Friday, 17 March 2017

KRITIK UMUM TERHADAP BIROKRASI

KRITIK UMUM TERHADAP BIROKRASI
[Bureaucracy] evokes the slowness, the ponderousness, the routine, the complication of procedures, and the maladapted responses of ‘bureaucratic’ organizations to the needs which they should satisfy, and the frustations which their members, clients, or subjects consequently endure.

([Birokrasi] mengingatkan kita akan organisasi-organisasi ‘birokratik’ yang lamban, yang membosankan, yang rutin, yang rumit prosedurnya, dan yang buruk adaptasinya terhadap kebutuhan-kebutuhan yang harus mereka penuhi, dan juga mengingatkan kita akan rasa frustasi yang terus-menerus dirasakan oleh para anggotanya, kliennya atau subyeknya.)

Demikian kata Crozier mengenai kata ‘birokrasi’, dan rasanya apa yang dikatakan oleh Crozier itu tidak terlalu salah. Pengidentikan birokrasi dengan berbagai hal yang bernada negatif memang bukanlah sesuatu hal yang baru. Robert von Mohl, seorang profesor ilmu politik dari Heidelberg sendiri “berpendapat bahwa birokrasi tetap memiliki variasi konotasi, tergantung kelompok sosial yang menyampaikan keluhan. Kelas-kelas dengan hak-hak istimewa mengeluh tentang hilangnya keistimewaan, kelas-kelas komersial mengeluhkan campur tangan birokrasi dalam perdagangan, para seniman mengeluhkan pekerjaan tulis-menulis mereka, para ilmuwan mengeluhkan kedunguan, para negarawan mengeluhkan penundaan.”

Kita pun barangkali juga pernah mengalami secara langsung betapa tidak nyamannya berurusan dengan birokrasi. Iklan salah satu produk rokok yang menggambarkan betapa untuk meminta stempel dari satu orang, klien harus menunggu sekian lama barangkali bisa menjadi salah satu contoh hal yang tak menyenangkan yang pernah kita alami saat berhadapan dengan birokrasi. Bertele-tele dan lamban. Tak aneh jika salah satu konotasi yang beredar luas mengenai birokrasi ialah bahwa birokrasi itu identik dengan inefisiensi organisasi. “Pengertian ini muncul karena begitu banyaknya peraturan formal yang harus diikuti jika orang berhubungan dengan birokrasi.”Sehingga sebagai akibatnya, saat berhadapan dengan birokrasi, masyarakat lebih sering merasa tengah berhadapan dengan auran-aturan ketimbang dengan sebuah pelayanan. Susahnya lagi, aturan-aturan itu seringkali diterapkan bukan untuk mempermudah, namun malah untuk mempersulit. Seperti kata sebuah iklan, “Harusnya gampang, dibuat susah.”

Apakah keluhan akan birokrasi itu merupakan sebuah fenomena yang muncul akhir-akhir ini saja? Sama sekali tidak. Keluhan akan birokrasi telah muncul sejak lama. Seperti yang telah kita pernah singgung dalam bab 1, de Gournay sendiri pada abad ke-18 telah mengeluhkan birokrasi sebagai kumpulan “para pejabat, para juru tulis, para sekretaris, para inspektur dan para intendan (manajer) yng diangkat bukan untuk menguntungkan kepentingan umum. Ini berarti bahwa fenomena keburukan birokrasi telah ada sejak lama. Sekarang marilah kita coba kategorisasikan keluhan-keluhan yang muncul terhadap birokrasi.

Secara umum, kita bisa mengelompokkan keluhan-keluhan terhadap birokrasi itu ke dalam dua kategori pokok, yaitu:
Birokrasi dan Pelayanan Publik Yang Lamban
Kategori keluhan ini berkaitan dengan karakter eksternal birokrasi, yaitu karakter birokrasi dalam menghadapi pihak-pihak di luar dirinya, terutama dengan pihak publik sebagai klien utama dari pelayanan jasa yang diberikannya. Secara umum, muncul keluhan bahwa birokrasi itu bersifat bertele-tele, lamban, berbelit-belit dan sebagainya. Apakah memang birokrasi itu harus selalu berwatak bertele-tele, lamban atau berbelit-belit? Sesungguhnya tidak harus demikian. Birokrasi akan menjadi demikian manakala para aparatur birokrasi lebih berorientasi pada aturan-aturan atau prosedur dalam menjalankan tugasnya ketimbang pada tujuan pokok dari tugasnya. Dengan kata lain, situasi itu akan tercipta manakala aparatur birokrasi mementingkan prosedur demi prosedur itu sendiri. Dalam kaitan dengan hal ini, seorang sarjana Amerika, Dr. Laurence J. Peter pernah merumuskan sebuah karakteristik dari kebanyakan birokrasi saat ini, yang disebutnya sebagai “Prinsip Peter.” Prinsip Peter pada dasarnya menyatakan bahwa: “Dalam suatu hirarki, setiap pegawai cenderung untuk naik ke tingkat inkompetensinya. Dengan kata lain, “pada suatu saat, setiap jabatan diduduki oleh pegawai yang tidak kompeten menjalankan tugasnya.” Berikut ini adalah ilustrasi yang diberikan oleh Dr. Peter sendiri untuk menggambarkan prinsipnya tersebut:

Suntoro Kadiman, semasa menjadi mahasiswa, guru, kepala laboratorium, wakil kepala sekolah dan sebagai kepala sekolah telah membuktikan kemampuannya sehingga diangkat menjadi wakil Inspektur. Sebelum menjabat jabatan ini, dia hanya melaksanakan kebijakan yang telah digariskan oleh Dewan Penyantun sekolah dan mengamankan pelaksanaannya. Sekarang sebagai wakil inspektur, dia harus berperan serta dalam rapat-rapat untuk menentukan kebijakan. Rapat ini biasanya dilaksanakan oleh Dewan Penyantun dengan cara yang demokratis. Cara ini tidak disukai oleh Kadiman. Ia tetap bertahan pada statusnya sebagai pembicara yang bertele-tele kepada dewan, seperti halnya berbicara kepada murid-muridnya. Dia berusaha menguasai dewan sebagaimana dia lakukan menguasai stafnya ketika di amasih menjabat kepala sekolah.

Sekarang Suntoro Kadiman dianggap oleh dewan sebagai wakil inspektur yang tidak kompeten dan dia tidak akan memperoleh promosi kenaikan pangkat lagi.
Sumber: Laurence J. Peter dan Raymond Hull. Prinsip Peter: Mengapa Serba Salah. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1987), halaman 21.

Apakah yang dimaksud dengan “tidak kompeten” di sini? Ialah ketidakmampuan untuk memiliki kualifikasi dan kualitas yang dibutuhkan untuk bisa menjalankan pekerjaannya secara efektif dan efisien. Secara ringkas, inkompetensi itu adalah ketidakmampuan menjalankan tugas. Dalam kehidupan birokrasi secara nyata, terutama dalam relasinya dengan publik yang dilayaninya, cara paling utama untuk menutupi ketidakmampuan itu ialah dengan berlindung di balik aturan-aturan dan prosedur-prosedur karena dianggap bahwa tugas dari jabatannya ialah untuk menjamin agar aturan-aturan dan prosedur yang berlaku diikuti secara kaku. Akibatnya, kejadian seperti yang dialami oleh Dr. Peter mungkin menimpa kita juga.

Oleh karena itu saya mengajukan permohonan pindah ke sekolah lain. Saya mengisi daftar isian khusus, saya lampirkan semua berkas yang diperlukan dan mematuhi dengan baik semua peraturan yang berlaku. Selang beberapa minggu berkas lamaran saya dikembalikan!

Tidak mungkin! Semua berkas saya sah, daftar isian telah saya isi dengan benar dan ada cap resmi yang menandakan lamaran tersebut telah diterima dengan baik. Tetapi surat pengantarnya menyebutkan: “Menurut peraturan baru, daftar isian seperti ini tidak dapat diterima oleh Departemen Pendidikan kecuali dikirimkan melalui pos tercatat, untuk menjamin tidak hilang. Kirimkan kembali berkas Anda melalui pos tercatat.”
Sumber: Laurence J. Peter dan Raymond Hull. Prinsip Peter: Mengapa Serba Salah. (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1987), halaman 9 - 10.

Bahkan dalam kata Pengantar buku, Raymond Hull bercerita: “Pernah saya melihat para perencana kota asyik mengawasi pelaksanaan pembangunan sebuah kota di daerah banjir sebuah sungai yang besar, sehingga sudah dapat dipastikan kalau kota itu nantinya akan tergenang secara berkala. Dalam konteks Indonesia, barangkali kasus seperti lambannya layanan birokrasi di rumah sakit sementara pasiennya sudah sedemikian parah dan butuh layanan cepat bisa mewakili adanya kasus serupa di negeri ini.

