Pengertian Dan Konsepsi Hak Kekayaan Intelektual
Memasuki pintu gerbang millennium III (abad 21) hampir tidak tcrlihat lagi batas-batas negara, karena lalu lintas perdagangan dan informasi teknologi telah berjalan sangat cepat. Fenomena tersebut oleh Sudargo Gautama, diibaratkan dengan hidup dalam suatu dunia yang menciut (shrinking world). Semenjak itu persaingan barang dalam perdagangan internasional tidak hanya berkaitan dengan barang dan jasa semata-mata, tetapi terlibat juga sumber daya manusia berupa hasil kemampuan intelektual dan teknologi.
Hasil kemampuan intelektual dan teknologi disebut Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disebut HaKI atau HKI), yang merupakan terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR). Digunakannya istilah HKI bagi terjemahan IPR karena merupakan istilah resmi dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 Tentang Hak Cipta. Selain itu berdasarkan Keppres Nomor 144 Tahun 1998, mulai 1 Januari 1999 Departemen Kehakiman Direktorat Jenderal Hak Cipta Paten dan Merek (Ditjen HCPM) diubah menjadi Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI). Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundangundangan RI No.M.03.PR-07.10 Tahun 2000 dan Persetujuan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 24/M.PAN/1/2000 Tanggal 19 Januari 2000, mengubah istilah Hak atas Kekayaan Intelektual menjadi Hak Kekayaan Intelektual disingkat dengan HKI atau HaKI. Alasan pengubahan agar lebih menyesuaikan kaidah tata bahasa Indonesia yang tidak menuliskan kata depan "atas" atau “dari” untuk memahami istilah
Sejauh ini masih ditemukan berbagai pendapat diantara penyebutan istilah HKI dengan Hak milik Intelektual (HMI). Menurut Rachmadi Usman ;
Antara kata “milik” dan kata “kekayaan”, dalam dua istilah tersebut lebih tepat jika menggunakan kata “milik” atau kepemilikan, karena pengertian hak milik memiliki ruang lingkup yang lebih khusus dari pada kekayaan. Menurut sistem hukum perdata, hukum mengenai harta kekayaan meliputi hukum kebendaan dan hukum perikatan. Intelectual Property Rights merupakan kebendaan inmmateriil yang juga menjadi obyek hak milik sebagaimana diatur dalam hukum kebendaan.
Berkaitan dengan tulisan ini dipakai istilah Hak Kekayaan Intelektual atau disingkat HKI.
HKI atau juga dikenal dengan HAKI merupakan terjemahan atas istilah Intellectual Property Right (IPR). Istilah tersebut terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual. Kekayaan merupakan abstraksi yang dapat dimiliki, dialihkan, dibeli, maupun dijual. Adapun Kekayaan Intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya. Terakhir, Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) merupakan hak-hak (wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas kekayaan intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukumhukum yang berlaku.
Rachmadi Usman memberi definisi Hak Kekayaan Intelektual adalah hak atas kepemilikan terhadap karya-karya yang timbul atau lahir karena adanya kemampuan intelektual manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Karya-karya tersebut merupakan kebendaan tak berwujud sebagai hasil dari kemampuan intelektualitas seseorang atau manusia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi melalui daya cipta, rasa, karsa, dan karyanya.
HKI ( Hak Kekayaan Intelektual) adalah merupakan bagian dari hukum harta benda (hukum kekayaan). HKI dikelompokkan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (intangible). HKI bersifat sangat abstrak dibandingkan dengan hak atas benda bergerak pada umumnya, seperti hak kepemilikan atas tanah, kendaraan, dan properti lainnya yang dapat dilihat dan berwujud.
HKI baru ada bila kemampuan intelektual manusia itu telah membentuk sesuatu yang bisa dilihat, didengar, dibaca, atau dapat digunakan. Berdasarkan hal tersebut David I. Bainbridge mengatakan bahwa. Intellectual property is the to legal rights which protect the product of the human intellect. Menambahkan hal tersebut John F. Wiliam menyatakan, the term intellectual property seem, to be the best available to cover that body of legal rights arise from mental and artistic endeavour.
Dari uraian ini diketahui bahwa HKI merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuk, yang memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia, juga mempunyai nilai ekonomi. Bentuk nyata dari kemampuan karya intelektual tersebut berupa bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Pengaturan HKI secara implisit ditemukan dalam sistem hukum benda yang mengacu pada ketentuan Pasal 499 KUH Perdata adalah sebagai baikut:
"Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik."
Mahadi menguraikan lebih lanjut mengenai rumusan pasal tersebut yaitu. yang dapat menjadi objek hak milik adalah barang dan hak. Adapun yang dimaksud dengan barang adalah benda materiil, sedangkan hak adalah benda immateriil. Selanjutnya Pitlo sebagaimana dikutip Mahadi menegaskan pula bahwa HKI termasuk dalam hak-hak yang disebut Pasal 499 KUH Perdata sebagai berikut:
"HKI termasuk ke dalam hak-hak yang disebut oleh Pasal 499 KUH Perdata. Hal ini menyebabkan hak milik immateriil itu sendiri dapat menjadi objek dari suatu hak benda. Hak benda, adalah hak absolut atas sesuatu benda, tetapi ada hak absolud yang objeknya bukan benda. Inilah yang disebut dengan HKI (intellectual property rights)".
