Saturday, 18 March 2017

Pengertian Reformasi Birokrasi

Pengertian Reformasi Birokrasi
Pertanyaan:
  1. Apakah sistem demokratik lebih baik karena distribusi kekuasaan berdasarkan kepatuhan pejabat publik pada banyak pejabat publik di atasnya daripada hanya satu atau beberapa saja di lain sistem?
  2. Apakah pembentukkan civil service atau pegawai negeri yang terdidik secara hirarkhis dan disiplin untuk terciptanya kelas birokrasi dalam administrasi publik berseberangan dengan birokrasi yang sensitif terhadap opini public?
  3. Apakah pembentukkan kebijakan bukan oleh pejabat birokrasi akan tetapi oleh negarawan yang berwenang?
  4. Apakh birrokrasi akan tetap eksis bila segala jenis pelayanan negara bebas dari campur tangan politik orang banyak, para pejabat berdasarkan hirarkhi maupun penamaan (remunerasi)?
Beberapa pertanyaan umum masalah birokrasi tersebut di atas merupakan pengantar bagi teori birokrasi berikut implementasi teori tersebut di Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui reformasi birokrasi belum menemukan titik terang kea rah perbaikan birokrasi. Indikasi kemerosotan moral para birokrat di level pemerintahan daerah dan bukan rahasia umum lagi bahwa banyak pejabat negara masih terlibat praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Pangkal masalah sama sekali bukan pada teori, akan tetapi penerapan di lapangan yang sudah berbaur dengan akhlak moral seseorang dan budaya setempat.

Oleh karena itu, sangatlah penting bagi para scholars administrasi negara untuk mempelajari teori birokrasi agar dapat menjelaskan kesenjangan yang terjadi antara teori dengan struktur dan fungsi birokrasi dalam sistem politik Indonesia..

Sejarah Birokrasi
Birokrasi memiliki asal kata dari Bureau, digunakan pada awal abad ke 18 di Eropa Barat bukan hanya untuk menunjuk pada meja tulis saja, akan tetapi lebih pada kantor, semisal tempat kerja dimana pegawai bekerja. Makna asli dari birokrasi berasal dari bahasa perancis berarti pelapis meja. Kata birokrasi sendiri kemudian digunakan segera setelah Revolusi Perancis tahun 1789, dan kemudian tersebar ke negara lain. Kata imbuhan -kratia berasal dari bahasa Yunani atau kratos yang berarti kekuasaan atau kepemimpinan. Birokrasi secara mendasar berarti kekuasaan perkantoran ataupun kepemimpinan dari strata kepegawaian.

Di Cina, dinasti Song (960 AD) sebagai contoh membentuk birokrasi sentralistis dengan staf berasal dari rakyat jelata yang terdidik. Sistem kepemimpinan ini kemudian mendorong konsentrasi kekuasaan di dalam tangan kaisar dan birokrasi istana daripada yang diperoleh oleh dinasti sebelumnya. 

Teori Karl Marx[1] tentang birokrasi berasal dari teori mengenai historical materialisme, asal muasal birokrasi dapat ditemukan dalam empat sumber: agama, pembentukan negara, perdagangan, dan teknologi. Kemudian, bentuk birokrasi paling awal terdiri dari tingkatan kasta rohaniawan/tokoh agama, pegawai pemerintah dan pekerja yang mengoperasikan aneka ritual, dan tentara yang ditugaskan untuk mentaati perintah. Di dalam transisi sejarah dari komunitas egaliter primitif ke dalam civil society terbagi kelas-kelas sosial dan wilayah, muncul sekitar 10.000 tahun yang lalu, dimana kewenangan terpustad, dan dipaksakan oleh pegawai pemerintah yang keberadaannya terpisah dari masyarakat. 

Negara memformulasikan, memaksakan dan mengegakkan peraturan, dan memungut pajak, memberikan kenaikan kepada sekelompok pegawai yang bertindak untuk menyelenggarakan fungsi tersebut. Kemudian, negara melakukan mediasi bila terjadi konflik di antara masyarakat dan menjaga konflik agar masih dalam batas kewajaran; negara juga mengatur pertahanan wilayah. Terutama, hak umum perorangan untuk membawa dan menggunakan senjata untuk mempertahankan diri sedikit demi sedikit dibatasi; memaksakan orang lain untu berbuat sesuatu menjadi hak legal negara dan aparat pemerintah untuk melakukannya. 

