Lingkungan Birokrasi dan Etika Birokrasi
Lingkungan Birokrasi
Pembahasan tentanng birokrasi sebagai organisasi tidak dapat dipisahkan dengan faktor lingkungan. Kehadiran teori sistem sebagai pelopor perspektif modern membuka wawasan baru dalam teori organisasi. Berbeda dengan perspektif klasik, maka perspektif modern memasukkan unsur lingkungan sebagai determinan dan mencoba mengembangkan teori-teori yang menjelaskan hubungan organisasi dan lingkungan. Berkaitan dengan ini Hatch (1997:76) mengelompokkannya ke dalam dua periode, yaitu: (1) periode awal 1960-an hingga akhir 1970-an, dimana teori-teori yang dikembangkan bersifat kontingensi dalam arti lingkungan mempengaruhi organisasi, dan (2) periode awal 1980-an sampai sekarang, dimana teori-teori yang dikembangkan lebih ditekankan pada penjelasan secara lebih detail tentang bagaimana lingkungan mempengaruhi organisasi.
Burn dan Stalker (1961) dalam penelitiannya di Inggeris dan Scotlandia menemukan bahwa organisasi-organisasi yang mereka teliti ternyata dapat dibedakan menjadi dua jenis struktur yang berbeda, yaitu struktur mekanik dan organic (Gerlof, 1985:51). Meskipun penelitian ini dilakukan terhadap organisasi-organisasi industri, namun klasifikasi ini juga ditemukan pada organisasi publik atau birokrasi pemerintah.
Struktur organisasi yang mekanistik dibuat atas dasar pertimbangan bahwa sistem kerja yang stabil dibutuhkan agar organisasi dapat menjalankan berbagai fungsinyasecara efektif dan efisien. Oleh karena itu, untuk setiap posisi atau jabatan di dalam organisasi harus ditentukan secara jelas otoritas atau wewenangnya, kebutuhan informasi, kompetensi, dan aktivitas teknis yang dilakukan. Mereka yang menduduki posisi tersebut tidak boleh melanggar batas-batas yang telah ditentukan. Dengan cara ini, organisasi dapat berjalan secara efisien karena dodasarkan pada prosedur-prosedur yang distandardisasi, terutama untuk tugas-tugas yang bersifat rutin.
Sedangkan struktur organic bekerja dengan prinsip sebaliknya. Struktur ini mengandalkan kreativitas dan daya adaptasi individu dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Oleh karena itu batasan-batasan sebagaimana telah disebutkan diupayakan seminimal mungkin, sehingga anggota organisasi memiliki ruang yang lebih luas untuk menyesuaikan berbagai tugasnya sejalan dengan perubahan lingkungan yang dihadapi. Menurut Burn dan Stalker, bahwa organisasi mekanistik berjalan efektif jika lingkungan yang dihadapi stabil dan tugas-tugas yang dilakukan dapat ditangani dengan mekanisme yang bersifat rutin. Sementara untuk lingkungan yang cenderung berubah-ubah dan sifat permasalahannya tidak dapat diatasi dengan cara-cara rutin, organisasi organik akan lebih mendukung (Kusdi, 2009:73-74).
