Etika Konservasi Biodiversitas
Wacana dan tuntutan tentang keharusan konservasi biodiversitas (keanekaragaman hayati) terus berkembang dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat bahwa jaminan keberlanjutan dan mutu hidup dan kehidupan ummat manusia di dunia ini sangat bergantung pada jaminan kelestarian biodiversitas tersebut di muka bumi ini. Manusia memang sangat tergantung pada biodiversitas sebagai sumber energi bagi hidup dan kehidupannya, sehingga dapat dibayangkan jika terjadi kerusakan, pencemaran atau ketiadaan keanekaragaman hayati dan lingkungan hidup, maka jaminan mutu dan keberlanjutan hidup dan kehidupan umat manusia jelas akan terpengaruh. Dengan demikian, biodiversitas sangat disadari sebagai unsur penting penunjang kehidupan umat manusia dari generasi ke genrasi. Sejarah perkembangan hidup dan kehidupan manusia di muka bumi ini tidak bisa dilepas-pisahkan dari keberadaan biodiversitas, baik yang tersedia secara alamiah maupun sebagai hasil rekayasa budidaya manusia.
Manusia memang menjadi pusat dari segala sumber persoalan krisis lingkungan hidup termasuk ancaman terhadap kelestarian biodiversitas. Oleh karena itu, persoalan konservasi biodivesitas dan pelestarian lingkungan hidup dalam arti luas, bukan sekedar persoalan teknis-biologis, melainkan lebih sebagai persoalan sosial-budaya. Ini berarti bahwa upaya konservasi biodiversitas dan pelestarian lingkungan hidup dengan hanya menyandarkan pendekatan teknis-biologis, di tengah-tengah tata hubungan antar negara di dunia yang tidak seimbang dan tidak jujur, masih rendahnya tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat, tingginya kemiskinan dan masih tingginya laju pertumbuhan penduduk dengan berbagai konsekwensinya terhadap eksploitasi sumberdaya alam, ternyata makin memperburuk kondisi kualitas lingkungan hidup dan merosotnya ancaman kelestarian biodiversitas di dunia.
Dengan demikian diperlukan pendekatan lain yang lebih mendasar, komprehensif dan strategis yang bersifat sosio-budaya, yang mampu menggugah hati nurani manusia dan kemanusiaan yang memiliki kecenderungan dasar berbuat kebaikan dan kebajikan (hanief). Dalam perspektif sosio-budaya inilah, makin disadari dan kuatnya tuntutan untuk mengembangkan dan menerapkan pendekatan lain dalam usaha konservasi melalui upaya mewujudkan masyarakat konservasi (Conservation society). Masyarakat konservasi adalah masyarakat yang dalam interaksinya dengan sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya senantiasa memegang teguh dan berperilaku sesuai dengan prinsip etika, kaidah dan norma yang berlaku pada sistem alam (Sunnatullah), yang sesuai dengan karakter sumberdaya alam yang memiliki keterbatasan daya dukung, mempunyai hak hidup dan harus diperlakukan sama seperti halnya manusia sebagai ciptaan Tuhan. Disinilah diperlukan pengembangan nilai-nilai etika konservasi yang akan menjadi panduan, ukuran, batasan dan penilai tentang bagaimana seseorang secara individual maupun komunitas seharusnya bertindak terhadap lingkungannya agar dapat dikatakan benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, sesuai atau tidak sesuai. Disinilah mulai pula digali sumber nilai, norma atau landasan yang akan dijadikan sebagai rumusan etika konservasi dimaksud.
Dengan demikian diperlukan pendekatan lain yang lebih mendasar, komprehensif dan strategis yang bersifat sosio-budaya, yang mampu menggugah hati nurani manusia dan kemanusiaan yang memiliki kecenderungan dasar berbuat kebaikan dan kebajikan (hanief). Dalam perspektif sosio-budaya inilah, makin disadari dan kuatnya tuntutan untuk mengembangkan dan menerapkan pendekatan lain dalam usaha konservasi melalui upaya mewujudkan masyarakat konservasi (Conservation society). Masyarakat konservasi adalah masyarakat yang dalam interaksinya dengan sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya senantiasa memegang teguh dan berperilaku sesuai dengan prinsip etika, kaidah dan norma yang berlaku pada sistem alam (Sunnatullah), yang sesuai dengan karakter sumberdaya alam yang memiliki keterbatasan daya dukung, mempunyai hak hidup dan harus diperlakukan sama seperti halnya manusia sebagai ciptaan Tuhan. Disinilah diperlukan pengembangan nilai-nilai etika konservasi yang akan menjadi panduan, ukuran, batasan dan penilai tentang bagaimana seseorang secara individual maupun komunitas seharusnya bertindak terhadap lingkungannya agar dapat dikatakan benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, sesuai atau tidak sesuai. Disinilah mulai pula digali sumber nilai, norma atau landasan yang akan dijadikan sebagai rumusan etika konservasi dimaksud.
