Mahapralaya
adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur berdasarkan
berita dalam prasasti Pucangan. Tahun terjadinya peristiwa tersebut
tidak dapat dibaca dengan jelas sehingga muncul dua versi pendapat.
Sebagian sejarawan menyebut Kerajaan Medang runtuh pada tahun 1006,
sedangkan yang lainnya menyebut tahun 1016.
Raja
terakhir Medang adalah Dharmawangsa Teguh, cicit Mpu Sindok. Kronik
Cina dari Dinasti Sung mencatat telah beberapa kali Dharmawangsa
mengirim pasukan untuk menggempur ibu kota Sriwijaya sejak ia naik
takhta tahun 991. Permusuhan antara Jawa dan Sumatra semakin memanas
saat itu.
Pada
tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika ia mengadakan pesta
perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji Wurawari
dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam
peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.
Tiga
tahun kemudian, seorang pangeran berdarah campuran Jawa–Bali yang lolos
dari Mahapralaya tampil membangun kerajaan baru sebagai kelanjutan
Kerajaan Medang. Pangeran itu bernama Airlangga yang mengaku bahwa
ibunya adalah keturunan Mpu Sindok. Kerajaan yang ia dirikan kemudian
lazim disebut dengan nama Kerajaan Kahuripan.
Kehidupan Ekonomi
Raja
Mpu Sindok mendirikan ibu kota kerajaannya di tepi Sungai Brantas,
dengan tujuan menjadi pusat pelayaran dan perdagangan di daerah Jawa
Timur. Bahkan pada masa pemerintahan Dharmawangsa, aktifitas perdagangan
bukan saja di Jawa Timur, tetapi berkembang ke luar wilayah jawa Timur.
Di
bawah pemerintahan Raja Dharmawangsa, Kerajaan Medang Kamulan menjadi
pusat aktifitas pelayaran perdagangan di indonesia Timur. Namun akibat
serangan dari Kerajaan Wurawari, segala perekonomian Kerajaan Medang
Kamulan mengalami kehancuran.
KERAJAAN KEDIRI
Kerajaan
Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Isyana (Kerajaan Medang
Kamulan). Pada akhir kekuasaan pemerintahan Raja Airlangga, wilayah
kerajaannya dibagi dua, untuk menghindari terjadinya perang saudara.
Maka muncullah Kerajaan Kediri dengan ibu kota Daha, diperintah
Jayawarsa dan Kerajaan Jenggala dengan ibu kotanya Kahuripan diperintah
oleh Jayanegara.
Sesungguhnya
kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan
singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat
dalam prasasti Pamwatan yang dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini
sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir
pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di
Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.
Pada
akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya
karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama
Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang
berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji
Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di
kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut
Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang
dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi,
Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan
adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian
menjadi ibu kota Janggala.
Pada
mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari
pada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang
diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal
sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).
Masa-masa
awal Kerajaan Panjalu atau Kadiri tidak banyak diketahui. Prasasti
Turun Hyang II (1044) yang diterbitkan Kerajaan Janggala hanya
memberitakan adanya perang saudara antara kedua kerajaan sepeninggal
Airlangga.
Sejarah
Kerajaan Panjalu mulai diketahui dengan adanya prasasti Sirah Keting
tahun 1104 atas nama Sri Jayawarsa. Raja-raja sebelum Sri Jayawarsa
hanya Sri Samarawijaya yang sudah diketahui, sedangkan urutan raja-raja
sesudah Sri Jayawarsa sudah dapat diketahui dengan jelas berdasarkan
prasasti-prasasti yang ditemukan.
Kerajaan
Panjalu di bawah pemerintahan Sri Jayabhaya berhasil menaklukkan
Kerajaan Janggala dengan semboyannya yang terkenal dalam prasasti
Ngantang (1135), yaitu Panjalu Jayati, atau Panjalu Menang.
Pada
masa pemerintahan Sri Jayabhaya inilah, Kerajaan Panjalu mengalami masa
kejayaannya. Wilayah kerajaan ini meliputi seluruh Jawa dan beberapa
pulau di Nusantara, bahkan sampai mengalahkan pengaruh Kerajaan
Sriwijaya di Sumatra.
Hal
ini diperkuat kronik Cina berjudul Ling wai tai ta karya Chou Ku-fei
tahun 1178, bahwa pada masa itu negeri paling kaya selain Cina secara
berurutan adalah Arab, Jawa, dan Sumatra. Saat itu yang berkuasa di Arab
adalah Bani Abbasiyah, di Jawa ada Kerajaan Panjalu,
sedangkan Sumatra dikuasai Kerajaan Sriwijaya.
Penemuan
Situs Tondowongso pada awal tahun 2007, yang diyakini sebagai
peninggalan Kerajaan Kadiri diharapkan dapat membantu memberikan lebih
banyak informasi tentang kerajaan tersebut.