Eksistensi birokrasi sebagai suatu organisasi memang tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan internal dan eksternal organisasi. Lingkungan internal organisasi tidak saja meliputi kondisi fisik yang sifatnya kasat mata, melainkan hal-hal yang tidak secara eksplisit terlihat akan tetapi juga mempengaruhi kondisi lingkungan internal, seperti budaya kerja, kebiasaan-kebiasaan pegawai, perilaku organisasi, sistem diskresi, dan lain-lain. Kondisi internal pegawai tersebut senantiasa berubah dan berkembang, sehingga menuntut sebuah pembelajaran yang sesuai, agar permasalahan-permasalahan yang muncul dapat diantisipasi. Sedangkan lingkungan eksternal meliputi instansi-instansi lain, organisasi swasta, masyaralat, kebijakan-kebijakan pemerintah, teknologi, kondisi sosial ekonomi yang mengalami dinamika dari waktu-ke waktu (Matheus dan Sulistiyani, 2011: 47-48)
Dalam konteks penelitian ini, salah satu faktor lingkungan yang menjadi fokus penelitian, yaitu budaya yang bersifat paternalistik. Pada masyarakat yang berbudaya paternalistic, dampak negatif struktur birokrasi yang hierakis tidak dapat dikoreksi oleh sistem budayanya. Tidak seperti di negara-negara barat yang memiliki budaya rasionalyang mampu berperan sebagai sensor efektif terhadap dampak negatif dari hierarki, seperti ABS, distrosi informasi, dan promosi atas dasar pertimbangan hubungan subyektif. Budaya rasional mengajarkan kepada masyarakat untuk menghargai orang atas dasar prestasi, bukan atas dasar loyalitas, keturunan dan ukuran-ukuran subjektif lainnya. Salah satu karakteristik penting yang membedakan antara birokrasi paternalistic dengan birokrasi yang rasional adalah konsep mereka mengenai jabatan. Dalam birokrasi paternalistis, jabatan dilihat sebagai fungsi dan kepercayaan atasan, sedangkan dalam birokrasi rasional jabatan adalah fungsi dan prestasi kerja (Gruber, 1988).
Etika Birokrasi
Konsep etika dalam berbagai literatur mengandung beberapa arti, seperti digambarkan oleh Bertens (2000) bahwa salah satu diantaranya dan biasa digunakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Filsuf besar Aristoteles telah mengunakan kata etika ini dalam menggambarkan filsafat moral, yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Bertens juga mengatakan bahwa di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Purwadarminta), etika dirumuskan sebagai ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; 1988), disebut sebagai (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral; (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Mencermati beberapa sumber di atas, Bertens berkesimpulan bahwa ada tiga arti penting dari konsep etika, yaitu:
- etika sebagai nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, atau disebut dengan “sistem nilai”,
- etika sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan “kode etik”, dan
- etika sebagai ilmu tentang baik atau buruk, yang acapkali disebut “filsafat moral”
Moral selalu dikaitkan dengan kewajiban khusus dihubungkan dengan norma sebagai cara bertindak yang berupa tuntutan, baik yang relatif maupun yang mutlak. Dengan demikian moral merupakan wacana normatif dan imperatif yang diungkapkan dalam kerangka baik/buruk, benar/salah yang dianggap sebagai nilai mutlak atau transenden, isinya adalah kewajiban-kewajiban. Dengan demikian kondep moral mengacu keseluruh aturan dan norma yang berlaku, yang diterima suatu masyarakat tertentu sebagai pegangan dalam bertindak dan diungkapkan dalam kerangka baik dan buruk, benar dan salah.
Menurut Chander dan Plano (1988) dalam etika terdapat empat aliran utama, yaitu: (1) empirical theory; melihat bahwa etika diturunkan dari pengalaman manusia dan persetujuan umum. Dalam konteks ini penilaian tentang baik dan buruk tidak terlepas dari atau tidak terpisahkan dari fakta dan perbuatan; (2) rational theory; melihat bahwa baik atau buruk sangat tergantung dari reasoning atau alasan dan logika yang melatarbelakangi suatu perbuatan, bukan pengalaman. Dalam konteks ini, setiap situasi dilihat sebagai suatu yang unik dan membutuhkan penerapan yang unik dari logika manusia dan memberikan kesimpulan yang unik pula tentang baik atau buruk; (3) intuitive theory; melihat bahwa etika tidak harus berasal dari pengalaman dan logika, tetapi manusia secara alamiah dan otomatis memiliki pemahaman tentang apa yang benar dan salah, apa yang baik dan yang buruk. Teori ini menggunakan hukum moral alamiah atau “natural moral law”; dan (4) revelation theory; melihat bahwa yang benar atau salah berasal dari kekuasaan di atas manusia yaitu dari Tuhan sendiri. Dengan kata lain apa yang dikatakan Tuhan (dalam berbagai kitab suci) menjadi rujukan utama untuk memutuskan apa yang benar dan apa yang salah.