Teori Birokrasi Max Weber
Max Weber[2] mungkin menjadi salah seorang yang paling berpengaruh di dunia karena pengaruh ajarannya pada ilmu pengetahuan sosial. Ia terkenal oleh karena studinya mengenai pembirokrasian masyarakat; banyak aspek dari administrasi publik moderen berpaling kepadanya; pendekatan klasik, pegawai pemerintah yang secara organisasi hirarkhis selanjutnya disebut “Weberian civil service.” akan tetapi, bertolak belakang dengan pendapat masyarakat umum, “bureaucracy” merupakan kata yang berasal dari inggris jauh sebelum Weber; Kamus Bahasa Inggris terbitan Oxford menyebutkan kata ini beberapa kali dalam edisi tahunan yang berbeda antara tahun 1818 dan 1860, sebelum tahun kelahiran Weber pada 1864. 

Weber menggambarkan tipe birokrasi ideal dalam nada positif, membuatnya lebih berberntuk organisasi rasional dan efisien daripada alternatif yang terdapat sebelumnya, yang dikarakterisasikan sebagai dominasi karismatik dan tradisional. Menurut terminologinya, birokrasi merupakan bagian dari dominasi legal. Akan tetapi, ia juga menekankan bahwa birokrasi menjadi inefisien ketika keputusan harus diadopsi kepada kasus individual. 

Menurut Weber, atribut birokrasi moderen termasuk kepribadiannya, konsentrasi dari arti administrasi, efekn daya peningkatan terhadap perbedaan sosial dan ekonomi dan implementasi sistem kewenangan yang praktis tidak bisa dihancurkan. Birokrasi ala Weber dikenal juga dengan sebutan “Birokrasi Weberian”.

Dari Weber ke Teori Besi Oligarki
Seorang pejabat birokrasi adalah berkepribadian bebas dan ditunjuk dalam posisi berdasarkan peraturan, menggunakan kewenangan yang diberikan kepadanya dengan gaya kepemimpinan yang adil, dan kesetiaannya tergambar melalui pelaksanaan tugasnya secara sepenuh hati, penunjukkan dan penempatan kerja berdasarkan kualifikasi teknis yang dimiliki, kerja administratif dikerjakan penuh waktu (full time), pekerjaan diganjar berdasarkan upah harian dea prospek masa depan sepanjang karir. 

Seorang pegawai pemerintah harus menggunakan penilaian dan keterampilannya, akan tetapi tugasnya adalah menempatkan kedua hal tersebut pada kewenangan yang lebih tinggi; akhirnya ia hanya bertanggungjawab untuk menjalankan sebagian tugas yang telah ditugaskan dan harus mengorbankan penilaiannya apabila bertentangan dengan tugas pekerjaannya. Pola kerja Weber banyak diikuti oleh yang lainnya seperti Robert Michels dengan teori Besi Oligarki (Iron Law of Oligarchy). 

Sulitnya Reformasi Birokrasi Pasca Jatuhnya Orde Baru[3]
Tuntutan reformasi birokrasi yang menjadi aspirasi publik pasca Orde Baru, tampaknya kini perlu diangkat kembali sebagai isu publik. Apalagi dari sejumlah agenda reformasi yang telah dilaksanakan selama ini, birokrasi merupakan salah satu wilayah yang belum tersentuh secara signifikan. Presiden SBY pun beberapa waktu lalu telah merespon tuntutan ini dengan mengemukakan akan memimpin sendiri secara langsung proses reformasi birokrasi ini dengan membentuk tim khusus. Entah tim khusus seperti apa yang akan dibentuk, belum ada penjelasan konkret. 

Salah satu masalah krusial yang patut disoroti terkait masalah ini adalah soal yang berhubungan dengan perilaku jaringan orang-orang partai yang berkuasa dalam domain lembaga birokrasi. Kita ketahui, bahwa keberadaan mereka bagaimanapun sulit dipungkiri membawa pengaruh kepentingan politik praktis. Tuntutan publik adalah agar para politisi yang menjadi pejabat pemerintahan tidak mempolitisasi birokrasi. 