1. Lokasi Kerajaan
Lokasi Kerajaan Kediri
2. Kehidupan Politik
Raja Jayawarsa
Masa
pemerintahan Jayawarsa (1104 M) hanya dapat diketahui melalui Prasasti
Sirah Keting. Dari prasasti itu diketahui bahwa Raja Jayawarsa sangat
besar perhatiannya kepada rakyatnya dan berupaya meningkatkan
kesejahteraan hidup rakyatnya.
Raja Bameswara
Pada
masa pemerintahannya, Raja Bameswara (1117-1130 M) banyak meninggalkan
prasasti-prasasti yang ditemukan di daerah Tulungagung dan Kertosono.
Raja Jayabaya
Raja
Jayabaya (1135-1157 M) merupakan raja terkemuka dari Kerjaan Kediri,
karena di bawah pemerintahannya Kerajaan Kediri mencapai masa
kejayaannya. Kemenangan Kerajaan Kediri dalam perluasan wilayahnya
mengilhami pujangga Empu Sedah dan Empu Panuluh untuk menulis Kitab
Bharatayuda.
Raja Gandra
Masa
pemerintahan Raja Gandra (1181 M) berhasil diketahui dari Prasasti
Jaring, yaitu tentang penggunaan nama hewan dalam kepangkatan seperti
nama Gajah, Kebo atau Tikus.
Raja Kameswara
Pada
masa pemerintahan Raja Kameswara (1182-1185 M), seni sastra mengalami
perkembangannya yang sangat pesat. Diantaranya Empu Dharmaja mengarang
Kitab Smaradhana. Bahkan pada masa pemerintahannya juga dikenal
cerita-cerita panji seperti Panji Semirang.
Raja Kertajaya
Raja
Kertajaya (1190-1222 M) merupakan raja terakhir dari Kerajaan Kediri.
Raja Kertajaya juga lebih dikenal dengan sebutan Dandang Gendis.
Selama
pemerintahannya, keadaan Kediri menjadi tidak aman. Kestabilannya
kerajaan menurun. Hal ini disebabkan Raja Kertajaya mempunyai maksud
mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Hal ini ditentang oleh kaum Brahmana.
Kedudukan kaum Brahmana di Kerajaan Kediri semakin tidak aman.
Kaum
Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel yang saat itu
diperintah oleh Ken Arok. Raja Kertajaya yang mengetahui bahwa kaum
Brahmana banyak yang lari dan minta bantuan ke Tumapel, mempersiapkan
pasukkannya untuk menyerang Tumapel. Sementara itu, Ken Arok dengan
dukungan kaum Brahmana melakukan serang ke Kerajaan Kediri. Kedua
pasukan itu bertemu di dekat Genter (1222 M). Dalam pertempuran itu
pasukan Kediri berhasil dihancurkan. Raja Kertajaya berhasil meloloskan
diri.
Dengan
demikian, berakhirlah kekuasaan kerajaan Kediri. Akhirnya kerajaan
Kediri menjadi daerah bawahan Kerajaan Tumapel. Selanjutnya berdirilah
Kerajaan Singasari dengan Ken Arok sebagai raja pertama.
Berikut Raja-raja kerajaan kediri :
- Pada saat Daha menjadi ibu kota kerajaan yang masih utuh
- Airlangga, merupakan pendiri kota Daha sebagai pindahan kota Kahuripan. Ketika ia turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibelah menjadi dua. Daha kemudian menjadi ibu kota kerajaan bagian barat, yaitu Panjalu. Menurut Nagarakretagama, kerajaan yang dipimpin Airlangga tersebut sebelum dibelah sudah bernama Panjalu
- Pada saat Daha menjadi ibu kota Panjalu
- Sri Samarawijaya, merupakan putra Airlangga yang namanya ditemukan dalam prasasti Pamwatan (1042).
- Sri Jayawarsa, berdasarkan prasasti Sirah Keting (1104). Tidak diketahui dengan pasti apakah ia adalah pengganti langsung Sri Samarawijaya atau bukan.
- Sri Bameswara, berdasarkan prasasti Padelegan I (1117), prasasti Panumbangan (1120), dan prasasti Tangkilan (1130).
- Sri Jayabhaya, merupakan raja terbesar Panjalu, berdasarkan prasasti Ngantang (1135), prasasti Talan (1136), dan Kakawin Bharatayuddha (1157).
- Sri Sarweswara, berdasarkan prasasti Padelegan II (1159) dan prasasti Kahyunan (1161).
- Sri Aryeswara, berdasarkan prasasti Angin (1171).
- Sri Gandra, berdasarkan prasasti Jaring (1181).
- Sri Kameswara, berdasarkan prasasti Ceker (1182) dan Kakawin Smaradahana.