Pada masyarakat yang beragama manapun di dunia, maka sumber hukum, norma dan etika yang diyakini benar dan harus dipegangteguh serta menjadi acuan dalam berperilaku adalah kitab sucinya. Bagi umat Islam, maka Al-Qur’an sebagai kitab suci diyakini memiliki pesan-pesan yang lengkap sebagai petunjuk dan pedoman hidup dan kehidupan di dunia. Ayat-ayat suci Al-Qur’an memang tidak secara eksplisit menjelaskan bagaimana etika konservasi, karena Al-Qur’an bukan kitab tentang konservasi namun sebagai firman Allah Yang Maha Kuasa, maka kandungan makna pesan di dalamnya diyakini menjangkau seluruh segi hidup dan kehidupan manusia termasuk aspek konservasi biodiversitas. Pertanyaannya, pesan mana saja dari ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dimaknai sebagai prinsip-prinsip etika konservasi biodiversitas ?
TINJAUAN KONSEP ETIKA KONSERVASI
Untuk membangun suatu pemahaman yang sama tentang konsep etika, ada baiknya perlu terlebih dahulu diuraikan makna etika dan kaitannya dengan moral. Etika menurut asal katanya (etimologi), berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Sedangkan arti etika menurut Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Sedangkan menurut istilah (terminologi), etika lebih merupakan suatu ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk (Nata 1996).
Etika merupakani hasil pikiran manusia, yang sifatnya humanistis dan antropsentris, yakni berdasar pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Artinya etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia. Nata (1996), bahkan mancatat paling tidak ada empat hal/ciri yang berhubungan dengan etika, yakni : Pertama, dilihat dari segi obyek pembahasannya, etika berusaha membahas perbuatan yang dilakukan manusia. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran manusia atau filsafat, sehingga bersifat relatif atau tidak mutlak, dan tidak pula universal, bersifat terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan atau kelebihan. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya; dan Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai tuntutan zaman.
Etika merupakani hasil pikiran manusia, yang sifatnya humanistis dan antropsentris, yakni berdasar pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Artinya etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh akal manusia. Nata (1996), bahkan mancatat paling tidak ada empat hal/ciri yang berhubungan dengan etika, yakni : Pertama, dilihat dari segi obyek pembahasannya, etika berusaha membahas perbuatan yang dilakukan manusia. Kedua, dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran manusia atau filsafat, sehingga bersifat relatif atau tidak mutlak, dan tidak pula universal, bersifat terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan atau kelebihan. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya; dan Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai tuntutan zaman.
Dalam praktek kehidupan para profesional, konsep etika tersebut dirumuskan sebagai aturan (kode etik) yang mengikat dan menetapkan perilaku atau perbuatan para profesional tertentu, seperti “Kode Etik IDI (Ikatan Dokter Indonesia)” yang mengatur dan mengikat perbuatan profesi dokter Indonesia; Kode Etik IAI (Ikatan Advokat Indonesia) untuk profesi advokat, dan sebagainya. Dalam perspektif makna etika seperti inilah, konsep etika konservasi mengandung makna sebagai aturan, ketentuan, pedoman yang menetapkan suatu perbuatan manusia atau kelompok manusia itu sesuai dengan asas dan prinsip-prinsip konservasi ataukah tidak.
Berbeda dengan etika, moral menurut asal katanya (etimologi) berasal dari bahasa Latin mores (jamak dari kata mos) yang berarti adat kebiasaan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, moral adalah penentuan baik buruk terhadap perbuatan atau kelakuan. Sedangkan dalam arti istilah, moral adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar atau salah, baik atau buruk (Nata 1996). Dalam kamus bahasa Inggris (The Advanced Learner’s Dictionary of Current English”, sebagaimana dikutip Nata (1996), paling tidak kata moral mempunyai tiga makna, yakni :
- prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk;
- kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah, dan
- ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik. Jelas bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Seseorang disebut bermoral, itu berarti bahwa orang itu menunjukkan tingkah laku yang baik, begitu pula sebaliknya, jika seseorang disebut tidak bermoral, itu berarti orang itu melakukan sesuatu perbuatan yang buruk yang menyalahi adat kebiasaan yang telah diakui dan diterima oleh masyarakat pada umumnya.
Meskipun etika dan moral sama-sama membahas obyek yang sama yakni perbuatan manusia, namun keduanya memiliki makna yang berbeda. Nata (1996) mencatat, ada beberapa perbedaan antara etika dan moral. Pertama, Etika lebih menekankan penentuan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolok ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan tolok ukur moral adalah norma-norma, adat istiadat dan kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Kedua, etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam dataran konsep-konsep, sedangkan moral berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang di dalam dan diterima masyakarat. Ketiga, moral lebih dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada.
Dalam perspektif konservasi biodiversitas, makna moral ini menempatkan seseorang untuk selalu bertindak sesuai dengan asas-asas konservasi sekaligus perwujudan penunaian kewajiban dasarnya sebagai makhluk Tuhan yang harus senantiasa memelihara dan menjaga bumi beserta isinya. Adalah sungguh tidak bermoral, jika manusia sebagai sebaik-baik ciptaan Tuhan yang mengemban amanah mulia sebagai wakil Tuhan (khalifa-Nya) dan tergolong sebagai makhluk berbudaya, beradab dan berakal budi, namun bertindak merusak dan menyebabkan kepunahan biodiversitas di muka bumi ini.