Memang ironis, bahwa upaya untuk membangun birokrasi modern yang seperti diistilahkan oleh Max Weber sebagai birokrasi rasional yang lebih bertumpu pada aspek profesionalitas dan prestasi sebagai public servant masih sulit untuk dibangun. Sepanjang era reformasi, birokrasi menunjukkan peluangnya malah kian terperangkap menjadi alat politik partisan. Apalagi sumber rekrutmen kepemimpinan birokrasi mulai Presiden/Wakil Presiden, Menteri-menteri, Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota, hingga Bupati/Wakil Bupati, tidak terlepas dari jaringan dukungan parpol. 

Akar Sejarah Politisasi
Potret birokrasi di Indonesia memang memiliki akar masalah sejarah yang tidak pernah terlepas dari pengaruh politik praktis. Sejak awal kemerdekaan, birokrasi telah menjadi objek dan alat politik. Kita ketahui bahwa di era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an, ketika parpol tampil saat itu sebagai aktor sentral dalam sistem politik Indonesia, birokrasi secara masif telah menjadi objek pertarungan kepentingan dan arena perlombaan pengaruh parpol, sehingga menimbulkan polarisasi dan fragmentasi birokrasi. 

Terjadinya perubahan politik ke era Demokrasi Terpimpin (1959-1966) pun tidak menghasilkan perubahan mendasar kecuali perubahan peta kekuatan politik. Pergeseran politik saat itu ditandai tiga konteks: pertama, peranan parpol mulai termarjinalisasikan sebagai aktor utama dalam sistem politik; kedua, menonjolnya figur Presiden Soekarno sebagai ?patron kekuasaan?; dan ketiga, masuknya kekuatan militer secara resmi ke pentas politik, menempati banyak jabatan strategis pemerintahan dari pusat hingga daerah. 

Marjinalisasi parpol dalam era Orde Lama itu, penyebabnya tidak terlepas dari sentimen Soekarno dan militer. Stigma negatif terhadap parpol sebagai biang instabilitas ?suatu isu yang oleh rezim Orde Baru yang lahir kemudian, kian dipertajam? merupakan senjata ampuh dalam proses penyingkiran parpol. Kecuali PKI saat itu satu-satunya partai yang dapat menarik keuntungan karena kedekatannya dengan Presiden Soekarno. Namun, dalam realitasnya justru yang terjadi pergulatan politik segi tiga (Soekarno, PKI, dan militer), sebagaimana tercermin puncaknya dalam Peristiwa G30S, dengan dampaknya yang juga akhirnya menimbulkan fragmentasi birokrasi.

Terjadinya peralihan ke era rezim Orde Baru (1966-1998) berikutnya pun hanya merupakan peristiwa perubahan konfigurasi politik juga. Perubahan itu antara lain ditandai dua hal. Pertama, pola kontestasi kekuatan politik berubah dari polarisasi dan pertarungan antar-parpol dan politisi sipil ke pola dominasi militer dan Golongan Karya (Golkar). Kedua, proses marjinalisasi parpol secara umum yang terus berjalan seiring dengan tampilnya unsur kekuatan militer yang kian memantapkan posisi sebagai aktor sentral. 

Kita ketahui, kelahiran Orde Baru merupakan buah kemenangan militer dengan politik representasinya yang terpusat pada sosok Jenderal Soeharto. Hal ini yang menjadi penyebab militer di masa Orde Baru itu dengan jalan terbuka lebar berhasil mendominasi struktur birokrasi, termasuk memperalatnya sebagai sarana represif untuk membungkam setiap gerakan kritis termasuk mahasiswa dan LSM. Bedanya dengan masa sebelumnya, birokrasi tidak lagi terfragmentasi oleh pertarungan kepentingan parpol, tetapi terjebak dalam hegemonisasi kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru yang didominasi militer. 

Selama masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi benar-benar sempurna menjadi alat politik rezim patrimonialistik dan militeristik Presiden Soeharto. Mirip cara rezim kolonial Belanda dalam memanipulasi aparat birokrasi tradisional atau kalangan pangreh praja yang diintegrasikan ke dalam beamtenstaat (struktur kolonialisme); demikian korps pegawai negeri juga diintegrasikan sebagai mesin politik negara korporatik-otoritarian oleh rezim Orde Baru. 

Tindakan institusionalisasi itu dimulai lewat Korps Karyawan Pemerintah Dalam Negeri di awal Orde Baru, dan berikut disempurnakan dengan Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) lewat Kepres No. 82/1972. Melalui jalan itulah, aparat birokrasi secara masif dimobilisasi untuk kepentingan politik rezim, termasuk sebagai pendukung kekuatan politik ?kuda troya? (baca: Golkar) sekaligus sebagai basis konstituen aktual di setiap pemilu yang hanya bertujuan melanggengkan status quo rezim. 