Persoalannya ialah apakah kelambanan ini bisa jadi akan berdampak terhadap nasib, atau bahkan nyawa dari pihak klien birokrasi tersebut. Kelambanan birokrasi itu sesungguhnya bisa dianggap sebagai kejahatan publik karena secara niscaya kelambanan itu akan berdampak serius terhadap klien-klien yang dihadapinya. Penting juga untuk diingat bahwa kelambanan di satu meja ataupun satu institusi pelayanan pastilah akan berdampak terhadap rangkaian proses birokrasi yang harus dijalani oleh klien. Peter (1986) telah mengidentifikasi beberapa dalih atau alasan yang secara umum dipakai oleh birokrasi manakala birokrasi ingin mengelak dari keharusan untuk segera mengambil tindakan:
  1. Kita harus mendapat ijin tertulis terlebih dahulu dari atasan.
  2. Anda terlebih dahulu harus mengajukan surat permohonan.
  3. Itu di luar wewenang kami.
  4. Kami belum pernah melakukan hal itu sebelumnya.
  5. a. Tak seorang pun pernah melakukan hal itu.
  6. Bukan kita yang pernah mencoba hal itu.
  7. Itu bukan cara yang biasa digunakan oleh departemen kami.
  8. Serahkan dahulu surat permohonan rangkap tujuh, dan permohonan anda akan dipertimbangkan kemudian.
  9. Anda akan mendapat jawaban pada saat yang tepat.
  10. Itu merupakan pelanggaran terhadap prosedur-prosedur yang ada.
  11. Surat permohonan anda sudah kami masukkan ke arsip.
Dalam dunia yang bergerak semakin cepat dan dinamis ini, birokrasi yang lamban semacam itu akan merintangi publik yang harus dilayaninya untuk bisa mencapai urusan-urusannya. Apalagi dalam iklim persaingan yang sedemikian kompetitif dan cepat, birokrasi yang lamban akan turut menjadi faktor titik lemah yang jelas. Di sisi lain, kelambanan ini mungkin sekali akan malah menjadi dibudayakan manakala kelambanan itu menjadi basis bagi munculnya fenomena pungutan liar atau ‘uang ceperan’. Secara jangka panjang, hal ini turut berperanan dalam terbentuknya ekonomi biaya tinggi. Birokrasi bukannya menjadi faktor pendukung bagi majunya dunia usaha kecil, menengah atau besar, namun malah menjadi titik lemah yang menggerogoti daya saing usaha-usaha kecil, menengah maupun besar. Pungutan liar ini dengan demikian bisa dikategorikan sebagai kejahatan terhadap ekonomi negara. Dadang Solihin pernah menulis,

“Sebagai contoh, pegawai negeri sering menarik pungutan liar dari perizinan, lisensi, bea cukai, atau pelarangan masuk bagi pesaing. Para pegawai negeri itu memungut bayaran untuk tugas pokoknya atau untuk pemakaian barang-barang milik pemerintah untuk kepentingan pribadinya. Untuk kasus seperti ini, karena korupsi menyebabkan ekonomi biaya tinggi, korupsi memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan.

Berdasarkan pemahaman dan dimensi baru mengenai kejahatan yang memiliki konteks pembangunan; menurut Adji (1996) pengertian. korupsi tidak lagi diasosiasikan dengan penggelapan keuangan negara saja. Tindakan bribery (penyuapan) dan kickbacks (penerimaan komisi secara tidak sah) juga dinilai sebagai sebuah kejahatan.”

Jadi, korupsi tidak bisa diartikan semata-mata sebagai kejahatan terhadap sistem dan peraturan atau prosedur yang berlaku, namun lebih esensial daripada itu, yaitu kejahatan terhadap potensi dan gerak perkembangan dari dunia usaha pada khususnya, maupun kehidupan ekonomi pada umumnya. Dalam kerangka yang lebih luas, mundurnya kemajuan ekonomi pastilah akan berdampak pada kehidupan rakyat, bangsa dan negara, baik dalam jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Ketika birokrasi menciptakan ekonomi biaya tinggi, maka harga-harga barang dan jasa yang diproduksi pun akan menjadi lebih mahal dari semestinya, investor akan enggan menanamkan modalnya sehingga ketersediaan lapangan kerja baru tidak sepesat yang seharusnya, kalah bersaingnya dunia usaha dalam negeri dalam persaingan ekonomi global sehingga penerimaan devisa rendah dan sebagainya. Konsekuensi-konsekuensi berjangkauan luas inilah yang seharusnya menjadi dasar argumen bagi setiap upaya untuk memperbaiki kinerja birokrasi dalam hubungannya dengan tugasnya sebagai penyedia pelayanan publik.