Selanjutnya Pasal 503 KUH Perdata menggolongkan benda ke dalam dua bentuk yaitu, "Tiap-tiap kebendaan adalah bertubuh atau tidak bertubuh". Ketentuan ini berarti barang adalah benda bertubuh atau benda materiil yang ada wujudnya, karena dapat dilihat dan diraba (tangible good,). Misalnya kendaraan, komputer, rumah, tanah. Hak, adalah benda tidak bertubuh atau benda immateriil yang tidak ada wujudnya karena tidak dapat dilihat dan tidak dapat diraba (intangible good,). misalnya HKI, gadai, hipotik, piutang, hak pakai, hak pungut hasil, hak guna usaha.
Sebagai suatu hak atas kekayaan yang timbul dari kemampuan intelektualitas manusia, maka pemilikan terhadap HKI dalam masyarakat beradab diakui seperti yang dinyatakan oleh Roscoe Pound sebagai berikut :
"Atas hasil kreasi dari kemampuan intelektual dalam masyarakat beradab diakui bahwa yang mencipfakan boleh menguasai untuk tujuan yang menguntungkannya. Kreasi sebagai milik berdasarkan postulat hak milik dalam arti seluasluasnya meliputi milik tak berwujud."
Berkaitan dengan masalah ini, Van Apeldoorn menyatakan sebagai berikut:
"Hak pemilikan hasil intelektual sangat abstrak jika dibandingkan dengan hak pemilikan benda yang terlihat, tetapi hak-hak tersebut mendekati hak-hak benda, lagi pula kedua hak tersebut bersifat mutlak. Selanjutnya terdapat analogi, bahwa setelah benda yang tidak berwujud itu keluar dari pikiran manusia, maka menjelma dalam suatu ciptaan seni, sastra dan ilmu pengetehuan atau dalam bentuk pendapat, jadi berupa benda berwujud (lichamelijk zaak) yang dalam pemanfaatannya (exploit), dan reproduksinya dapat merupakan sumber keuntungan uang. Inilah yang membenarkan pengolongan hak tersebut ke dalam hukum harta benda".
Sistem hukum hak kekayaan intelektual pada awal perkembangannya kurang dikenal dan kurang mendapat perhatian di Indonesia, sering diabaikan dan banyak terjadi pelanggaran di bidang hukum ini . Hal ini tidak mengherankan, mengingat konsepsi dan sistem hukum HKI pada dasarnya memang tidak berakar dari budaya hukum dan sistem hukum nasional (asli) Indonesia yang lebih menekankan pada konsep komunal, melainkan sistem hukum HKI berasal dari dunia Barat, yang cendrung memiliki konsep hukum kepemilikan dengan bersifat individual / individual right. Konsep kepemilikan yang berlandaskan konsep individual right lebih menekankan pada pentingnya diberikan perlindungan hukum kepada siapa saja yang telah menghasilkan suatu karya intelektual yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi, dimana karya tersebut lahir dari proses yang sangat panjang penuh pengorbanan baik pengorbanan berupa tenaga, waktu maupun uang. Kepada orangorang yang sudah bekerja keras seperti itu dan menghasilkan karya intelektual yang mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi sudah sepantasnya diberikan penghargaan (reward) dan perlindungan hukum secara individual berupa diberikannya Hak Eksklusif atas karya yang dihasilkannya.
Sementara itu konsep kepemilikan secara komunal yang berkembang dalam masyarakat lebih menekankan bahwa terhadap karya-karya intelektual seperti misalnya karya Cipta adalah diciptakan untuk kepentingan orang banyak dan bukan hanya untuk kepentingan individu semata. Konsep Komunal beranggapan bahwa hasil karya intelektual adalah merupakan karya milik bersama.
Meskipun ada anggapan seperti itu dalam masyarakat, sehingga menjadi salah satu faktor penyebab lemahnya penegakan hukum HKI di Indonesia, namun dalam perkembangannya sekarang ini, Hukum HKI berkembang secara bertahap dan pasti, mulai melekat dan menjadi bagian dari sistem hukum nasional sebagai konsekuensi pergaulan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa industri maju dan bangsa-bangsa dari negara-negara berkembang lainnya, lebih-lebih setelah Indonesia ikut serta dalam Organisasi Perdagangan Dunia / World Trade Organization (WTO) yang antara lain mencakup Perjanjian Aspek-Aspek Dagang Hak Kekayaan Latelektual / TRIPS (Agreement on Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights)
Dalam kerangka pembangunan sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual nasional, serta dengan diratifikasinya Konvensi tentang Pernbentukan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994, dan juga untuk menunjang keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi Paris (Paris Convention for the Protector of Industrial Property), The Hague Agreement (London Act) concerning the International Deposit of Industrial Designs, Provision of the Treaty on intellectual Property in Respect of Integrated Circuit (Washington Treaty), maka Indonesia wajib membentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan hak atas kekayaan intelektual, serta wajib mengharmoniskan sistem hukum HKI-nya dengan standar-standar yang ditetapkan TRIPS Agreement. Bagi negara-negara berkembang ketentuan peralihan dan persiapan pembentukan perundang-undangan di bidang HKI adalah 5 tahun sejak pembentukan WTO di Maroko tahun 1994. Indonesia agar dapat diterima dalam pergaulan bangsabangsa yang beradab, khususnya dalam pergaulan perdagangan internasional, maka dalam jangka waktu tersebut, Indonesia sudah harus memiliki perangkat hukum HKI secara lengkap, serta dapat mengimplementasikannya dengan baik.
Peraturan Perundang-Undangan dan Konvensi-Konvensi Internasional di Bidang Hak Kekayaan Intelektual.
