APA BIROKRASI ITU?
Birokrasi dapat diartikan sebagai bagian pelaksana pemerintahan. Tetapi juga birokrasi berarti tatanan yang memiliki sifat delegasi wewenang, pembangian kerja, mekanisme administrasi dan termasuk juga pelaksanaan tugas dan pengawasannya.
Secara kelembagaan, birokrasi diartikan sebagai salah satu level pemerintahan yang memiliki otoritas untuk mengatur dan melaksanakan tugas tugas pemerintahan. Ciri dari birokrasi adalah adanya kelompok penguasa dan metode pemerintahan .
MENURUT PANDANGAN MAX WEBER
S. Ramachander (1998)[1] menjelaskan bahwa apa yang menjadi pusat perhatian dari Max Weber ialah persoalan mengenai apakah yang membuat orang-orang mematuhi perintah dan mau melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Persoalan ini menjadi penting ketika kita berhadapan dengan persoalan perubahan sosial secara kolektif. Dalam konteks ini, Weber membedakan antara kekuasaan (power) yang berarti kemampuan untuk menggerakkan orang-orang dengan kekuatan dan kewenangan (authority) yang berarti perintah-perintah yang ditaati oleh orang-orang dengan kesediaannya sendiri.
Tiga tipe otoritas
Ada tiga tipe otoritas. Yang pertama ialah ‘otoritas karismatik’, “yaitu suatu kepatuhan yang dibenarkan karena orang yang memberikan tatanan memiliki beberapa kesucian atau semua karakteristik yang dikenal.”[2] Di sini, pemimpin menggerakkan yang dipimpin atas dasar kharisma atau wibawa yang dimilikinya, dan wibawa atau kharisma ini merupakan sebuah kualitas diri yang batiniah yang tak bisa diberikan atau dibagikan kepada pihak yang lain. Kharisma atau wibawa merupakan sebuah kualitas diri yang tak kasat mata, namun auranya terasakan oleh mereka yang dipimpin dan aura kharisma atau wibawa inilah yang sanggup menggerakkan mereka yang dipimpin. Dalam kehidupan kita sehari-hari, tipe otoritas yang demikian barangkali terepresentasikan dalam kepemimpinan sebagian tokoh agama.
Tipe otoritas yang kedua ialah ‘otoritas tradisional’. Dalam otoritas yang sedemikian ini, ‘semua perintah mungkin dipatuhi karena adanya rasa hormat terhadap pola-pola tatanan lama yang telah mapan.’[3] Tipe otoritas ini barangkali tak sulit untuk kita temukan dalam kehidupan sehari-hari kita. Kita bisa lihat tipe otoritas ini semisal dalam bagaimana masih kuatnya tradisi pernikahan yang mengikuti adat tradisional.
Tipe otoritas yang ketiga ialah ‘otoritas legal’ dimana ‘manusia mungkin percaya bahwa seseorang yang memberikan tatanan adalah berbuat sesuai dengan tugas-tugasnya sebagaimana yang di dalam suatu kitab undang-undang dan peraturan.”[4] “Kategori ketiga ini berciri rasional, dan merupakan tipe otoritas yang menandai organisasi modern, yang berkaitan dengan membesarnya staf administrasi birokratis.”[5]
Sekarang, kita akan berusaha memahami makna penting dari birokrasi meski ada banyak keluhan terhadapnya dengan mengkaitkan masing-masing tipe otoritas tersebut dengan konteks masanya.
1. Tipe otoritas karismatik
Dalam tipe ini, orang-orang bersedia untuk menaati atau mematuhi sebuah kepemimpinan tertentu atas dasar keyakinan mereka akan kharisma atau wibawa yang dimiliki oleh sang pemimpin. Karena kharisma atau wibawa itu diyakini bersumber dari kekuatan yang sakral, maka tidak sembarang orang yang bisa mendapatkannya. Jadi, seorang yang memilikinya akan dianggap sebagai pertanda bahwa dia telah memiliki kualifikasi untuk menjadi pemimpin mereka. Kepemimpinan di sini dibangun di atas landasan keyakinan orang-orang akan kesakralan sang pemimpin yang tak boleh dipertanyakan.
Termasuk yang diyakini dalam kesakralan itu ialah kemampuan sang pemimpin untuk mengetahui segala-galanya atas perkehidupan dari mereka yang dipimpin, dan karena maha tahu, maka sang pemimpin bagi orang-orang yang dipimpinnya merupakan pembimbing mereka menuju ke surga bersama. Jadi, menjadi tugas sang pemimpin untuk memberikan kompas panduan ke arah mana masyarakat itu akan melangkah dan bergerak sekaligus bagaimana cara menuju ke sana. Tugas dari orang-orang yang dipimpin ialah tinggal menunggu titah dari sang pemimpin. “Sabda sang raja adalah sabda Tuhan,” menjadi kesadaran kolektif masyarakat tersebut.
Konsekuensi dari tipe otoritas yang demikian ialah bahwa mereka yang dipimpin akan mudah sekali kehilangan arah tujuan hidupnya manakala sang pemimpin tak lagi berada di antara mereka. Kematian sang pemimpin identik dengan matinya kompas pemandu tujuan hidup mereka. Masyarakat akan kehilangan pegangan hidup sehingga biasanya kemudian terjadi disintegrasi atau perpecahan dalam masyarakat tersebut karena tak ada sosok yang bisa menyatukan kemauan dan gerak langkah masyarakat tersebut. Di sisi lain, ketergantungan terhadap sosok sang pemimpin juga menjadikan kemampuan-kemampuan menentukan arah tujuan hidupnya tak berkembang dalam diri yang dipimpin. Mereka yang dipimpin tak terlatih untuk mengembangkan kemampuan memilih tujuan hidupnya sendiri maupun cara bagaimana mencapai tujuan tersebut.