- Kertajaya, berdasarkan prasasti Galunggung (1194), Prasasti Kamulan (1194), prasasti Palah (1197), prasasti Wates Kulon (1205), Nagarakretagama, dan Pararaton.
- Pada saat Daha menjadi bawahan Singhasari
Kerajaan
Panjalu runtuh tahun 1222 dan menjadi bawahan Singhasari. Berdasarkan
prasasti Mula Malurung, diketahui raja-raja Daha zaman Singhasari,
yaitu:
- Mahisa Wunga Teleng putra Ken Arok
- Guningbhaya adik Mahisa Wunga Teleng
- Tohjaya kakak Guningbhaya
- Kertanagara cucu Mahisa Wunga Teleng (dari pihak ibu), yang kemudian menjadi raja Singhasari
- Pada saat Daha menjadi ibu kota Kadiri
Jayakatwang,
adalah keturunan Kertajaya yang menjadi bupati Gelang-Gelang. Tahun
1292 ia memberontak hingga menyebabkan runtuhnya Kerajaan Singhasari.
Jayakatwang kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri. Tapi pada tahun
1293 ia dikalahkan Raden Wijaya pendiri Majapahit.
Pada saat Daha menjadi bawahan Majapahit
Sejak
tahun 1293 Daha menjadi negeri bawahan Majapahit yang paling utama.
Raja yang memimpin bergelar Bhre Daha tapi hanya bersifat simbol, karena
pemerintahan harian dilaksanakan oleh patih Daha. Para pemimpin Daha
zaman Majapahit antara lain:
- Jayanagara, tahun 1295-1309, didampingi Patih Lembu Sora.
- Rajadewi, tahun 1309-1370-an, didampingi Patih Arya Tilam, kemudian Gajah Mada.
Setelah itu, nama-nama pejabat Bhre Daha tidak diketahui dengan pasti.
Pada saat Daha menjadi ibu kota Majapahit
Menurut
Suma Oriental tulisan Tome Pires, pada tahun 1513 Daha menjadi ibu kota
Majapahit yang dipimpin oleh Bhatara Wijaya. Nama raja ini identik
dengan Dyah Ranawijaya yang dikalahkan oleh Sultan Trenggana raja Demak
tahun 1527.
Sejak saat itu nama Kediri lebih terkenal dari pada Daha.
Karya Sastra Zaman Kadiri
Seni
sastra mendapat banyak perhatian pada zaman Kerajaan Panjalu-Kadiri.
Pada tahun 1157 Kakawin Bharatayuddha ditulis oleh Mpu Sedah dan
diselesaikan Mpu Panuluh. Kitab ini bersumber dari Mahabharata yang
berisi kemenangan Pandawa atas Korawa, sebagai kiasan kemenangan Sri
Jayabhaya atas Janggala.
Selain
itu, Mpu Panuluh juga menulis Kakawin Hariwangsa dan Ghatotkachasraya.
Terdapat pula pujangga zaman pemerintahan Sri Kameswara bernama Mpu
Dharmaja yang menulis Kakawin Smaradahana. Kemudian pada zaman
pemerintahan Kertajaya terdapat pujangga bernama Mpu Monaguna yang
menulis Sumanasantaka dan Mpu Triguna yang menulis Kresnayana.
Arca Buddha Vajrasattva zaman Kadiri, abad X/XI, koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama.
Pada
tahun 1222 Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana yang
kemudian meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok
juga bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan
Kadiri.
Perang
antara Kadiri dan Tumapel terjadi dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok
berhasil menghancurkan pasukan Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah
masa Kerajaan Kadiri, yang sejak saat itu kemudian menjadi bawahan
Tumapel atau Singhasari.
KERAJAAN SINGASARI
Kerajaan Singasari
Sejarah
Kerajaan Singasari berawal dari daerah Tumapel, yang dikuasai oleh
seorang akuwu (bupati). Letaknya di daerah pegunungan yang subur di
wilayah Malang, dengan pelabuhannya bernama Pasuruan. Berdasarkan
prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari yang sesungguhnya ialah
Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ketika pertama kali didirikan
tahun 1222, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama Kutaraja.
Pada
tahun 1254, Raja Wisnuwardhana mengangkat putranya yang bernama
Kertanagara sebagai yuwaraja dan mengganti nama ibu kota menjadi
Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru
lebih terkenal daripada nama Tumapel. Maka, Kerajaan Tumapel pun
terkenal pula dengan nama Kerajaan Singhasari. Nama Tumapel juga muncul
dalam kronik Cina dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan.
1. Awal Berdirinya
Menurut
Pararaton, Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan Kerajaan Kadiri.
Yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu adalah
Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh secara licik oleh pengawalnya sendiri
yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu baru. Tidak hanya
itu, Ken Arok bahkan berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri.
