Saturday, 18 March 2017

Birokrat dan Etika Administrasi Publik

Birokrat dan Etika Administrasi Publik
Sekalipun terminologi governance telah memumpun serangkaian nilai-nilai kepublikan, juga masih memerlukan prinsip-prinsip utama yang oleh Richard C. Box disebutnya ada empat elemen penting sebagai The Principles of Community Governance. Pertama, Prinsip Skala. Kebijakan pemerintah yang baik harus disusun dengan mengindahkan wacana yng berkembang di satuan-satuan dan fragmen masyarakat. Isu dan agenda apa yang diprioritaskan juga harus merupakan cermin dari aspirasi publik. Kebijakan yang demikian akan mampu mengundang entitas masyarakat memasuki wilayah politik "self-governance" yang sangat diperlukan untuk menjamin efektivitas dan kemaslahatannya.

Kedua Prinsip Demokrasi, governance harus menempatkan nilai-nilai demokrasi sebagai dikemukakan oleh Rober A. Dahl (1998). Utamanya, masyarakat harus secara bebas dapat mengakses alasan-alasan sebuah pilihan ditetapkan dan sementara pilihan lain ditolak. Sehingga masyarakat itu sendiri pula yang bakal bagaimana corak dan bentuk masa depan yang diinginkan.

Ketiga Prinsip Akuntabilitas, Masyarakat adalah memiliki segala hal yang ada diseputar tempat tinggalnya. Oleh karenanya merekalah yang paling berhak untuk memutuskan agenda apa yang mereka perlukan, bagaimana itu dicapai dan dengan siapa harus menjalin kerjasama.

Keempat, Prinsip Rasionalitas. Dalam membuat kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan publik, logika dan rasionalitas yang mendasarinya harus dijelaskan secara terbuka. Bukan pejabat-pejabat publik terpilih yang berhak menentukan neraca dan takaran logika tetapi masyrakat sendiri. Proses penentuan logika ini bukan bagaimana menetapkan opini publik secara persis, tetapi bagaimana mengenali kembali (recognizing) bahwa proses pengambilan keputiusan adalah sebuah proyek kolektif masyarakat dimana perbincangan, suara, dan pendengaran publik harus dijadikan nilai-nilai dasarnya.

Oleh karenanya dalam suatu sistem masyarakat demikian ini, peran publik menjadi mengemuka. Benar apa yang dikatakan Osborne dan Gaebler, yang menempatkan peran pejabat publik atau birokrat sebagai entrepreneur yang secara lugas didefenisikan : sebagai kemampunan untuk meningkatkan resosis ekonomi dari nilai yang rendah menjadi berproduktivitas tinggi dan berhasil tinggi. Dengan demikian orientasinya bukan pada preferensi negara, tetapi dalam hal ini orientasinya adalah pada pasar yang dalam konteks ini adalah publik. Hanya pejabat-pejabat publik yang mampu melakukan mampu memfasilitasi ekspansi dari preferensi publik secara akuntabel akan memperoleh kepercayaan publik.

Dalam pandangan Thomas D. Lynch dan Cynthia E. Lynch yang menulis "Theory of Soul" sesuai dengan reposisi administrasi ke governance, ada sejumlah pendekatan yang tentang apa yang disebut dengan etika itu. Tema ini menjadi sangat penting bagaimana para administrator publik secara profesional dapat memperbaiki etikanya. Menurut dua penulis tersebut, pendekatan etika yang saat ini dikenal liuas dalam administrasi publik tidak lagi memadai. Diperlukan sebuah pendekatan baru yang memungkinkan perluasan gagasan-gagasan moral dalam organisasi.

Dalam memperbicangkan etika profesional, Thomas dan Cynthia mengutip pembagian yang dikemukakan oleh Peter Windt et. Al (1989), yang disebutnya sebagai tiga tipe dasar teori etika.Pertama disebut sebagai "deontological" yang mendasarkan diri prinsip dasar benar salah dengan moral individu. Yang termasuk kategori ini adalah etika-etika jabatan yang didasarkan pada sumpah kelembagaan. Immanuel Kant adalah filsof yang ada di jajaran pendekatan ini.

Kedua, pendekatan "consequential" atau "teleological", etika yang didasarkan pada moral individu, konsekwensi yang bakal dipetik dari perbuatan yang dilakukan. Jeremy Bentham aalah filsof yang masuk kategori ini. Pendekatan-pendekatan utilitarian dan cost benefit analysis adalah contoh praksis kelompok ini.

Ketiga, pendekatan "virtue ethics" yang oleh Thomas dan Donaldson disebut sebagai "human nature ethics". Sementarara Cynthia dan Thomas menyebutnya sebagai "spritual wisdom ethics" (etika kebijakan spiritual - EKS). Dengan pendekatan ini etika administrasi publik bukan lagi dideterminasikan dengan aktor-aktor diluar diri sang administrator. Bagaimana seorang administrator melakukan proses kontemplasi sebuah "inward looking ethical", refleksi internal diri. Bukan semata -mata tergantung bagaimana atmosfir moral dan etika itu berdiskursus di luar dirinya tetapi juga bagaimana administrator mengembangkan sebuah pengertian instuitif untuk menetapkan apa yang sesungguhnya benar dan salah. EKS ini adalah sebuah etika internal yang direproduksi dari dialog yang konstan antar pikiran dan kesadaran instuitif.

Dari pandangan ini, etika administrai publik juga mengalami reposisi yang signifikan. Persoalan-persoalan etika yang semula adalah merupakan wilayah ekstenal kini kembali ke pada wilayah yang lebih personal. Hal ini juga selaras dengan reposisi administrasi publik ke pada notion governance.

No comments:

Post a Comment