Friday, 17 March 2017

PENGERTIAN DAN PRINSIPKEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL

KEPEMIMPINAN RANSFORMASIONAL
Berbagai teori baru mengenai kepemimpinan bertujuan mendeskripsikan kepemimpinan yang efektif tentang bagaimana pemimpin mentransformasi atau merubah organisasi. James MacGregor Burns (1978) melakukan penelitian pada pemimpin politik berdasarkan teori kepemimpinan, yang bisa dideskripsikan sebagai teori kepemimpinan transformasional. Burns menyatakan bahwa kepemimpinan tidak dapat dipisahkan dari kebutuhan dan tujuan bawahannya dan merupakan hasil hubungan antara pemimpin dan bawahannya. Burns membedakan 2 bentuk fundamental hubungan pemimpin dan bawahannya

  • transaksional, dan
  • transformasional.

Kepemimpinan transaksional meliputi mempengaruhi bawahannya dengan menukarkan sesuatu yang berharga bagi pemimpin dan bawahannya. Contohnya, satu barang dijual utnuk dibelikan sesuatu yang lain, pemberian suara diberikan kepada legislator yang berjanji memberikan sesuatu yang diinginkan oleh orang yang memberikan suara, atau seorang kepala sekolah menerima dukungan dari para guru setelah rapat setelah guru mendapatkan makan siang. Kepemimpinan transformasional meliputi hubungan antara pemimpin dan pengikutnya untuk tujuan umum, di mana “pemimpin dan bawahannya saling meningkatkan motivasi dan moral” (Burns, 1978, hlm. 20).

Bernard Bass dan Bruce Avolio (1994) menunjukkan efek kepemimpinan transformasional sebagai
  • Menstimulasi orang lain utnuk melihat pekerjaan mereka dari sudut pandang yang baru
  • Mengetahui visi dan misi organisasi
  • Meningkatkan kemampuan orang lain 
  • Memotivasi orang lain di luar minat pribadi mereka yang menguntungkan kelompok atau organisasi
Bass dan Avolio menjelaskan kepemimpinan transformasional dalam hal perilaku pemimpin, menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki satu atau lebih perilaku berikut ini:
  • Pengaruh yang ideal: pemimpin bersikap sebagai role model dan dikagumi, dihormati, dan dipercaya. Cara yang dilakukan pemimpin melakukan ini adalah dengan mempertimbangkan kebutuhan orang lain di atas kepentingan diri sendiri, berbagi resiko dengan bawahannya, konsisten, dan bertindak sesuai nilai dan moral.
  • Motivasi inspirasional: pemimpin memotivasi dan menginspirasi dengan memberikan makna dan menantang bawahannya untuk bekerja lebih baik dan semangat tim nya meningkat. Perilaku pemimpin yang sesuai dengan ini adalah dengan melibatkan orang lain dalam kegiatan yang berlandaskan visi, menyampaikan harapan dengan jelas, dan bersikap penuh komitmen pada tujuan dan visi.
  • Stimulasi intelektual: pemimpin menstimulasi orang lain untuk lebih inovatif dan kreatif. Pemimpin mendukung inovasi dan kreatifitas dengan cara menerima ide-ide baru dari orang lain, tidak membeberkan kesalahn orang lain secara umum, dan mendorong orang lain untuk mencoba pendekatan yang lain
  • Pertimbangan individu: pemimpin transformasional mempertimbangkan kebutuhan individu utnuk berprestasi dan tumbuh dengan bertindak sebagai mentor atau pelatih. Perilaku kepemimpinan yang mempertimbangkan masing-masing individy meliputi menerima perbedaan indivisu dan mensupervisi sesuai dengan kebutuhan individu, mendorong terjadinya komunikasi 2 arah, mendengarkan, dan mendelegasikan.
Prinsip yang mendasari kepemimpinan transformasional adalah konsep tentang komitmen untuk tujuan moral dan nilai personal dari si pemimpin penting untuk mengadakan perubahan dalam organisasi. Bennis dan Nanus (1985) menemukan bahwa pemimpin yang inovatif memiliki visi ke depan bagi organisasinya; membangun kepercayaan dan komitmen dengan cara mengkomunikasikan visi-nya dan menekankan visi tersebut ke dalam setiap tindakan yang dilakukan; dan memfasilitasi pembelajaran yang terus menerus dalam organisasi.