MENGEMBANGKAN ETIKA KONSERVASI BIODIVERSITAS
Etika konservasi (conservation ethic) dapat dibangun dengan dua prinsip pendekatan, yakni pendekatan antroposentris dan biosentris. Pendekatan antroposentris menekankan pada akibat tindakan orang mengenai sumberdaya alam atau lingkungan terhadap kepentingan orang lain. Artinya, etika konservasi ini mengatur bagaimana seharusnya seseorang itu bertindak atau berbuat terhadap sumberdaya alam (SDA) dan lingkungannya secara baik dan benar agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kepentingan orang lain, sekaligus mengatur hukum atau sanksi bila terjadi pelanggaran. Sebagai contoh, jika kita menebang pohon atau membakar hutan, hendaknya mempertimbangkan dampaknya terhadap kepentingan masyarakat sekitar dalam menjadikan hutan itu sebagai sumber penghidupan mereka.
Jika kita menebang hutan yang pada gilirannya dapat mengganggu kehidupan masyarakat sekitar karena terjadi banjir, maka kita akan dipandang melakukan tindakan yang salah atau tidak beretika atau tidak bermoral. Sedangkan pendekatan biosentris menekankan pada akibat tindakan orang atau sekelompok orang mengenai sumberdaya alam atau lingkungan tanpa mempertimbangan ada-tidaknya akibat terhadap orang lain melainkan lebih kepada dampaknya terhadap kelestarian orgamisme flora-fauna itu di alam. Artinya lebih menekankan pada akibat tindakan orang atau sekelompok orang terhadap kepentingan kelestarian biologis (flora-fauna) dari SDA atau lingkungan tesebut. Misalnya, jika kita menebang sesuatu pohon dalam hutan, harus mempertimbangkan dampak penebangan pohon itu terhadap kepentingan burung atau satwa tertentu yang menggunakan pohon itu untuk kepentingan kelangsungan hidupnya, baik sebagai sumber pakan, tempat berteduh maupun sebagai tempat berkembangbiak.
Jika kita menebang hutan yang pada gilirannya dapat mengganggu kehidupan masyarakat sekitar karena terjadi banjir, maka kita akan dipandang melakukan tindakan yang salah atau tidak beretika atau tidak bermoral. Sedangkan pendekatan biosentris menekankan pada akibat tindakan orang atau sekelompok orang mengenai sumberdaya alam atau lingkungan tanpa mempertimbangan ada-tidaknya akibat terhadap orang lain melainkan lebih kepada dampaknya terhadap kelestarian orgamisme flora-fauna itu di alam. Artinya lebih menekankan pada akibat tindakan orang atau sekelompok orang terhadap kepentingan kelestarian biologis (flora-fauna) dari SDA atau lingkungan tesebut. Misalnya, jika kita menebang sesuatu pohon dalam hutan, harus mempertimbangkan dampak penebangan pohon itu terhadap kepentingan burung atau satwa tertentu yang menggunakan pohon itu untuk kepentingan kelangsungan hidupnya, baik sebagai sumber pakan, tempat berteduh maupun sebagai tempat berkembangbiak.
Mengacu pada pandangan itulah, sebenarnya dapat dirumuskan beberapa argumentasi etik yang membenarkan perlunya konservasi biodiversitas atau perlindungan terhadap sesuatu spesies langka dan spesies tanpa nilai ekonomi yang jelas, sebagaimana dikemukakan oleh Primack (1993) dan Primack et al. (1998) sebagai berikut:
- Setiap spesies memiliki hak untuk hidup, karena setiap spesies memiliki nilai intrinsik, nilai untuk kebaikannya sendiri, meskipun tidak berhubungan dengan kebutuhan manusia.
- Semua spesies saling tergantung satu sama lain. Spesies berinteraksi dengan cara yang kompleks sebagai bagian dari komunitas alami. Hilangnya satu spesies memiliki konsekwensi yang jauh bagi anggota lain di dalam komunitas, sehingga secara etik semua spesies harus dijaga kelestariannya.
- Manusia harus hidup di dalam keterbatasan ekologi seperti spesies lainnya. Artinya manusia harus berhati-hati untuk meminimalkan kerusakan ini karena akan mempengaruhi manusia juga.
- Manusia harus bertanggungjawab sebagai penjaga dan pelindung bumi. Karena jika kita merusak sumberdaya alam bumi dan menyebabkan kepunahan spesies, maka generasi mendatang harus membayarnya dengan standar dan kualitas hidup yang lebih rendah.
- Menghargai kehidupan manusia dan keanekaragaman manusia sebanding dengan menghargai keanekaragaman hayati.
- Alam memiliki nilai spiritual dan estetika yang melebihi nilai ekonominya. Hampir setiap orang membutuhkan kehidupan liar dan lansekap secara estetika, dan banyak orang menganggap bumi sebagai ciptaan yang agung dengan kebaikannya sendiri dan nilai yang harus dihargai. Oleh karena itu harus dijaga dan dipertahankan keberadaannya.
- Keanekaragaman hayati dibutuhkan untuk menentukan asal kehidupan. Dua misteri utama dunia filosofi dan ilmu pengetahuan adalah bagaimana kehidupan timbul dan bagaimana keanekaragaman hidup yang ditemukan di muka bumi saat ini ada. Ribuan ahli biologi bekerja untuk memecahkan misteri ini dan sudah mendekati jawabannya. Jika suatu spesies punah, bukti-bukti menjadi hilang, dan misteri ini menjadi sulit dipecahkan.
