Urgensi Sumber Daya Manusia Dalam Birokrasi
Pemberdayaan organisasi merupakan konsekuensi untuk menanggapi perubahan, utamanya difokuskan pada sumber daya manusia sebagai pelaku utama perubahan. SDM tidak sekedar menjadi alat untuk mencapai tujuan nmelainkan sebagai human capital yang berharga. Oleh karena itu, manajemen sumber daya manusia perlu mendapat perhatian terutama dalam upaya peningkatan kualitasnya.
Agar sumber daya manusia dapat menunjukkan “daya yang lebih” maka perlu adanya model pemberdayaan seperti; pemberian peran, penempatan dalam jabatan, motivasi pimpinan, menghubungkan tanggung jawab dan menumbuhkembangkan budaya organisasi yang kondusif untuk meningkatkan kinerja organisasi. Dalam hubungan pemberdayaan sumber daya manusia, juga diperlukan pengembangan strategi yang tepat, yaitu: inward looking, outward looking, dan mengembangkan kemitraan. Pemberdayaan sumber daya manusia dimaksud, diimplementasikan pada organisasi melalui pemberian kewenangan yang jelas, pengembangan kompetensi, pengembangan kepercayaan, pemanfaatan peluang, pemberian tanggung jawab, dan pengembangan budaya organisasi (Sedarmayanti, 2010:286).
Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan dalam pengelolaan SDM. Serangkaian aktivitas tersebut dilakukan secara berkelanjutan, sehingga tercipta SDM yang mampu mendukung organisasi. Dengan demikian ada jaminan bagi kemajuan dan perkembangan organisasi secara menyeluruh. Berkaitan dengan itu D. Harvey dan R. Bowin (1996) mengemukakan beberapa langkah penting untuk dilakukan yang disebutnya sebagai The Succes System Model (Matheus dan Sulistiyani, 2011:53-54), yaitu:
- Anticipating (antisipasi); Organisasi terlebih dahulu menentukan manajemen sumber daya manusianya. Sistem ini harus dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan di masa depan, mampu mengindikasikan kecenderungan terbaru dan mengembangkan program-program yang dapat memenuhi perubahan kondisi.
- Atracting (penarikan); Organisasi mulai memusatkan perhatian pada aktivitas yang ditujukan untuk meyakinkan bahwa organisasi mampu mencari orang-orang yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan, diantaranya meliputi analisis jabatan, penarikan, seleksi, yang didahului oleh issu legal yang berkaitan dengan penerimaan pegawai, yaitu Equal Employment Opportunity (EEO).
- Developing (pengembangan); Setelah organisasi mencari dan menemukan orang yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan, maka selanjutnya diikuti dengan pengembangan agar dapat menunjukkan kinerja yang tinggi. Upaya ini dimaksudkan dapat diperoleh dengan melalui pelatihan dan pengembangan pegawai, baik pada tingkat manajer maupun pada tingkat bawahan.Termasuk dalam aktivitas ini adalah penilaian kinerja pegawai, pelatihan, pengembangan organisasi dan pengembangan karier.
- Motivating (memotivasi); Motivasi perlu dilakukan agar mereka bekerja dengan baik, sehingga menghasilkan kinerja yang tinggi. Untuk itu haruslah diketahui bagaimana cara memotivasi pegawai yang ada, misalnya dengan sistem konmpensasi yang berfungsi untuk memotivasi pegawai, seperti; gaji, insentif, dan berbagai program keterlibatan pegawai.
- Maintaining (memelihara); Aktivitas ini harus diikuti dengan adanya komunikasi yang terbuka sebagai alat utama dalam memelihara hubungan dengan pegawai yang efektif. Hubungan pegawai merupakan faktor penting karena akan mempengaruhi berbagai aktivitas SDM.
- Changing for Success (perubahan untuk sukses); Dalam kondisi lingkungan yang terus berubah, manajemen sumber daya manusia memberikan pendekatan untuk mengembangkan strategi-strategi baru, yakni mengadakan perubahan budaya organisasi dan mengelola keragaman SDM. Aktivitas ini akan menjadi pengkajian ulang struktur organisasi, budaya dan proses manajerial, mengelola perubahan sikap, nilai dan prosedur sehubungan dengan keragaman SDM.