Peraturan perundang-undangan dibidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebetulnya sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Bila dicermati kembali, maka peraturan-peraturan dibidang HKI tersebut dapat kiranya diuraikan sebagai berikut :
1. Peraturan Perundang-Undangan HKI Masa Penjajahan Belanda.
Hak Kekayaan Intelektual sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sejak zaman Pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia telah mempunyai undang-undang tentang hak kekayaan intelektual yang sebenarnya merupakan pemberlakuan peraturan perundang-undangan pemerintahan Hindia Belanda yang berlaku di negeri Belanda, diberlakukan di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda berdasarkan prinsip konkordansi
Pada masa itu, bidang hak kekayaan Intelektual mendapat pengakuan baru 3 (tiga) bidang hak kekayaan Intelektual, yaitu bidang Hak Cipta, Merek Dagang dan Industri, serta paten.
Adapun peraturan perundang-undangan Belanda bidang Hak Kekayaan Intelektual adalah sebagai berikut.
- Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang-Undang Hak Cipta; S.1912-600).
- Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S.1912-545 jo. S.1913- 214).
- Octrooiwet 1910 (Undang-Undang Paten 1910; S.1910-33, yis S.1911-33,5.1922-54.
Undang-Undang Hak Cipta pertama di Belanda diundangkan pada tahun 1803, yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang Hak Cipta tahun 1817 dan diperbarui lagi sesuai dengan konvensi Bern 1886 menjadi Auterurswet 1912, Indonesia (Hindia Belanda saat itu) sebagai negara jajahan Belanda, terikat dalam konvensi Bern tersebut, sebagaimana diumumkan dalam S.1914-797. Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912 merupakan undang-undang merek tertua di Indonesia, yang ditetapkan oleh pemerintah Kerajaan Belanda berlaku sejak tanggal 1 Maret 1913 terhadap wilayah-wilayah jajahannya Indonesia, Suriname, dan Curacao. Undang-Undang Paten 1910 tersebut mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1912.
Lingkup berlakunya peraturan perundang-undangan HKI pada masa penjajahan Belanda tersebut berdasarkan pasal 131 Indische Staatsregeling. Pasal 131 Indische staatsregling (IS) pada pokoknya mengatur hal-hal sebagai berikut :
- Hukum perdata dan hukum dagang (termasuk hukum pidana maupun hukum acara perdata dan pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang, yaitu dikodifikasi.
- Untuk golongan bangsa Eropa, dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (asas konkordansi).
- Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan sebagainya), jika ternyata "kebutuhan kemasyarakatan" mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahanperubahan. Dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2).
- Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan menundukkan diri (onderwerperi) pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4).
- Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu "hukum adat" (ayat 6).
Adapun berdasarkan Pasal 163 IS, golongan penduduk Hindia Belanda adalah sebagai berikut.
a. Golongan Eropa, yaitu;
- Semua orang golongan Belanda,
- Semua orang Eropa lainnya,
- Semua orang Jepang,
- Semua orang yang berasal dari tempat lain yang di negaranya tunduk pada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan asas yang sama seperti hukum benda, dan
- Anak sah atau diakui menurut undang-undang, dan anak yang dimaksud sub b dan c yang lahir di Hindia Belanda.
b. Golongan Bumiputra, yaitu semua orang yang termasuk rakyat Indonesia Asli, yang tidak beralih masuk golongan lain, yang telah membaurkan dirinya dengan golongan lain, dan yang telah membaurkan dirinya dengan rakyat Indonesia Asli.
c. Golongan Timur Asing, yaitu semua orang yang bukan golongan Eropa dan golongan Bumiputra.
Berdasarkan Pasal 131 jo. 136 IS tersebut dapat diketahui bahwa kodifikasi hukum perdata (burgerlijke wetboek) hanya berlaku bagi golongan Eropa dan mereka yang dipermasalahkan. Adapun bagi golongan Bumiputra dan Timur Asing berlaku hukum adat mereka masing-masing, kecuali sejak tahun 1855 hukum perdata Eropa diberlakukan terhadap golongan Timur Asing, selain hukum keluarga dan hukum waris.
Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat itu bersifat pluralistis sesuai dengan golongan penduduknya, sehingga ada peraturan perundangundangan Eropa yang dinyatakan berlaku bagi orang-orang Bumiputra (Indonesia), ada pula peraturan perundang-undangan yang dinyatakan secara khusus dibuat untuk orang-orang Indonesia Asli (Bumiputra). Peraturan perundang-undangan Eropa di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang diatur dalam Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S.1912-545 jo. S,1913-214), Auterswet 1912 (Undang-Undang Hak Pengarang 1912, Undang-Undang Hak Cipta, S.I912-600) dan Octrooiwet 1910 (Undang-Undang Paten 1910; S.1910-33, yis S.1911-33, S. 1922-54), merupakan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan berlaku tidak hanya untuk golongan Eropa, melainkan juga berlaku untuk golongan bukan Eropa.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan Eropa dibidang HKI merupakan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi semua golongan penduduk Indonesia.
Peraturan Perundang-Undangan HKI Pasca Kemerdekaan Indonesia.
Pertumbuhan dan perkembangan HKI sebagai suatu “regime” di Indonesia yang relativ masih baru, bersumber pada beberapa peraturan perundang-undangan. Pada uraian ini akan dikemukakan tentang peraturan perundang-undangan dibidang HKI setelah Indonesia merdeka, hingga yang berlaku sekarang ini.
Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, maka ketentuan peraturan perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual zaman penjajahan Belanda, demi hukum diteruskan keberlakuannya, sampai dengan dicabut dan diganti dengan undang-undang baru hasil produk legislasi Indonesia. Setelah 16 tahun Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1961 barulah Indonesia mempunyai peraturan perundang-undangan hak kekayaan intelektual dalam hukum positif pertama kalinya dengan diundangkannya Undang-Undang Merek pada tahun 1961, disusul dengan Undang-Undang Hak Cipta pada tahun 1982, dan Undang-Undang Paten pada tahun 1989.