Pada kenyataannya etika menjadi suatu hal yang amat dilekatkan dengan birokrasi. Alasannya sangat sederhana, yakni karena merekalah yang mempunyai kekuasaan dan mereka juga yang harus membuat keputusan-keputusan. Keputusan-keputusan mereka itu akan mempengaruhi publik secara keseluruhan. Oleh karena itu etika senantiasa dihubungkan dengan soal nilai yang mengatur perilaku manusia, dihadapkan pada benar atau salah sesuatu tindakan dan pada baik atau buruknya motif dan tujuan tindakan yang dilakukan. Dalam konteks birokrasi pemerintah, setiap aparatur pemerintah wajib memiliki sikap mental dan perilaku yang mencerminkan keunggulan watak, keluhuran budi, dan asas etis. Ia wajib mengembangkan diri, sehingga sunguh-sunggih memahami, menghayati dan menerapkan berbagai asas etis yang bersumber pada kebajikan-kebajikan moral (khususnya keadilan) dalam tindakan jabatannya.
Berkaitan dengan itu, Dwight Waldo dalam “The Enterprise of Public Administration”, menyatakan bahwa petugas Negara memiliki kewajiban-kewajiban etis (ethical obligations). Oleh karena itu, setiap petugas administrasi pemerintahan wajib memahami asas-asas etis yang bersumber pada berbagai kewajiban moral, kemudian membina diri sehingga sungguh-sungguh menghayati asas-asas etis itu dalam melaksanakan tugasnya. Waldo mengemukakan berbagai asas etis (Sukidin, 2011: 26-29) yang pokok dalam administrasi pemerintahan, yaitu:
a. Pertanggujawaban (responsibility)
Asas etis ini menyangkut hasrat seseorang petugas untuk merasa memikul kewajiban penuh dan ikatan kuat dalam melaksanakan semua tugas pekerjaan secara memuaskan. Petugas administrasi pemerintahan harus mempunyai hasrat besar untuk melaksanakan fungsi-fungsinya secara efektif, sepenuh kemampuan, dan dengan cara paling memuaskkan pihak yang menerima pertanggungjawaban. Pertanggungjawabannya itu tertuju kepada rakyat umumnya, instansi pemerintahnya, maupun pihak atasan langsung.
Kecenderungan untuk melepaskan tanggung jawab atau keinginan untuk melemparkan tanggung jawab kepada pihak lain atau pun kebiasaan mengajukan dalih “hanya melaksanakan perintah” (just following orders), harus dihilangkan dari diri setiap aparatur pemerintah. Dengan demikian setiap petugas administrator pemerintahan harus siap untuk memikul pertanggung jawaban mengenai apa saja yang dilakukannya. Ia tidak boleh terjebak pada alasan bahwa ia hanya menjalankan petunjuk atau melaksanakan kebijakan pemerintah.
b. Pengabdian (dedication)
Pengabdian merupakan suatu keinginan untuk menjalankan tugas-tugas pekerjaan dengan semua tenaga (pikiran atau mental dan fisik), seluruh semangat kegairahan, dan sepenuh perhatian tanpa pamrih apa-apa yang bersifat pribadi, misalnya ingin cepat naik pangkat atau diberi tanda jasa. Setiap petugas dalam administrasi pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya harus selalu dan terus menerus menunjukkan keterlibatan diri (involvement of selself) dan penuh antusiasme. Kecenderungan bekerja setengah hati atau asal jadi, tidak boleh ada dalam diri setiap petugas yang baik. Pengabdian itu terarah pada jabatannya, keahliannya, dan bidang profesinya.