Dalam rangka mendorong pengembangan etika dunia bagi kehidupan berkelanjutan, maka pada tahun 1991 dalam suatu pertemuan yang diprakarsai oleh World Conservation Union dan dihadiri oleh banyak pakar dunia dari berbagai agama, telah dirumuskan Elemen Etika Dunia untuk Kehidupan Berkelanjutan (Hamilton 1993), sebagai berikut:
- Setiap manusia adalah bagian dari komunitas kehidupan dari semua makhluk hidup yang saling berhubungan antar sesama, antar generasi sekarang dan generasi yang akan datang, kemanusiaan dan bersandar dari alam. Mencakup juga keragaman budaya dan alam.
- Setiap manusia memiliki hak asasi yang sama, mencakup hak untuk hidup, kemerdekaan dan keamanan personal, hak untuk bebas berbicara, berpikir, beragama, bebeas menyelidiki dan mengungkapkan hasil penyelidikannya; kedamaian bertemu dan berkumpul; berpartisipasi dalam pemerintahan; pendidikan dan mendapatkan sumberdaya dalam dunia yang terbatas untuk suatu standar kehidupan yang layak. Tidak ada individu, kemunitas, atau bangsa yang berhak menghilangkan hak pihak yang lain untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
- Setiap orang dan setiap masyarakat berhak menghormati hak-hak tersebut dan bertanggungjawab untuk melindungi ha-hak tersebut.
- Setiap bentuk kehidupan memerlukan pernghargaan secara bebas dari manusia. Pengembangan manusia tidak boleh menekan keutuhan alam atau daya hidup spesies lain. Orang harus menghargai semua ciptaan secara layak dan melindungi mereka dari kekejaman, menghindari penderitaan dan pembunuhan yang tidak perlu.
- Setiap orang harus bertanggungjawab terhadap dampak dari tindakannya terhadap alam. Orang harus memelihara proses ekologis dan keragaman alam dan memanfaatkan setiap sumberdaya alam dengan hemat dan efisien, menjamin bahwa pemanfaatan mereka terhadap sumberdaya alam yang dapat diperbaharui secara berkelanjutan.
- Setiap orang harus mengarahkan bersama-sama secara adil manfaat dan biaya dari pemanfaatan sumberdaya diantara berbagai komunitas dan kelompok kepentingan, diantara generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Setiap generasi harus meninggalkan untuk masa yang akan datang suatu dunia yang beragam dan produktif. Pembangunan oleh masyarakat atau generasi tidak boleh membatasi peluang dari generasi atau masyarakat yang lain.
- Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan semua kekayaan alam yang ada merupakan suatu tanggungjawab dunia yang melewati batas semua kulturak, idelogi dan wilayah geografi. Tanggungjawab itu bersifat individual maupun kolektif.
Secara global baik argumentasi etik maupun rumusan elemen etik seperti dikemukakan di atas tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pandangan barat yang modern dan pandangan timur yang tradisional (Budhist
Gambar Pandangan Dunia Barat/Modern dan Dunia Timur (Budhis) terhadap SDA dan Lingkungan (Sponsel & Natadecha-Sponsel 1993).
Pandangan timur lebih menekankan pada pendekatan mental dengan usaha pengembangan spiritualitas dan pengurangan sifat-sifat ego, tanpa kekerasan dan meletakkan manusia sebagai bagian tak terpisah dari alam; kelestarian biodiversitas menjadi fokus perhatian. Sebaliknya pandangan barat lebih menekankan pada pendekatan teknologi, meningkatkan usaha pemenuhan seluruh kebutuhan hidup manusia (konsumerisme), bertindak dengan kekerasan serta mengembangkan ekonomi dengan prinsip pertumbuhan yang sebesar-besarnya, lebih antroposentris atau berpusat pada kepentingan manusia dengan memandang manusia merupakan satu bagian tersendiri dari alam. Pandangan barat menekankan pada keseluruhan usaha meningkatkan produktivitas sumberdaya alam bagi kemaslahatan manusia dengan penggunaan teknologi sebagai kekuatan utamanya. Dalam perspektif barat tersebut, jelas terlihat bahwa pandangan baratlah yang hampir mendominasi pemikiran kebanyakan penggerak konservasi di dunia ini yang lebih dibangun atas dasar prinsip pendekatan antroposentris dan biontris, lebih sekularis yang alpa terhadap kesadaran dan panggilan pertanggunjawaban Ilahiah (transedental).
Pandangan barat lebih menekankan pada kepercayaan terhadap kekuatan akal pemikiran manusia dan andalan teknologi sebagai faktor penting dalam pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam, lepas dari semangat dan kesadaran emosi dan spiritualitas manusia sebagai suatu kekuatan penting. Berbeda halnya dengan pandangan Timur, yang menempatkan pengendalian mental (emosi) dan pengembangan spiritualitas sebagai salah satu ciri penting dan mendasar dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pandangan timur ini antara lain diwakili oleh kultur negara-negara timur seperti Jepang dan Cina yang selalu mengembangkan hubungan harmoni dengan alam lingkungannya dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada dorongan kuat untuk mencapai derajat manusia dan kemanusiaanya melalui pola hubungan yang selaras dan dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungannya. Emosi dan spiritualitasnya selalu diarahkan sejalan dengan kondisi dan tatanan alam.
