Pengertian Krisis Atas The Secret Dan A New Earth
Sebelum memberikan evaluasi kritis terhadap TS dan A New Earth, berikut ini akan diberikan sebuah perbandingan, antara apa yang diajarkan TS dan A New Earth (keduanya merupakan buku ”spiritual ”yang dipromosikan Oprah Winfrey) dengan ajaran Alkitab mengenai realitas tertinggi dan manusia:
Manusia
Manusia adalah Tuhan dalam sebuah tubuh fisik. Manusia adalah pencipta dan bersifat sempurna, abadi. Pendeknya, manusia sehakekat dengan Tuhan hanya saja tidak menyadari RAHASIA ini. Buku The Secret berusaha menyadarkan manusia tentang siapa mereka sesungguhnya
Manusia adalah Allah tetapi tercemar akibat ego. Pencemaran ini disebut secara berbeda-beda oleh masing-masing agama, namun hakekatnya sama saja. Misalnya, dalam Hindu disebut maya; dalam Buddha disebut dukka; dalam Kristen, dosa asal.
Ciptaan Tuhan dalam gambar dan rupa-Nya (Kej.1:26-27). Manusia tidak sempurna (Rm.3:23) dan tidak abadi atau memiliki permulaan (Kej.1:1)
The Secret, A New Earth dan Gerakan Zaman Baru
Buku The Secret dan A New Earth dalam wacana apologetika Kristen seringkali disebut sebagai bagian Gerakan Zaman Baru.
Gerakan Zaman Baru itu sendiri pada dasarnya adalah sebuah fenomena yang meluas di dunia Barat (walaupun sekarang jelas telah merambah Indonesia). Salah satu tonggak sejarah dari GZB terjadi ketika Swami Vivekananda (seorang guru spiritual India) berceramah di World Parliament of Religions pada tahun 1893 dan setelah itu banyak diundang untuk berbicara di universitas-universitas dan kolese-kolese di Amerika. Di dalam ceramahnya ia menyarankan sebuah ”persetujuan bilateral”. Ia mengamati bahwa Barat unggul dalam studi tentang ”materi” (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan Timur unggul dalam studi tentang ”spiritualitas”. ”Marilah kita saling bertukar keahlian” demikian katanya. Dalam banyak cara, ia kelihatannya telah menjadi perintis dalam meletakkan Hinduisme ke dalam peta dunia dan sekarang guru-guru India sedang menggenapi visi tersebut. Jadi beberapa aspek ajaran GZB yang penting mungkin ”baru” bagi dunia Barat yang sudah lama didominasi kekristenan namun sebenarnya ”lama” di dunia Timur khususnya India dan Cina.
Melihat ciri-ciri ajaran dari The Secret dan A New Earth yang telah kita bahas sebelumnya, memang kita bisa cukup yakin untuk menyimpulkan bahwa keduanya memiliki ciri-ciri yang sama dengan buku/film, praktek-praktek lain yang tergolong Gerakan Zaman Baru (GZB).
Terdapat beberapa kesamaan ajaran dari para penganut GZB walaupun pada dasarnya mereka bukanlah sebuah kepercayaan yang monolitik atau seragam. Sebagaimana dijelaskan oleh Douglas R. Groothuis, GZB memiliki sedikitnya enam ajaran penting yaitu:
- Semua adalah satu;
- 2. Semua adalah Allah;
- Kemanusiaan adalah Allah;
- Perubahan kesadaran;
- Semua agama adalah satu;
- Optimisme evolusi kosmis.
Penting untuk diperhatikan bahwa paham monisme (Semua adalah Satu) dan panteisme (Semua adalah Allah) diletakkan sebagai dua ajaran yang disebutkan paling awal oleh Groothuis tentang GZB. Hal ini sebenarnya mencerminkan sebuah urutan logis bahwa monisme dan panteisme termasuk fondasi bagi kepercayaan GZB yang lainnya.
Dalam kesamaan ciri-ciri dengan GZB, sedikitnya TS dan A New Earth yang didukung Oprah Winfrey mempromosikan pandangan yang merupakan variasi dari monisme dan secara khusus panteisme. Oleh karena itu, orang-orang Kristen perlu lebih jauh memberikan suatu penilaian kritis terhadap kedua buku yang sedang meraih popularitas tersebut.
