Budaya Birokrasi dan Kepentingan Politik
Birokrasi di Indonesia hingga saat ini masih belum efektif. Para birokrat di mata publik memiliki citra buruk dan cenderung korup. Mereka tidak dapat mengikuti situasi ekonomi, sosial dan politik yang sedang berkembang yang menuntut adanya sikap dinamis dan terbuka. Waktu dan biaya yang tidak terukur adalah cermin ketidakprofesional kerja penopang birokrasi. Mereka masih melestarikan budaya birokrasi kolonial. Inilah budaya birokrasi kita saat ini yang jauh dari kesan melayani masyarakat. Perubahan kepemimpinan yang terjadi di tingkat nasional maupun daerah ternyata tidak mampu mendorong reformasi yang terarah dalam memperbaiki citra pejabat birokrat dan sistem birokrasi kita.
Para pejabat politik baru pun harus berkonflik atau berkolusi dengan aparat birokrasi di bawahnya karena dominasi mereka yang begitu kuat. Dalam sejarahnya memang birokrasi kita sejak lama dijadikan sebagai alat mobilisasi politik bagi partai penguasa untuk melanggengkan kekuasaan. Karenanya di era Reformasi ini, perubahan pejabat politik di level nasional maupun daerah yang dimotori oleh partai politik baru dengan minimnya jaringan birokrasi pasti selalu saja mengalami resistensi tinggi. Kemenangan PKS di kota Depok yang berhasil menempatkan kadernya, Nurmahmudi Ismail sebagai walikota menjadi studi kasus yang sangat menarik tentang konflik dan kolusi antara pejabat politik dan pejabat birokrat. Pergantian kepala-kepala dinas yang dilakukan oleh Nurmahmudi, misalnya, tidak lagi dipandang sebagai usaha melakukan reformasi birokrasi tetapi dianggap sebagai move untuk menggeser para pejabat birokrasi dan menggantinya dengan kader-kader partai. Apalagi mereka yang ada di jajaran birokrasi sendiri sudah terbiasa memainkan peluang-peluang politik itu. Hari-hari sang walikota pun tidak lepas dari aksi-aksi demontrasi.
Reformasi birokrasi pada akhirnya menjadi program yang paling sulit dilakukan. Karenanya, perlu dilakukan inovasi baru dalam penciptaan budaya (cultural innovation and invention) dalam birokrasi. Mengingat perubahan dari dalam yang tidak bisa diharapkan maka harus diciptakan juga pendekatan struktural yang mampu merubah budaya birokrasi kita. Namun demikian, perubahan-perubahan budaya organisasi pemerintahan secara eksternal ini diharapkan tidak hanya berorientasi pada program rasionalisasi birokrasi yang sering mendapat perlawanan tetapi juga harus diarahkan pada penciptaan budaya baru birokrasi yang lebih terbuka.
Rasionalisasi Birokrasi
Jumlah pegawai pemerintah yang menopang aktifitas-aktifitas birokrasi di Indonesia ternyata telah mencapai 4 juta. Namun jumlah yang besar itu belumlah secara optimal dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Melihat kondisi kinerja para birokrat yang belum efektif dan efisien serta masih jauh dari kesan memuaskan ini maka salah satu langkah yang sering dilakukan oleh pejabat politik yang menduduki kepemimpinan di level nasional maupun di daerah-daerah adalah dengan melakukan langkah rasionalisasi. Langkah ini dilakukan dengan memfokuskan pada perombakan besar-besaran terhadap formasi birokrat. Mutasi juga dilakukan terhadap para aparat yang yang dianggap memiliki kinerja dan track record buruk. Langkah semacam ini tentu saja menjadi semacam shock terapy yang dapat memicu ketegangan hubungan antara pemimpin departemen atau pemerintah daerah yang dipegang oleh pejabat poliik dengan aparat birokrat di bawahnya beserta kepentingan-kepentingan politik lainnya.
Perlawanan menjadi semakin tidak terkendali apabila diduga bahwa pejabat politik yang baru ternyata lebih suka memasukkan kader-kader politik ke birokrasi dan tidak berusaha mencari pejabat-pejabat birokrat terbaik di lingkungan kerja yang ada. Karenanya, reformasi birokrasi kemudian tidak lebih dari sekedar menyingkirkan kroni-kroni lawan-lawan politik untuk mengokohkan peran partai politik baru dalam birokrasi. Akibatnya birokrasi kita tidak akan pernah dapat bekerja secara optimal dan profesional karena selalu bergantung dengan kepentinga-kepentingan politik jangka pendek.