Pada
tahun 1222 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kadiri melawan
kaum brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok
yang mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa
Sang Amurwabhumi. Perang melawan Kadiri meletus di desa Ganter yang
dimenangkan oleh pihak Tumapel.
Nagarakretagama
juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian Kerajaan Tumapel, namun
tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam naskah itu, pendiri
kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang Girinathaputra yang
berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kadiri. Prasasti Mula Malurung atas
nama Kertanagara tahun 1255, menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel
adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini adalah gelar anumerta dari Ranggah
Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri kerajaan Tumapel
tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga menyebutkan
bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok lebih dulu
menggunakan julukan Bhatara Siwa.
2. Lokasi Kerajaan
Lokasi pusat Kerajaan Singasari
3. Sumber Sejarah
Sumber-sumber sejarah Kerajaan Singasari berasal dari:
- Kitab Pararaton, menceritakan tentang raja-raja Singasari.
- Kitab Negara Kertagama, berisi silsilah raja-raja Majapahit yang memiliki hubungan erat dengan raja-raja Singasari.
- Prasasti-prasasti sesudah tahun 1248 M.
- Berita-berita asing (berita Cina), menyatakan bahwa Kaisar Khubilai Khan mengirim pasukkannya untuk menyerang Kerajaan Singasari.
- Peninggalan-peninggalan purbakala berupa banguna-bangunan Candi yang menjadi makam dari raja-raja Singasari seperti Candi Kidal, Candi Jago, Candi Singasari dan lain-lain.
Kehidupan Politik
Kerajaan
Singasari yang pernah mengalami kejayaan dalam perkembangan sejarah
Hindu di Indonesia dan bahkan menjadi cikal bakal Kerajaan Majapahit,
pernah diperintah oleh raja-raja sebagai berikut:
Ken Arok
Ken
Arok sebagai raja Singasari pertama bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang
Amurwabhumi dan dinastinya bernama Dinasti Girindrawangsa (Dinasti
Keturunan Siwa). Raja Ken Arok memerintah antara tahun 1222-1227 M. Masa
pemerintahan Ken Arok diakhiri secara tragis pada tahun 1227. Ia mati
terbunuh oleh kaki tangan Anusapati, yang merupakan anak tirinya (anak
Ken Dedes dari suami pertamanya Tunggul Ametung).
Raja Kertanegara
Raja
Kertanegara (1268-1292 M) merupakan raja terkemuka dan raja terakhir
dari Kerajaan Singasasri. Di bawah pemerintahannya, Kerajaan Singasari
mencapai masa kejayaannya. Upaya yang ditempuh Raja Kertanegara dapat
dilihat dari pelaksanaan politik dalam negeri dan luar negeri.
Berikut raja-raja Singasari :
Terdapat perbedaan antara Pararaton dan Nagarakretagama dalam menyebutkan urutan raja-raja Singhasari.
Raja-raja Tumapel versi Pararaton adalah:
1. Ken Arok alias Rajasa Sang Amurwabhumi (1222 - 1247)
2. Anusapati (1247 - 1249)
3. Tohjaya (1249 - 1250)
4. Ranggawuni alias Wisnuwardhana (1250 - 1272)
5. Kertanagara (1272 - 1292)
Raja-raja Tumapel versi Nagarakretagama adalah:
1. Rangga Rajasa Sang Girinathaputra (1222 - 1227)
2. Anusapati (1227 - 1248)
3. Wisnuwardhana (1248 - 1254)
4. Kertanagara (1254 - 1292)
Kisah
suksesi raja-raja Tumapel versi Pararaton diwarnai pertumpahan darah
yang dilatari balas dendam. Ken Arok mati dibunuh Anusapati (anak
tirinya). Anusapati mati dibunuh Tohjaya (anak Ken Arok dari selir).
Tohjaya mati akibat pemberontakan Ranggawuni (anak Anusapati). Hanya
Ranggawuni yang digantikan Kertanagara (putranya) secara damai.
Sementara
itu versi Nagarakretagama tidak menyebutkan adanya pembunuhan antara
raja pengganti terhadap raja sebelumnya. Hal ini dapat dimaklumi karena
Nagarakretagama adalah kitab pujian untuk Hayam Wuruk raja Majapahit.
Peristiwa berdarah yang menimpa leluhur Hayam Wuruk tersebut dianggap
sebagai aib.
Di
antara para raja di atas hanya Wisnuwardhana dan Kertanagara saja yang
didapati menerbitkan prasasti sebagai bukti kesejarahan mereka. Dalam
Prasasti Mula Malurung (yang dikeluarkan Kertanagara atas perintah
Wisnuwardhana) ternyata menyebut Tohjaya sebagai raja Kadiri, bukan raja
Tumapel. Hal ini memperkuat kebenaran berita dalam Nagarakretagama.
