Perlunya Pemimpin Islam
Kepemimpinan merupakan suatu keniscayaan di dalam Islam, sehingga sejarah Islam selalu diwarnai per-kembangan politik untuk menciptakan salvation (kese-lamatan) di dunia, karena keselamatan di dunia juga yang memungkinkan sifat-sifat ketuhanan berfungsi efektif di dunia[1]. Karena itu tidak mengherankan bila banyak orang beranggapan Islam adalah agama yang selalu terkait dengan politik. Berikut kesimpulan dari Armstrong[2] ‘nilai sejarah eksternal [politik] orang-orang Muslim bukan pusat perhatian kedua, karena salah satu dari karakteristik utama Islam adalah pensakralan sejarah’
Akan tetapi Islam tidak identik dengan politik. Al-Qur’an bukanlah kitab politik, sehingga di dalamnya tidak ditemukan model sistem pemerintahan. Al-Qur’an hanya berisi aturan moral yang harus ditegakkan dalam kehidupan, termasuk dalam urusan politik. Lagi pula persoalan politik sangat dipengaruhi oleh kondisi ruang dan waktu, serta sejarah perkembangan suatu komunitas politik tersebut. Karena al-Qur’an tidak menentukan suatu bentuk peme-rintahan yang Islami, maka sepeninggal Nabi Muhammad SAW terjadi krisis dalam suksesi kepemimpinan Islam, namun berhasil diselesaikan dengan bijaksana oleh para sahabat Nabi.
Bentuk pemerintahan kurang penting bila dibanding-kan dengan tegaknya prinsip-prinsip salvation dalam Islam di dunia ini. Memang sebagian dari umat Islam berobsesi kepada sistem kekhalifahan, karena sejarah awal yang gemilang di tangan Khulafaur Rasyidin. Namun bila sejarah kekhalifahan dicermati maka para ulama membolehkan ada-nya dua atau lebih kekhalifahan asalkan jaraknya berjauhan. Fakta sejarah itu perlu ditindaklanjuti supaya di antara kekhalifahan tersebut mengembangkan dialog untuk dapat bekerjasama. Bila kita mengabaikan realitas sejarah tersebut maka kita sedang berpikir dari kaca mata rasio dengan melupakan realitas sosio-politik umat Islam di Indonesia di dalam usaha mewujudkan aspek salvation (keselamatan) di dunia dan akherat.
Sejarah juga menunjukkan umat Islam terkotak-kotak ke dalam beberapa kekhalifahan, dan kemudian ke dalam beberapa kesultanan. Hal tersebut menunjukkan penerapan ajaran agama dipengaruhi oleh tradisi dari suatu masyarakat; dan itu berarti bahwa pemimpin Islam juga bersifat unik bagi suatu masyarakat tertentu.
Krisis Pemimpin Islam di Indonesia
Apakah sudah dipikirkan masalah kepemimpinan dalam Islam di Indonesia? Kepemimpinan Islam di Indonesia hendaknya bersifat keindonesian. Hal tersebut sangat penting dipikirkan dasar ideologi maupun segi prak-tisnya agar sistem politik dan proses suksesi di Indonesia dapat berjalan secara lancar dan stabil. Bila tidak segera dicarikan dasar ideologinya maka akan selalu terjadi krisis kepemimpinan dalam Islam di Indonesia.
Islam di Indonesia ternyata belum punya dasar ideologi untuk melahirkan pemimpin pada tingkat nasional. Memang dua presiden pertama, Soekarno dan Soeharto, memerintah cukup lama dan hal tersebut menunjukkan mereka memiliki legitimasi yang kuat; namun harus diingat bahwa mereka tidak mendasarkan diri pada ideologi Islam. Memang mereka mencari dukungan kepada umat Islam untuk memperoleh legitimasi tersebut, dengan sedikit mem-beri konsesi sebagai imbalannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Islam hanya menjadikan pelengkap bagi ideologi negara. Konsesi-konsesi yang diberikan oleh Soekarno dan Soeharto memang kelihatan cukup signifikan bila di lihat dari simbol-simbol keagamaan yang mencuat dalam pentas perpolitikan nasional. Apakah kita puas dengan peran marginal tersebut?
Konsesi tersebut hanya menunda permasalahan yang sebenarnya mengenai peran agama dalam negara dan dalam proses modernisasi di dunia pada umumnya. Dalam peran yang pertama tersebut, Islam telah gagal melahirkan pemimpin yang Islami, dengan konsekuensi pada tingkat global bahwa umat Islam di Indonesia telah gagal pula mendakwahkan statement yang sudah menjadi klise bahwa Islam kompatibel dengan modernisasi. Kedua presiden pertama tersebut diturunkan secara paksa oleh kekuatan-kekuatan ekstraparlementer secara tragis, karena telah gagal membawa nahkoda bangsa kepada aspek salvation (kese-lamatan). Kedua presiden tersebut telah gagal melakukan transformasi di dalam tubuh umat Islam ke arah modernisasi yang sesuai dengan identitas bangsa yang mayoritas beragama Islam. Hal itu terjadi karena mereka tidak dibesarkan dalam tradisi Islam dan tidak tahu caranya memasukkan roh Islam ke dalam suatu paradigma baru yang sesuai dengan dunia modern. Paradigma baru sangat perlu supaya umat Islam dapat berpartisipasi secara maksimal, dengan disertai perasaan ikhlas yang menjadi ciri dari suatu agama.
Mereka melakukan modernisasi model top-down (dari atas ke bawah) dengan menggerakkan perangkat biro-krasi yang mendukung kekuasaannnya. Birokrasi menjadi suatu kelas tersendiri yang bukan melayani rakyat tetapi melayani kekuasaan. Birokrasi mempunyai misi untuk menge-labuhi rakyat yang masih bodoh supaya dalam pemilu tetap mendukung kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru. Birokrasi cenderung menjadi pelayan kekuasaan dan bukan pelayan masyarakat. Birokrasi telah berkembang begitu kuat untuk mendukung sentralisasi kekuasaan, yaitu mengenalkan program-program pemerintah yang mendu-kung status quo, bukannya mengajak rakyat untuk meru-muskan sendiri masalahnya sehingga mereka merasakan kegunaan dari program tersebut, disamping adanya kesinambungan antara tradisi dan modernisasi dalam pem-bangunan.
Kedua presiden kita tidak mempunyai afiliasi dengan suatu kelompok agama tertentu (memang mereka secara formal sebagai anggota ormas Muhammadiyah) dan mereka tidak merasa tertarik untuk melakukan transformasi di antara berbagai kelompok agama ke arah modernisasi. Sebaliknya mereka mengembangkan suatu sumber keku-asaan tersendiri untuk mempertahankan kekuasaannya.
No comments:
Post a Comment