Maka, tipe otoritas yang demikian berfungsi ideal pada situasi-situasi dimana kehidupan yang melingkupi sebuah masyarakat masih begitu sederhana dan problem-problem yang muncul bisa diselesaikan dengan cara-cara yang sederhana. Dengan kesederhanaan situasi dan problem itu, maka sosok pemimpin akan bisa menjalankan fungsinya sebagai yang maha tahu. Sang pemimpin-lah yang bertugas memberikan jawaban atas banyak persoalan yang dialami oleh mereka yang dipimpin.
Tipe ini akan menjadi problematik manakala kehidupan telah menjadi sedemikian kompleks, ruang kehidupan semakin saling terkait secara luas dan dinamika kehidupan semakin cepat. Jika semua problem lantas harus menunggu jawaban dari sang pemimpin, maka akan ada banyak energi dan waktu yang terbuang percuma hanya untuk menunggu. Organisasi pemerintahan yang ada pun lantas menjadi lamban dan tak responsif terhadap tantangan-tantangan yang terus muncul. Secara keseluruhan, bangunan sosial politik yang didasarkan pada tipe otoritas semacam ini akan menjadi rapuh justru karena ketergantungannya kepada satu figur karismatik.
2. Tipe otoritas tradisional
Dalam tipe otoritas yang kedua ini, ketaatan dan kepatuhan orang-orang didasarkan pada adat kebiasaan yang telah dijalankan secara generasi bergenerasi. Kesetiaan pada adat kebiasaan menjadi nilai yang diutamakan. Di sini, sang pemimpin mendapatkan legitimasinya sebagai seorang pemimpin karena perannya sebagai penjaga dan penerus tradisi.
Jika dalam tipe pertama, sang pemimpin masih berkewajiban untuk mengembangkan kualitas dirinya karena keharusan untuk maha bisa memberikan arah dan jawaban bagi persoalan-persoalan yang dialami oleh mereka yang dipimpin, dalam tipe kedua ini sang pemimpin tak harus menjadi maha tahu karena telah ada adat tradisi yang menjadi landasan bagi arah gerak aktivitas yang harus dijalankan. Tatanan lama yang telah mapan menjadi dasar patokan penilaian bagi tepat atau tidak tepatnya sebuah tindakan. Sebagai konsekuensinya, tak mudah untuk melakukan sebuah perubahan sosial dalam tatanan yang sedemikian karena kesetiaan pada tradisi menjadi keutamaan. Setiap usaha untuk melakukan perubahan pada adat kebiasaan maupun struktur yang telah ada, akan selalu berhadapan dengan resistensi yang kuat. Baik sang pemimpin maupun aparatur yang menjalankan roda pemerintahannya akan menjalankan peran-perannya atas dasar adat kebiasaan yang telah berlangsung selama generasi bergenerasi. Tentu saja, hal ini menjadikan baik sang pemimpin maupun aparaturnya rendah motivasinya untuk mengembangkan kualitas-kualitas terbaik dalam dirinya karena toh adat kebiasaan pada akhirnya yang menentukan. Apa gunanya mengembangkan kecerdasan dan kreativitas jika pada akhirnya yang dihargai ialah senioritas dan kepatuhan pada tradisi? Apa gunanya berinovasi jika pada akhirnya yang dihargai ialah apa yang selaras dengan adat tradisi? Insentif bagi munculnya inovasi-inovasi dalam menjalankan kewenangannya lemah.
Seperti halnya tipe otoritas yang pertama, tipe otoritas yang kedua ini juga hanya akan berfungsi dengan baik dalam situasi-situasi dimana cara-cara tradisional bisa menjawab problem-problem yang muncul. Dengan kata lain, ini berarti bahwa problem-problem yang muncul haruslah juga merupakan problem-problem yang memiliki karakteristik yang sama atau serupa dengan problem-problem yang dulu pernah berhasil dengan cara-cara tradisional. Persoalannya ialah apakah kita masih berada dalam sebuah dunia dimana problem-problem yang muncul tak lain dari pengulangan problem-problem yang pernah ada.
Jika kita menyaksikan betapa begitu cepatnya semua berubah, kita akan paham betapa kita tengah hidup dalam dunia dimana inovasi demi inovasi terus-menerus membayangi kehidupan kita setiap hari. Selalu ada barang baru, model baru, jenis baru yang ditawarkan ke hadapan kita, dan ini berarti bahwa ada cara-cara baru dan pengalaman-pengalaman baru yang ditawarkan kepada kita. Ini berarti juga problem-problem baru. Apakah cara-cara dan kebiasaan lama bisa menghadapi semua itu? Dalam kasus birokrasi, cara-cara dan kebiasaan lama malah menjadikan kita tertinggal. Kerja birokrasi yang didasarkan cara-cara dan adat kebiasaan yang lama seringkali malah lebih suka mempermasalahkan bagaimana melestarikan cara dan kebiasaan lama ketimbang pada bagaimana menghadapi problem-problem baru. Sebagai akibatnya, setiap kali berhadapan dengan problem-problem yang memiliki karakteristik yang berbeda dari yang dulu pernah dihadapi dengan cara-cara lama, birokrasi mengalami kegagapan. Secara luas, perilaku ini malah akan menghancurkan daya cipta masyarakat. Lemah motivasi dan miskin inovasi menjadi potret umum dari birokrasi maupun masyarakat yang masih mendasarkan diri pada tipe otoritas kedua ini.
3. Tipe otoritas legal
Pada tipe otoritas yang ketiga ini, kepatuhan dan kesediaan orang-orang lebih didasarkan pada aturan-aturan yang disusun berdasarkan pada prinsip-prinsip dan cara-cara rasional. Di sini, bukan karisma pemimpin atau adat kebiasaan yang menjadi dasar ketaatan, namun hukum-hukum yang dibentuk secara tertulis dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Yang mungkin menarik untuk dipertanyakan ialah: “Mengapa orang-orang bersedia untuk patuh pada aturan-aturan dan hukum-hukum yang tertulis yang mungkin sama sekali tak pernah dia ketahui bagaimana dan darimana bisa terbentuk?”