Prasasti
tersebut dikeluarkan oleh Kertanagara tahun 1255 selaku raja bawahan di
Kadiri. Jadi, pemberitaan kalau Kertanagara naik takhta tahun 1254
perlu dibetulkan. Yang benar adalah, Kertanagara menjadi raja muda di
Kadiri dahulu. Baru pada tahun 1268, ia bertakhta di Singhasari.
a. Politik Dalam Negeri
Dalam rangka mewujudkan stabilisasi politik dalam negeri, Raja Kertanegara menempuh jalan sebagai berikut:
- Mengadakan pergeseran pembantu-pembantunya
- Berbuat baik terhadap lawan-lawan politiknya.
- Memperkuat angkatan perang.
b. Politik Luar Negeri
Untuk mencapai cita-cita politiknya itu, Raja Kertanegara menempuh cara-cara sebagai berikut.
- Melaksanakan Ekspedisi Pamalayu (1275 dan 1286 M) untuk menguasai Kerajaan Melayu serta melemahkan posisi Kerajaan Sriwijaya di Selat Malaka.
- Menguasai Bali (1284 M).
- Menguasai Jawa Barat (1289 M).
- Menguasai Pahang (Malaya) dan Tanjung Pura (Kalimantan).
- Kertanegara membendung ekspansi Khu Bilai Khan dengan cara :
- Menjalin kerja sama dengan negeri Champa
- Memberantas setiap usaha pemberontakan
- Mengganti pejabat yang tidak mendukung gagasannya
- Berusaha menyatukan Nusantara di bawah Singosari
Pemerintahan Bersama
Pararaton
dan Nagarakretagama menyebutkan adanya pemerintahan bersama antara
Wisnuwardhana dan Narasingamurti. Dalam Pararaton disebutkan nama asli
Narasingamurti adalah Mahisa Campaka.
Apabila
kisah kudeta berdarah dalam Pararaton benar-benar terjadi, maka dapat
dipahami maksud dari pemerintahan bersama ini adalah suatu upaya
rekonsiliasi antara kedua kelompok yang bersaing. Wisnuwardhana
merupakan cucu Tunggul Ametung sedangkan Narasingamurti adalah cucu Ken
Arok.
Puncak Kejayaan
Kertanagara
adalah raja terakhir dan raja terbesar dalam sejarah Singhasari (1268 -
1292). Ia adalah raja pertama yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa.
Pada tahun 1275 ia mengirim pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan
pulau Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi
bangsaMongol. Saat itu penguasa pulau Sumatra adalah Kerajaan
Dharmasraya (kelanjutan dari Kerajaan Malayu). Kerajaan ini akhirnya
tunduk dengan ditemukannya bukti arca Amoghapasa yang dikirim
Kertanagara sebagai tanda persahabatan kedua negara.
Pada
tahun 1284, Kertanagara juga mengadakan ekspedisi menaklukkan Bali.
Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai Khan mengirim utusan ke Singhasari
meminta agar Jawa mengakui kedaulatan Mongol. Namun permintaan itu
ditolak tegas oleh Kertanagara
Nagarakretagama
menyebutkan daerah-daerah bawahan Singhasari di luar Jawa pada masa
Kertanagara antara lain, Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan Bakulapura.
Mandala
Amoghapāśa dari masa Singhasari (abad ke-13), perunggu, 22.5 x 14 cm.
Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Peristiwa Keruntuhan
Kerajaan
Singhasari yang sibuk mengirimkan angkatan perangnya ke luar Jawa
akhirnya mengalami keropos di bagian dalam. Pada tahun 1292 terjadi
pemberontakan Jayakatwang bupati Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu,
sekaligus ipar, sekaligus besan dari Kertanagara sendiri. Dalam serangan
itu Kertanagara mati terbunuh.
Setelah
runtuhnya Singhasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu kota
baru di Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun berakhir.
Hubungan dengan Majapahit
Pararaton,
Nagarakretagama, dan prasasti Kudadu mengisahkan Raden Wijaya cucu
Narasingamurti yang menjadi menantu Kertanagara lolos dari maut. Berkat
bantuan Aria Wiraraja (penentang politik Kertanagara), ia kemudian
diampuni oleh Jayakatwang dan diberi hak mendirikan desa Majapahit. Pada
tahun 1293 datang pasukan Mongol dipimpin Ike Mese untuk menaklukkan
Jawa. Mereka dimanfaatkan Raden Wijaya untuk mengalahkan Jayakatwang di
Kadiri. Setelah Kadiri runtuh, Raden Wijaya dengan siasat cerdik ganti
mengusir tentara Mongol keluar dari tanah Jawa. Raden Wijaya kemudian
mendirikan Kerajaan Majapahit sebagai kelanjutan Singhasari, dan
menyatakan dirinya sebagai anggota Wangsa Rajasa, yaitu dinasti yang
didirikan oleh Ken Arok.