Undang-undang merek pertama Indonesia lahir pada tahun 1961 dengan diundangkannya Undang-Undang Merek Dagang dan Merek Perniagaan, pada tanggal 11 Oktober 1961 dan mulai berlaku tanggal 11 November 1961, yang dikenal juga dengan nomenklatur Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961. Dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, maka Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial Kolonial 1912; S.1912-545 jo. S.1913-214) tersebut dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Pada tahun 1992 terjadi pembaruan hukum merek di Indonesia, dengan diundangkan dan diberlakukannya UndangUndang Nomor 19 Tahun 1992 yang mencabut dan menggantikan Undang-Undang Nomor 21 -Tahun 1961. Selanjutnya pada tahun 1997, terjadi lagi penyempurnaan terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992, dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997. Dan terakhir pada Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.
Undang-Undang Hak Cipta pertama Indonesia pasca kemerdekaan baru ada pada tahun 1982, dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982. Kemudian pada tahun 1987, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tersebut diubah dan disempurnakan dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987. Selanjutnya pada tahun 1997, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tersebut. Dan terakhir pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 jis. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.
Undang-undang paten Indonesia pertama baru ada pada tahun 1989 dengan diundangkan dan diberlakukannya UndangUndang Nomor 6 Tahun 1989. Kemudian pada tahun 1997, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tersebut diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997. Dan terakhir pada tahun 2001, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tersebut, diubah dan disempurnakan serta diganti dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001.
Dengan demikian, sejak tahun 1961 s./d. tahun 1999, yang berarti selama 54 tahun sejak Indonesia merdeka, bidang hak kekayaan intelektual yang telah mendapat perlindungan dan pengaturan dalam tata hukum Indonesia baru 3 (tiga) bidang, yaitu merek, hak cipta, dan paten. Adapun 4 (empat) bidang hak kekayaan intelektual lainnya varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, serta desain tata letak sirkuit terpadu, baru mendapat pengaturan dalam hukum positif Indonesia pada tahun 2000, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan UndangUndang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri.
Sesuai dengan konvensi-konvensi internasional serta dalam rangka kewajiban TRIPs Agreement, maka Indonesia telah memperbaharui, merevisi, mengharmonisasikan sistem hukum HKI-nya, serta membentuk peraturan-peraturan baru dibidang HKI. Sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka saat ini pengaturan masing-masing bidang HKI di Indonesia diatur dalam Undang-Undang sebagai berikut :
- Hak cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
- Merek diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
- Paten diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
- Perlindungan Varietas Baru Tanaman diatur dalam UndangUndang Nomor 29 Tahun 2000
- Rahasia Dagang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000
- Desain Industri diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000
- Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diatur dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2000
Disamping Peraturan Perundang-Undangan Nasional, ada pula peraturan HKI yang bersifat internasional yang berupa Konvensi atau Traktaat, yang mana pihak Indonesia sendiri menjadi negara peserta dan ikut meratifikasi ketentuan Konvensi atau traktat tersebut, seperti disampaikan Bambang Kesewo, sebagai berikut :
Ditingkat Internasional, pada saat ini tercatat setidaknya 22 perjanjian multilateral dibidang HKI. Ada yang namanya Konvensi, ada pula yang diberi nama traktat, dan bahkan ada pula yang diberi nama persetujuan. Kesemuanya dikelola olehWIPO yang berkantor pusat di Jenewa. Selain itu, ada pula perjanjian multilateral yang tidak dikelola oleh WIPO, misalnya Universal Copyright Convention yang dikelola UNESCO. Ada pula perjanjian internasional yang tidak secara khusus mengenai HKI, tetapi menjadikan HKI sebagai salah satu isinya. Contohnya Konvensi tentang keragaman hayati (Viodiversity convention), konvensi ini dikelola oleh UNCED.
Dari begitu banyak perjanjian atau konvensi internasional, yang terbaru adalah persetujuan mengenai Aspek-Aspek Dagang dari pada HKI, termasuk Perdagangan Barang-Barang Tiruan (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights including Trade in Counterfeit Goods) atau TRIPs yang dikelola oleh organisasi perdagangan dunia (WTO). Badan ini dibentuk berdasarkan salah satu persetujuan dalam paket persetujuan Putaran Uruguay.
Mengingat begitu banyaknya konvensi-konvensi internasional dibidang HKI, maka pada tulisan ini akan disebut dan diuraikan beberapa konvensi saja yang mana pihak Indonesia ikut ambil bagian di dalamnya. Adapun konvensi-konvensi internasional dimaksud adalah sebagai berikut :
1. The TRIPs Agreement
Pada tanggal 15 April 1994, dokumen akhir Putaran Uruguay telah ditandatangani oleh 124 wakil-wakil negara di Marrakesh, Maroko. Dokumen tersebut berisi 28 kesepakatan multilateral yang antara lain berisi liberalisasi komoditi, penghapusan dan penurunan tarif produk manufakturing, penghapusan MFA yang mengatur tekstil dan pakaian jadi dalam 10 tahun, liberalisasi terbatas sektor jasa, penghapusan proteksi bidang pertanian, pengakuan perlindungan hak milik intelektual (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights-TRIPs), nondiscrimination dalam perlakuan investor asing (Trade Related Investment Measures-TRIMs), penghapusan tata niaga, pengawasan (safeguards), antidumping dan arbitrase, subsidi (Subsidies and Counter-Vailing Measures), dan penanganan konflik dagang (Dispute Settlement Understanding).
