Saturday 18 March 2017

Prinsip Pelayanan Untuk Patologi Birokrasi

Prinsip Pelayanan untuk Patologi Birokrasi
Dalam konteks birokrasi pelayanan publik di Indonesia, Dwiyanto (2011: 62) merumuskan suatu model seperti pada Gambar 2 yang mengkritisi birokrasi Weberian dimana pada awalnya dirancang untuk membuat birokrasi dapat menjalankan fungsinya dengan baik pada akhirnya justru menimbulkan berbagai penyakit yang membuat birokrasi mengalami disfungsi.

Struktur birokrasi memiliki berbagai masalah internal yang pada tingkat tertentu berpotensi menyebabkan birokrasi mengalami disfungsi (Caiden, 2009:1991). Setiap aspek dan struktur birokrasi seperti hierarki, spesialisasi dan formalisasi, selain memiliki manfaat dan kontribusi terhadap efisiensi dan kinerja birokrasi, juga memiliki potensi untuk menciptakan penyakit birokrasi.

Penyakit birokrasi merupakan interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel lingkungan yang salah. Struktur birokrasi yang hierarkis berinteraksi dengan budaya masyarakat yang paternalistis, sistem politik yang tidak demokratis dan ketidak berdayaan kelompok masyarakat madani cenderung melahirkan perilaku birokrasi paternalistis yang merugikan kepentingan publik. Beberapa aspek penting yang berkaitan dengan struktur dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Hierarki
Dalam birokrasi yang hierarkis, persoalan seringkali menjadi lebih kompleks karena konsentrasi kekuasaan ada pada pimpinan. Pimpinan memiliki kewenangan

mengambil keputusan, sedangkan bawahan cenderung diposisikan sebagai pelaksana saja. Padahal, dalam kenyataan staf dan pejabat bawahan lebih mengetahui masalah, keluhan dan kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat. Mereka sehari-hari bergelut dengan berbagai masalah dan secara langsung berhadapan dengan masyarakat dalam kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Mereka juga yang sering menerima keluhan masyarakat dan dituntut untuk merespon dengan cepat berbagai kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat. Namun, pejabat bawahan justru tidak memiliki kewenangan untuk merespons karena kewenangan dan kekuasaan terkonsentrasi pada atasan. Atasan yang memiliki kewenangan dan kekuasaan seringkali tidak memiliki sense of urgency karena mereka jauh dari realitas kesulitan yang dihadapi masyarakat. Akibatnya, tindakan dan respons birokrasi terhadap berbagai persoalan cenderung lamban (Ripley & Franklin, 1986).

Hierarki juga membuat proses pengambilan keputusan dalam birokrasi menjadi sangat terkotak-kotak (fragmented), kerena arus informasi dan perintah hanya berjalan sevara vertikal. Pada organisasi yang hierarkis, setiap bagian cenderung menyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawabnya tanpa melibatkan bagian-bagian lainnya. Hal itu membuat proses penyelesaian masalah dalam suatu organisasi menjadi tidak pernah optimal.

Hierarki yang panjang seringkali juga menciptakan distrosi dalam komunikasi.Perintah dan peran pimpinan kepada bawahan melalui jenjang hierarki yang panjang cenderung membuat distorsi yang besar, karena setiap jenjang hierarki cenderung melakukan reinterpretasi sesuai ndengan cognitive style dan kepentingan dari masing-masing orang dalam hierarki itu. Hal yang sama terjadi pada arus informasi dan laporan dari bawahan kepada atasan. Semakin panjang hierarki dari suatu birokrasi, semakin besar kecenderungan terjadinya distorsi dalam komunikasi.