Tidak heran, setelah keruntuhan Orde Baru tahun 1998, berkembang tuntutan luas dari publik bagi penegakan netralisasi politik birokrasi. Tuntutan reformasi ini sebagian sebenarnya telah direspon oleh rezim pemerintahan pasca-Soeharto. Hubungan antara birokrasi dengan kekuatan politik praktis mulai dipangkas, termasuk keterkaitan birokrasi dengan Golkar bersama kino-kino derivasinya, sementara Korpri sendiri disingkirkan sebagai wadah korporatik yang merantai aparat birokrasi. Misalnya, dengan membuat peraturan agar Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjadi anggota parpol harus berhenti atau diberhentikan dari jabatannya atau cuti jika terlibat dalam parpol. Namun, status sebagai aparat negara dapat diaktifkan lagi jika mereka melepaskan keterikatan sebagai anggota maupun pengurus parpol. Bagian dari aturan yang sama juga mencakup unsur militer (TNI) dan kepolisian (Polri). 

Masalahnya, berbagai langkah reformasi birokrasi pasca Orde Baru tersebut terganjal faktor real politics. Tampaknya birokrasi tetap juga sulit untuk melepaskan diri dari pengaruh politik praktis, berhadapan pluralisasi kepartaian dan tampilnya politisi atau parpol yang menggantikan peranan dominan militer sebagai aktor utama sistem politik. Gambaran gonjang-ganjing kepartaian yang tak pernah sepi dalam pertarungan kekuasaan dan perebutan kursi mulai dari pusat hingga daerah sejak era kepemimpinan Presiden BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan jelas menunjukkan fenomena itu. 

Di tengah era reformasi dewasa ini yang membuka peluang bagi berkembangnya pluralisasi dan polarisasi kepartaian, termasuk keterbukaan pola rekrutmen politik, mirip pengalaman era Demokrasi Parlementer tahun 1950-an di masa lalu, kiranya kita telah menyaksikan bersama suatu kontestasi seru persaingan partai dan politisi yang berlomba untuk dapat merebut kursi atau minimal berusaha mempengaruhi kinerja birokrasi pemerintahan. Khususnya di level daerah/lokal dari provinsi hingga kota/kabupaten, realitas ini bahkan seolah kian terlegitimasikan penguatannya lewat UU Pemerintahan Daerah, baik UU No. 22/1999 yang telah ditinggalkan maupun UU No. 32/2004 yang baru, beserta peraturan pelaksanaannya yang bersemangatkan otonomi daerah.

Tuntutan Netralisasi Birokrasi
Dengan melihat masalah politisasi birokrasi yang tetap berlangsung, maka jelas tampak di sini pentingnya untuk mengartikulasikan kembali tuntutan netralisasi birokrasi. Sebenarnya tuntutan ini sudah pernah menghangat ketika muncul perdebatan mengenai rangkap jabatan seorang pejabat pemerintahan sekaligus pengurus atau anggota partai. Namun demikian, tuntutan itu mendapatkan resistensi dari parpol dan para politisi atau kader partai yang meraih kekuasaan dalam kepemimpinan birokrasi pemerintahan. 

Terungkap setidaknya tiga alasan dari sikap para politisi dan parpol sehingga tidak mau melepaskan inter-relasinya. Pertama, bahwa tidak ada aturan yang melarang seorang aktivis partai merangkap sebagai pejabat birokrasi, khususnya pada jabatan politis dari presiden/wakil presiden, menteri, gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil walikota, dan bupati/wakil bupati. Kedua, bertahannya mereka sebagai pengurus partai meski telah menjadi pejabat birokrasi, bukan karena ambisi pribadi namun karena kehendak partai termasuk konstituen. Ketiga, posisi sebagai aktivis partai dan pejabat negara/pemerintahan merupakan dua hal yang berbeda, karena itu, katanya, dapat berusaha mereka pisahkan.

Pertanyaan yang menarik dilontarkan, apakah mungkin bagi para politisi yang merangkap sebagai birokrat itu benar-benar dapat melepaskan diri dari ikatan aspirasi atau kepentingan partai yang mendukungnya? Sulit disangkal mereka pasti mengalami kendala. Terbuka peluang birokrasi untuk dimanfaatkan sebagai alat politik, jika tidak akibatnya malah melahirkan conflict of interest. Mengingat, garis batas aktivitas dan kepentingan antara domain birokrasi dan parpol bisa amat kabur, jika politisi bersangkutan menjabat pejabat birokrasi tanpa melepaskan atribut kepartaiannya.