KERAJAAN BALI
1. Sumber Sejarah
Seumber
tertua mengenai adanya Kerajaan Bali adalah sebua prasasti yang
berangka 804 Saka (882 M). Prasasti ini mengenai izin yang diberikan
kepada para bhiksu untuk membuat tempat pertapaan di Bukit Cintamani.
Namun, raja pembuat prasasti ini tidak disebutkan. Prasasti kedua yang
ditemukan adalah prasasti yang berangka tahun 818 Saka (896 M). Isinya
hamper sama dengan prasasti yang pertama. Satu hal yang menarik dari
kedua prasasti ini adalah walaupun nama rajanya tidak disebut, tetapi
nama istana raja disebut yaitu Singhamandaya. Kemudian ada lagi prasasti
yang ditemukan di desa Blajong dekat Pantai Sanur. Angka tahun dari
prasasti ini berupa candrasangkala yang berbunyi Khecara Wahmi-Murti
yang artinya tahun 836 Saka (914 M). Dalam prasasti ini disebutkan nama
rajanya yaitu Khesari Warmadewa yang istananya bernana Singhadwala.
Tidak diketahui kapan raja ini memerintah dan kapan berakhirnya.
Prasasti-prasasti ini ditulis dengan huruf Pranagari dan huruf Bali
Kuno. Sedangkan bahasa yang digunakan adalah Sansekerta.
Kerajaan
Bali terletak pada sebuah Pulau kecil yang tidak jauh dari daerah Jawa
Timur. Dalam perkembangan sejarahnya, Bali mempunyai hubungan erat
dengan Pulau Jawa. Karena letak pulau itu berdekatan, maka sejak zaman
dulu mempunyai hubungan yang erat. Bahkan ketika Kerajaan Majapahit
runtuh, banyak rakyat Majapahit yang melarikan diri dan menetap di sana.
Sampai sekarang ada kepercayaan bahwa sebagian dari masyarakat Bali
dianggap pewaris tradisi Majapahit.
2. Kehidupan Politik
Dari
prasasti-prasasti yang ditemukan itu dapat dipastikan bahwa yang
mendirikan Kerajaan Bali itu adalah raja-raja dari dinasti Warmadewa.
Sejak tahun 915 M yang memerintah di Bali adalah Raja Ugrasena. Dari
prasasti-prasastinya dapat diketahui Raja Ugrasena memerintah hingga
tahun 942. setelah itu yang memerintah adalah Haji Tabanendra Warmadewa.
Ia memerintah bersama-sama dengan permaisurinya Sang Ratu Luhur Sri
Subhadrika Dharmadewi yang memerintah dari tahun 877-889 Saka (955-967
M). Raja berikutnya adalah Jayasingha Warmadewa yang telah turut
memerintah sejak tahun 960 M, sebagai raja muda. Pada masa
pemerintahannya, ia membangun dua tempat pemandian di desa Manukraya
(Manukkaya) dan sebuah lagi di Tirta Empul, Tirta Empul ini letaknya
berdekatan dengan istana Tampak Siring. Pada tahun 975 ia meninggal.
Penggantinya
adalah Raja Jayasadhu Warmadewa (975-983), Masa pemerintahannya tidak
banyak diketahui. Pada tahun 983 yang memerintah adalah seseorang wanita
yang bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Mengenai asal raja
wanita ini tidak diketahui dengan jelas. Ada sarjana yang berpendapat
bahwa ia adalah seorang putri dari Sriwijaya, tetapi ada lagi yang
berpendapat bahwa Sri Wijaya Mahadewi adalah putrid dari Raja Mpu
Sindok.
Setelah
masa pemerintahannya berakhir, ia digantikan oleh Dharmodhayana
Warmadewa yang naik takhta pada tahun 989. ia memerintah bersama
permaisurinya yang bernama Gunapriyadharmapatni atau Mahendradatha,
putrid dari Makutawangsa wardhana. Mereka memerintah hingga tahun 1001.
mahendradatha meninggal dan dicandikan di Burwan (desa Burwan) yang
terletak di sebelah tenggara Bedudu. Arca perwujudannya berupa Durga
yang ditemukan di Kutri (Gianyar). Dharmodhayana Warmadewa masih tetap
emmerintah sepeninggal istrinya hingga tahun 1011 M. Ia meninggal pada
tahun itu dan dicandikan di Banu Wka yang letaknya sampai saat ini belum
diketahui.
Dari
perkawinan antara Dharmodhayana dan Mahendradatha lahir tiga orang
putra yang masing-masing bernama Airlangga yang kemudian kawin dengan
seorang putri Dharmawangsa dan menjadi raja di Pulau Jawa, Marakata dan
Anak Wungsu. Marakata sebagai pengganti ayahnya bergelar Dharmodhayana
Wangsawardhana Marakata Panjakasthana Uttggadewa (1011 – 1022). Masa
pemerintahannya sezaman dengan Airlangga di Jawa Timur.