Kepatuhan ini sesungguhnya berkaitan dengan perkembangan rasionalitas masyarakat itu sendiri. Ketika pemimpin yang ada maupun struktur dan kultur tradisi yang ada dianggap tak lagi memadai untuk bisa mewadahi dan mewujudkan aspirasi-aspirasi masyarakat, maka pada saat itulah muncul pertanyaan: “Jika kharisma pemimpin atau tradisi yang ada tak lagi bisa diandalkan sebagai jawaban untuk mencapai tujuan hidup bersama, namun malah digunakan sebagai dalih untuk melanggengkan ketidakadilan dan diskriminasi sosial politik yang ada, maka apalagi yang bisa dijadikan sebagai dasar landasan bagi suatu otoritas?”
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan berbagai penemuan yang luar biasa dan berhasil memecahkan berbagai kebutuhan manusia telah memperkuat keyakinan manusia Barat akan kemampuan rasio atau akal budi manusia untuk membantu manusia mencapai tujuan kehidupan bersamanya. Dengan rasio, manusia bisa membaca realitas empiris, mendeskripsikan pola yang ada di balik pengalaman empirisnya, dan untuk kemudian menemukan cara untuk memodifikasi realitas empiris tersebut. Termasuk realitas empiris yang bisa dimodifikasi itu ialah realitas sosio-politik dan ekonomi. Realitas empiris sosio-politik maupun ekonomi bukanlah suatu tatanan yang tinggal diterima begitu saja tanpa ada kemampuan manusia untuk mengintervensi ataupun memodifikasinya. Kesadaran akan kemampuan rasionalitas manusia menumbuhkan kesadaran historis bahwa manusia bisa mengintervensi dan memodifikasi realitas sesuai dengan citanya. Kesadaran fatalisme yang menopang peradaban feodalisme pun runtuh secara perlahan namun pasti. Kepercayaan terhadap kharisma maupun terhadap tatanan dan adat kebiasaan yang lama, yang tumbuh dari alam kesadaran yang fatalis, surut secara pasti. Usaha membangun kehidupan bersama tak lagi bisa diserahkan kepada kharisma atau cara-cara lama. Usaha itu harus didasarkan pada pembacaan dan analisis empiris atas keseluruhan situasi yang ada, dan kemudian merumuskan, merencanakan serta menjalankan cara-cara yang dinilai paling efektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan, yang untuk kemudian dievaluasi apakah cara tersebut telah menghasilkan realitas empiris yang diinginkan. Siklusnya lalu kembali ke pembacaan realitas empiris yang baru dimodifikasi tersebut.
Agar usaha membangun tujuan bersama itu berhasil, maka dibutuhkan kerjasama kolektif dari seluruh anggota kehidupan bersama. Harus ada gerak langkah yang serempak dan harmonis satu sama lain. Kalau sebelumnya, penyelarasan gerak langkah dari seluruh elemen masyarakat itu dilakukan oleh seorang pemimpin atau oleh penjaga adat kebiasaan yang lama, maka dalam dunia yang rasional, penyelarasan itu dilakukan oleh aturan-aturan yang ditetapkan secara eksplisit dalam artian tertulis dan disebarluaskan ke seluruh masyarakat. Dengan kata lain, hukum-lah yang menjadi alat penyelaras dari seluruh gerak langkah guna mencapai tujuan bersama. Ini berarti bahwa masyarakat pun harus dididik untuk menjadi masyarakat yang rasional agar bisa menginternalisasi hukum tersebut dan membentuk perilaku dan karakternya sesuai dengan hukum tersebut sehingga keselarasan antar gerak langkah seluruh elemen masyarakat tercapai dan tujuan bersama pun tercipta. Inilah yang dimaksud dengan otoritas yang didasarkan atas aturan-aturan hukum atau otoritas legal.
Salah satu instrumen penting untuk menjalankan dan menegakkan aturan-aturan hukum demi penyelarasan gerak langkah seluruh elemen masyarakat itu ialah birokrasi. Birokrasi, seperti yang telah kita definisikan pada bab pertama, merupakan tipe organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar dengan cara mengkoordinasi secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang, Sebagai sebuah instrumen atau alat, maka birokrasi tak lebih dari aparatur pelaksana dari kebiajkan-kebijakan yang diputuskan dan ditetapkan oleh badan-badan di luar dirinya. Seperti kata John Kilcullen,
But formally and in theory the bureaucracy is merely a means, and this is largely true also in practice: someone must provide policy direction and back the bureaucrat up (if necessary) with force. 'At the top of a bureaucratic organization, there is necessarily an element which is at least not purely bureaucratic', SEO, p. 335, to give policy direction.[6]
(Namun secara formal dan secara teori, birokrasi hanyalah alat, dan hal ini juga sangat berlaku dalam kenyataan: ada pihak lain yang berkewajiban menyediakan arahan kebijakan dan mendukung birokrat (jika perlu) dengan kekuasaan. ‘Di puncak organisasi birokratik, selalu ada sebuah elemen yang setidaknya tidak sepenuhnya bersifat birokratik’, yang memberikan arahan kebijakan.)
Max Weber sendiri menganggap birokrasi secara teknis merupakan organisasi yang paling efisien bagi kehidupan bersama manusia. Mengapa? Karena birokrasi bekerja atas dasar sistem aturan secara impersonal dimana birokrasi sendiri tidak turut terlibat dalam penyusunan sistem aturan tersebut, sehingga analogi yang tepat untuk birokrasi ialah seperti halnya mesin dalam dunia produksi, sementara organisasi-organisasi lain analog dengan alat-alat produksi selain mesin. Analog dengan mesin, keunggulan birokrasi ialah dalam hal kemampuannya untuk menghasilkan sekian banyak jasa layanan secara lebih cepat dan efisien ketimbang dengan menggunakan tipe-tipe pengorganisasian yang lain. Di sini, birokrasi menjadi bernilai penting karena kemampuannya untuk mengorganisir sekian banyak pekerjaan orang sehingga bisa dihasilkan semakin banyak jasa layanan politik secara lebih cepat dan efisien.