Salah satu kesepakatan dari Putaran Uruguay sebagaimana dikemukakan di atas adalah kesepakatan yang menyangkut perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (The Related Aspects of Intellectual Property Rights-TRIPs). Sebagai negara anggota WTO, Indonesia mempunyai kewajiban untuk memberikan perlakuan yang diatur dalam TRIPs.
The Agreement on Trade-Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPS) adalah salah satu perjanjian multilateral terpenting berkaitan dengan hak kekayaan intelektual, Agreement ini mulai berlaku 1 Januari 1995, Indonesia telah meratifikasinya dan berkewajiban melaksanakah dan berlaku sejak tahun 2000. Indonesia meratifikasi TRIPs melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994, dan sebagai konsekuensi keikutsertaannya, maka Indonesia berkewajiban mengharmoniskan sistem hukum HKI-nya sesuai dengan standardstandard yang ditetapkan TRIPs.
1) Prinsip yang tercantum dalam TRIPs ke dalam sistem dan praktek hukum nasionalnya.
Negara anggota dapat mcnerapkan sistem perlindungan yang lebih luas dari yang diwajibkan TRIPs sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam persetujuan ini, (Pasal 1 TRIPs). Ketentuan seperti ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa pengaturan mengenai HKI dalam persetujuan TRIPs hanyalah menyangkut masalah-masalah pokok secara global, sedangkan pengaturan secara spesifik diserahkan sepenuhnya kepada negara anggota.
2) Prinsip Intellectual Property Convention
Ketentuan yang mengharuskan negara anggotanya menyesuaikan peraturan perandang-undangannya dengan berbagai konvensi internasional di bidang HKI, khususnya Konvensi Paris, Konvensi Bern, Konvensi Roma, Integrated Circuits, (Pasal 2 ayat (2) TRIPs).
3) Prinsip National Treatment
Ketentuan yang mengharuskan anggotanya memberikan perlindungan HKI yang sama antara warga negaranya sendiri dengan warga negara anggota lainnya, (Pasal 3 ayat (1) TRIPs). Prinsip perlakuan sama ini tidak hanya beriaku bagi warga negara perseorangan, tetapi juga untuk badan-badan hukum.
4) Prinsip Most-Favoured-Nation-Treatment
Ketentuan yang mengharuskan anggotanya memberikan perlindungan HKI yang sama terhadap seluruh anggotanya, (Pasal 4 TRIPs). Ketentuan ini bertujuan untuk menghindarkan terjadinya perlakuan diskriminasi suatu negara terhadap negara lainnya dalam memberikan perlindungan HKI. Setiap negara anggota diharuskan memberi perlakuan yang sama terhadap anggota lainnya.
5) Prinsip Exhaution
Ketentuan yang mengharuskan angotanya, di dalam menyelesaikan sengketa, untuk tidak menggunakan satu ketentuan pun di dalam persetujuan TRIPs sebagai alasan tidak optimalnya pengaturan HKI di dalam negara mereka (Pasal 6 TRIPs). Ketentuan ini berkaitan erat dengan masalah sengketa yang mungkin timbul di antara para anggotanya, Menyangkut prosedur penyelesaian sengketa, maka hal ini diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa yang berada di bawah Multilateral Trade Organization (MTO). Organisasi yang pembentukannya disepakati dalam paket persetujuan GATT dengan tugas sebagai pengelola TRIPs. Peagawasan pelaksanaan TRIPs, lakukan oleh Dewan TRIPs (TRIPs Council) yang secara struktural merupakan bagian dari WTO.
2. Convention Establishing The World Intellectual Property Organization (WIPO)
WIPO adalah salah satu dari enam belas "specialized agencies" dari PBB yang ditandatangani di Stockholm 14 Juli tahun 1967, dan diberlakukan pada tahun 1970. Secara formal kehadirannya melalui The Convention Establishing the World. Intellectual Property Organization.
WIPO sebagai organisasi hak milik intelektual (sekarang hak kekayaan intelektual) dalam sejarah perkembangannya menjadi pengelola tunggal dua konvensi yang berbeda yaitu : Konvensi Paris, Union Internasional untuk perlindungan Hak Milik Perindustrian, dan Konvensi Berne, Union Internaional untuk perlindungan Hak Cipta. Meskipun merupakan dua konvensi yang berbeda, akan tetapi pengurusan administrasinya berada dalam satu manajernen yang sama yaitu United Bureau far the Protection of Intellectual Property atau dalam versi bahasa perancis dikenal dengan sebutan BIRPI, pada akhirnya organisasi ini dalam tahun 1967 diganti menjadi WIPO.
Bagi negara-negara maju, TRIPs-WTO mengatur sistem disiplin pelaksanaan peraturan yang lebih efektif; potensial dan menjanjikan untuk menangani pelanggaran HKI di negara-negara berkembang.
Masuknya masalah HKI dalam TRIPs-WTO berarti HKI sudah menjadi salah satu isu perdagangan internasional, bukan lagi hanya sebagai masalah intern hukum nasional. Argumentasi negara-negara maju mengaitkan HKI dengan perdagangan internasional menurut Sanusi Bintang karena, perlindungan HKI yang ketat akan mengurangi hambatan-hambatan perdagangan (trade barriers), yang merupakan tujuan dari perjanjian multilateral TRIPs-WTO. Pelanggaraa HKI dianggap sebagai suatu bentuk proteksionisme.