Kritik Terhadap Monisme (Semua adalah Satu) dalam TS dan A New Earth
Dalam filsafat GZB sebagaimana tercermin dalam TS dan A New Earth, monisme adalah fondasi bagi kepercayaan GZB berikutnya. Monisme berasal dari kata ”mono” yang berarti ”satu”. Jadi, monisme adalah suatu kepercayaan bahwa semua yang ada adalah satu. Pada puncaknya, tidak ada lagi perbedaan antara Allah, manusia, wortel atau sebuah batu karang. Hal ini berarti manusia dan batu sebenarnya tidak berbeda secara jenis namun hanya berbeda secara derajat dalam memanifestasikan realitas tertinggi atau ”Allah”. Filsafat ini memiliki akarnya dalam pemikiran Hindu, Buddha di Timur maupun pemikiran filsuf Yunani Parmenides di Barat.
Dalam pemikiran Hinduisme, monisme ini juga menjadi dasar bagi praktek vegetarian dan tanpa kekerasan (non-violence). Jika mahluk hidup (khususnya binatang) pada hakekatnya adalah sama dengan kita, maka tentu kita tidak boleh menyakitinya apalagi memakannya.
Konsep monisme di atas tentu saja berbeda secara radikal dengan konsep Alkitab tentang realitas. Dalam perspektif wawasan dunia Kristen kita percaya bahwa ciptaan Allah meliputi banyak hal yang berbeda-beda. Enam hari penciptaan menunjukkan pada kita bahwa Allah memisahkan terang dan gelap, siang dari malam, bumi dari langit, tanah kering dari lautan, tumbuhan dari hewan, dan tentunya manusia berbeda dari semuanya itu karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Alkitab secara jelas menolak usaha untuk menghapuskan pluralitas dan hanya mengunggulkan kesatuan dari dunia.
Jadi, dalam usaha untuk menjelaskan realita dunia, monisme berusaha untuk melihat dunia ini dengan segala isinya (misalnya: manusia, binatang, tumbuhan, benda mati) sebagai suatu kesatuan atau ”One” daripada ”Many”. Hal ini amat berbeda dengan kekristenan yang memiliki perspektif seimbang bahwa dunia ini adalah ”One” sekaligus ”Many”. Perspektif Kristen ini memiliki fondasinya yang kokoh dalam diri sang Pencipta yaitu Allah Tritunggal yang menjadi fondasi bagi adanya ”One” sekaligus ”Many” dalam dunia ciptaan. Sederhananya, dunia ini memang penuh dengan keanekaragaman benda mati, mahluk hidup (tumbuhan, binatang yang beraneka ragam), manusia, bintang-bintang, galaksi-galaksi namun semuanya itu adalah satu kesatuan ciptaan Allah yang memancarkan kemuliaan-Nya (bdk. Mzm. 119:1-7). Bukahkan ”One” dan ”Many” yang tercermin dalam ciptaan atau semesta ini merefleksikan penciptanya yaitu Allah Tritunggal yang memang ”One” dalam esensi dan ”Many” tepatnya ”Tiga” dalam pribadi-Nya sendiri.
Jadi, monisme bersalah dalam hal mengorbankan ”Many” di atas altar ”One” dalam melihat realita dunia ini.
Kritik Terhadap Panteisme dalam TS dan A New Earth
Panteisme sebenarnya adalah monisme yang selangkah lebih maju. Jika dalam monisme orang percaya bahwa semua hal meliputi apapun di dunia ini adalah ”Satu” maka dalam panteisme ditegaskan bahwa yang ”Satu” itu adalah ”Allah”. Jadi, panteisme percaya bahwa semua adalah Allah dan Allah adalah semua. Dalam kepercayaan ini, Allah menyebar ke dalam semua hal, mencakup semua hal, meliputi semua hal dan ditemukan di dalam semua hal. Dalam konsep ini, dunia adalah Allah dan Allah adalah dunia. Tidak ada yang bukan Allah di dunia ini.
Panteisme memiliki sejarah panjang di Timur dan di Barat mulai dari mistisisme Hindu sampai rasionalisme yang dicetuskan Parmenides, Benedict de Spinoza, and G. W. F. Hegel. Tetapi akhir-akhir ini panteisme memang semakin populer di dunia barat. Pada satu masa, grup musik The Beatles dipengaruhi secara kuat oleh Transcendental Meditation dari Maharishi Mahesh Yogi dan kemudian oleh Gerakan Hare Krishna dari A. C. Bhaktivedanta, yang mengajarkan pemikiran panteistik juga di dalamnya. Film seperti Star Wars dan ajaran dari para individu seperti Alan Watts, D. T. Suzuki, dan Sarvepail Radhakrishnan dari India juga telah menambah pengaruh panteisme terhadap masyarakat barat dewasa ini..Pengaruh dari panteisme bahkan telah merambah dunia ekologi dengan dimunculkan ekoteologi yang panteistik dan percaya bahwa ”semesta adalah Allah” sehingga tentu saja kita tidak boleh merusak atau mengeksploitasi semesta.
