Saturday, 18 March 2017

Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Pelayanan Publik

Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Pelayanan Publik
Penggunaan teknologi informasi (information technology) merupakan salah satu alternatif untuk melakukan inovasi birokrasi dan perbaikan pelayanan publik. Trend ini menjadi fenomena global, karena kecenderungan perkembangan masyarakat dan perekonomiannya semakin digerakkan oleh inovasi teknologi. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa di luar lingkungan birokrasi, inovasi-inovasi teknologi telah menghasilkan kualitas kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

Manfaat IT terhadap birokrasi pemerintah telah dibuktikan oleh berbagai kalangan, baik praktisi maupun akademisi. Bahkan Al Gore dan Tany Blair (Ardiyanto, 2007:47) secara bersemangat menjelaskan manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya e-governmen, yaitu:
  1. Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder-nya (masyarakat, kalangan usahawan, dan industri), terutama dalam hal kinerja efektivitas dan efisiensi diberbagai kehidupan bernegara;
  2. Meningkatkan transparansi, kontrol, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka penerapan konsep good corporate governance.
  3. Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholder-nya untuk keperluan aktivitas sehari-hari.
  4. Memberikan peluang pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan yang baru melalui interaksinya dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
  5. Menciptakan suatu lingkungan baru yang dapat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi secara cepat dan tepat sejalan dengan perubahan global dan trend yang ada.
  6. Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak yang lain sebagai mitra pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan publik secara merata dan demokratis.
Meskipun diakui bahwa manfaat e-government terhadap pelayanan birokrasi pemerintah, namun dalam prakteknya tidak luput dari berbagai kendala, antara lain faktor kultur. Budaya kerja birokrasi kita merupakan hambatan dalam implementasi penggunaan ICT/E-Gov dalam pelaksanaan tugas birokrasi. Terjadinya kristalisasi budaya Asal bapak Senang (ABS) terhadap atasanmenjadi salah satu faktor penolakan penggunaan ICT/E-Gov Turnip (dalam Pramusinto dan Kumorotomo, 2009: 353.

Berdasarkan pengalaman, dalam pelayanan administrasi pertanahan kantor-kantor pertanahan telah menggunakan berbagai produk teknologi informasi, namun dalam kenyataannya proses layanan masih tergolong lamban. Pelayanan pertanahan melalui Kantor Pertanahan pada prinsipnya adalah pelayanan data dan informasi pertanahan. Data yang tersimpan di Kantor Pertanahan merupakan data yang diperoleh dan diolah melalui proses yang rumit dan panjang mengikuti aturan yang tertuang pada Peraturan Kepala BPN nomor 1 tahun 2005 tentang Standar Prosedur Opersional Pelayanan Pertanahan (SPOPP). Pembaruan data selalu dilakukan apabila terjadi perubahan pada subyek atau obyek hak atas tanah.

Salah satu usaha untuk mengotimalkan tugas-tugas pelayanan pertanahan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi adalah pembangunan dan pengembangan komputerisasi kantor pertanahan (KKP). Kantor Pertanahan merupakan basis terdepan dalam kegiatan pelayanan. Dikembangkan model pelayanan yang berbasis on-line system. Pembangunan pelayanan on line, membangun data base elektronik, pembangunan infrastruktur perangkat keras dan jaringan koneksi, peningkatan sumber daya manusia dalam kemampuan penguasaan IT serta sosialisasi kegiatan di kalangan intern dan ekstren merupakan tahap-tahap kegiatan yang harus dilakukan pada kantor-kantor yang sedang dan sudah menerapakan KKP. 

Pembangunan Komputerisasi Kantor Pertanahan tidak hanya memberikan pelayanan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara on-line system, tetapi sekaligus membangun basis data digital. Melalui program KKP telah dilakukan digitalasisasi data pertanahan (Buku Tanah, Surat Ukur, Gambar Ukur dan Peta Pendaftaran Tanah). Suatu hal yang tidak dipungkiri bahwa stigma tentang pelayanan pertanahan dengan efek yang menyertainya adalah masalah yang harus menjadi tantangan bagi semua insan pertanahan. Sikap masyarakat semakin kritis dalam menyikapi setiap bentuk pelayanan apapun, terutama yang berkaitan pelayanan publik.

Lingkungan Birokrasi
Pembahasan tentanng birokrasi sebagai organisasi tidak dapat dipisahkan dengan faktor lingkungan. Kehadiran teori sistem sebagai pelopor perspektif modern membuka wawasan baru dalam teori organisasi. Berbeda dengan perspektif klasik, maka perspektif modern memasukkan unsur lingkungan sebagai determinan dan mencoba mengembangkan teori-teori yang menjelaskan hubungan organisasi dan lingkungan. Berkaitan dengan ini Hatch (1997:76) mengelompokkannya ke dalam dua periode, yaitu: (1) periode awal 1960-an hingga akhir 1970-an, dimana teori-teori yang dikembangkan bersifat kontingensi dalam arti lingkungan mempengaruhi organisasi, dan (2) periode awal 1980-an sampai sekarang, dimana teori-teori yang dikembangkan lebih ditekankan pada penjelasan secara lebih detail tentang bagaimana lingkungan mempengaruhi organisasi.