2. Formalisasi
Prinsip formalisasi organisasi ketika diterapkan secara kaku akan sangat menghambat munculnya perubahan dan inovasi dalam kehidupan organisasi publik. Eskipun demikian prinsip formalisasi tetap diperlukan sebagai dsar bagi pengambilan keputusan seorang pejabat birokrasi dalam memberikan pelayanan agar pelayanan yang diberikan dapat cepat dan adil. Tentu sangat sulit bagi birokrasi publik untuk dapat meberikan pelayanan yang cepat dan adil tanpa adanya prosedur dan aturan yang jelas. Apabila seorang pejabat birokrasi harus menilai dan memutuskan sendiri tanpa ada prosedur dan aturan yang dapat mempermudah dan membantunya setiap menghadapi warga negara yang membutuhkan pelayanan, pelayanan birokrasi akan sangat bertele-tele dan mungkin berbeda-beda antar warga negara, kendati mereka memiliki persoalan yang sama. Akibatnya akan muncul ketidakpastian pelayanan yang sangat tinggi, sehingga merugikan tidak hanya bagi warga pengguna layanan, tetapi juga bagi pejabat birokrasi.

Tidak adanya peraturan dan prosedur yang jelas membuat warga negara pengguna layanan tidak dapat mengetahui hak dan kewajibannya untuk memperoleh pelayanan. Berapa banyak mereka harus membayar harga pelayanan? Berapa lama harus menunggu? Apa pelayanan yang akan diterima? Apa yang dapat dilakukan jika pelayanan yang diterima ternyata tidak seperti yang dijanjikan? Semua itu tidak dapat diketahui oleh warga pengguna layanan dengan pasti. Warga negara berada dalam posisi yang sangat lemah. Bagi pejabat birokrasi, tidak adanya prosedur dan aturan yang jelas juga dapat sangat merugikan karena hal itu berarti mengharuskan mereka untuk selalu mengambil keputusan pada saat melayaniwarga. Situasi itu menghadapkan mereka bukan hanya pada kondisi kejiwaan yang tidak mengunbtungkan, seperti stress dan cemas, tetapi juga menghadapkan mereka pada peluang dan resiko untuk melakukan kesalahan dalam pengambilan keputusan.

3. Spesialisasi
Prinsip spesialisasi dalam organisasi diperlukan untuk meningkatkan efisiensi, karena dengan adanya spesialisasi memungkinkan untuk dilakukannya penyederhanaan dari proses administrasi. Proses administrasi yang kompleks dapat disederhanakan menjadi serangkaian kegiatan yang sederhana dan mudah dikelola jika spesialisasi atau pembagian kerja dilakukan dengan rinci. Spesialisasi juga menjadi basis dari pengembangan keahlian dan karena itu menjadi salah satu hal yang diperlukan bagi pengembangan profesionalisme.

Meskipun spesialisasi sangat diperlukan dalam suatu organisasi, namun di sisi lain tetap berpotensi menciptakan masalah dalam kehidupan birokrasi, yaitu munculnya satuan-satuan birokrasi yang berjumlah banyak dan terkotak-kotak, sehingga membuat proses administrasi dan pelayanan publik menjadi berbelit-belit dan panjang. Prosedur yang sederhana, murah dan cepat sulit diwujudkan karena harus melibatkan banyak satuan birokrasi.

Spesialisasi juga dapat mewujudkan terjadinya fenomena individualism, yaitu orang hanya peduli terhadap tugas dan tanggung jawab sendiri, tidak peduli dengan tugas kolega atau bagian lainnya, serta mengabaikan kepentingan dan misi organisasi. Ketika pembagian kerja dilakukan secara rinci dan tugas untuk melaksanakan setiap kegiatan diserahkan kepada masing-masing aparat, maka setiap aparat akan merasa bahwa tugasnya adalah melaksanakan apa yang telah menjadi deskripsi pekerjaannya. Mereka menjadi tidak peduli dengan pekerjaan dan tanggung jawab orang lain dalam organisasinya.

4. Impersonalitas
Prinsip impersonalitas dalam organisasi mendorong agar aparat birokrasi dapat bertindak adil dan bersikap nonpartisan dalam melayani masyarakatnya juga dapat menimbulkan efek ganda. Pada satu sisi, penerapan impersonalitas hubungan antara aparat birokrasi dan warga pengguna layanan birokrasi akan membuat birokrasi menjadi lebih lugas dan bertindak obyektif. Namun di sisi yang lain, ketika penerapan prinsip tersebut menjadi berlebihan, maka aparat birokrasi dapat menjadi robot yang tidak memiliki sense of human being. Birokrasi juga akan kehilangan peluang untuk menjadi instrument pemihakan terhadap kelompok-kelompok marginal, yang tanpa bantuan birokrasi tidak dapat memperoleh kehidupan yang layak dan bermartabat.