c. Kesetiaan (loyality)
Kesetiaan merupakan suatu kebajikan moral, yaitu sebagai kesadaran seseorang petugas untuk setulusnya patuh kepada tujuan bangsa, konstitusi Negara, peraturan perundang-undangan, badan/instansi, tugas/jabatan, maupun atasan demi tercapainya cita-cita bersama yang diharapkan. Pelaksanaan tugas pekerjaan dengan ukuran rangkap, pertimbangan untung-rugi, atau bahkan dengan kebiasaan sabotase, tidak dikenal dalam setiap petugas yang baik. Kalau seorang petugas tidak dapat menjalankan tugas jabatannya dengan sepenuh kemampuan, tidak bersedia terikat patuh pada badan/instansinya, atau tidak merasa cocok dengan kebijakan pihak pimpinannya, maka tindakan etis adalah mengundurkan diri dari jabatannya.
d. Kepekaan (sensitivity)
Asas etis ini mencerminkan kemauan dari kemampuan seseorang petugas untuk memperhatikan serta siaga terhadap berbagai perkembangan yang baru, situasi yang berubah, dan kebutuhan yang timbul dalam kehidupan masyarakat dari waktu ke waktu dengan disertai usaha-usaha untuk menanggapi secara sebaik-baiknya. Sikap tidak peduli asalkan tugas rutin sudah selesai atau tidak mau susah payah melakukan pembaharuan harus disingkirkan dari setiap petugas administrasi pemerintahan yang baik.
e. Persamaan (equality)
Salah satu kebajikan pokok dari badan pemerintahan yang bertujuan mengabdi kepada seluruh rakyat dan melayani kepentingan umum ialah perlakuan adil. Perlakuan yang adil itu biasanya dapat diwujudkan dengan memberikan perlakuan yang sama tanpa membeda-bedakan atau pilih kasih kepada semua pihak. Persamaan dalam perlakuan, pelayanan, dan pengabdian harus diberikan oleh setiap petugas kepada publik tanpa memandang hubungan kerabat, ikatan politik, asal-usul keturunan, atau kedudukan sosial. Perbedaan perlakuan secara semena-mena atau berdasarkan kepentingan pribadi, tidak boleh dilakukan oleh petugas administrasi pemerintahan yang adil.
f. Kepantasan (equity)
Persamaan perlakuan terhadap semua pihak sebagai suatu asas etis, tidak selalu mencapai keadilan dan kelayakan. Persoalan dan kebutuhan dalam masyarakat sangat beraneka ragam, sehingga memerlukan perbedaan perlakuan asalkan berdasarkan pertimbangan yang adil atau alasan yang benar. Demikian pula, sesuatu faktor khusus atau situasi tertentu dapat membuat persamaan yang ketat menjadi suatu perlakuan yang tidak adil. Dengan demikian terhadap suatu kelompok tertentu dan untuk suatu keadaan tertentu, perlu diberikan perlakuan yang sama. Tetapi terhadap suatu golongan lain dan berdasarkan kondisi khusus yang berlainan, mungkin perlu ada perlakuan yang tidak sama. Untuk itu, asas yang harus diindahkan ialah kepantasan yang juga merupakan salah satu makna keadilan. Asas kepantasan mengacu pada suatu hal yang sepatutnya menurut pertimbangan moral atau nilai etis yang berlaku dalam kehidupan masyrakat.