Burn dan Stalker (1961) dalam penelitiannya di Inggeris dan Scotlandia menemukan bahwa organisasi-organisasi yang mereka teliti ternyata dapat dibedakan menjadi dua jenis struktur yang berbeda, yaitu struktur mekanik dan organic (Gerlof, 1985:51). Meskipun penelitian ini dilakukan terhadap organisasi-organisasi industri, namun klasifikasi ini juga ditemukan pada organisasi publik atau birokrasi pemerintah.

Struktur organisasi yang mekanistik dibuat atas dasar pertimbangan bahwa sistem kerja yang stabil dibutuhkan agar organisasi dapat menjalankan berbagai fungsinyasecara efektif dan efisien. Oleh karena itu, untuk setiap posisi atau jabatan di dalam organisasi harus ditentukan secara jelas otoritas atau wewenangnya, kebutuhan informasi, kompetensi, dan aktivitas teknis yang dilakukan. Mereka yang menduduki posisi tersebut tidak boleh melanggar batas-batas yang telah ditentukan. Dengan cara ini, organisasi dapat berjalan secara efisien karena dodasarkan pada prosedur-prosedur yang distandardisasi, terutama untuk tugas-tugas yang bersifat rutin.

Sedangkan struktur organic bekerja dengan prinsip sebaliknya. Struktur ini mengandalkan kreativitas dan daya adaptasi individu dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Oleh karena itu batasan-batasan sebagaimana telah disebutkan diupayakan seminimal mungkin, sehingga anggota organisasi memiliki ruang yang lebih luas untuk menyesuaikan berbagai tugasnya sejalan dengan perubahan lingkungan yang dihadapi. Menurut Burn dan Stalker, bahwa organisasi mekanistik berjalan efektif jika lingkungan yang dihadapi stabil dan tugas-tugas yang dilakukan dapat ditangani dengan mekanisme yang bersifat rutin. Sementara untuk lingkungan yang cenderung berubah-ubah dan sifat permasalahannya tidak dapat diatasi dengan cara-cara rutin, organisasi organik akan lebih mendukung (Kusdi, 2009:73-74). 

Eksistensi birokrasi sebagai suatu organisasi memang tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud dapat berupa lingkungan internal dan eksternal organisasi. Lingkungan internal organisasi tidak saja meliputi kondisi fisik yang sifatnya kasat mata, melainkan hal-hal yang tidak secara eksplisit terlihat akan tetapi juga mempengaruhi kondisi lingkungan internal, seperti budaya kerja, kebiasaan-kebiasaan pegawai, perilaku organisasi, sistem diskresi, dan lain-lain. Kondisi internal pegawai tersebut senantiasa berubah dan berkembang, sehingga menuntut sebuah pembelajaran yang sesuai, agar permasalahan-permasalahan yang muncul dapat diantisipasi. Sedangkan lingkungan eksternal meliputi instansi-instansi lain, organisasi swasta, masyaralat, kebijakan-kebijakan pemerintah, teknologi, kondisi sosial ekonomi yang mengalami dinamika dari waktu-ke waktu (Matheus dan Sulistiyani, 2011: 47-48)

Dalam konteks penelitian ini, salah satu faktor lingkungan yang menjadi fokus penelitian, yaitu budaya yang bersifat paternalistik. Pada masyarakat yang berbudaya paternalistic, dampak negatif struktur birokrasi yang hierakis tidak dapat dikoreksi oleh sistem budayanya. Tidak seperti di negara-negara barat yang memiliki budaya rasionalyang mampu berperan sebagai sensor efektif terhadap dampak negatif dari hierarki, seperti ABS, distrosi informasi, dan promosi atas dasar pertimbangan hubungan subyektif. Budaya rasional mengajarkan kepada masyarakat untuk menghargai orang atas dasar prestasi, bukan atas dasar loyalitas, keturunan dan ukuran-ukuran subjektif lainnya. Salah satu karakteristik penting yang membedakan antara birokrasi paternalistic dengan birokrasi yang rasional adalah konsep mereka mengenai jabatan. Dalam birokrasi paternalistis, jabatan dilihat sebagai fungsi dan kepercayaan atasan, sedangkan dalam birokrasi rasional jabatan adalah fungsi dan prestasi kerja (Gruber, 1988).

No comments:

Post a Comment