Prinsip impersonalitas yang diajarkan oleh Weber memperlakukan pengguna layanan sebagai kasus, bukan sebagai orang dengan segala karakteristik subyektifnya. Hal itu dimaksudkan agar birokrasi menjadi nonpartisan, tidak memihak, dan memberikan perlakuan yang sama terhadap setiap pengguna layanan birokrasi. Namun, penerapan prinsip tersebut dapat membuat birokrasi menjadi kehilangan nilai-nilai kemanusiaan yang sangat penting dalam mengelola kegiatan birokrasi. Birokrasi pemerintah tidak boleh mengabaikan kenyataan bahwa warga memiliki akses yang berbeda-beda terhadap pelayanan birokrasi. Sebagian warga memiliki akses yang besar dan dapat dengan mudah memanfaatkan keberadaan birokrasi dan pelayanannnya, sementara sebagian warga lainnya memiliki akses yang terbatas terhadap pelayanan birokrasi. Menganggap setiap warganegara sebagai kasus yang sama dengan karakteristik, kapasitas dan akses yang sama tentu adalah sebuah kekeliruan (Dwiyanto, 2011:40).

Kondisi patologis tersebut tentu memerlukan solusi untuk keluar dari berbagai masalah yang tidak tertutup kemungkinan akan semakin menambah buruk citra birokrasi bagi masyarakat. Sebagai alternatif, lahir doktrin baru yang menggantikan Old Public Administration, yaitu New Publik Managemen (NPM) atau Reinventing Government yang didasarkan pada pengalaman Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru pada beberapa dekade terakhir (Hood,1991; Pollit, 1993; Osborne & Gaebler,1993) secara berangsur-angsur dipromosikan ke dalam manajemen pemerintahan di berbagai negara, termasuk negara sedang berkembang.

Dalam doktrin NPM atau Reinventing Government, pemerintah dianjurkan untuk meninggalkan paradigma administrasi tradisional yang cenderung mengutamakan sistem dan prosedur dan menggantikan dengan orientasi pada hasil kerja. Pemerintah juga dianjurkan untuk melepaskan diri dari birokrasi klasik dengan mendorong organisasi dan pegawai agar lebih fleksibel, dan menetapkan tujuan serta target organisasi secara lebih jelas, sehingga memungkinkan pengukuran hasil. Di samping itu, pemerintah juga diharapkan meneraokan sistem desentralisasi, member perhatian pada pasar, melibatkan sektor swasta dan melakukan privatisasi (Hood, 1995).

Osborne dan Gaebler (1993) di dalam buku Reinventing Government menekankan, harus ada upaya untuk mentransformasikan entrepreneurial spirit atau jiwa kewirausahaan, karena dalam masa di mana sumber daya publik semakin langka, pemerintah harus berumah dari bureaucratic model ke enterprunerial model. Oleh karena itu manajemen pemerintahan yang mengimplementasikan pemikiran NPM ini sangat berorientasi pada jiwa dan semangat kewirausahaan, maka manajemen publik baru di tubuh pemerintah dapat disebut sebagai kewirausahaan.

Dampak dari penerapan model NPM ini mulai terasa tidak saja di negara maju, akan tetapi juga di negara-negara sedang berkembang, seperti penerapan lima prinsip inti, yaitu: (1) sistem desentralisasi dengan memindahkan otoritas pengambilan keputusan yang lebih dekat pada penerima pelayanan; (2) privatisasi dengan mengalokasikan barang dan jasa publik ke sektor privatl; (3) downsizing dengan melakukan pemangkasan atau penyederhanaan jumlah dan ruang lingkup organisasi pada sturuktur pemerintahanl; (4) debirokratisasi dengan melakukan restrukturisasi organisasi pemerintah dengan menekankan hasil daripada proses; dan (5) manajerialisme dengan menerapkan gaya bisnis pada organisasi pemerintah (Vigoda, 2003:813)

Pemberlakuan doktrin desentralisasi dan NPM atau manajemen kewirausahaan ke dalam sistem pemerintahan membawa harapan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Implementasinya lebih fleksibel, lebih cepat meberi respons terhadap perubahan lingkungan, dan kebutuhan masyarakat di daerah, lebih melibatkan partisipasi aktif para pihak dalam pengambilan keputusan daripada menunggu keputusan pemerintah pusat. Juga lebih inovatif dengan member peluang dengan melibatkan masyarakat di daerah dalam pengambilan keputusan dengan alternative solusi yang lebih banyak, menghasilkan semangat kerja, dan komitmen yang lebih tinggi, serta lebih produktif (Osborne & Gaebler, 1993; Pollit, Birchall dan Putman, 1998).

