  • Hutagalung, Arie Sukanti dan Gunawan, Markus, 2008. Kewenangan Pemerintah di Bidang Pertanahan. jJakarta: RajaGrafindo Persada.
  • Irmawati. 2004. Peranan Goal Setting Dalam Upaya Meningkatkan Produktivitas Kerja Karyawan. Medan: Digitized by USU.
  • Istianto, Bambang.2011. Demokratisasi Birokrasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.
  • Ivancevich, M.John. 2007. Perilaku dan Manajemen Organisasi (Jilid 2). Jakarta: Erlangga.
  • Jabbra, G.Joseph dan O. P. Dwivedi, 1988. Public Service Accountability: A Comparative Perspective, Kumarian Press Inc.
  • Jackson, Karl D., Bureaucratic Polity A Theoritical framework For The Analysis of Power and Communication in Indonesia, Berkeley: University of California, 1988.
  • Jones, Greath R., 2007. Organizational Theory, Design, and Change, Fifth Edition, Pearson Prentice Hall.
  • Kane, Kimberly ,F. 1993. Situational Faktors and Performance: An Overview . Dalam Human Resources Management Review, Vol.3 No.2.
  • Kaloh, J. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah: Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: Rineka Cipta.
  • Keban, T. Yeremias, 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep Teori dan Isu. Yogyakarta: Gaya Media.
  • Kettl, Donald, F., 2002. The Transformation of Governance : Public Administration for Twenty –First Century America. Baltimore and London: The John Hopkins University Press.
  • Kumorotomo, Wahyudi, 2002. Etika Administrasi Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
  • Kusdi, 2009.Teori Organisasi dan Administrasi. Jakarta: Salemba Humanika
  • ------, 2011. Budaya Organisasi: Teori, Penelitian, dan Praktek. Jakarta: Salemba Empat.
  • LeMay, C. Michael, 2006. Public Administration : Clashing Values in the Administration of Public Policy.Thomson Wadsworth.
  • Lipsky, Michael, 1980. Street Level Bureaucracy; Dilemas of The Individual in Public Service. Russel Sage Foundation, New York.
  • Mangkunegara, Prabu, Anwar. 2008. Perilaku dan Budaya Organisasi. Bandung: Reflika Aditama.
  • Menzel, Donal C., 2007. Ethics management For Public Administration; Building Organization of Integrity. ME. Sharpe, Inc. Anmork, New York.
  • Miles, Mathew B., dan Huberman, A. Michael, 1992. Analisisi Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Penerjemah: Tjetjep Rohendi Rohidi, Jakarta: University Press.
  • Moleong, Lexy J., 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
  • Monsod, T.C., 2008.The Philippine Bureaucracy: Incentive Structures and implications for Performance. Human Development Network (HDN) Discussion Paper Series, No.4.
  • Morgan, G, 1986. Images Of Organization. Beverly Hils, Ca: Sage Puvlications.
  • Muhammad, Fadel. 2008. Reiventing Local Government: Pengalaman Dari Daerah. Jakarta: PT. Elex Komputindo.
  • Mulder, N. 1985. Pribadi dan Masyarakat Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.
  • Muluk,, Khairul, 2006. Desentralisasi Pemerintahan Daerah. Malang: Bayumedia Publishing & Center For Indonesian Reform.
  • Nasucha, Chaizi, 2004. Reformasi Administrasi Publik: Teori dan Praktek. Jakarta: Grasindo.
  • Nawawi, Ismail, 2009. Perilaku Administrasi: Kajian, Teori, dan Pengantar Praktek. Surabaya: ITSPress.
  • Nurmandi, Achmad, 2010. Manajemen Pelayanan Publik. Yogyakarta: Sinergi Visi Utama.
  • Osborne, D. and Gaebler, T. 1993. Reinventing Governent: How the Enterpreneurial Spirit is Transforming the Public Sektor New York : Plume.
  • Osborne, D. and Plastrik, P., 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reiventing Government. Addison-Wesley, reading, MA. .
  • Permana, Surya, 2008. Kebijakan Publik: Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
  • Pollit, Christopher. 1993. Managerialism and Public Service The Ango-American Experience 2end Edition: Oxford University Press.
  • Pramusinto, Agus & Kumorotomo. 2009. Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik yang demokratis dan Birokrasi yang Professional. Yogyakarta: Gaya Media
  • Pramusinto dan Purwanto (ed), 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Gaya Media.
  • Pye,L.W. 1978. “Participation and Authority”, dalam Verba,S. & Pye (ed). The Citizen and Politics: A Comparative. Standford: Grey Look Ltd.
  • Rakhmat, 2009. Teori Administrasi dan Manajemen Publik. Tangerang-Banten: Pustaka Arif.
  • Ripley, R.B & Frranklin, G.A. (1986). Policy Implementation and Bureaucracy. Chicago : The Dosey Press.
  • Robbins, P.Stephen, 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain dan Aplikasi. Jakarta: Arcan.
  • ---------------, 2003. Perilaku Organisasi, (Jilid 1 dan 2). Jakarta : PT. Indeks Kelompok Gramedia.
  • Rosenbloom, David H. & Kravchuk, Robert. S. 2005. Public Administration Understanding Management, Politics and Law in the Public Sector. USA: Mc.Graw Hill.
  • Ruky, Ahmad.S. 2001. Sistem manajemen Kinerja. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
  • Ryavec, Karl W., 2003. Russian Bureaucracy Power and Pathology. Rowman & Littlefield Publisher, Inc. Lanham-Boulder-New York—Toronto-Oxford.
  • Sampford, Charles & Preston, Noel, (ed), 1998. Public Sektor Ethics. The Federation Press/ Routledge.