Pandangan barat lebih menekankan pada kepercayaan terhadap kekuatan akal pemikiran manusia dan andalan teknologi sebagai faktor penting dalam pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam, lepas dari semangat dan kesadaran emosi dan spiritualitas manusia sebagai suatu kekuatan penting. Berbeda halnya dengan pandangan Timur, yang menempatkan pengendalian mental (emosi) dan pengembangan spiritualitas sebagai salah satu ciri penting dan mendasar dalam usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pandangan timur ini antara lain diwakili oleh kultur negara-negara timur seperti Jepang dan Cina yang selalu mengembangkan hubungan harmoni dengan alam lingkungannya dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada dorongan kuat untuk mencapai derajat manusia dan kemanusiaanya melalui pola hubungan yang selaras dan dengan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungannya. Emosi dan spiritualitasnya selalu diarahkan sejalan dengan kondisi dan tatanan alam.
PESAN ETIKA KONSERVASI BIODIVERSITAS DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Dalam perspektif ajaran Islam, paling tidak ada 6 komponen utama hidup yang wajib dipelihara atau dijaga oleh seluruh umat manusia, yakni :
Berkaitan dengan memelihara lingkungan hidup tersebut, banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan pesan yang dapat dimaknai secara kontekstual terkait dengan prinsip etika konservasi bidoversitas. “Tidaklah Kami (Allah) alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) (QS Al-An’aam (6) : 38). Artinya, Al-Qur’an sebagai kitab yang memuat wahyu Allah Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Awal dan Maha Akhir, tidak akan pernah luput dari semua segi kehidupan di muka bumi ini, baik apa yang sudah terjadi pada masa silam maupun apa yang sedang terjadi dan yang menjangkau jauh dimasa mendatang, termasuk berbagai pemikiran dan temuan ilmu pengetahuan kontemporer dewasa ini. Bucaille (2005) menyatakan bahwa: ”Bagaimanapun, pertimbangan-pertimbangan ilmiah ini tidak menjadikan kita lupa bahwa Al-Qur’an masih merupakan kitab suci yang paling sempurna. Al-Qur’an pastilah bukan kitab ilmiah semata. Dalam Al-Qur’an, kalau manusia diajak untuk memikirkan tentang teka-teki penciptaan dan berbagai fenomena alam lainnya, akan mudah dilihat bahwa maksud sebetulnya adalah untuk menekankan Kemahakuasaan Allah”. Bucaille juga menyatakan bahwa : selama berabad-abad, manusia tidak mampu mempelajari data tertentu yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an, lantaran mereka tidak memiliki peralatan ilmiah yang memadai. Baru belakangan ini, berbagai ayat dari Al-Qur’an yang berkaitan dengan fenomena alam, mampu dipamahi”. Jelas bahwa jika dikaji dengan pisau analisis kontemporer dan kontekstual, dapat dipahami banyak isyarat dari ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan pesan penting tentang keharusan melakukan konservasi.
- memelihara jiwa (Hifdzul nafs),
- memelihara akal (hifdzul aql),
- memelihara harta (hifdzul maal),
- memelihara agama (hifdzul diin),
- memelihara keturunan (hifdzul nasl) dan
- memelihara lingkungan hidup (hifdzul biah).
Berkaitan dengan memelihara lingkungan hidup tersebut, banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan pesan yang dapat dimaknai secara kontekstual terkait dengan prinsip etika konservasi bidoversitas. “Tidaklah Kami (Allah) alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab (Al-Qur’an) (QS Al-An’aam (6) : 38). Artinya, Al-Qur’an sebagai kitab yang memuat wahyu Allah Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Maha Awal dan Maha Akhir, tidak akan pernah luput dari semua segi kehidupan di muka bumi ini, baik apa yang sudah terjadi pada masa silam maupun apa yang sedang terjadi dan yang menjangkau jauh dimasa mendatang, termasuk berbagai pemikiran dan temuan ilmu pengetahuan kontemporer dewasa ini. Bucaille (2005) menyatakan bahwa: ”Bagaimanapun, pertimbangan-pertimbangan ilmiah ini tidak menjadikan kita lupa bahwa Al-Qur’an masih merupakan kitab suci yang paling sempurna. Al-Qur’an pastilah bukan kitab ilmiah semata. Dalam Al-Qur’an, kalau manusia diajak untuk memikirkan tentang teka-teki penciptaan dan berbagai fenomena alam lainnya, akan mudah dilihat bahwa maksud sebetulnya adalah untuk menekankan Kemahakuasaan Allah”. Bucaille juga menyatakan bahwa : selama berabad-abad, manusia tidak mampu mempelajari data tertentu yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an, lantaran mereka tidak memiliki peralatan ilmiah yang memadai. Baru belakangan ini, berbagai ayat dari Al-Qur’an yang berkaitan dengan fenomena alam, mampu dipamahi”. Jelas bahwa jika dikaji dengan pisau analisis kontemporer dan kontekstual, dapat dipahami banyak isyarat dari ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan pesan penting tentang keharusan melakukan konservasi.