Mencuatnya berbagai isu krusial seperti pergantian atau pergeseran pejabat dalam pos-pos pemerintahan oleh pejabat yang berkuasa yang tidak mengindahkan aturan, aksi dukung-mendukung aparat birokrasi terhadap kandidat dan aktivitas partai tertentu terutama dalam kasus Pilkada, adanya penetrasi kepentingan parpol dalam penentuan dan pengelolaan anggaran pembangunan dan banyak lagi lainnya yang sudah menjadi isu publik, semua itu menunjukkan isyarat kemungkinan terjadinya politisasi birokrasi.

Maka, kini mendesak bagi pemerintah bersama lembaga legislatif mulai dari level pusat hingga ke daerah, untuk menegakkan profesionalitas dan netralitas kinerja birokrasi. Untuk itu, diperlukan code of conduct berupa regulasi tersendiri yang mengatur kinerja birokrasi atau dengan mengefektifkan regulasi yang sudah ada untuk mengontrol dan mengevaluasi masalah ini. Alternatif lain ialah dengan membentuk sebuah institusi kontrol khusus atau dengan mengefektifkan lembaga pengawas berwewenang yang sudah ada mulai dari pusat hingga daerah, untuk mengawasi dan mengevaluasi sejauh mana arah rasionalitas dan profesionalitas birokrasi telah ditegakkan.

Selain itu, keterlibatan komponen masyarakat sipil (civil society) juga penting dalam mengontrol performa birokrasi. Mengingat posisinya yang amat strategis sebagai wadah yang lebih mampu bersikap kritis dan bergerak otonom di antara domain birokrasi (state/government) dan parpol (political society). Unsur masyarakat sipil harus menjaga jangan sampai birokrasi secara melanggar aturan hanya dimanfaatkan sebagai alat politik dan legitimasi belaka, untuk kepentingan partisan pihak yang memegang kepemimpinan birokrasi bersama parpol pendukungnya.

Birokrasi indonesia tercipta sebagai warisan dari sejarah masa penjajahan dan pasca penjajahan kolonial. Pola kekuasaan dalam budaya Jawa bercampur dengan budaya administrasi pemerintahan Barat menempatkan pencitraan birokrasi sebelum masa reformasi sebagai raja-raja kecil.

Belum lagi, di masa pemerintahan Orde Baru, birokrasi mendapatkan tempat paling tinggi dalam tatanan masyarakat, bukan sebagai pelayan (pamong) rakyat, namun lebih sebagai dilayani rakyat. Penguatan jajaran birokrasi terutama setelah dilegitimasikannya PNS untuk masuk dalam arena politik, sebagai kendaraan partai Soeharto, Golkar, memenangkan pemilihan umum sampai ke 7 kalinya.

Setelah memahami birokrasi, maka hubungan insitusi pusat dan daerah dapat kita rumuskan. Pola hubungan sentralistis di masa Soeharto, fokus pada pemerintah pusat. Birokrasi di daerah merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, sehingga sangat jarang terdengar putra daerah menduduki jabatan strategis pemerintahan daerah, seperti gubernur dan bupati. Namun, perubahan terjadi di era otonomi daerah tahun 1999, ketika desentralisasi membuat kekuasaan tidak lagi berada di tangan pusat, namun di daerah.

Oleh karena itu, sebelum membahas mengenai hubungan kelembagaan pusat dan daerah, pertama kita akan berkenalan dengan konsep hubungan kelembagaaan pusat dan daerah. Kemudian, bagian kedua akan membahas masalah birokrasi Indonesia. Dan terakhir, menganalisa mengenai 






Konsep Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah
Hubungan kelembagaan pusat dan daerah dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu sentralisasi dan desentralisasi. Sentralisasi merupakan hubungan kelembagaan pusat dan daerah bersifat top down, hirarkhis, kewenangan kekuasaan dalam hal pengaturan kelembagaan daerah berasal dari pusat (contoh: kantor wilayah). Sedangkan desentralisasi, bottom up, merupakan hubungan kelembagaan pusat dan daerah bersifat fungsional, koordinasi, dengan pelimpahan kewenangan kelembagaan pusat kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintah pusat di daerah (dekonsentrasi), mengurus kepentingan rumah tangga daerah sendiri (desentralisasi), menyelenggarakan urusan pemerintah daerah dengan dibantu oleh biaya, fasilitas, dan pertanggungjawaban dari pusat (tugas pembantuan, medebewind).