Dalam pemberian pelayanan publik, telah terjadi pergeseran paradigma etika. Pergeseran tersebut diuraikan oleh Keban (2008; 173-6) dengan menelusuri tulisan Denhardt yang berjudul The Ethics Of Public Service (1988). Dalam tulisan ini digambarkan sejarah etika pelayanan publik mulai dari karya Wayne A.R.Leys tahun 1944 yang disebutnya sebagai Model I-The 1940s. Leys memberikan saran kepada pemerintah Amerika Serikat tentang bagaimana menghasilkan suatu “good public policy decision”. Ia berpendapat bahwa sudah waktunya meninggalkan kebiasaan atau tradisi (custom) yang selama ini selalu menjadi pegangan utama dalam menentukan suatu pembuatan keputusan karena pemerintah selalu berhadapan dengan berbagai masalah baru. Kebiasaan dan tradisi tersebut harus digoyang dengan standar etika yang ada, dimana etika harus dilihat sebagai “source of doubt”. Pertanyaan-pertanyaan etika harus digunakan dalam menilai apakah suatu keputusan sudah dianggap baik atau tidak. Singjkatnya dalam model ini dikatakan bahwa agar menjadi etis, diperlukan seorang administrator senantiasa menguji dan mempertanyakan standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan daripada hanya sekedar menerima atau tergantung pada kebiasaan dan tradisi yang ada (Denhardt, 1988:6).
Pada tahun 1953, Hurst A.Anderson dalam suatu pidatonya yang berjudul Ethical Values in Administration mengatakan, bahwa masalah etika sangat penting dalam setiap keputusan administratif, tidak hanya bagi mereka yang memformulasikan kebijakan publik, dan etika itu sendiri harus dipandang sebagai asumsi-asumsi yang menuntun kehidupan dan pekerjaan kita semua. Dengan kata lain, kita harus memiliki apa yang disebut “philosophy of personal and social living”. Pendapat ini diklasifikasikan oleh Denhardt (1988: 8) sebagai Model II-The 1950s, yang intinya bahwa agar dianggap etis maka seorang administrator hendaknya menguji dan mempertanyakan standar atau asumsi-asumsi yang digunakan sebagai dasar pembuatan keputusan. Standar-standar tersebut harus merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat, dan tidak sekedar tergantung semata pada kebiasaan dan tradisi. Perlu diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan nilai-nilai dasar (core values) masyarakat meliputi antara lain kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Kemudian pada tahun 1960an muncul suatu nuansa baru dalam etika pelayanan publik. Robert T. Golembiewski memaparkan dalam tulisannya yang berjudul Men, Management, and Morality tahun 1965, bahwa praktek-praktek organisasi yang telah berlangsung sekian lama yang didasarkan pada teori-teori organisasi tradisional telah membawa dampak negatif pada individu-individu yang bekerja dalam organisasi itu sendiri. Dengan kata lain, para individu tersebut merasa tertekan dan frustrasi dan oleh karena itu sisi etika dari praktek tersebut perlu mendapatkan perhatian. Standar-standar yang telah ditetapkan dalam organisasi jaman dulu belum tentu cocok sepanjang masa, karena itu harus dilihat apakah masih pantas dipertahankan atau tidak. Disini Golembiewski melihat etika sebagai “contemporary standards of right conduct” yang harus disesuaikan dengan perubahan waktu. Karena itu Denhardt (1988:9-10) melihat pendapat ini sebagai Model III-1960s, yang intinya bahwa agar menjadi etis, seorang administrator sebaiknya menguji dan mempertanyakan standar, atau asumsi yang melandasi pembuatan suatu keputusan. Standar-standar tersebut harus merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat dan tidak semata tergantung pada kebiasaan dan tradisi. Standar etika bisa berubah ketika kita mencapai suatu pemahaman yang lebih baik terhadap standar-standar moral yang absolut.
Pada tahun 1970an muncul para ahli administrasi publik yang tergolong dalam masyarakat New Public Administration, memberikan nuansa baru yaitu meminta agar administrator memperhatikan “administrative responsibility”. David K.Hart, salah seorang intelektualnya, menilai bahwa administrasi publik saat itu sudah bersifat “impartial” dan sudah waktunya merubah paradigma lama untuk memperbaiki kepercayaan publik yang waktu itu sudah pudar. Ia menyarankan agar “social equity” atau keadilan sosial harus menjadi pegangan pokok administrasi publik, sebagaimana disarankan oleh John Rawls dalam Teori Keadilan, yang dinilai benar-benar menggambarkan paradigma keadilan. Oleh karena itu, Denhardt (1988:16) menyebutnya sebagai Model IV-the 1970s, yang merupakan akumulasi penyempurnaan dari model-model sebelumnya, dimana dikatakan bahwa agar menjadi etis seoranmg administrator harus benar-benar memberi perhatian pada proses menguji dan mempertanyakan standar, atau asumsi yang melandasi pembuatan keputusan administratif. Standar-standar ini mungkin berubah dari waktu ke waktu dan administrator harus mampu merespons tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan baru dengan memperbaharui standar-standar tersebut. Isi dari standar-standar tersebut harus merefleksikan komitmen terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, dan administrator harus tahu bahwa ialah yang akan bertanggung jawab penuh terhadap satandart-standar yang digunakan dan terhadap keputusan-keputusan itu sendiri.