- Focusing (pemfokusan); Mengukur efektifitas SDM dapat dilakukan dengan mengevaluasi sejauhmana efektivitas SDM dilakukan dalam organisasi. Berbagai alat dapat digunakan, mulai dari survey tentang sikap pegawai sampai dengan formal audit SDM. Untuk menunjang aktivitas ini diperlukan sikap dan tindakan yang pro aktif dari para manajer SDM, sehingga dapat menghadapi situasi yang terus berubah
Penggunaan Teknologi Informasi Dalam Pelayanan Publik
Penggunaan teknologi informasi (information technology) merupakan salah satu alternatif untuk melakukan inovasi birokrasi dan perbaikan pelayanan publik. Trend ini menjadi fenomena global, karena kecenderungan perkembangan masyarakat dan perekonomiannya semakin digerakkan oleh inovasi teknologi. Bahkan tidak dapat dipungkiri bahwa di luar lingkungan birokrasi, inovasi-inovasi teknologi telah menghasilkan kualitas kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
Manfaat IT terhadap birokrasi pemerintah telah dibuktikan oleh berbagai kalangan, baik praktisi maupun akademisi. Bahkan Al Gore dan Tany Blair (Ardiyanto, 2007:47) secara bersemangat menjelaskan manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya e-governmen, yaitu:
- Memperbaiki kualitas pelayanan pemerintah kepada para stakeholder-nya (masyarakat, kalangan usahawan, dan industri), terutama dalam hal kinerja efektivitas dan efisiensi diberbagai kehidupan bernegara;
- Meningkatkan transparansi, kontrol, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka penerapan konsep good corporate governance.
- Mengurangi secara signifikan total biaya administrasi, relasi dan interaksi yang dikeluarkan pemerintah maupun stakeholder-nya untuk keperluan aktivitas sehari-hari.
- Memberikan peluang pemerintah untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan yang baru melalui interaksinya dengan pihak-pihak yang berkepentingan.
- Menciptakan suatu lingkungan baru yang dapat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi secara cepat dan tepat sejalan dengan perubahan global dan trend yang ada.
- Memberdayakan masyarakat dan pihak-pihak yang lain sebagai mitra pemerintah dalam proses pengambilan kebijakan publik secara merata dan demokratis.
Meskipun diakui bahwa manfaat e-government terhadap pelayanan birokrasi pemerintah, namun dalam prakteknya tidak luput dari berbagai kendala, antara lain faktor kultur. Budaya kerja birokrasi kita merupakan hambatan dalam implementasi penggunaan ICT/E-Gov dalam pelaksanaan tugas birokrasi. Terjadinya kristalisasi budaya Asal bapak Senang (ABS) terhadap atasanmenjadi salah satu faktor penolakan penggunaan ICT/E-Gov Turnip (dalam Pramusinto dan Kumorotomo, 2009: 353.
Berdasarkan pengalaman, dalam pelayanan administrasi pertanahan kantor-kantor pertanahan telah menggunakan berbagai produk teknologi informasi, namun dalam kenyataannya proses layanan masih tergolong lamban. Pelayanan pertanahan melalui Kantor Pertanahan pada prinsipnya adalah pelayanan data dan informasi pertanahan. Data yang tersimpan di Kantor Pertanahan merupakan data yang diperoleh dan diolah melalui proses yang rumit dan panjang mengikuti aturan yang tertuang pada Peraturan Kepala BPN nomor 1 tahun 2005 tentang Standar Prosedur Opersional Pelayanan Pertanahan (SPOPP). Pembaruan data selalu dilakukan apabila terjadi perubahan pada subyek atau obyek hak atas tanah.
Salah satu usaha untuk mengotimalkan tugas-tugas pelayanan pertanahan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi adalah pembangunan dan pengembangan komputerisasi kantor pertanahan (KKP). Kantor Pertanahan merupakan basis terdepan dalam kegiatan pelayanan. Dikembangkan model pelayanan yang berbasis on-line system. Pembangunan pelayanan on line, membangun data base elektronik, pembangunan infrastruktur perangkat keras dan jaringan koneksi, peningkatan sumber daya manusia dalam kemampuan penguasaan IT serta sosialisasi kegiatan di kalangan intern dan ekstren merupakan tahap-tahap kegiatan yang harus dilakukan pada kantor-kantor yang sedang dan sudah menerapakan KKP.
Pembangunan Komputerisasi Kantor Pertanahan tidak hanya memberikan pelayanan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara on-line system, tetapi sekaligus membangun basis data digital. Melalui program KKP telah dilakukan digitalasisasi data pertanahan (Buku Tanah, Surat Ukur, Gambar Ukur dan Peta Pendaftaran Tanah). Suatu hal yang tidak dipungkiri bahwa stigma tentang pelayanan pertanahan dengan efek yang menyertainya adalah masalah yang harus menjadi tantangan bagi semua insan pertanahan. Sikap masyarakat semakin kritis dalam menyikapi setiap bentuk pelayanan apapun, terutama yang berkaitan pelayanan publik.
No comments:
Post a Comment