Namun, selain karena kemampuannya, ada alasan lain dari keberadaan birokrasi yang menarik menurut pandangan Max Weber. “Di Jaman Kuno, kebebasan kota-kota dihapuskan oleh suatu kekaisaran dunia yang diorganisir secara birokratis yang tidak lagi memberi tempat bagi kapitalisme politik. Pada permulaannya, para kaisar terpaksa bersandar pada kekuatan-kekuatan keuangan para kapitalis, tetapi lambat laun mereka membebaskan diri dari ketergantungan itu dan melarang kelas ini memborong pajak yang merupakan sumber keuangan yang paling subur – seperti juga para raja Mesir dapat menyediakan sendiri keperluan-keperluan politik dan militer dalam kerajaan mereka tanpa tergantung pada kelas kapitalis, dan menurunkan pemborong-pemborong pajak ke posisi pejabat-pejabat pajak.”[7] Meski yang ditulis oleh Max Weber itu adalah sebuah analisis historis atas mengapa kapitalisme tak berkembang pesat di Jaman kuno, namun apa yang menarik untuk disimak dari kutipan tersebut ialah bahwa birokrasi menjadi antitesis dari kapitalisme. Dalam artian bagaimana birokrasi menjadi antitesis dari kapitalisme?
Max Weber menulis: “Kita juga akan menikmati keuntungan-keuntungan ‘tatanan’ birokrasi bukannya ‘anarki’ perekonomian bebas..”[8] “Kapitalisme rasional, sebaliknya, diorganisir dengan tujuan mendapat kesempatan-kesempatan pasar, yaitu dengan pandangan tujuan-tujuan ekonomik dalam pengertian sesungguhnya, dan makin rasional makin dekat hubungannya dengan permintaan massa dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan massa. Adalah perkembangan Barat yang mengangkat kapitalisme ini ke dalam suatu sistem...”[9] Dalam paham perekonomian bebas, setiap pasar dianggap sebagai potensi keuntungan, dan bukankah sangat berbahaya jika kemudian jasa-jasa layanan publik yang vital bagi hajat hidup orang banyak, seperti kesehatan, pendidikan, listrik dan sebagainya diserahkan sepenuhnya kebijakannya kepada logika pasar bebas? Logika pasar bebas ialah akumulasi laba dan perebutan pasar. Sebagai konsekuensi dari logika ini, dunia ekonomi fluktuasi harga dan suplai barang dan jasa menjadi bergantung pada kemauan sewenang-wenang dari pihak pelaku pasar bebas, dan inilah yang disebut sebagai anarki perekonomian bebas oleh Max Weber. Seberapa besar beban harga-harga barang dan jasa seluruh anggota masyarakat bergantung pada belas kasih para pelaku perekonomian bebas.
Nah, keberadaan birokrasi persis kontras dengan logika pasar bebas yang mengutamakan akumulasi laba dan eksploitasi pasar. Jika logika perekonomian bebas ialah logika ekonomi yang secara ekspansif berusaha turut mengontrol dan mengarahkan logika politik, maka sebaliknya birokrasi berlandaskan pada logika politik yang berusaha mengatur seluruh perikehidupan sebuah masyarakat, termasuk logika dan gerak langkah ekonomi masyarakat tersebut agar selaras dengan tujuan politik yang telah ditetapkan. Apakah logika dan tujuan politik itu? Hal ini tentu saja bergantung pada siapa pemegang kekuasaan penentuan dan perumusan logika dan tujuan politik tersebut. Ideologi dan karakter pemegang kekuasaan di sini sangat menentukan. Sebagai sebuah alat atau instrumen kebijakan politik, maka jelas bahwa birokrasi tidak boleh memiliki logika lain selain dari logika yang telah diputuskan oleh kekuasaan politik, dan agar birokrasi kemudian tidak bergeser kepada menganut logika ekonomi, maka sumber penting bagi pembiayaan aktivitas birokrasi, yaitu pajak, tidak boleh diserahkan kepada pihak pelaku ekonomi pasar bebas. Dengan kata lain, harus ada kemandirian pembiayaan bagi birokrasi. Jika tidak, maka apa yang pernah diceritakan Max Weber akan terulang. Max Weber menulis: “Para pejabat dibiayai seperti juga Caesar dibiayai oleh Crassus dan berusaha mengembalikan biaya itu dengan menyalahgunakan posisi resmi mereka.”[10]
KRITIK UMUM TERHADAP BIROKRASI
[Bureaucracy] evokes the slowness, the ponderousness, the routine, the complication of procedures, and the maladapted responses of ‘bureaucratic’ organizations to the needs which they should satisfy, and the frustations which their members, clients, or subjects consequently endure.