Birokrasi dan Inefisiensi Organisasi
Jika di bagian a, kita telah membahas celaan yang umum ditujukan kepada birokrasi dalam posisinya terhadap publik yang dilayaninya, maka kita sekarang akan membahas celaan yang umum ditujukan kepada birokrasi dalam dirinya sendiri. Artinya, kritik terhadap cara birokrasi membentuk dan mengembangkan dirinya sendiri. Untuk ini, kritik Laurence J. Peter sangat relevan bagi pembahasan kita kali ini.

Sebuah peraturan federal mungkin memerlukan perubahan yang nampaknya sederhana, seperti misalnya dengan diusulkannya RUU Jaminan Pensiun bagi Pegawai (the Employee Retirement Income Security Act), yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi para pegawai di perusahaan-perusahaan kecil. Teteapi, perubahan yang nampaknya kecil tadi mungkin pada akhirnya memerlukan dibentuknya sebuah birokrasi baru yang mempekerjakan ribuan orang. Dalam kasus RUU Jaminan Pensiun tadi, kongres berpendapat bahwa pegawai-pegawai perusahaan kecil tidak mendapat jaminan pasti akan memperoleh pensiun. Karena itu, RUU tadi kemudian disahkan menjadi Undang-undang setebal 247 halaman cetak yang kemudian disusun oleh tiga badan federal secara terpisah. Masing-masing badan ini menambahkan sederet undang-undangnya sendiri dan menetapkan prosedur-prosedur dan penafsiran-penafsirannya sendiri. Dengan meningkatnya kerja tulis-menulis ini, maka meningkat pula jumlah pegawai yang terlibat dan membengkak pulalah birokrasinya. Banyak perusahaan yang tadinya telah memiliki program pensiun menjadi kewalahan menghadapi rumitnya birokrasi sehingga akhirnya membatalkan program-program pensiun tersebut. Jadi, hasil akhir dari disahkannya RUU Jaminan Pensiun tadi ialah membengkaknya birokrasi dan bertambahnya jumlah pegawai negeri sipil, sedangkan tujuan Undang-undang sendiri bahkan banyak tidak tercapai.
Sumber: Laurence J. Peter. Piramida Peter: Mungkinkah Kita Mencapai Puncaknya. (Jakarta: Erlangga, 1986), halaman 43-44.

Selain Prinsip Peter, yang pada intinya mengatakan bahwa “Dalam suatu hirarki, setiap pegawai cenderung untuk naik ke tingkat inkompetensinya”, Peter juga mengajukan prinsip lain, yaitu Prinsip Piramida Peter yang pada intinya hendak mengemukakan tentang fenomena proliferasi struktur dan prosedur dalam tubuh birokrasi sehingga birokrasi lalu mirip dengan piramida terbalik yang tumbuh dari titik yang kecil menjadi bangunan yang semakin lama semakin membesar. Proses perkembangan ke arah Piramida Terbalik ini merupakan sebuah proses yang historis dalam artian bangunan tersebut tidaklah terbentuk secara begitu saja. Ada tiga tahap pertumbuhan piramida. Menurut Peter (1986), “sebuah organisasi akan berkembang melewati berbagai tahap, dan pada setiap tahapnya dia akan memusatkan diri pada kegiatan yang berbeda-beda.”Tiga tahap itu ialah:

1. Tahap Yang Dipusatkan Pada Pelayanan
Pada tahap ini, organisasi terdiri dan dijalankan oleh beberapa orang yang memang memahami hal-ihwal usaha maupun tujuan yang dijalankan organisasinya. Karena itulah, mereka ini dapay membereskan setiap permintaan atau melayani orang-orang yang datang ke kantor mereka. Mereka ini betul-betul menyadari bahwa fungsi mereka ialah melayani para pelanggan, dan setiap tindakan mereka kurang lebih merupakan tanggapan terhadap permintaan pihak luar, yaitu kebutuhan para pelanggan. Meski masing-masing memiliki tugas-tugas sendiri, namun karena mereka memahami misi besar dari organisasi serta kesalingterkaitan kerja di antara mereka, mereka bertiga bekerjasama dengan luwes. Masing-masing segera cepat tanggap dan cepat bertindak untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya.