Meerhagaege dalam A.F. Ely Erawati mengatakan tujuan dari TRIPs-WTO adalah :
- Mewujudkan sistem perdagangan internasional yang stabil dan transparan;
- Melaksanakan liberalisasi perdagangan internasional; dan
- Meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka mewujudkap kesejahteraan
Untuk mencapai tujuan tersebut TRIPs-WTO berfungsi sebagai berikut:
- Perangkat hukum internasional yang mengatur sistem dan mekanisms perdagangan internasional;
- Forum negoisasi antar bangsa untuk mewujudkan liberalisasi perdagangan internasional; dan
- Forum konsultasi dan penyelesaian sengketa perdagangan internasional antar negara anggotanya.
3. Paris Convention
Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property) dikenal sebagai Konvensi yang mengatur perlindungan terhadap hak milik perindustrian. Hak milik perindustrian meliputi Paten, Merek dan desain Industri. Paris Convention ini disahkan melalui Kepres No. 15 Tahun 1997
Konvensi ini mulai berlaku 20 Maret 1883, kemudian direvisi beberapa kali, yaitu ; di Brussels tgl 14 Desember 1900, di Washington 2 Juni 1911, The Hague 6 Nopember 1925, London 2 Juni 1934, Lisbon 31 Oktober 1958, di Stockholm 14 Juli 1967, dan kemudian diamandemen tanggal 2 Otober 1979.
Indonesia menjadi anggota Konvensi Paris pada tanggal 10 Mei tahun 1979 melalui Keppres RI No. 24 tahun 1979, Indonesia mengajukan revisi terhadap pasal 1 sampai dengan 12 (pasal-pasal substantif) dan pasal 28 ayat 1. Kemudian revisi tersebut telah dicabut berdasarkan Keppres RI No. 15 tahun 1997. Hingga Januari tahun 1997 jumlah anggota Konvensi Paris adalah 140 Negara.
Dalam Paris convention memiliki tiga(3) komponen dasar yaitu :
- The guarantee of national treatment
- The right of priority
- Common rules for a minimum floor of protection for each subject matter I Provisions dealing with the administration of the convention.
Mengingat pengaturan Konvensi Paris sifatnya masih terlalu umum, maka kemudian dibentuk Konvensi atau perjanjian yang khusus hanya mengatur satu bidang hak milik perindustrian, diantaranya di bidang Paten, yaitu :
- European Convention Relating to the Formalities Required to patent application (1953)
- European Convention for International Classification of patent (1954)
- Perjanjian Kerjasama Paten di Washington 1970 (Patent Cooperation Treaty PCT)
- European Patent Convention (EPC) The Community Patent Convention (CPC) tahun 1975
- The Hague Agreement: ( London Act ) Concerning The International Deposit of Industrial Designs
- Provisions of the Treaty on Intellectual property in respect of Integrated Circuil (Washington Treaty).
4. Patent Cooperation Treaty (PCT)
PCT (Perjanjian kerjasama paten) adalah suatu Perjanjian Kerjasama Paten yang bersifat multilateral, didirikan di Washington pada 19 Juni tahun 1970, dan merupakan perjanjian khusus dibawah Konvensi Paris. Perjanjian ini dimaksudkan untuk memfasilitasi dan memberi perlindungan paten di beberapa negara dari anggota Paris Konvensi. Keanggotaan dari PCT adalah terbuka bagi negara-negara anggota Paris Convention, dan hingga 1 Februari 1993 anggotanya menjadi 56 negara.
PCT ditujukan untuk penyederhanaan prosedur administratif pendaftaran permintaan paten intemasional, Sepertu ; filling, searching, dan examining.
Agar tujuan PCT tercapai yaitu penyederhanaan proses, maka digunakanlah sistem "single application". Sistem ini memungkinkan sebuah permintaan diajukan secara serentak pada sejumlah negara, dan pengajuan permintaan itu akan menjadi ekuivalensi pengajuan permintaan paten pada masing-masing negara anggota yang dituju, sebagaimana dinyatakan dalam permintaan paten. Permintaan paten intemasional cukup diajukan dalam satu bahasa (yang diakui secara internasional), di kantor paten negara asal, dan selanjutnya cukup memenuhi satu ketentuan mengenai persyaratan formalitas.
Ada 5 (lima) mekanisme yang merupakan Five major international functions untuk mencapai tujuan umum dari PCT yaitu :
- International filling
- International formal examination
- International search.
- Centralized international publication
- Optional international preliminary examination
Indonesia menjadi anggota PCT pada tanggal 7 Mei 1997 melalui Keppres No. 16 tahun 1997.
5. Berne Convention
Bern Convention for the Protection of literary and Artistic works adalah Konvensi multilateral terpenting dalam hak cipta. Konvensi ini pertama kali berlaku pada 9 September 1886, dan kemudian mengalami beberapa kali revisi yaitu : Dilengkapi di Paris tanggal 4 Mei 1896, di revisi di. Berlin 13 Nopember 1908, dirubah lagi di Berne 20 Maret 1914, di revisi di Rome 2 .luni 1928, di Brussels 26 juni 1948, di Stockholm 14 Juli 1967, di Paris 24 juli 1971 dan kemudian diamendemen pada tanggal 28 September 1979. Indonesia pemah menjadi anggota Konvensi Berne tahun 1959, tetapi kemudian keluar, dan kembali menjadi anggota melalui Keppres No. 18 tahun 1997. Sampai maret 1997 jumlah keanggotaan Beme Convention adalah 121 Negara. Dengan ikut kembali Indonesia sebagai anggota Berne Convention, berarti sejak tahun 1997 Indonesia wajib mentaati ketentuan-ketentuan Berne Convention. Konvensi Berne berpegang pada tiga prinsip dasar yaitu :
- Perlakuan nasional (national treatment)
- Perlindungan otomatis ( automatic protection )
- Kebebasan perlindungan (independence of protection).