([Birokrasi] mengingatkan kita akan organisasi-organisasi ‘birokratik’ yang lamban, yang membosankan, yang rutin, yang rumit prosedurnya, dan yang buruk adaptasinya terhadap kebutuhan-kebutuhan yang harus mereka penuhi, dan juga mengingatkan kita akan rasa frustasi yang terus-menerus dirasakan oleh para anggotanya, kliennya atau subyeknya.)[11]
Demikian kata Crozier mengenai kata ‘birokrasi’, dan rasanya apa yang dikatakan oleh Crozier itu tidak terlalu salah. Pengidentikan birokrasi dengan berbagai hal yang bernada negatif memang bukanlah sesuatu hal yang baru. Robert von Mohl, seorang profesor ilmu politik dari Heidelberg sendiri “berpendapat bahwa birokrasi tetap memiliki variasi konotasi, tergantung kelompok sosial yang menyampaikan keluhan. Kelas-kelas dengan hak-hak istimewa mengeluh tentang hilangnya keistimewaan, kelas-kelas komersial mengeluhkan campur tangan birokrasi dalam perdagangan, para seniman mengeluhkan pekerjaan tulis-menulis mereka, para ilmuwan mengeluhkan kedunguan, para negarawan mengeluhkan penundaan.”[12]
Kita pun barangkali juga pernah mengalami secara langsung betapa tidak nyamannya berurusan dengan birokrasi. Iklan salah satu produk rokok yang menggambarkan betapa untuk meminta stempel dari satu orang, klien harus menunggu sekian lama barangkali bisa menjadi salah satu contoh hal yang tak menyenangkan yang pernah kita alami saat berhadapan dengan birokrasi. Bertele-tele dan lamban. Tak aneh jika salah satu konotasi yang beredar luas mengenai birokrasi ialah bahwa birokrasi itu identik dengan inefisiensi organisasi. “Pengertian ini muncul karena begitu banyaknya peraturan formal yang harus diikuti jika orang berhubungan dengan birokrasi.”[13] Sehingga sebagai akibatnya, saat berhadapan dengan birokrasi, masyarakat lebih sering merasa tengah berhadapan dengan auran-aturan ketimbang dengan sebuah pelayanan. Susahnya lagi, aturan-aturan itu seringkali diterapkan bukan untuk mempermudah, namun malah untuk mempersulit. Seperti kata sebuah iklan, “Harusnya gampang, dibuat susah.”
Apakah keluhan akan birokrasi itu merupakan sebuah fenomena yang muncul akhir-akhir ini saja? Sama sekali tidak. Keluhan akan birokrasi telah muncul sejak lama. Seperti yang telah kita pernah singgung dalam bab 1, de Gournay sendiri pada abad ke-18 telah mengeluhkan birokrasi sebagai kumpulan “para pejabat, para juru tulis, para sekretaris, para inspektur dan para intendan (manajer) yng diangkat bukan untuk menguntungkan kepentingan umum.”[14] Ini berarti bahwa fenomena keburukan birokrasi telah ada sejak lama. Sekarang marilah kita coba kategorisasikan keluhan-keluhan yang muncul terhadap birokrasi.
Secara umum, kita bisa mengelompokkan keluhan-keluhan terhadap birokrasi itu ke dalam dua kategori pokok, yaitu:
Birokrasi dan Pelayanan Publik Yang Lamban
Kategori keluhan ini berkaitan dengan karakter eksternal birokrasi, yaitu karakter birokrasi dalam menghadapi pihak-pihak di luar dirinya, terutama dengan pihak publik sebagai klien utama dari pelayanan jasa yang diberikannya. Secara umum, muncul keluhan bahwa birokrasi itu bersifat bertele-tele, lamban, berbelit-belit dan sebagainya. Apakah memang birokrasi itu harus selalu berwatak bertele-tele, lamban atau berbelit-belit? Sesungguhnya tidak harus demikian. Birokrasi akan menjadi demikian manakala para aparatur birokrasi lebih berorientasi pada aturan-aturan atau prosedur dalam menjalankan tugasnya ketimbang pada tujuan pokok dari tugasnya. Dengan kata lain, situasi itu akan tercipta manakala aparatur birokrasi mementingkan prosedur demi prosedur itu sendiri. Dalam kaitan dengan hal ini, seorang sarjana Amerika, Dr. Laurence J. Peter pernah merumuskan sebuah karakteristik dari kebanyakan birokrasi saat ini, yang disebutnya sebagai “Prinsip Peter.”[15] Prinsip Peter pada dasarnya menyatakan bahwa: “Dalam suatu hirarki, setiap pegawai cenderung untuk naik ke tingkat inkompetensinya.”[16] Dengan kata lain, “pada suatu saat, setiap jabatan diduduki oleh pegawai yang tidak kompeten menjalankan tugasnya.”[17] Berikut ini adalah ilustrasi yang diberikan oleh Dr. Peter sendiri untuk menggambarkan prinsipnya tersebut:
Suntoro Kadiman, semasa menjadi mahasiswa, guru, kepala laboratorium, wakil kepala sekolah dan sebagai kepala sekolah telah membuktikan kemampuannya sehingga diangkat menjadi wakil Inspektur. Sebelum menjabat jabatan ini, dia hanya melaksanakan kebijakan yang telah digariskan oleh Dewan Penyantun sekolah dan mengamankan pelaksanaannya. Sekarang sebagai wakil inspektur, dia harus berperan serta dalam rapat-rapat untuk menentukan kebijakan. Rapat ini biasanya dilaksanakan oleh Dewan Penyantun dengan cara yang demokratis. Cara ini tidak disukai oleh Kadiman. Ia tetap bertahan pada statusnya sebagai pembicara yang bertele-tele kepada dewan, seperti halnya berbicara kepada murid-muridnya. Dia berusaha menguasai dewan sebagaimana dia lakukan menguasai stafnya ketika di amasih menjabat kepala sekolah.
Sekarang Suntoro Kadiman dianggap oleh dewan sebagai wakil inspektur yang tidak kompeten dan dia tidak akan memperoleh promosi kenaikan pangkat lagi.
Sumber: Laurence J. Peter dan Raymond Hull. Prinsip Peter: Mengapa Serba Salah. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1987), halaman 21.