Kenneth Leithwood (1994) mendeskripsikan kepemimpinan transformasional de sekolah memiliki 8 dimensi, yakni;

  • membentuk visi sekolah,
  • menentukan tujuan sekolah,
  • memberikan stimulus intelektual,
  • memberikan dukungan individual,
  • memberikan contoh yang baik dan nilai organisasi yang penting,
  • memberikan contoh bagaimana harapan dari prestasi yang diharapkan,
  • menciptakan budaya sekolah yang produktif, dan
  • membangun struktur untuk mendorong partisipasi pengambilan keputusan di sekolah.
Teori yang terbaru sehubungan dengan kepemimpinan di sekolah dibuat berdasarkan konsep tujuan moral, komitmen terhadap nilai personal, dan visi yang berhubungan dengan kepemimpinan sekolah yang efektif. Thomas Sergiovanni (1992) menyatakan bahwa ada 5 sumber otoritas sebagai daasr kepemimpinan. Yakni

  • otoritas birokrasi,
  • otoritas psikologis,
  • otoritas teknis-rasional,
  • otoritas professional, dan
  • otoritas moral.

Otoritas birokrasi berakar dari mandat, peraturan, undang-undang, job descriptions, dan harapan organisasi. Sergiovanni mendeskripsikan ini sebagi otoritas yang berdasarkan pemikiran bahwa seseorang harus “mengikuti apa yang saya mau karena posisi saya.” Otoritas psikologis digambarkan seperti pemikiran “ikuti saya karena saya akan membuatnya bermakna/berarti jika kamu melakukan apa sesuai apa yang aku inginkan.” Otoritas psikologis ini beranggapan bahwa guru akan memberikan respon sesuai dengan penghargaan yang diberikan ketika mereka melakukan sesuatu sesuai dengan keinginan pembuat keputusan. Otoritas teknis-rasional menjelaskan kepemimpinan dengan sudut pandang bahwa guru akan mematuhi aturan karena pemimpin mengetahui “apa yang terbaik, sesuai hasil penelitian.” Pendekatan ini berasumsi bahwa guru akan merespon logika dan mengikuti apa yang disarankan oleh hasil karya ilmiah berdasarkan praktek yang efektif. Sergiovanni mendeskripsikan ke tiga pendekatan ini ke kepemimpinan sebagai sesuatu yang berasal dari sisi luar dan bisa dipaksakan kepada para guru. 

Dia menkontraskan pendekatan-pendekatan ini dengan otoritas professional dan otoritas moral, yang mendorong terbentuknya perilaku guru dari sisi internal, bukan sebagai respon dari sesuatu yang dipaksakan kepada mereka. Otoritas professional mengacu pada pengetahuan teknis dan ketrampilan personal yang berhubungan dengan konteks tertentu yang dipraktekan oleh guru. Otoritas moral didefinisikan sebagai kewajiban dan tugas yang berasal dari nilai dan ide bersama.

Sergiovanni berpendapat bahwa walaupun otoritas birokratis, psikologis, dan teknis-rasional telah memiliki tempat, dasar primer untuk kepemimpinan seharusnya adalah otoritas professional dan moral. Hal yang sama dinyatakan oleh Deal dan Peterson (1994) membedakan 2 tradisi teori organisasi, yang mereka sebut rasional-teknis dan simbolis. Pendekatan rasional-teknis terhadap kepemimpinan berdasarkan asumsi bahwa organisasi adalah benda rasional yang ada untuk menyelesaikan tujuan yang eksplisit dan bisa diukur. Pendekatan simbolis menekankan dinamika normatif dan sosial organisasi dan menekankan pentingnya nilai inti dan keyakinan bersama dari orang-orang yang ada dalam organisasi. Mereka menyatakan bahwa kepemimpinan yang efektif bercirikan keseimbangan dari ke dua pendekatan tersebut, melihat bahwa, “organisasi yang berkinerja tinggi memiliki urutan dan makna, struktur dan nilai.”

No comments:

Post a Comment