Perhatiannya
yang sangat besar untuk kesejahteraan rakyatnya, menyebabkan dirinya
sangat dihormati dan dicintai rakyatnya. Ia bahkan dianggap sebagai
penjelmaan dari kebenaran hokum. Sebagai bukti bahwa ia sangat
memperhatikan kepentingan rakyatnya yaitu dibangunnya sebuah tempat
pertapaan (prasada) di Gunung Kawi yang berdekatan dengan istana Tampak
Siring. Tempat pertapaan ini memiliki keunikan yakni dipahat di batu
gunung, kira-kira enam meter tingginya berbentuk candi-candi dan bagian
bawah (dasarnya) dibuatkan gua-gua pertapaan yang masing-masing terdiri
dari ruangan-ruangan, sampai saat ini tempat pertapaan itu tetap
terpelihara dengan baik dan merupakan salah satu objek wisata yang ramai
dikunjungi para wisatawan.
Pengganti
Marakata adalah Anak Wungsu (1049-1077). Ia adalah raja yang paling
banyak meninggalkan prasasti. Sebanyak 28 buah prasasti dibuat selama 28
tahun masa pemerintahannya. Anak wungsu tidak mempunyai keturunan,
karena itu permaisurinya dikenal dengan sebutan Batari Mandul. Pada
tahun 1077, anak wungsu meninggal dan didharmakan di Gunung Kawi.
Penggantinya adalah Sri Maharaja Walaprabhu. Setelah Walaprabhu yang
memerintah adalah seorang ratu dengan nama Sri Maharaja Sakalendukiranan
Isanna Gunadharma Laksmidhara Wijayottunggadewi. Tidak banyak yang
diketahui tentang pemerintahan ratu ini, ia kemudian digantikan oleh Sri
Suradhipa (1115-1119). Pengganti raja ini adalah Sri Jayasakti yang
memerintah hingga tahun 1150. penggantinya adalah Ragajaya. Setelah raja
ini, Kerajaan Bali mengalami kekosongan pemerintahan selama beberapa
tahun. Baru pada tahun 1170 yang memerintah adalah Raja Jayapangus. Ia
memerintah bersama dua orang istrinya, yaitu Indujaketana sebagai
permaisuri dan Sasangkajahcina sebagai mahadewi.
Setelah
Jayapangus meninggal, ia digantikan oleh Sri Maharaja Haji
Ekajayalancana. Raja ini memerintah bersama-sama dengan ibunya yang
bernama Sri Maharaja Sri Arya dengjaya (1200). Empat tahun setelah masa
pemerintahan Ekajayalancana yang memerintah adalah Bhatara Guru Sri
Adikunti. Selain itu, di dalam prasastinya disebutkan pula nama anaknya
Bhatara Parameswara Sri Wirama Sri Dhanaadhiraja dan seorang ratu
bernama Bhatari Sri Dhanadewi. Setelah pemerintah Bhatara Sri Adikunti
tidak diperoleh sedikit pun berita mengenai Kerajaan Bali. Baru pada
tahun 1260, muncul seseorang raja bernama Paduka Bhatara Parameswara Sri
Hyang Ning Hyang Adidewa. Setelah pemerintahan raja ini rupanya terjadi
lagi kekosongan pemerintahan hingga tahun 1334.
Pada
tahun 1334, kertanegara dari Singasari berhasil menaklukan Kerajaan
Bali yang saat itu diperintah oleh Paduka Bharata Guru. Hal itu dapat
diketahui dari prasastinya yang juga mencantumkan nama anaknya Paduka
Sri Tarunajaya. Pada tahun berikutnya yang memerintah adalah Paduka Sri
Maharaja Bhatara Mahaguru Dharmottungga Warmadewa. Setelah meinggal ia
digantikan oleh Paduka Bhatara Sri Walajaya Kertaningrat yang memerintah
bersama-sama ibunya. Raja Sri Walajaya kemudian diganti lagi oleh
Paduka Bhatara Sri Astasrua Ratna Bumi Banten. Tidak diketahui dengan
jelas kapan berakhirnya kekuasaan Sri Astasura, namun yang jelas pada
tahun 1430, Kerajaan Bali jatuh ke tangan Gajah Mada dari Majapahit.
Kerajaan Bali kemudian diperintah oleh raja-raja dari jawa.
3. Kehidupan Sosial dan Ekonomi
Hubungan
antara raja-raja yang pernah memerintah di Bali dengan rakyatnya sangat
baik. Raja diharomati dan dipuja sesuai dengan pengaruh agama dan
budaha Hindu. Raja sebagai penguasa memperhatikan kepentingan rakyatnya
dengan membangun berbagai sarana di antaranya tempat-tempat peribadatan,
dan irigasi. Untuk agama-agama lain pun raja-raja Bali memerlihatkan
sikap toleransinya yang tinggi. Sebagai contohnya raja memberikan izin
bagi para pendeta Buddha (bhiksu) untuk mendirikan tempat pertapaan
Sikap raja-raja Bali yang demikian memperlihatkan adanya system social
kemasyarakatan yang sudah berlangsung dan tertata baik.