Apakah yang dimaksud dengan “tidak kompeten” di sini? Ialah ketidakmampuan untuk memiliki kualifikasi dan kualitas yang dibutuhkan untuk bisa menjalankan pekerjaannya secara efektif dan efisien. Secara ringkas, inkompetensi itu adalah ketidakmampuan menjalankan tugas. Dalam kehidupan birokrasi secara nyata, terutama dalam relasinya dengan publik yang dilayaninya, cara paling utama untuk menutupi ketidakmampuan itu ialah dengan berlindung di balik aturan-aturan dan prosedur-prosedur karena dianggap bahwa tugas dari jabatannya ialah untuk menjamin agar aturan-aturan dan prosedur yang berlaku diikuti secara kaku. Akibatnya, kejadian seperti yang dialami oleh Dr. Peter mungkin menimpa kita juga.
Oleh karena itu saya mengajukan permohonan pindah ke sekolah lain. Saya mengisi daftar isian khusus, saya lampirkan semua berkas yang diperlukan dan mematuhi dengan baik semua peraturan yang berlaku. Selang beberapa minggu berkas lamaran saya dikembalikan!
Tidak mungkin! Semua berkas saya sah, daftar isian telah saya isi dengan benar dan ada cap resmi yang menandakan lamaran tersebut telah diterima dengan baik. Tetapi surat pengantarnya menyebutkan: “Menurut peraturan baru, daftar isian seperti ini tidak dapat diterima oleh Departemen Pendidikan kecuali dikirimkan melalui pos tercatat, untuk menjamin tidak hilang. Kirimkan kembali berkas Anda melalui pos tercatat.”
Sumber: Laurence J. Peter dan Raymond Hull. Prinsip Peter: Mengapa Serba Salah. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1987), halaman 9 - 10.
Bahkan dalam kata Pengantar buku, Raymond Hull bercerita: “Pernah saya melihat para perencana kota asyik mengawasi pelaksanaan pembangunan sebuah kota di daerah banjir sebuah sungai yang besar, sehingga sudah dapat dipastikan kalau kota itu nantinya akan tergenang secara berkala.”[18] Dalam konteks Indonesia, barangkali kasus seperti lambannya layanan birokrasi di rumah sakit sementara pasiennya sudah sedemikian parah dan butuh layanan cepat bisa mewakili adanya kasus serupa di negeri ini.
Persoalannya ialah apakah kelambanan ini bisa jadi akan berdampak terhadap nasib, atau bahkan nyawa dari pihak klien birokrasi tersebut. Kelambanan birokrasi itu sesungguhnya bisa dianggap sebagai kejahatan publik karena secara niscaya kelambanan itu akan berdampak serius terhadap klien-klien yang dihadapinya. Penting juga untuk diingat bahwa kelambanan di satu meja ataupun satu institusi pelayanan pastilah akan berdampak terhadap rangkaian proses birokrasi yang harus dijalani oleh klien. Peter (1986) telah mengidentifikasi beberapa dalih atau alasan yang secara umum dipakai oleh birokrasi manakala birokrasi ingin mengelak dari keharusan untuk segera mengambil tindakan[19]:
- Kita harus mendapat ijin tertulis terlebih dahulu dari atasan.
- Anda terlebih dahulu harus mengajukan surat permohonan.
- Itu di luar wewenang kami.
- Kami belum pernah melakukan hal itu sebelumnya.
- a. Tak seorang pun pernah melakukan hal itu. b. Bukan kita yang pernah mencoba hal itu.
- Itu bukan cara yang biasa digunakan oleh departemen kami.
- Serahkan dahulu surat permohonan rangkap tujuh, dan permohonan anda akan dipertimbangkan kemudian.
- Anda akan mendapat jawaban pada saat yang tepat.
- Itu merupakan pelanggaran terhadap prosedur-prosedur yang ada.
- Surat permohonan anda sudah kami masukkan ke arsip.
Dalam dunia yang bergerak semakin cepat dan dinamis ini, birokrasi yang lamban semacam itu akan merintangi publik yang harus dilayaninya untuk bisa mencapai urusan-urusannya. Apalagi dalam iklim persaingan yang sedemikian kompetitif dan cepat, birokrasi yang lamban akan turut menjadi faktor titik lemah yang jelas. Di sisi lain, kelambanan ini mungkin sekali akan malah menjadi dibudayakan manakala kelambanan itu menjadi basis bagi munculnya fenomena pungutan liar atau ‘uang ceperan’. Secara jangka panjang, hal ini turut berperanan dalam terbentuknya ekonomi biaya tinggi. Birokrasi bukannya menjadi faktor pendukung bagi majunya dunia usaha kecil, menengah atau besar, namun malah menjadi titik lemah yang menggerogoti daya saing usaha-usaha kecil, menengah maupun besar. Pungutan liar ini dengan demikian bisa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap ekonomi negara. Dadang Solihin pernah menulis,
“Sebagai contoh, pegawai negeri sering menarik pungutan liar dari perizinan, lisensi, bea cukai, atau pelarangan masuk bagi pesaing. Para pegawai negeri itu memungut bayaran untuk tugas pokoknya atau untuk pemakaian barang-barang milik pemerintah untuk kepentingan pribadinya. Untuk kasus seperti ini, karena korupsi menyebabkan ekonomi biaya tinggi, korupsi memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan.
Berdasarkan pemahaman dan dimensi baru mengenai kejahatan yang memiliki konteks pembangunan; menurut Adji (1996) pengertian. korupsi tidak lagi diasosiasikan dengan penggelapan keuangan negara saja. Tindakan bribery (penyuapan) dan kickbacks (penerimaan komisi secara tidak sah) juga dinilai sebagai sebuah kejahatan.”[20]
Jadi, korupsi tidak bisa diartikan semata-mata sebagai kejahatan terhadap sistem dan peraturan atau prosedur yang berlaku, namun lebih esensial daripada itu, yaitu kejahatan terhadap potensi dan gerak perkembangan dari dunia usaha pada khususnya, maupun kehidupan ekonomi pada umumnya. Dalam kerangka yang lebih luas, mundurnya kemajuan ekonomi pastilah akan berdampak pada kehidupan rakyat, bangsa dan negara, baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Ketika birokrasi menciptakan ekonomi biaya tinggi, maka harga-harga barang dan jasa yang diproduksi pun akan menjadi lebih mahal dari semestinya, investor akan enggan menanamkan modalnya sehingga ketersediaan lapangan kerja baru tidak sepesat yang seharusnya, kalah bersaingnya dunia usaha dalam negeri dalam persaingan ekonomi global sehingga penerimaan devisa rendah dan sebagainya. Konsekuensi-konsekuensi berjangkauan luas inilah yang seharusnya menjadi dasar argumen bagi setiap upaya untuk memperbaiki kinerja birokrasi dalam hubungannya dengan tugasnya sebagai penyedia pelayanan publik.