Al-Jamaly (1981) menyebutkan Al-Qur’an bagi orang Islam adalah kitab terbesar mengenai filsafat pendidikan dan pengajaran. Pada hakekatnya Al-Qur’an adalah perbendaharaan kebudayaan manusia yang sangat luas …..……. Al-Qur’an adalah kitab pendidikan dan pengajaran. Sebagai kitab pendidikan, Al-Qur’an menggariskan empat tujuan pendidikan di dalamnya, yakni :
- memperkenalkan kepada manusia sebagai individu, kedudukannya di antara makhluk dan tanggungjawabnya sebagai pribadi dalam kehidupan ini;
- memperkenalkan kepada manusia hubungan-hubungan kemasyarakatannya dan tanggung jawabnya terhadap ketenteraman masyarakat;
- memperkenalkan kepada manusia alam seluruhnya dan menjadikannya mengetahui hikmah Khaliq dalam penciptaan-Nya dan memungkinkan manusia memanfaatkannya; dan
- memperkenalkan kepada manusia Pencipta alam (Allah) dan cara beribadah kepada-Nya.
Sebagai Kitab dari Allah Tuhan Yang Maha Mengetahui Yang Ghaib dan Maha Mengetahui apa yang akan terjadi yang belum diketahui dan dijangkau oleh keterbatasan pengetahuan manusia, maka setiap perkembangan ilmu pengetahuan komtemporer yang sering diidentifikasi sebagai penemuan manusia, pasti secara hakiki telah berada dalam skenario besar Ilmu Allah sebagai Pencipta dan Pemilik Alam Semesta ini, sehingga secara eksplisit (tersurat) maupun implisit (tersirat), berbagai hal yang berkenaan dengan konservasi biodiversitas pasti telah terkandung di dalamnya. Melalui pemaknaan atas ayat-ayat Al-Qur’an manusia dapat memperoleh pemahaman sesuai konteks permasalahan yang dihadapi manusia, termasuk yang terkait dengan prinsip-prinsip etika konservasi biodiversitas. Betapapun demikian, Al-Qur’an tentu saja bukanlah kitab tentang konservasi biodiversitas ataupun etika konservasi, tetapi pasti kandungannya secara kontekstual menjangkau segala hal yang sudah dan akan terjadi (berkembang) dalam perjalanan kehidupan umat manusia, termasuk persoalan yang terkait dengan prinsip-prinsip etika konservasi biodiversitas.
Menyadari akan terbatasnya pengetahuan yang kami miliki, terutama terkait dengan kaidah-kaidah didalam memaknai atau menfasirkan Al-Qur’an, maka sangat disadari bahwa apa yang dapat ditelaah dari kandungan Al-Qur’an yang maha luas ini yang kemudian dituangkan sebagai prinsip-prinsip konservasi biodiversitas tentu saja sangat terbatas, dan tidak hanya apa yang dapat dirumuskan di bawah ini. Apa yang ditulis di bawah ini hanya sebagian kecil, namun setidaknya sebagai sebuah wacana awal dalam mendorong pengembangan nilai-nilai etika yang bersumber dari wahyu Allah, sekaligus sebagai manifestasi penunaian salah satu dari enam kewajiban manusia (umat Islam khususnya) didalam memelihara lingkungannya (hifdzul biah), seperti disebutkan di atas. Kami berlindung kepada Allah dari keterbatasan diri didalam memahami pesan Al-Qur’an tentang konservasi biodiversitas. Beberapa prinsip etika konservasi biodiversitas yang dapat kami identifikasi dari pesan-pesan ayat Al-Qur’an perlu dipahami dan dikembangkan dalam rangka mendorong terwujudnya masyarakat konservasi,. Dapat diuraikan secara singkat di bawah ini.
Prinsip Pertama: Tuhan sebagai Pencipta dan Pemilik hakiki segala sesuatu di bumi, dan adanya Keragaman Ciptaan-Nya
Al-Qur’an menggariskan bahwa pencipta dan pemilik hakiki bumi beserta segala isi yang terkandung didalamnya adalah Tuhan. Tuhan pulalah yang menjadi Maha Pemberi segenap keperluan hidup manusia. Banyak ayat Al-Qur’an menggariskan tentang prinsip ini diantaranya tertuang dalam QS Thaha (20): 6, QS Al-Hijr (15): 20; QS Al-Furqan (25): 59; QS Al-Baqarah (2): 29; QS Qaaf (50): 38; An-Nur (24): 45.
“Kepunyaan Allah-lah semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, semua yang ada diantara keduanya dan semua yang ada di bawah bumi" (QS Thaha : 6). "Dan Kami (Allah) telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu bukan pemberi rezekinya" (QS Al-Hijr (15) : 20). "Dialah (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya dalam enam masa" (QS Al-Furqan 25): 59). "Dialah yang menciptakan bagimu segala yang ada di bumi semuanya ....(QS Al-Baqarah (2): 29). "Dan sesungguhnya telah Kami (Allah) ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa ....." (QS Qaaf (50): 38).
Prinsip ini menegaskan batasan kepada manusia untuk tidak boleh bertindak melampaui kewenangan sebagai bukan pemilik sebenarnya (hakiki) dari bumi beserta segenap isinya termasuk biodiversitas. Jangan bertindak mengingkari (dzalim) atas prinsip ini. "Dan Dia (Tuhan) telah memberikan padamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah tidaklah dapat kamu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim (mengingkari)" (QS Ibrahim (14): 34).
Al-Qur’an bahkan juga menunjukkan secara jelas konsep biodiversitas (keanekaragaman hayati) ciptaan-Nya baik jenis flora, fauna dan ekosistem (QS An-Nahl (16):11; Lukman (31) : 10; Fathir (35) : 27-28; Yaasin (36): 34, 71, 80; Al-An'am (6) : 99, 141; Fathir (35): 12).