Sebagai unsur penting dari prinsip NPM atau manajemen kewirausahaan, sistem desentralisasi ini telah diakui memiliki sisi positif secara ekonomis dan sosial politik. Secara ekonomis, sistem ini dapat memperbaiki tingkat efisiensi, mengurangi biaya, memperbaiki output, dan lebih efektif memanfaatkan sumber daya manusia. Secara sosial politik dapat memperkuat akubtabilitas, keterampilan berpolitik, dan integrasi nasional, membawa pemerintah dekat dengan rakyat, dan mendorong kebebasan kesetaraan serta kesejahteraan (Smith, 1985:3-7)

Selain itu, sistem ini juga diakui mampu mengatasi kekurangan sentralisasi dalanm perencanaan pembangunan nasional, menghilangkan red-tape, dan prosedur yang berbelit-belit, mendorong pengetahuan dan sensitivitas terhadap masalah local, membawa tingkat penetrasi yang lebih baik, menjamin keterwakilan, kemampuan administratif pemerintahan, koordoinasi dan partisipasi masyarakat local (Rondinelli & Cheema, 1983

Reformasi terus bergulir dengan munculnya doktrin yang lebih baru, yaitu New Public Service (Denhardt & Denhardt, 2003). Aliran The New Publik Service memberikan definisi yang lain terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik adalah hasil dari sebuah dialog tentang nilai-nilai bersama yang diagregasikan dari kepentingan individual. Oleh karena itu, pelayan publik tidak hanya selalu merespon permintaan “pelanggan”, tetapi lebih berfokus pada membangun hubungan baik dengan kepercayaan dan kolaborasi dengan dan atar warganegara. Pelayanan publik merupakan hubungan antara lembaga publik secara keseluruhan dengan citizen secara keseluruhan (Nurmandi, 2010:21).

Penerapan prinsip New Public Management dan New Public Service dalam sektor pemerintahan di Indonesia tidak semudah dengan yang dibayangkan seperti keberhasilan di beberapa negara. Hal ini senada dengan nada pesimis yang diungkapkan oleh Golembiewski (2003: 140-152), bahwa ada empat hal yang dapat menggagalkan penerapan NPM, yaitu:
  1. tidak memiliki model penerapan atau road map yang jelas;
  2. tidak mempertimbangkan kekhasan lingkungan atau milieu-specificity dimana NPM hendak diterapkan
  3. tidak melakukan cultural preparedness atau kesiapan budaya bagi institusi dan pegawainya, dan
  4. cenderung dihambat dan diganggu oleh birokrasi itu sendiri.
Meskipun demikian, prinsip-prinsip New Public Management dan New Public Service memiliki banyak nilai-nilai positif yang dapat diadopsi untuk diterapkan pada sektor pemerintahan dengan melakukan adaptasi atau penyesuaian dengan lingkungan dan kondisi masyarakat.

Berdasarkan berbagai model birokrasi pelayanan yang telah diuraikan di atas, maka ada beberapa faktor yang dianggap berpeluang memicu terjadinya patologi birokrasi, yaitu: Struktur birokrasi, Sumber daya manusia, Kepemimpinan, Etika birokrasi dan Lingkungan. Melalui kelima komponen ini akan dijadikan sebagai dasar untuk membangun sebuah model birokrasi pelayanan dengan mengadopsi berbagai unsur dalam New Public Management dan New Public Service yang dianggap positif dan sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Dengan demikian model temuan diharapkan dapat meminimalisir patologi birokrasi, terutama terhadap birokrasi pelayanan publik.

No comments:

Post a Comment