Desentralisasi menurut Alexis De Tocqueville, tidak hanya berdimensi administrasi saja, akan tetapi memiliki dimensi civic karena meningkatkan kesempatan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam masalah publik dan membuat mereka terbiasa menggunakan kebebasannya. Akumulasi penggunaan kemerdekaan lokal secara aktif dan hati-hati, melahirkan teknik untuk melawan kesewenangan pemerintah pusat, meskipun pemerintah tersebut didukung oleh kepentingan kolektif.

Pola hubungan kelembagaan desentralisasi mengalami pasang surut arus perubahan. Arus pertama desentralisasi pada dasarnya merupakan hubungan kelembagaan dekonsentrasi administratif pusat daerah yang terjadi pada abad ke 19 dan paruh kedua abad ke 20. Dekonsentrasi Administratif ini merupakan bentuk utama dari tren desentralisasi bentuk awal. Dalam konteks proses dekonsentrasi, berbagai fungsi dan kewenangan kementerian dipindahkan ke daerah atau kantor perwakilan di daerah.

Desentralisasi bentuk terbatas ini hanya berkonsentrasi pada hubungan antara organ tingkat pusat dan daerah, level lain dari pemerintaha hanya sebatas menyampaikan perintah dan melaksanakan keputusan. Walaupun demikian keputusan penting selalu dibuat di pusat, sedangkan level dekonsentrasi melalui delegasi kewenangan hanya memutuskan masalah yang kurang penting. Ketika suatu pemerintahan memutuskan untuk melakukan dekonsentrasi, mereka kebanyakan berusaha mendekatkan pelayanan ke masyarakat dengan memindahkan pegawai pusat ke daerah,, atau dengan menugaskan beberapa tanggung jawab kepada pemerintah daerah, di lain pihak tetap pusat tetap memegang kontrol terhadap keputusan yang diambil oleh lokal/daerah.

Arus kedua desentralisasi dari dekonsentrasi administratif ke devolusi terjadi ketika era 80-an dan selebihnya pada era 90-an. Pemerintah berusaha untuk memperbaiki kelemahan dari dekonsentrasi dengan menyerahkan kewenangan pengambilan keputusan, bukan pada level lokal dari pemerintah pusat, atau agen pemerintah semi otonomi, akan tetapi pada pemerintahan lokal terpilih dalam suatu daerah hukum tertentu dan pada organisasi kemasyarakatan (civil society). Transfer fungsi dan sumber daya di antara level pemerintah pusat yang berbeda-beda, menjadi lebih penting dengan adanya transfer pengambilan keputusan dan sumber daya pemerintah pusat ke civil society melalui devolusi.

Empat macam perubahan antara lain berkaitan dengan kemampuan obyektif dan efektif administrasi dan demokrasi lokal: (1) pembentukan batas wilayah hukum pemerintahan lokal; (2) memberlakukan pemilihan umum di wilayah hukum pemerintahan lokal; (3) transfer atau penyerahan wewenang dengan pendanaan yang cukup kepada pemerintahan lokal/daerah untuk melaksanakan fungsi yang ditugaskan; (4) perwakilan pemerintah pusat di daerah dihapuskan, terutama yang berkaitan dengan kontrol dan keuangan pusat di daerah.

Desentralisasi era baru lebih dikenal sebagai devolusi kelembagaan civil society dan pemerintah daerah Devolusi merupakan bentuk paling mutakhir dari desentralisasi secara umum, dengan melibatkan penyerahan wewenang lembaga pusat ke daerah dengan otonomi luas, status hukum kuat, dan juga dapat bersifat mewakili. Desentralisasi era baru didampingi dengan mekanisme yang melibatkan partisipasi rakyat dalam proses pembuatan keputusan.

Kemudian, akuntabilitas atau pertanggungjawaban aparatur negara atau birokrat dan pejabat yang dipilih kepada rakyatnya harus bersatu pada dalam proses densentralisasi. Pemerintahan menyesuaikan dengan pembentukan peran dan kewenangan lebih besar bagi civil society dan pemerintahan daerah, keduanya harus memenuhi keinginan dari rakyat dan hasrat untuk memberikan pelayanan konsultasi di tingkat apapun, dengan jaminan bahwa desentralisasi telah dilengkapi untuk mewadahi partisipasi rakyat dalam pemerintahan daerah.