Pada sisi lain, para pejabat birokrat ternyata juga berusaha melakukan kolusi dan pendekatan-pendekatan kepada para pejabat politik untuk mengamankan jabatan mereka. Di sinilah sebenarnya semangat untuk melakukan perubahan dalam birokrasi akan diuji. Apakah kompromi dan kepentingan politik atau kepentingan masyarakat akan pelayanan yang lebih baik menjadi landasan utama dalam reformasi birokrasi? Banyak kasus yang menunjukkan pada akhrinya para pejabat politik sering mengabaikan kepentingan rakyat dan memilih jalan pintas demi memenuhi ambisi politik pribadi.
Keterbukaan Birokrasi
Pegawai yang profesional dan terbuka terhadap perubahan ekonomi, sosial dan politik menjadi sebuah tuntutan. Bagaimana para birokrat memahami jabatan yang dipegang dan merealisasikan dalam bentuk pelayanan publik optimal adalah hal utama. Selama ini kecenderungan aparat birokrasi masih mewarisi budaya ”memerintah” dan menganggap bahwa jabatan adalah status sosial yang membedakan mereka dengan warga biasa. Melayani dan memenuhi kebutuhan warga negara dengan sebaik-baiknya belumlah menjadi paradigma para birokrat. Masyarakat pun masih menganggap bahwa keberadaan birokrasi bukanlah mempermudah urusan mereka tetapi malah menghambat layanan yang harus diterima.
Kenyataan di lapangan juga telah berkembang ”kebanggaan” berlebihan terhadap institusi di masing-masing lembaga birokrasi yang ada. Mereka tampil sebagai jago kandang dan berusaha membangun kerajaan-kerajaan sendiri. Sayangnya sikap semacam ini sengaja diwariskan kepada para pegawai-pegawai baru melalui pola interaksi dan bahkan terlembaga dalam institusi pendidikan. Karenanya perlu dikembangkan sikap terbuka yang dapat menghilangkan sikap primordial dalam institusi atau departemen itu. Usaha-usaha untuk menciptakan rasa kebersamaan berlebihan di antara calon birokrat dengan alasan kekompakan kerja harus segera dihilangkan. Sekolah-sekolah kedinasan yang menanamkan budaya semacam ini juga harus ditiadakan. Kebutuhan rekruitmen pegawai departemen di tingkat nasional maupun pemerintah daerah hendaknya dapat dipenuhi oleh perguruan tinggi umum yang memang menyediakan pola interaksi terbuka dengan berbagai macam pengalaman hidup yang heterogen. Bagaimana pun juga suasana pendidikan dan pelatihan yang tertutup dalam suatu lembaga pendidikan kedinasan telah menyuburkan praktik-praktik kekerasan dan kebanggaan berlebihan terhadap institusi. Akibatnya, sikap-sikap yang lahir dari tradisi kedinasan akan terbawa dalam lingkungan kerja dan juga berdampak pada kekakuan dan kurangnya sensitifitas terhadap persoalan publik.
Kepimpinan yang Kokoh
Untuk mendorong perubahan budaya birokrasi ke arah yang lebih profesional serta menekan adanya kepentingan-kepentingan politik sesaat dari parpol-parpol yang berkuasa dibutuhkan figur pemimpin yang memiliki integritas yang kuat. Pemimpin yang kokoh dan memiliki komitmen terhadap reformasi birokrasi akan dapat melahirkan budaya baru dalam jajaran birokrat kita. Aparat birokrasi tidak lagi menjadi semacam mesin politik partai politik tetapi lebih pada sistem organisasi pemerintah yang profesional yang mampu mengimplemtasikan kebijakan-kebijakan pemerintah.
Para pejabat politik diharapkan tidak sekedar berusaha menanamkan kepentingan-kepentingan partai dengan merekrut aparat birokrat yang berasal dari kader-kader partai tetapi sebaliknya harus memulai iklim baru rekruitmen yang lebih terbuka. Birokrasi harusnya tetap solid tetapi dinamis dalam merespon perubahan-perubahan yang ada. Walaupun telah terjadi perubahan kekuasaan dan kepemimpinan politik tetapi tugas para birokrat untuk memberikan pelayanan terbaik kepada publik tidak pernah berubah. Apalagi kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan sebuah pelayanan yang praktis, jelas dan terukur selalu menjadi tuntutan. Ini yang seharusnya dipahami oleh pejabat politik dan para birokrat di bawahnya.
No comments:
Post a Comment