Birokrasi dan Inefisiensi Organisasi
Jika di bagian a, kita telah membahas celaan yang umum ditujukan kepada birokrasi dalam posisinya terhadap publik yang dilayaninya, maka kita sekarang akan membahas celaan yang umum ditujukan kepada birokrasi dalam dirinya sendiri. Artinya, kritik terhadap cara birokrasi membentuk dan mengembangkan dirinya sendiri. Untuk ini, kritik Laurence J. Peter sangat relevan bagi pembahasan kita kali ini.
Sebuah peraturan federal mungkin memerlukan perubahan yang nampaknya sederhana, seperti misalnya dengan diusulkannya RUU Jaminan Pensiun bagi Pegawai (the Employee Retirement Income Security Act), yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi para pegawai di perusahaan-perusahaan kecil. Teteapi, perubahan yang nampaknya kecil tadi mungkin pada akhirnya memerlukan dibentuknya sebuah birokrasi baru yang mempekerjakan ribuan orang. Dalam kasus RUU Jaminan Pensiun tadi, kongres berpendapat bahwa pegawai-pegawai perusahaan kecil tidak mendapat jaminan pasti akan memperoleh pensiun. Karena itu, RUU tadi kemudian disahkan menjadi Undang-undang setebal 247 halaman cetak yang kemudian disusun oleh tiga badan federal secara terpisah. Masing-masing badan ini menambahkan sederet undang-undangnya sendiri dan menetapkan prosedur-prosedur dan penafsiran-penafsirannya sendiri. Dengan meningkatnya kerja tulis-menulis ini, maka meningkat pula jumlah pegawai yang terlibat dan membengkak pulalah birokrasinya. Banyak perusahaan yang tadinya telah memiliki program pensiun menjadi kewalahan menghadapi rumitnya birokrasi sehingga akhirnya membatalkan program-program pensiun tersebut. Jadi, hasil akhir dari disahkannya RUU Jaminan Pensiun tadi ialah membengkaknya birokrasi dan bertambahnya jumlah pegawai negeri sipil, sedangkan tujuan Undang-undang sendiri bahkan banyak tidak tercapai.
Sumber: Laurence J. Peter. Piramida Peter: Mungkinkah Kita Mencapai Puncaknya. (Jakarta: Erlangga, 1986), halaman 43-44.
Selain Prinsip Peter, yang pada intinya mengatakan bahwa “Dalam suatu hirarki, setiap pegawai cenderung untuk naik ke tingkat inkompetensinya”, Peter juga mengajukan prinsip lain, yaitu Prinsip Piramida Peter yang pada intinya hendak mengemukakan tentang fenomena proliferasi struktur dan prosedur dalam tubuh birokrasi sehingga birokrasi lalu mirip dengan piramida terbalik yang tumbuh dari titik yang kecil menjadi bangunan yang semakin lama semakin membesar. Proses perkembangan ke arah Piramida Terbalik ini merupakan sebuah proses yang historis dalam artian bangunan tersebut tidaklah terbentuk secara begitu saja. Ada tiga tahap pertumbuhan piramida. Menurut Peter (1986), “sebuah organisasi akan berkembang melewati berbagai tahap, dan pada setiap tahapnya dia akan memusatkan diri pada kegiatan yang berbeda-beda.”[21] Tiga tahap itu ialah:
1. Tahap Yang Dipusatkan Pada Pelayanan
Pada tahap ini, organisasi terdiri dan dijalankan oleh beberapa orang yang memang memahami hal-ihwal usaha maupun tujuan yang dijalankan organisasinya. Karena itulah, mereka ini dapay membereskan setiap permintaan atau melayani orang-orang yang datang ke kantor mereka. Mereka ini betul-betul menyadari bahwa fungsi mereka ialah melayani para pelanggan, dan setiap tindakan mereka kurang lebih merupakan tanggapan terhadap permintaan pihak luar, yaitu kebutuhan para pelanggan. Meski masing-masing memiliki tugas-tugas sendiri, namun karena mereka memahami misi besar dari organisasi serta kesalingterkaitan kerja di antara mereka, mereka bertiga bekerjasama dengan luwes. Masing-masing segera cepat tanggap dan cepat bertindak untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya.
2. Tahap Yang Dipusatkan Pada Sistem
Tahap ini berlangsung manakala ada kebutuhan untuk memperbesar organisasi. Dengan semakin banyaknya pelanggan yang harus dilayani, maka dibutuhkan semakin banyak pegawai dan kerja tulis-menulis. Maka direkrutlah pegawai baru. Pembagian kerja pun menjadi semakin lebih terspesialisasi dimana gambaran besar dari roda kerja organisasi belum tentu dipahami oleh semua pegawai. Karena itulah, menjadi tugas seorang manajer untuk membuat jadwal dan uraian tugas-tugas bagi setiap pegawai supaya mereka tahu apa tugas-tugas mereka dan supaya organisasi internnya dapat berjalan dengan lancar. Jadi, roda kerja dalam organisasi diselaraskan dan dikoordinasikan satu sama lain dengan menggunakan sebuah sistem. Di sini, para pegawai birokrasi tak lagi memiliki keharusan untuk memahami gambaran besar dari tujuan dan misi organisasi. Tugasnya ialah patuh dalam menjalankan jadwal dan uraian-uraian tugasnya.