Dengan konsep perlindungan otomatis (automatically protection) yang dianut Konvensi Berne, maka perlindungan hukum terhadap karya cipta tidak membutuhkan persyaratan formal seperti misalnya pendaftaran, melainkan begitu karya tersebut lahir (expression work), pada saat itu juga secara hukum mendapat perlindungan hukum hak cipta.
6. Universal Copyright Convention ( UCC )
Universal Copyright Convention adalah suatu Konvensi hak cipta yang lahir karena adanya gagasan dari peserta Konvensi Berne dan Amerika Serikat yang diseponsori oleh PBB khususnya UNESCO, yaitu untuk menyatukan satu sistem hukum hak cipta secara universal. UCC ini dicetuskan dan ditandatangani di Jenewa pada bulan September 1952, dan telah mengalami revisi di Paris pada tahun 1971.
Standar perlindungan yang ditawarkan UCC lebih rendah dan lebih fleksibel daripada yang ditentukan oleh Berne Convention. Menurut article 2, UCC menganut prinsip national treatment. Berne Convention menganut prinsip perlindungan secara otomatis, sebaliknya UCC mempersyaratkan ketentuan formal untuk adanya perlindungan hukum di bidang hak cipta.
Ketentuan yang monumental dari Konvensi Universal adalah adanya ketentuan formalitas hak cipta berupa kewajiban setiap karya yang ingin dilindungi harus mencantumkan tanda C dalam lingkaran ©, disertai nama penciptanya, dan tahun karya tersebut mulai dipublikasikan. Simbul tersebut menunjukkan bahwa karya tersebut telah dilindungi dengan hak cipta negara asalnya, dan telah terdaftar dibawah perlindungan hak cipta.
Beberapa konvensi lainnya di bidang hak yang berkaitan dengan hak cipta (neighbouring right) adalah:
- Konvensi Roma 1961 (International Convention for the Protection of the Performers producers of Phonograms and Broadcasting Organization). Konvensi ini bertujuan untuk melindungi orang-orang yang berkecimpung dalam kegiatan pertunjukan, perekaman,dan badan penyiaran.
- Geneva Convention for the Protection of Producers of Phonograms Against Unauthorized Duplication of their Phonograms, tahun 1971.
- Brussels Convention Related to the Distribution of Programme carrying Signals Transmitted by Satellite , tahun 1974.
7. The Hague Agreement Concerning The International Deposit of Industrial designs
Konvensi yang ada sejak 6 Nopember 1925 menganut prinsip "national treatment for designs", dan terbuka untuk seluruh negaranegara anggota Konvensi Paris. Indonesia menjadi anggota sejak tahun 1950. Konvensi dibidang desain lainnya adalah: Locarno Agreement, berlaku sejak 27 april 1971, tentang International classification system for designs.
8. Madrid Agreement Concerning The International Registration of Marks
Perjanjian ini ditandatangani di Madrid pada 14 April 1891, dan rnuiai berlaku 15 Juli 1892, kemudian direvisi di Stockholm tanggal 14 Juli 1967, dan terbuka bagi seluruh anggota Paris Union. Perjanjian Madrid mengatur pendaftaran merek secara internasional, baik untuk barang maupun jasa, melalui pendaftaran dengan sistetn single application dengan birokrasi internasional dari WIPO. Menurut Sistem Perjanjian Madrid, pemilik merek harus mendaftarkan mereknya pertama kali di kantor merek negara asal dari pendaftar, kemudian pendaftar dapat mengajukan pendaftarannya ke International Bureau di Perancis melalui kantor merek nasional.
Beberapa konvensi lain di bidang HKI adalah sebagai berikut:
- Konvensi UPOV yaitu Union for the Protection of New Varities of Plants Yaitu suatu konvensi internasional yang memberi perlindungan hukum terhadap varitas baru tanaman atau disebut pula Plant Breeder Right.
- Convention on Biological Diversity, yaitu konvensi tentang keanekaragaman hayati. Indonesia meratifikasi Konvensi ini melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1994. c. The Trademark Registration Treaty 1973.
- The Nice Agreement Concerning the International Classification of goods and Services for the Purposes of the Registration of mark 1961.
Jenis-Jenis Hak Kekayaan Intelektual.
Hak atas kekayaan intelektual yang diberikan perlindungan hukum bisa dilihat dan dibandingkan apa yang disepakati dalam GATT, TRIPs, WIPO, maupun yang diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan tentang HKI di Indonesia. Dari sini bisa diketahui mengenai pengelompokan jenisjenis HKI yang perlu diberikan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan yang mengaturnya. Dalam perundingan persetujuan umum tentang tarif dan perdagangan (General Agreement on Tariff and a Trade (GATT) sebagai, bagian dari pembentukan organisasi perdagangan dunia (WTO) telah disepakati norma-norma dan standar perlindungan HKI yang meliputi:
- Hak cipta dan hak-hak lain (copyrights and related right)-
- Merek (trademarks, service marks, and names)
- Indikasi geografis (geographical indications);
- Desain produk industri (industrial design);
- Paten (patens), termasuk perlindungan varietas tanaman
- Desain tata letak sirkuit terpadu [layout design (topographic) of integrated circuits]
- Perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan (protection of undisclosed information);
- Pengendalian praktik-praktik persaingan curang dalam perjanjian lisensi (control of anti competitive practices in contractual licenses).