Desentralisasi era baru memiliki beberapa karakter yaitu: (1) pergantian aparat/pejabat/birokrat dari yang bersifat paksaan menjadi berdasarkan kontrak; (2) pejabat daerah berwenang melalui pemilihan umum adalah merupakan ekpresi dari keinginan negara untuk berdesentralisasi dan memberikan bentuk kelembagaaan untuk warga negara untuk mengelola urusannya sendiri melalui pendekatan pola kemitraan.

Pengantar Diskusi
Jumlah keseluruhan pegawai negeri sipil di Indonesia adalah sekitar 4 juta orang. Mereka menyusun jajaran birokrasi yang terdapat di institutsi pemerintah pusat dan daerah. Di luar militer sejumlah 300.000 an prajurit, yang juga merupakan anggota birokrasi, PNS memiliki kualitas yang sangat berkelas-kelas.

Akhir-akhir ini birokrasi pemerintahan Indonesia mendapat sorotan keras dari berbagai pihak terutama di kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Nursyahbani Katjasungkana dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, misalnya mengkritisi kebijakan pemerintah untuk memulai reformasi birokrasi di Departemen Keuangan dengan berencana memangkas separuh pegawai yang kompetensinya tidak sesuai serta membentuk satu direktorat fungsional baru untuk menampung pegawai yang dimutasi.[4].

Sebaliknya menurut Kantjasungkana, reformasi harus diawali dengan restrukturisasi seperti pemangkasan pegawai tidak kompeten dengan pension din dan pembagian tugas yang jelas, karena selama ini pembagian tugas cenderung berlebihan.[5]

Pertanyaan diskusi:
  • apakah menurut saudara reformasi birokrasi nyata, bagaimana di instansi saudara? 
  • Reformasi itu apa sih? Mengapa dibutuhkan? 
  • Model reformasi semacam pengurangan pegawai, pengalihjabatan ke fungsional, menaikan gaji, apakah efektiff mewujudkan reformasi birokrasi?
  • Strategi macam apa yang menurut saudara dapat merubah birokrasi Indonesia?
  • Sebaiknya birokrasi Indonesia dapat terjun dalam politik atau tidak?
  • Apa yang akan terjadi bila birokrasi berpolitik?
  • Menurut saudara, reformasi birokrasi yang sekarang difokuskan untuk remunerasi pegawai departemen keuangan, kepolisian, dan MA misalnya apakah akan berjalan efektif memperbaiki kinerja birokrasi Indonesia atau sebaliknya?
  • Keputusan MA memenangkan gugatan kasasi mantan presiden soeharto terhadap majalah times mengundang kontroversi dengan kewajiban majalah times berbasis internasional untuk membayar ganti rugi sebanyak 1 triliun, bagaimana ini bisa terjadi? Apa efek ketidakpastian hukum tersebut terhadap semangat reformasi birokrasi?
  • Laporan world bank dan PBB menempatkan Soeharto sebagai penguasa terkorup di dunia dengan kekayaan hasil korupsi senilai 35 miliar dollar US mempermalukan wajah Indonesia. Mengapa begitu?
[1] Administrasi Publik Referensi On Karl Marx: Hal Draper, Karl Marx's Theory of Revolution, Volume 1: State and Bureaucracy. New York: Monthly Review Press, 1979.
[2] On Weber: Watson, Tony J. (1980). Sociology, Work and Industry. Routledge. ISBN 0-415-32165-4:
[3] Adi Suryadi Culla, Dosen Fisip Unhas, Tantangan Reformasi Birokrasi, 15 Sep 2005.
[4] Menurut Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara, Herry Purnomo, langkah pembentukan direktorat baru merupakan efek dari reformasi birokrasi di departemen tersebut. Lihat Koran Tempo, 5 September 2007).
[5] Pegawai Negeri Tak Berkualitas Diusulkan Pensiun Dini
Senin, 17 September 2007 | 00:26 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Pegawai Negeri Sipil Yang Tidak Berkualitas Sebaiknya Dipensiundinikan. 
KURNIASIH BUDI Http://Www.Tempointeraktif.Com/

No comments:

Post a Comment