Sebelum memberikan kritik terhadap panteisme, mungkin berguna bagi kita untuk melihat analisa dari Nancy Pearcey tentang panteisme melalu kerangka berpikir penciptaan (creation), kejatuhan (fall), penebusan (redemption) untuk menganalisa sebuah wawasan dunia. Dalam kaitan dengan penciptaan maka atas pertanyaan, ”Apakah realitas tertinggi, asal mula dari segala sesuatu dalam panteisme Zaman Baru?” jawaban dari panteisme adalah ”Yang Mutlak, yang Satu, Sebuah Esensi Spiritual Universal”. Selanjutnya berkaitan dengan kejatuhan atau pertanyaan ”Apakah sumber dari kejahatan dan penderitaan?” maka jawaban dari panteisme adalah ”perasaan/pikiran tentang individualitas kita”. Terakhir berkaitan dengan penebusan, maka atas pertanyaan ”Bagaimana panteisme memberitahukan kita jalan untuk menyelesaikan masalah kejahatan dan penderitaan?” maka jawaban yang diberikan penganut panteisme adalah ”Dengan menjadi satu kembali dengan Esensi Spritual Universal yang darinya kita semua muncul”.
Beberapa kritik dapat kita berikan kepada panteisme sebagai paham populer yang juga melandasi pemikiran TS dan A New Earth yang didukung Oprah.
Pertama, kritik positif. Panteisme berusaha untuk menjelaskan semua realitas dan bukan hanya sebagian realitas. Bukankah dunia ini kita sebut uni-verse dan bukan multi-verse? Hal ini berarti bahwa segala realitas harus diusahakan untuk dilihat sebagai sebuah kesatuan. Dalam usaha ini, panteisme menyatakan bahwa Allah dan dunia ini saling kait mengait dan bukan terpisah sama sekali. Ini adalah kontribusi positif dari panteisme. Disebut kontribusi positif bukan karena panteisme menyatakan kebenaran tetapi karena panteisme mencerminkan sebuah usaha yang positif untuk melihat dunia dari semacam ”big picture” dan bukan hanya parsial.
Kedua, kritik negatif. Dalam bagian ini ada beberapa kritik yang dapat kita berikan terhadap panteisme baik secara biblikal-teologis maupun filosofis.
Kritik Biblikal-Teologis Terhadap Panteisme
Ada beberapa kritik yang dapat kita berikan terhadap panteisme dari sudut pandang Alkitab dan teologi Kristen (Injili).
Pertama, konsep panteisme tentang asal muasal segala sesuatu (origin) jelas bertentangan dengan wahyu Allah dalam Alkitab tentang penciptaan. Dalam Kejadian 1 amat jelas bahwa Allah menciptakan segala sesuatu. Konsep Alkitab ini dipahami oleh para teolog sebagai ”creatio ex nihilo” atau penciptaan dari kekosongan. Hal ini bertentangan dengan konsep panteisme yang percaya ”creatio ex Deo” atau penciptaan yang keluar dari Allah. Dalam konsep Alkitab terdapat dualitas antara Allah dan alam semesta termasuk manusia. Allah berbeda dengan alam semesta dan manusia secara kualitas jenis dan bukan hanya derajat.
Kedua, panteisme tampaknya adalah sebuah gema kuno dari godaan ular terhadap Hawa yang berkata ”...Engkau akan menjadi seperti Allah” (Kej. 3:4-5). Dalam panteisme dan implikasinya, manusia disamakan dengan Allah pada hakekat terdalamnya. Hal ini tentu amat bertentangan dengan penjelasan Alkitab yang menegaskan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1: 26-27) namun tetap berada di bawah Allah.
Ketiga, secara teologis, Allah dalam Alkitab adalah Allah yang transenden, berbeda dengan ciptaan, namun juga imanen, hadir dalam ciptaanNya. Keseimbangan antara transendensi dan imanensi Allah ini begitu penting sehingga penekanan yang berlebihan pada salah satu akan menghasilkan ajaran yang menyimpang.[48] Dalam kaitan dengan panteisme jelaslah bahwa ajaran ini mengorbankan transendensi Allah di atas altar imanensi.