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di atas perutnya, dan sebagian berjalan dengan dua kaki, dan sebagian yang lain berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS An-Nuur (24): 45).
Prinsip Kedua: Manusia sebagai wakil Tuhan (Khalifah) yang bertugas sebagai pengelola dan pemakmur bumi.
Prinsip ini menggariskan bahwa manusia hanya berstatus sebagai wakil Tuhan dengan tugas utama mengelola dan memakmurkan bumi, sehingga tidak dibenarkan bertindak melampaui batas kewenangan tersebut. Upaya pengembangan pemanfaatan semua sumberdaya ciptaan Tuhan sebagai Pemilik hakiki harus dikhidmatkan bagi kepentingan dan kemaslahatan kemakmuran bumi; menyimpang dari prinsip ini berarti menyalahi dan berdampak negatif terhadap kehidupan di bumi. Al-Qur’an menggariskannya dalam banyak ayat, diantaranya tertuang dalam QS Al-Baqarah (2): 30; QS Huud (11): 61 sebagai berikut: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah (wakil) di muka bumi" (QS Al-Baqarah (2): 30)."Dia (Allah) telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu sebagai pemakmurnya" (QS Huud (11) : 61).
Prinsip Ketiga: Keseimbangan dan Keterukuran Alam Ciptaan
Al-Qur’an menggariskan prinsip tentang sifat keseimbangan dan keterukuran alam sebagai ciptaan Tuhan. Karakter sumberdaya alam yang seimbang dan terukur mengharuskan manusia sebagai wakil Tuhan dengan tugas utama pemakmur dan penjaga bumi untuk senantiasa bertindak dalam koridor karakter dasar sumberdaya yang seimbang dan terukur tersebut. Menyimpang dari prinsip ini pasti akan menimbulkan ketidakseimbangan dan gangguan pada sistem alam yang seimbang dan terukur tersebut. Diantara ayat Al-Qur’an yang menggariskan prinsip ini adalah QS Al-Mulk (67): 3; QS Al-Hijr (15): 19 dan 21; Al-Qamar (54): 49 dan Al-Furqan (25): 2.
"Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya (sumbernya), dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu" (QS Al-Hijr (15): 21). "Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu melihat sesuatu yang tidak seimbang" (QS Al-Mulk (67): 3). ”…dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya” (QS Al-Furqan (25): 2). "Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran" (QS Al-Hijr (15) : 19).
Prinsip Keempat: Prinsip larangan berbuat kerusakan di muka bumi dan dampak kerusakan bumi.
Banyak ayat Al-Qur’an menegaskan tentang prinsip larangan membuat kerusakan di muka bumi, diantaranya seperti digariskan pada QS Al-Baqarah (2): 11; Al-A’raf (7): 56; An-Nahl (16): 34; Al-Qashash (28): 77; Asy-Syu’araa (26): 151-152).
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya (Surah Al-A’raf (7) ayat 56). “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi (QS Al-Baqarah (2): 11). Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan" (QS Al-Qashash (28): 77).
Al-Qur’an juga menegaskan bahwa dengan sifat dasarnya yang seimbang dan terukur, maka sebenarnya semua kerusakan yang terjadi di muka bumi adalah akibat ulah perbuatan manusia. "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS Ar-Rum (30): 41). Al-Qur’an juga menegaskan larangan mengikuti perintah pemimpin manapun yang menyebabkan kerusakan di atas bumi. “ …..dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas, yang membuat kerusakan di muka bumi dan tidak mengadakan perbaikan" (QS Asy-Syu'araa' (26) : 151-152).
Prinsip Kelima: Larangan memanfaatkan sumberdaya secara berlebih-lebihan (boros) dan melampaui batas.
Al-Qur’an juga menegaskan tentang prinsip larangan pemanfaatan sumberdaya secara berlebih-lebihan (boros) dan melampaui batas, selain menyalahi karakter dasar sumberdaya yang seimbang dan terukur, tetapi lebih dari itu juga menyalahi prinsip hakekat keberadaan manusia dengan fungsi dan tugas utama sebagai pemakmur dan pengelola bumi. Hal ini antara lain seperti digariskan dalam QS Al-Baqarah (2): 190; Al-An’am (6): 141; Al-Isra’ (17): 27; QS Al-Furqan (25): 67; QS Al'Alaq (96): 6-7.
"Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya yang bermacam-macam itu bila dia berbuah dan tunaikan haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin), dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan" (QS Al-An'am (6) : 141).
"Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara syetan" (QS Al-Isra' (17): 27). "Janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas" (QS Al-Baqarah (2): 190).
Prinsip Keenam: Semua fauna (binatang) di bumi memiliki hak yang sama dengan manusia sebagai sesama umat Tuhan dan Larangan membunuh spesies apapun tanpa alasan syar’i.
Al-Qur’an menegaskan perihal kedudukan semua binatang (fauna) di muka bumi sebagai sesama umat seperti halnya manusia. Artinya mereka juga memiliki hak hidup dan hak untuk diperlakukan secara baik dan benar sesuai karaker dasarnya. Tidak boleh meniadakan hak hidup mereka tanpa alasan yang dibenarkan (syar’i). “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu (manusia). Tiadalah Kami (Tuhan) alpakan sesuatupun di dalam penciptaannya (Al-Kitab), kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpun” (QS Al-An’am (6): 38). “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar .. (QS Al-Furqan (25): 68).