Dalam perjanjian internasional tentang aspek-aspek perdagangan dari HKI (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights disingkat Persetujuan TRIPs) pada Pasal 1 dan 2 menyatakan bahwa HKI terdiri atas:
- Hak cipta dan hak terkait
- Merek dagang
- Indikasi geografis
- Desain industri
- Paten
- Tata letak (topografi) sirkuit terpadu
- Perlindungan informasi rahasia
Pengelompokan HKI yang didasarkan pada Convention Establishing The World Intellectual Property Organization (WIPO)
- Hak cipta (copy rights)
- Hak milik (kekayaan) perindustrian (industrial property rights).
Hak cipta dibedakan lagi menjadi dua, yakni hak cipta dan hak terkait dengan hak cipta (neighbouring rights). Sementara itu, hak atas kekayaan perindustrian terdiri atas:
- Patent (paten)
- Utility models (model rancang bangun), disebut juga paten sederhana
- Industrial design (desain industri)
- Trade mark (merek dagang)
- Trade names (nama niaga atau nama dagang)
- Indication of source or appellation of origin (stimber tanda atau sebutan asal)
Sampai saat ini, Indonesia telah membentuk dan mengundangkan tujuh UU mengenai HKI. Dari tujuh UU tersebut dapat diketahui ada tujuh macam HKI yang mendapat perlindungan hukum secara normatif.
- UU No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
- UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
- UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
- UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
- UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten
- UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
- UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Apabila mengikuti pembagian menurut WIPO yang membedakan HKI antara hak cipta dengan hak kekayaan perindustrian maka pembagian HKI menurut hukum HKI Indonesia dapat dilihat dalam bagan berikut:
HKI
1. Hak Cipta
- Hak Cipta
- Hak Terkait (dengan Hak Cipta)
2. Hak Milik
- Hak Perlindungan Varietas Tanaman
- Hak Rahasia Dagang
- Hak Desain Industri Perindustrian
- Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
- Hak Paten
- Hak Merek
Perlindungan hukum terhadap karya-karya intelektual manusia sangat penting artinya, karena masyarakat Barat serta masyarakat industri maju yang mempelopori perkembangan sistem hukum HKI ini sangat concern menyikapi perlindungan hukumnya, mengingat karya-karya yang masuk dalam lingkup HKI baik berupa karya seni, sastra, penemuan tehnologi, desain, merek dan karya HKI lainnya adalah merupakan hasil kreativitas intelektual manusia yang lahir dari proses yang sangat panjang, dengan pengorbanan berat, baik dari segi waktu, tenaga dan biaya (misalnya karena harus melalui penelitian-penelitian dan proses pengembangan (Research and Development).
Produk HKI merupakan karya yang lahir dari cipta, karsa, dan dengan kreatif, serta kemampuan intelektual / hasil kerja otak yang tinggi dari si penemu, pencipta maupun pendesain. Hasil kreatifitas intelektual dengan proses yang demikian mendalam sebagaimana disebutkan diatas mempunyai nilai ekonomi sangat tinggi, hasil karya tersebut pada hakekatnya merupakan kekayaan pribadi dari mereka yang menemukan, menciptakan maupun mendesain, oleh karena itu sudah selayaknya kepada para penemu, dan para pencipta diberikan perlindungan hukum secara individual yaitu dalam bentuk hak-hak ekslusif (exclusive rights) atas karya yang dilahirkannya.
Dengan konsep berpikir bahwa karya-karya tersebut lahir dari kemampuan intelektual, pengorbanan yang dalam, serta memiliki nilai ekonomi yang dapat dinikmati dari karya-karya tersebut, maka HKI hanya dapat diberikan kepada penciptanya atau penemunya untuk menikmati atau memetik manfaat sendiri selama jangka waktu tertentu, atau memberi izin kepada orang lain untuk menggunakannya.
Perlindungan hukum terhadap HKI pada dasarnya berintikan pengakuan terhadap hak atas kekayaan ternikmati atau mengeksploitasi sendiri kekayaan tadi. Selama kurun waktu tertentu itu, orang lain hanya dapat menikmati atau menggunakan atua mengeksploitasi hak tersebut atas ijin pemilik hak. Perlindungan dan pengakuan tersebut hanya diberikan khusus kepada orang yang memiliki kekayaan tadi, maka sering dikatakan bahwa hak seperti itu ekslusif sifatnya.
Adanya perlindungan hukum seperti itu dimaksudkan agar pemilik hak dapat menggunakan atau mengeksploitasi kekayaan tadi secara aman. Pada gilirannya, rasa aman itulah yang kemudian menciptakan iklim atau suasana yang memungkinkan orang dapat berkarya guna menghasilkan ciptaan atau temuan-temuan berikutnya. Sebaliknya dengan perlindungan hukum seperti itu pula pemilik hak diminta untuk mengungkapkan jenis, bentuk, dan cara kerja serta manfaat dari pada kekayaannya. Ia dapat dengan aman mengungkapkan (discloses) karena adanya jaminan perlindungan hukum, dan sebaliknya masyarakat dapat ikut menikmati atau menggunakannya atas dasar ijin, atau bahkan mengembangkannya lebih lanjut.
Urgensinya perlindungan HKI, selain karena faktor-faktor seperti tersebut diatas (karya intelektual pribadi, pengorbanan dan nilai ekonomi), juga karena : Pertama, adanya pembajakan ( unfair trade practice ) sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak itu dapat menimbulkan kerugian terhadap produsen, misalnya penurunan omzet produksi, besarnya biaya untuk penjejakan pembajak, merosotnya daya hidup perusahaan; kerugian terhadap konsumen, misalnya konsumen mendapat barang palsu yang kualitasnya sering lebih buruk.
Kedua, menguatnya kecendrungan negara-negara industri maju, khususnya Amerika Serikat, menggunakan tuntutan dan keharusan untuk melindungi hak milik intelektual di negara-negara berkembang.
No comments:
Post a Comment