Kritik Filosofis terhadap Panteism
Panteisme percaya bahwa ”dunia adalah Allah ” dan implikasinya ”saya adalah Allah” memiliki masalah yang besar secara filosofis.
Pertama, panteisme yang tercermin dalam buku TS dan A New Earth berusaha untuk mengatakan bahwa sebenarnya manusia hidup dalam ilusi atau ketidaktahuan, semacam ”amnesia” metafisik. Oleh karena itulah buku The Secret ingin membuka rahasia itu kepada kita, sebuah rahasia bahwa ”Anda adalah kehidupan abadi. Anda adalah Tuhan yang mewujud dalam bentuk manusia, dibuat untuk kesempurnaan.” Demikian pula, A New Earth menyatakan bahwa semua manusia terkena disfungsi pikiran yang perlu disadarkan lagi akan hakekat terdalam kita yang adalah ”Satu” dengan ”Universal Life Force” atau ”Allah” dalam konsep kekristenan.
Jikalau benar klaim dari buku-buku tersebut bahwa semua manusia mengalami disfungsi pikiran, ilusi atau ketidaktahuan (sehingga perlu membaca Rahasia-The Secret). Bagaimana kita bisa yakin bahwa kaum New Age yang percaya bahwa ”kita semua adalah Allah” (panteisme) juga bukan merupakan sebuah pemikiran dari pikiran yang disfungsional dari Tolle, atau ketidaktahuan yang salah dari Rhonda Byrne serta Oprah Winfrey (yang turut menyetujui dan mempopulerkannya)?
Tentu saja mereka dapat menjwab bahwa panteisme adalah hasil dari pikiran yang telah tercerahkan. Walaupun demikian, pencerahan itu sendiri adalah sebuah pengalaman subyektif yang tidak dapat dijelaskan secara obyektif. Setiap orang dapat mengklaim sebagai orang yang telah tercerahkan, dan bukankah orang Kristen juga dapat mengatakan bahwa mereka telah ”tererahkan” ketika mereka menyadari bahwa Allah adalah pencipta dan asal mula segala sesuatu (creation), kejahatan dan penderitaan adalah akibat pemberontakan manusia terhadap Allah (fall) dan bahwa Allah telah datang ke dunia dalam Yesus Kristus untuk menyelamatkan manusia (redemption). Orang Kristen dapat saja menyebut pemahaman tersebut sebagai sebuah ”pencerahan” karena dahulu mereka tidak melihat dunia dalam kacamata demikian dan pada satu momen dalam hidup mereka, dunia dilihat dengan kacamata (atau wawasan dunia) yang baru.
Jadi, panteisme yang diyakini kaum New Age adalah sebuah subyektifitas pengalaman yang sebenarnya bersifat mistik. Kekristenan di lain pihak percaya pada keyakinan akan konsep creation, fall dan redemption spesifik seperti telah disinggung di atas dan siap untuk diuji secara rasional (rational) maupun pengalaman (experiential).
Kedua, panteisme percaya bahwa dunia sebagaimana kita lihat melalui kacamata manusia adalah ilusi belaka. Hal ini jelas karena menurut panteisme versi The Secret maupun A New Earth, manusia pada dasarnya seringkali hanya melihat perbedaan-perbedaan atas segala hal (misalnya: benda, hewan, manusia) di level permukaan dan gagal melihat hakekat terdalam dari semuanya yang adalah satu ”kesatuan” entahkah itu disebut sebagai energi (The Secret) atau Universal Life Force (A New Earth). Tetapi, jika cara pandang panteisme yang sebagian sumbernya berakar dari filsafat Hindu ini benar, maka implikasinya sungguh merusak.
Bayangkan saja Anda sedang menyeberang jalan dan berpikir bahwa truk yang sedang berjalan cepat adalah sebuah ilusi. Anda tentu akan mati ditabrak! Dalam realita sehari-hari kita percaya bahwa kita hidup dalam fakta dan bukan ilusi. Jika kita berpikir secara konsisten bahwa semua yang kita lihat ini adalah ilusi maka kekonyolan akan terjadi. Kisah berikut mungkin menolong kita memahaminya.