2. Tahap Yang Dipusatkan Pada Sistem
Tahap ini berlangsung manakala ada kebutuhan untuk memperbesar organisasi. Dengan semakin banyaknya pelanggan yang harus dilayani, maka dibutuhkan semakin banyak pegawai dan kerja tulis-menulis. Maka direkrutlah pegawai baru. Pembagian kerja pun menjadi semakin lebih terspesialisasi dimana gambaran besar dari roda kerja organisasi belum tentu dipahami oleh semua pegawai. Karena itulah, menjadi tugas seorang manajer untuk membuat jadwal dan uraian tugas-tugas bagi setiap pegawai supaya mereka tahu apa tugas-tugas mereka dan supaya organisasi internnya dapat berjalan dengan lancar. Jadi, roda kerja dalam organisasi diselaraskan dan dikoordinasikan satu sama lain dengan menggunakan sebuah sistem. Di sini, para pegawai birokrasi tak lagi memiliki keharusan untuk memahami gambaran besar dari tujuan dan misi organisasi. Tugasnya ialah patuh dalam menjalankan jadwal dan uraian-uraian tugasnya.

3. Tahap Yang Dipusatkan Pada Administrator
Tahap ini tercapai pada saat organisasi ingin mengembangkan diri ke tingkatan yang lebih besar lagi sehingga mampu melayani lebih banyak pelanggan lagi. Karena ada semakin banyak pekerjaan bagi setiap unit kerja, maka direkrutlah pegawai baru atau dibentuklah struktur baru dalam tubuh organisasi. Karena ada terlalu banyak pegawai, sementara pekerjaan yang langsung berhubungan dengan pelanggan semakin kecil dan semakin banyak pekerjaan yang berhubungan dengan pembuatan dan penyusunan laporan-laporan ke atasan serta kerja-kerja tulis-menulis, maka kesadaran akan pentingnya segera membuat laporan lebih dipentingkan ketimbang melayani pelanggan. Untuk menjamin tertibnya administrasi dalam rangka pelaporan, maka terhadap pelanggan dikenakan aturan-aturan dan prosedur-prosedur yang harus diikuti oleh para pelanggan yang ingin mendapatkan pelayanan. Jadi, dalam tahap ini keluwesan telah digantikan oleh serangkaian peraturan dan jadwal. Para pegawai lebih sibuk membuat laporan yang menyenangkan pihak atasan ketimbang sibuk melayani para pelanggan. Keterikatan pada fungsi-fungsi intern ini pun lantas menimbulkan rasa benci dalam diri para pelanggan, yaitu orang-orang luar yang kebutuhan-kebutuhannya mungkin mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas-tugas intern dalam perusahaan. Dalam tahap ini, organisasi menjadi terpusat pada administrator.

Dari tahapan-tahapan tersebut, kita bisa lihat bagaimana organisasi-organisasi yang pada awalnya sederhana, lalu berubah menjadi organisasi-organisasi yang semakin menggurita struktur dan prosedurnya hingga pada akhirnya lebih sibuk dengan kerja-kerja untuk menjamin kelancaran rutinitas prosedur ketimbang melayani pelanggan. Problem ini akan menjadi lebih rumit lagi jika mentalitas para pegawai dalam tubuh birokrasi pemerintahan adalah mentalitas yang sibuk dengan kepentingan-kepentingannya sendiri. Seperti diketahui, perbedaan antara birokrasi pemerintahan dan birokrasi swasta ialah kalau birokrasi pemerintahan sibuk membelanjakan uang, sementara birokrasi swasta sibuk menghasilkan uang. Sebagai konsekuensinya, semakin banyak struktur yang ada dalam suatu birokrasi, semakin banyak pula jumlah uang yang dialokasikan untuknya dan juga untuk dibelanjakannya. Semakin banyak proyek yang dijadwalkan di setiap unit kerja dalam tubuh suatu birokrasi, maka semakin banyak pula anggaran yang dikucurkan kepada birokrasi tersebut. Dengan kata lain, pembengkakan struktur itu kadangkala didasarkan pada logika pembengkakan anggaran. Untuk melegitimasi keberadaan struktur yang baru, maka seringkali ditetapkanlah sekian banyak prosedur dan aturan baru dalam organisasi dimana setiap unit kerja yang baru diberi kewenangan untuk menjalankan dan menegakkan prosedur dan aturan yang baru tersebut. Logika pembengkakan anggaran inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor mengapa kadangkala tak mudah untuk melakukan perampingan struktur birokrasi karena seringkali harus berhadapan dengan kelompok-kelompok yang selama ini diuntungkan dengan besarnya struktur birokrasinya.

Yang menarik sekarang ialah: jika ada banyak kritik dan keluhan terhadap birokrasi, lantas mengapa birokrasi itu tetap dipertahankan keberadaannya dalam kehidupan sosial politik sebuah masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita harus kembali menengok pada makna penting secara sosio-historis dari birokrasi, dan untuk ini kita bisa menimba pelajaran dari seorang tokoh besar ilmu sosial, yaitu Max Weber.

No comments:

Post a Comment