3. Tahap Yang Dipusatkan Pada Administrator
Tahap ini tercapai pada saat organisasi ingin mengembangkan diri ke tingkatan yang lebih besar lagi sehingga mampu melayani lebih banyak pelanggan lagi. Karena ada semakin banyak pekerjaan bagi setiap unit kerja, maka direkrutlah pegawai baru atau dibentuklah struktur baru dalam tubuh organisasi. Karena ada terlalu banyak pegawai, sementara pekerjaan yang langsung berhubungan dengan pelanggan semakin kecil dan semakin banyak pekerjaan yang berhubungan dengan pembuatan dan penyusunan laporan-laporan ke atasan serta kerja-kerja tulis-menulis, maka kesadaran akan pentingnya segera membuat laporan lebih dipentingkan ketimbang melayani pelanggan. Untuk menjamin tertibnya administrasi dalam rangka pelaporan, maka terhadap pelanggan dikenakan aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang harus diikuti oleh para pelanggan yang ingin mendapatkan pelayanan. Jadi, dalam tahap ini keluwesan telah digantikan oleh serangkaian peraturan dan jadwal. Para pegawai lebih sibuk membuat laporan yang menyenangkan pihak atasan ketimbang sibuk melayani para pelanggan. Keterikatan pada fungsi-fungsi intern ini pun lantas menimbulkan rasa benci dalam diri para pelanggan, yaitu orang-orang luar yang kebutuhan-kebutuhannya mungkin mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas-tugas intern dalam perusahaan. Dalam tahap ini, organisasi menjadi terpusat pada administrator.
Dari tahapan-tahapan tersebut, kita bisa lihat bagaimana organisasi-organisasi yang pada awalnya sederhana, lalu berubah menjadi organisasi-organisasi yang semakin menggurita struktur dan prosedurnya hingga pada akhirnya lebih sibuk dengan kerja-kerja untuk menjamin kelancaran rutinitas prosedur ketimbang melayani pelanggan. Problem ini akan menjadi lebih rumit lagi jika mentalitas para pegawai dalam tubuh birokrasi pemerintahan adalah mentalitas yang sibuk dengan kepentingan-kepentingannya sendiri. Seperti diketahui, perbedaan antara birokrasi pemerintahan dan birokrasi swasta ialah kalau birokrasi pemerintahan sibuk membelanjakan uang, sementara birokrasi swasta sibuk menghasilkan uang. Sebagai konsekuensinya, semakin banyak struktur yang ada dalam suatu birokrasi, semakin banyak pula jumlah uang yang dialokasikan untuknya dan juga untuk dibelanjakannya. Semakin banyak proyek yang dijadwalkan di setiap unit kerja dalam tubuh suatu birokrasi, maka semakin banyak pula anggaran yang dikucurkan kepada birokrasi tersebut. Dengan kata lain, pembengkakan struktur itu kadangkala didasarkan pada logika pembengkakan anggaran. Untuk melegitimasi keberadaan struktur yang baru, maka seringkali ditetapkanlah sekian banyak prosedur dan aturan baru dalam organisasi dimana setiap unit kerja yang baru diberi kewenangan untuk menjalankan dan menegakkan prosedur dan aturan yang baru tersebut. Logika pembengkakan anggaran inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor mengapa kadangkala tak mudah untuk melakukan perampingan struktur birokrasi karena seringkali harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang selama ini diuntungkan dengan besarnya struktur birokrasinya.
Yang menarik sekarang ialah: jika ada banyak kritik dan keluhan terhadap birokrasi, lantas mengapa birokrasi itu tetap dipertahankan keberadaannya dalam kehidupan sosial politik sebuah masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita harus kembali menengok pada makna penting secara sosio-historis dari birokrasi, dan untuk ini kita bisa menimba pelajaran dari seorang tokoh besar ilmu sosial, yaitu Max Weber.
Catatan Kaki;
[1] S. Ramachander. Isn’t It a Wonder? Sumber: www.hinduonnet.com
[2] Martin Albrow. Ibid. Halaman 38.
[3] idem
[4] idem
[5] idem
[6] John Kilcullen. Max Weber: On Bureaucracy. Sumber: www.
[7] Stanislav Andreski. Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi dan Agama. (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), halaman 142.
[8] Stanislav Andreski. Ibid. Halaman 154.
[9] Stanislav Andreski. Ibid. Halaman 142.
[10] Stanislav Andreski. Ibid. Halaman 141.
[11]
[12] Albrow, ibid. Halaman 21.
[13] W. Kumorotomo, ibid. Halaman 66.
[14]
[15] Untuk pembahasan lebih jauh mengenai Prinsip Peter, baca buku Laurence J. Peter dan Raymond Hull. Prinsip Peter: Mengapa Serba Salah. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1987), halaman 1.
[16]
[17]
[18] Laurence J. Peter dan Raymond Hull. Prinsip Peter: Mengapa Serba Salah. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1987), halaman 1.
[19] Laurence J. Peter. Piramida Peter: Mungkinkah Kita Mencapai Puncaknya. (Jakarta: Erlangga, 1986), halaman 46 –47.
[20] Dadang Solihin. Anti-Corruption and Good Governance. Makalah yang disampaikan pada Diskusi Mingguan Sekretariat Pengembangan Public Good Governance Bappenas 24 Agustus 2000. Tidak Diterbitkan. Diakses dari: www.goodgovernance-bappenas.go.id
[21] Laurence J. Peter. Piramida Peter: Mungkinkah Kita Mencapai Puncaknya (Jakarta: Erlangga, 1986), halaman 32.
No comments:
Post a Comment