Relasi Politik dan Administrasi Dalam Tinjauan Paradigmatik
Dalam sejarah kelahiran dan evolusi ilmu administrasi publik, perdebatan tentang struktur dan konfigurasi relasi politik dan administrasi menjadi tema abadi yang bahkan hingga dewasa ini belum mendapatkan kesepakatan final. Dalam setiap paradigma yang berkembang, relasi politik dan administrasi selalu mendapat tempat tersendiri untuk didiskusikan. Tidak berlebihan, jika perdebatan tersebut kemudian menjadi ide-ide konstruktif yang melahirkan paradigma-paradigma tertentu.
Ketika ilmu administrasi masih dalam fase embrio, praktek penyelenggaraan pemerintahan yang menginteraksikan politik dan administrasi pun sudah jamak terjadi. Sebut saja di negeri yang melahirkan ilmu administrasi publik, USA, ketika Andrew Jackson (melahirkan Jacksonian) menjadi top administrator. Jackson secara konsepsional menyepakati dilakukannya separation of power berdasarkan ajaran trias politica. Kekuasaan negara dibagi dan dipisahkan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Logika berpikir tersebut menempatkan kekuasaan eksekutif bersifat administratif yang menjalankan keputusan-keputusan politis. Namun demikian pada prakteknya, Jackson justru menjadikan wilayah eksekutif sebagai arena kekuasaan politiknya. Dengan kekuatan tersebut Jackson mulai berorientasi melebarkan dominasinya melalui pemenangan-pemenangan strategis kepentingan politiknya tidak terbatas pada domain eksekutif, tetapi juga pada domain birokrasi, legislatif dan yudikatif. Di berbagai unit kekuasaan tersebut, Jackson banyak menempatkan, merekrut dan menggalang orang-orang yang dipandang mampu memperkuat kekuatan politiknya dan mampu menghadang lawan politiknya. Koneksi politik demikian menggerogoti eksekutif dan birokrasinya yang menjadi sangat partisanship.
Ketika masa berganti, woodrow wilson, juga menyoroti secara khusus relasi politik dan administrasi. Bahkan pemikiran wilson berstatus fundamental bagi kelahiran ilmu administrasi. Pemikirannya menolak ajaran trichotomi dan menegaskan perlunya dilakukan dichotomi antara politik dan administrasi. Wilson menginginkan pemerintahan dijalankan dengan ilmu, gaya, pemikiran, pendekatan, praktek dan tindakan administrasi bukan tindakan politik. Menggerakkan roda pemerintahan tak ubahnya seperti menjalankan organisasi-organisasi bisnis di mana efektivitas, efisiensi, managerial skill menjadi titik tekannya. Dalam essaynya, wilson mengatakan, ”…Administration is the most obvious part of government, it is government in action, it is the executive, the operative, the most visible of government….Administration is the activity of the state in individual and small things, the province of the technical official…..”
Wilson mendapat dukungan luas pada masa itu bahkan menjadi pemikiran tunggal yang mendominasi periode awal perkembangan ilmu administrasi. Munculnya buku text pertama dalam ilmu administrasi publik, Introduction to the study of public administration karya Leonard D. White, kembali memberi penekanan akan pentingnya fungsi manajerial dalam administrasi publik. Leonard D. White mendefinisikan public administration as……………………………………………………………………………..Definisi tersebut secara terang benderang menunjukkan bahwa aktivitas administrasi publik adalah aktivitas manajemen, yakni execution, bukan aktivitas politik sekalipun D.White mengakui bahkan mensyaratkan bahwa untuk melakonkan peran tersebut administrasi publik wajib berinteraksi dengan aktivitas dari political branch (satu hal yang dalam hal tertentu juga diakui oleh Wilson).
Ketika paradigma administrasi terus berkembang, tampaknya perdebatan akademik seputar relasi politik dan administrasi tak kunjung surut. Setelah mengalami arus balik pada paradigma ke-tiga Nicholas Henry (administrasi publik sebagai ilmu politik), administrasi publik cenderung menjadi ilmu dan praktik yang bebas nilai serta menjauh dari hingar bingar politik untuk kemudian lebih fokus pada persoalan-persoalan organisasi. Gerakan yang cukup revolusioner dengan label New Public Administration Movement pada akhir dekade 1960-an kembali melakukan gugatan terhadap netralitas administrasi publik yang tampaknya tidak memberikan kontribusi terhadap berbagai permasalahan kenegaraan dan kemasyarakatan yang muncul pasca perang dunia. Administrasi publik kembali dipaksa masuk dalam ranah politik di mana ia harus memiliki set of value, ethic dan kekuatan moral. Pemilihan nilai, alokasi nilai dan keberpihakan pada moral tertentu adalah proses yang cenderung lebih dekat dengan aktivitas politik. Semua atribut tersebut harus teraktualisasi dalam produk kebijakan yang ada. Untuk menggaransinya, maka administrasi publik juga dituntut berperan tidak saja dalam policy implementation melainkan juga pada proses policy formulation. Administrasi publik pun semakin kental dengan proses dan kegiatan politik. Pertanyaan-pertanyaan moral dan social equity selalu mengikuti tindakan administrasi untuk memberi koridor legal bagi aktivitas politik administrasi publik.
Sebagai periode transisi pergeseran antara classic public and contemporer public administration, gerakan new public administration tampaknya juga tidak sepenuhnya memuaskan banyak pihak. Lambannya dan inefisiensi tindakan administrasi karena dominasi peran serta luasnya lapangan yang harus dicakup sebagai implikasi konsep welfare state, mendorong para ahli dan praktisi mereposisi peran administrasi dengan pendekatan-pendekatan yang based on managerialism pada dekade 1980-1990an. Arus balik dan gelombang pemikiran yang menekankan pada pendekatan-pendekatan manajerial, kembali menghinggapi administrasi publik. Gaya dan perilaku politik yang dilakonkan ”top public administrator” dipandang hanya mereduksi dan memandulkan kapasitas pencapaian efektivitas dan efisiensi administrasi publik.
Paradigma governance, yang tampaknya saat ini menjadi konsensus ilmiah tentatif, juga tidak mampu melepaskan diri dari perdebatan panjang pola relasi administrasi (manajerial) dan politik. Sebagai ahli lebih memandang governance dari sisi politik dengan mengkaitkannya dengan konsep-konsep demokrasi, deliberative public administration, atau juga civil society. Sebagian yang lain lebih memahaminya dan mensyaratkan munculnya model-model teknis networking bagi bekerjanya governance. Governance bukan hanya nilai untuk mendudukan aktor non pemerintah secara selaras, tetapi juga menkonstruksikan bagaimana model teknis yang tepat untuk mendudukan aktor tersebut. So, governance is just not only political comitment but also managerial knowledge making it works.
Telaah dari berbagai uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa relasi politik dan administrasi dari tindakan administrasi public merupakan perdebatan panjang yang bahkan selalu hadir dalam paradigma administrasi yang berkembang. Pada satu sisi, muncul keinginan untuk menjadikan administrasi public sebagai management based activity. Pandangan pada sisi yang lain menghendaki perilaku politik dari sosok administrasi publik.
No comments:
Post a Comment