Pernah suatu kali diceritakan bahwa ada seorang peserta seminar yang bertanya kepada sang pembicara. ”Pak, bagaimana saya tahu bahwa ’saya’ benar-benar ada dan bukan hanya ilusi?”. Sang pembicara tersenyum penuh makna dan berkata ”Baiklah, kalau demikian kepada siapakah saya harus menjawab pertanyaan tadi?”. Sungguh suatu pukulan telak, karena jawaban itu memaksa orang yang bertanya tersebut untuk menyatakan eksistensinya sekaligus individualitasnya yang berbeda dengan orang-orang lain yang tidak bertanya di ruangan itu.
Selanjutnya, jika eksistensi kita adalah ilusi maka pikiran kita yang merupakan bagian dari eksistensi kita juga adalah ilusi. Jika hal ini benar maka semua pembicaraan tentang ilusi oleh kaum panteis itu sendiri adalah ilusi yang tidak perlu ditanggapi secara serius. Geisler mengungkapkannya dengan jenius:
”Jika pikiran adalah bagian dari ilusi, maka ia tidak dapat menjadi dasar untuk menjelaskan ilusi itu sendiri. Selanjutnya, jika panteisme itu benar dalam menyatakan bahwa individualitas saya adalah ilusi maka panteisme adalah salah karena tidak ada dasar untuk menjelaskan ilusi itu sendiri.”
Natur dari panteisme adalah self-defeating seperti orang Indonesia yang berkata, ”I Can not speak any word in English” atau seorang suami yang membentak isterinya “Sudah kukatakan kepadamu jutaan kali, jangan pernah membesar-besarkan apapun” sementara kalimat itu sendiri adalah sesuatu yang dibesar-besarkan.
Implikasi lebih lanjut dari panteisme yang amat berbahaya adalah di bidang moralitas. Bayangkan, jika Anda percaya bahwa Anda adalah Allah atau Tuhan, maka tentu saja moralitas menjadi subyektif dan relatif tergantung pada diri Anda sendiri. Hal ini nampak jelas ketika buku Rhonda penulis TS berkata ”Apapun yang Anda pilih untuk ANDA adalah benar” dan Jack Canfield dikutip dalam TS ketika berkata ”…Saya mempunyai peribahasa: “Jika tidak menggembirakan, jangan lakukan!”. Jika ini diterapkan dalam seluruh (bukan sebagian) kehidupan maka yang terjadi tentu saja adalah konflik antara standar moralitas seseorang dengan orang lain. Jika panteisme benar maka moralitas menjadi subyektif dan tidak ada fondasi untuk mengatakan sesuatu itu baik secara universal karena, bukankah ”Allah” itu sendiri terlepas dari dualisme baik dan jahat dalam konsep panteisme? Demikianlah kita melihat bahwa panteisme memiliki masalah besar secara filosofis dalam dirinya sendiri.
Metode Apologetika terhadap Penganut GZB
Sebagai sebuah catatan akhir dari kritik terhadap panteisme, namun mungkin merupakan hal yang terpenting adalah metode apologetika yang kita pergunakan dalam pertemuan dengan penganut panteisme sejati. Perlu kita sadari bahwa penganut New Age yang percaya panteisme seringkali tidak percaya pada penalaran logis sebagai alat untuk menguji kebenaran sebuah kepercayaan. Hal ini jelas karena New Age sendiri justru merupakan sebuah reaksi kebosanan atas kekristenan liberal, rasionalisme dan scientisme yang mengecewakan. Oleh karena itu, dalam pendekatan terhadap penganut panteisme, mungkin segala kritik filosofis akan menemui kebuntuan karena mereka tidak menganggap logical consistency sebagai sebuah cara untuk menguji sebuah wawasan dunia.
Dengan mempertimbangkan konteks demikian maka penulis percaya pada proklamasi Alkitab secara terus terang dalam konteks tertentu serta pendekatan yang kritik yang sifatnya lebih ”praktis” dalam berdialog. Alister Mcgrath memberikan sebuah contoh untuk pendekatan kedua. Misalnya kita bisa bertanya kepada penganut panteisme demikian: ”Jika Anda adalah Allah mengapa Anda begitu tidak bahagia?” atau ”Hak istimewa apa yang dimilik oleh seorang allah dibandingkan yang lain?”. ”Apakah hal ini membuat mereka tidak terkena pemberhentian kerja, atau dari penderitaan dan kesakitan? Dari kematian? Harapan apa yang diberikan (oleh ajaran New Age khususnya panteisme) dalam menghadapi realitas kekinian dari penderitaan dan peristiwa kematian di masa depan?
No comments:
Post a Comment