  • Sangkala, 2007. Knowledge Management: Suatu Pengantar Memahami Bagaimana Organisasi Mengelola Pengetahuan sehingga Menjadi Organisasi yang Unggul, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
  • Sangkala 2010. Perubahan Paradigma Administrasi Negara dan Implikasinya Terhadap Karakter dan Desain Birokrasi Dalam Pelayanan Publik, Pidato Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Manajemen Publik, Universitas Hasanuddin, Makassar. 
  • Santoso, Urip, 2005. Hukum Agraria dan hak-Hak Atas tanah. Jakarta: Kencana.
  • Sedarmayanti, 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia: Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Bandung: Aditama.
  • -----------------, 2010. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan (Mewujudkan Pelayanan Prima dan Kepemerintahan yang Baik. Bandung: Aditama.
  • Shafritz, Jay M. dan Ott, J. Steven, 1987. Classics of Organization Theory, Second Edition, Brooks/Cole Publishing Company Pasific Grove, California.
  • Shafritz, Jay M. ed., 2000. Defining Public Administration Selections from the International Encyclopedia of Public Policy and Administration, Westview, A Mamber of the Perseus Books Group.
  • Shafritz, Jay M., Hyde, Albert, C. Parkes, Sandra, J. 2004 . Classics of Public Administration, Fifth Edition, Thomson.
  • Siagian, Sondang P. 1994. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi, dan Terapinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.
  • Siagian, P. Sondang, 2000. Administrasi Penbangunan. Jakarta: Bumi Aksara.
  • Sigit, Soehardi. 2003. Perilaku Organisasional (Esensi). Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
  • Sinambella, Poltak, Lijan, 2006. Reformasi Pelayanan Publik: Teori, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
  • Sjamsuddin, Sjamsiar, 2005. Kepemerintahan & Kemitraan. Malang: Yayasan Pembangunan Nasional & CV. Sofa Mandiri.
  • Smith, B.C, 1985. Dezentralization: The teritorial Dimension of the State . London : George Allen & Urwin.
  • Sobhan, Syafuan Rozi, 2000, Masalah Birokrasi di Indonesia. Jurnal Transparansi, Edisi 18 Maret 2000.
  • Steer, M. Richard, 1977. Organizational Effectiveness A Behavioral View. Santa Monica,, California: Goodyear Publishing Inc.
  • Stinger, Robert. 2002. Leadership and Organizational Climate: The Cloud Chamber Effect. Upper Saddle River, NJ: Prentice Hall.
  • Subiyanto, Ibnu. 2002. Peluang dan Tantangan Peningkatan Pelayanan Kepada Masyarakat di Era Desentralisasi, Jakarta: Bappenas.
  • Sukidin dan Damai Darmadi., Administrasi Publik. Yogyakarta: LaksBang Pressindo.
  • Sulistiyani, Ambar T. (ed), 2011. Memahami Good Governance Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Gaya Media.
  • Sumihardjo, Tumar, 2008. Penyelenggaaan Pemerintahan Daerah Melalui Pengembangan Daya Saing Berbasis Potensi Daerah. Bandung: Fokusmedia.
  • Thoha, Miftah. 2002. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: PT, RajaGrafindo Persada.
  • ----------------.2002. Perspektif Perilaku Birokrasi (Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara, Jilid II. Jakarta: PT Rajagrafindo persada.
  • ----------------,2005. Birokrasi Politik di Indonesia. Jakarta :PT. RajaGrafindo Persada.
  • ----------------,2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta: Kencana.
  • ----------------, 2008. Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
  • ----------------, 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta: Kencana.
  • Travers, Max, 2007. The New Bureaucracy: Quality Assurance and Its Critics. The Policy Press University of Bristol UK.
  • Vroom, V., 1964. Work and Motivation. New York: Wiley.
  • Waters, Malcolm, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London, Thousand Oaks, New Delhi.
  • Weber, Max, (terjmh), 2009. Sosilogi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Widaningrum, Ambar, 2009. Reformasi Manajemen Pelayanan Kesehatan, dalam Pramusinto dan Purwanto (ed). Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan, dan Pelayanan Publik: Kajian tentang pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Yogyakarta; Gaya Media. 
  • Wilson, James Q.,1989. Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do It. Basic Book. United State Of America.
  • Winardi, J. 2004. Manajemen Perilaku Organisasi, (Edisi Revisi). Jakarta : Penerbit Kencana.
  • --------------. 2004. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
  • Yin, Robert, K. 1996. Studi Kasus :Desain dan Metode. Jakarta: RajaGrafindo.

Publikasi Khusus dan Dokumen;
  • Baharuddin, 2010, Signifikansi Kompetensi dan Komitmen Pimpinan terhadap Kinerja Aparatur Pelayanan Publik (Studi Pada Kantor Badan Pertanahan Kota Makassar, Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa), Disertasi pada Pascasarjana Unhas, Makassar.
  • Paris, A. Yuliani, 2007. Etika Aparatur Pemerintah Dalam Pelayanan Publik (Kasus Badan Pertanahan DKI Jakarta, Disertasi pada Pascasarjana Unhas, Makassar.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
  • Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
  • Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
  • Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Pelayan Publik dan Penyelenggara Pelayanan Publik Di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

No comments:

Post a Comment