Perkembangan selanjutnya, muncul beberapa pendapat yang secara signifikan memberikan kontribusi bagi penyempurnaan paradigma etika pelayanan publik. Dua tokoh penting yang memberi kontribusi tersebut adalah John Rohr dalam karyanya Ethics for bureaucrats tahun 1978 dan Terry L. Cooper dalam The Responsible Administrator tahun 1986. John Rohr dalam tulisannya memberikan sumbangan yang sangat berarti, yaitu bahwa dalam proses pengujian dan mempertanyakan standard dan asumsi yang digunakan dalam pengambilan keputusan diperlukan “independensi”, dan tidak boleh tergantung dari pemikiran pihak luar seperti Mahkamah Agung atau Pengadilan Negeri, dsb. Karena itu Denhardt (1988:23) menyebutnya sebagai Model V-After Rohr, dimana dikatakan bahwa untuk dapat disebut etis, maka seorang administrator harus secara independen masuk dalam proses menguji dan mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan. Isi dari standar tersebut mungkin berubah dari waktu ke waktu ketika nilai-nilai sosial difahami secara lebih baik atau ketika masalah-masalah baru diungkapkan. Administrator harus memahami bahwa ia akan bertanggung jawab baik secara perorangan maupun kelompok terhadap keputusan-keputusan yang dibuat dan terhadap standar etika yang dijadikan dasar keputusan-keputusan tersebut.
Model akhir didasarkan pada pemikiran Cooper, sehingga Denhardt (1988:26) mentyebutnya sebagai Model VI-After Cooper. Model ini menggambarkan bahwa antara administrator, organisasi, dan etika terdapat hubungan penting dimana etika para administrator justru sangat ditentukan oleh konteks organisasi dimana ia bekerja. Jadi lingkungan organisasi menjadi sangat menentukan, bahkan begitu menentukan sehingga seringkali para administrator hanya memiliki sedikit “otonomi beretika”. Dengan kata lain, agar dapat dikatakan etis apabila seorang administrator mampu mengatur secara independen proses menguji dan mempertanyakan standar yang digunakan dalam pembuatan keputusan, paling tidak keputusan yang secara sah dibuat pada tingkatan organisasi itu. Isi dari standar tersebut mungkin berubah dari waktu kewaktu bila nilai-nilai sosial difahami secara lebih baik dan masalah-masalah sosial baru mulai terungkap. Administrator dalam hal ini harus siap menyesuaikan standar-standar tersebut dengan perubahan-perubahan tersebut, senantiasa memberikan komitmennya pada nilai-nilai dasar masyarakat dan tujuan organisasinya. Administrator akan bertanggung jawab secara perorangan dan professional, dan bertanggung jawab dalam organisasi terhadap keputusan yang dibuat dan terhadap standar etika yang digunakan dalam keputusan itu.