Prinsip Ketujuh: Perintah mempelajari (berpikir) tentang gejala alam (hewan & tumbuhan)
Al-qur’an juga secara tegas menggariskan prinsip yang terkait dengan keharusan mempelajari atau berpikir tentang fenomena alam dalam rangka mengembangkan pola pengelolaan yang benar dan sejalan dengan karakter dasar sumberdaya alam sebagai ciptaan Tuhan. Diantara ayat-ayat Al-qur’an yang menggariskan prinsip ini adalah QS An-Nahl (16): 11, 66-67; Al-Mulk (67): 19, 30; Qaaf (50): 7-8; Ar-Ra’du (13): 4; Al-Fathir (35): 27; Al-Ghaasyiyah (88): 17-20.
Prinsip Kedelapan: Setiap orang atau komunitas harus bertanggungjawab atas seluruh perbuatannya dan akan menerima akibatnya di dunia maupun di akhir, sebesar atau sekecil apapun juga.
Al-Qur’an menggariskan bahwa setiap perbuatan manusia di dunia ini siapapun dia akan diminta pertanggungjawabannya di dunia ini maupun di akhirat nanti, sebesar biji sawi sekalipun perbuatan itu. Setiap perbuatan manusia secara individual maupun kelompok dipastikan akan memperoleh balasan (ganjaran), apakah perbuatan baik ataupun jelek. Al-Qur’an menegaskannya didalam beberapa ayat berikut : QS Al-Zalzalah (99); 7-8; An-Naazi’aat (79): 34-41; Al-An’am (6): 132; Al-A’raf (7): 6-9; Yunus (10): 52.
Prinsip Kesembilan: Semua manusia memiliki kedudukan yang sama di muka bumi dan keharusan membangun kerjasama dalam kebaikan untuk kemasalahatan di bumi.
Al-Qur’an menetapkan bahwa semua manusia, tanpa membedakan suku bangsa sesungguhnya memiliki kedudukan yang sama dan harus memperoleh perlakuan yang sama. Yang membedakannya adalah kebajikan yang diperbuatnya yang menghantarkannya menjadi mulia sebagai orang yang bertaqwa dalam pandangan Tuhan. Untuk itulah maka setiap manusia atau komunitas diprintahkan untuk saling kenal-mengenal dan saling membantu di dalam berbuat kebajikan dan dilarang untuk saling tolong-menolong didalam berbuat kerusakan; setiap orang wajib bertindak adil terhadap siapapun dan dalam keadaan apapun. Diantara ayat Al-Qur’an yang menggariskan tentang prinsip tersebut, yakni QS Al-Hujuran (49): 13; Al-Maidah (5): 2, 8; Al-An’am (6): 152.
Itulah sembilan prinsip etika yang dapat dipetik dari ayat-ayat Al-Qur’an yang dapat dikembangkan menjadi prinsip-prinsip yang terkait dengan etika konservasi biodiversitas yang selanjutnya perlu dikembangkan dan ditanamkan kepada manusia dalam mewujudkan suatu masyarakat konservasi. Tentu ditinjau dari luasnya kandungan Al-Qur’an dan kesadaran akan keterbatasan yang kami miliki, maka sesungguhnya apa yang diuraikan disini masih terlalu terbatas. Upaya keras masih harus dilakukan terus-menerus dalam upaya mewujudkan masyarakat yang berpegang teguh dan menerapkan prinsip-prinsip etika konservasi dalam seluruh perihidup dan kehidupannya baik secara individual maupun komunitas.
DAFTAR PUSTAKA;
- Al-Jamaly FM, 1981. Filsafat Pendidikan Dalam Al-Qur’an. Terjemahan. Penerbit CV Pepara. Jakarta.
- Al-Qardhawi Y. 1998. Al-Qur’an. Berbincang tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Gema Insani Press. Jakarta.
- Bucaille M. 2005. Jelajah Alam Bersama Al-Qur’an. Terjemahan The Qur’an and Modern Science. CV Arafah Group. Solo.
- Departemen Agama RI. 1992. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Edisi Lux CV Asy-Syifa’. Semarang.
- Hadhiri C. 1993. Klasifikasi Kandungan Al-Qur’an. Gema Insani Press. Jakarta.
- Hamilton LS & HF Takeuchi (Edt.). 1993. Ethics, Religion and Biodiversity. Relation Between Conservationand Cultural Value. The White Horse Press. Cambridge.
- Naik Z. 2005. Jelajah Alam Bersama Al-Qur’an. Terjemahan, The Qur’an and Modern Science, Compatible or Incompatible ?. CV Arafah Group. Solo.
- Nata A. 1996. Akhlak Tasauf. PT RajaGrafindi Persada. Jakarta.
- Primack RB. 1993. Essentials of Conservation Biology. Sinauer Associates Inc. Sunderland, Massachusetts, USA.
- Primack RB, J Suprianta, M Indrawan & P Kramadibrata. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Idonesia. Jakarta.
- Sponsel LE & P Natadecha-Sponsel. 1993. The Potential Contribution of Buddhism in Developing an Environmental Ethic for The Conservastion of Biodiversity. Dalam Hamilton LS & HF Takeuchi (Edt.). Ethics, Religion and Biodiversity. Relation Between Conservationand Cultural Value. The White Horse Press. Cambridge.
No comments:
Post a Comment