Berdasarkan gambaran singkat tentang pergeseran paradigm etika pelayanan publik di atas, maka dapat disimpulkan bahwa selama ini etika dan moralitas sudah mendapatkan perhatian yang serius dalam dunia pelayanan publik atau administrasi publik. Tiga hal pokok yang menarik perhatian dalam paradigma tersebut, yaitu (1) proses menguji dan mempertanyakan standar etika dan asumsi, secara independen. (2) Isi standar etika yang seharusnya merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat dan perubahan standar tersebut, baik sebagai akibat dari penyempurnaan pemahaman terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, maupun sebagai akibat dari muculnya masalah-masalah baru dari waktu ke waktu; dan (3) konteks organisasi dimana para administrator bekerja berdasarkan tujuan organisasi dan peranan yang dimainkan mereka, yang dapat mempengaruhi otonomi mereka dalam beretika. Menurut Denis Thompson (Shafritz & Hide,1997), di dalam administrasi publik terdapat isu etika yang kontroversil dan dilemmatis, yaitu etika netralitas dan etika struktur. Etika netralitas menuntut seorang administrator untuk netral, artinya menerapkan prinsip etika sesuai dengan kebijakan organisasi atau sebagaimana diputuskan oleh organisasi, dan tidak boleh menerapkan prinsip etika yang dianutnya. Etika seperti ini menuntut loyalitas tinggi bagi seorang administrator, dan menyangkal otonomi beretika. Pertanyaan yang sering muncul menyangkut isi kebijakan atau keputusan organisasi, apakah keputusan atau kebijakan tersebut baik atau buruk, benar atau salah. Bila ada keinginan yang tidak baik di balik kebijakan atau keputusan tersebut, apakah administrator tetap harus mengikutinya?
Untuk memahami relevansi etiuka dengan setiap aktivitas yang terdapat dalam birokrasi, perlu dirumuskan kembali lingkup administrasi negara itu sendiri yang pada akhirnya akan sampai pada perdebatan tentang paradigma. Kalau kita berbicara tentang paradigma maka kita harus memahami ilmu administrasi publik dari dua aspek. Aspek pertama disebut lokus yang menunjukkan tempat keberadaan suatu bidang ilmu, dan yang kedua adalah fokus yang menunjukkan kekhususan dari ilmu tersebut. Menururut Henry, paradigma yang terakhir mengatakan bahwa lokus administasi negara adalah mengenai kepentingan publik (public interest) dan urusan publik (public affairs), sedangkan fokusnya adalah teori organisasi dan ilmu manajemen (Henry, 1988: 33-65).
Berdasar pada hal tersebut, jelas bahwa administrasi publik merupakan proses yang rumit karena bukan saja berkaitan dengan aktivitas-aktivitas teknis yang berlandaskan ilmu manajemen untuk mencapai efisiensi yang tinggi melainkan juga aktivitas-aktivitas politis yang berusaha menafsirkan kehendak publik dan menerjemahkannya dalam kebijakan nyata. Kebijakan dapat didefinisikan sebagai seluruh gagasan mengenai tujuan dan cara/arah tindakan-tindakan manusia dalam organisasi (Surie, 1978:12).
Kebijakan menentukan norma dan mngatur administrasi negara pada tingkat strategis. Dari segi materi atau isi, administrasi negara berarti administrasi negara melakukan kebijakan publik yakni menetapkan dan melaksanakan suatu kebijakan yang berpengaruh kepada masyarakat umum. Dari segi formal atau bentuk, administrasi negara adalah pengambilan keputusan-keputusan yang mengikat orang banyak. Dari segi sosiologi, administrasi negara merupakan bentuk tindakan sosial tertentu yang diorganisasi. Jadi dalam praktek administrasi negara merupakan rangkaian pengambilan kebijakan, yang menghasilkan norma-norma formal, aturan-aturan, serta keharusan-keharusan bagi tindakan sosial. Proses pengaturan itu tentunya akan menunjang tertib sosial hanya apabila ia merujuk kepada rasa kebenaran dan keadilan dari warga masyarakatnya, sehingga setiap aktivitas administrasi negara akan selalu punya konsekuensi nilai (Kumorotomo, 2002:102). Dengan demikian dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa proses administrasi negara senantiasa menuntut pertanggung jawaban etis.
No comments:
Post a Comment