Rakyat
Bali umumnya hidup makmur. Selain pertanian, mereka memperoleh
penghasilan dari berbagai bidang usaha, antara lain perdagangan,
peternakan, dan pelayaran. Dari berbagai sector usaha ini perekonomian
rakyat Bali cukup mantap, sehingga mereka dapat pula membangun
bangunan-bangunan besar, seperti candi, tempat-tempat pertapaan misalnya
Gunung Kawi dan masih banyak lagi yang lainnya.
4. Kehidupan Budaya
Dalam
bidang kebudayaan, masyarakat Bali banyak menyerap unsur-unsur budaya
Hindu sejak abad ke-18 M. sampai saat ini budaya masyarakat Bali
memiliki cirri khas, sebagai contohnya adalah tradisi pembakaran mayat
(ngaben) yang dahulu selalu diiringi dengan sute, yaitu kebiasaan para
wanita Bali turut terbakar bersama jenazah suami yang sangat
dicintainya. Bidang seni lukis, seni tari, seni pahat yang merupakan
unsur-unsur dari kebudayaan mengalami perkembangan yang pesat dan
beraneka ragam. Bidang kesenian ini menjadi daya tarik tersendiri bagi
wisatawan, baik dari dalam maupun luar negeri. Bali menjadi sangat
terkenal di berbagai pelosok dunia bukan hanya keindahannya, tetapi juga
karena keunikan budayanya.
KERAJAAN PAJAJARAN
1. Sumber Sejarah
Sejarah
kerajaan ini tidak dapat terlepas dari kerajaan-kerajaan pendahulunya
di daerah Jawa Barat, yaitu Kerajaan Tarumanagara, Kerajaan Sunda dan
Kerajaan Galuh, dan Kawali. Hal ini karena pemerintahan Kerajaan
Pajajaran merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan tersebut. Dari
catatan-catatan sejarah yang ada, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan
ini; antara lain mengenai ibukota Pajajaran yaitu Pakuan. Mengenai
raja-raja Kerajaan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara
naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga
Guru.
Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu, seperti:
- Prasasti Batu Tulis, Bogor
- Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
- Prasasti Kawali, Ciamis
- Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
- Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor.
- Prasasti Rakryan Juru Pangambat (923 M).
- Prasasti Horren (berasal dari Kerajaan Majapahit)
- Prasasti Citasih (1030 M).
- Prasasti Astanagede (di Kawali, Ciamis).
Kitab Carita
- Kitab Carita Kidung Sundayana. Kitab ini menceritakan kekalahan pasukan Pajajaran dalam pertempuran di Bubat (Majapahit) dan tewasnya Raja Sri Baduga beserta putrinya.
- Kitab Carita Parahyangan. Kitab ini menceritakan bahwa pengganti Raja Sri Baduga setelah Perang Bubat bernama Hyang Wuni Sora.
2. Kehidupan Politik
Berikut adalah raja-raja Pajajaran :
1. Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521)
2. Surawisesa (1521 – 1535)
3. Ratu Dewata (1535 – 1543)
4. Ratu Sakti (1543 – 1551)
5. Raga Mulya (1567 – 1579)
3. Keruntuhan Pajajaran
Kerajaan
Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda
lainnya, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya jaman Pajajaran ditandai
dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari
Pakuan ke Surasowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu
berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik
agar di Pakuan tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan
Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Pajajaran yang sah karena buyut
perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman
Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton
Surasowan di Banten. Orang Banten menyebutnya Watu Gigilang, berarti
mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Saat
itu diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan
kraton lalu menetap di daerah Lebak. Mereka menerapkan tata cara
kehidupan lama yang ketat, dan sekarang mereka dikenal sebagai orang
Baduy.
KERAJAAN MAJAPAHIT
Kerajaan
Majapahit merupakan suatu kerajaan besar yang disegani oleh banyak
negara asing dan membawa keharuman nama Indonesia sampai jauh ke luar
wilayah Indonesia, Majapahit adalah suatu kerajaan yang pernah berdiri
dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M dan berpusat di pulau Jawa bagian
timur. Kerajaan ini pernah menguasai sebagian besar pulau Jawa,
Madura, Bali, dan banyak wilayah lain di Nusantara. Majapahit dapat
dikatakan sebagai kerajaan terbesar di antara kerajaan Hindu-Buddha di
Nusantara dan termasuk yang terakhir sebelum berkembang
kerajaan-kerajaan bercorak Islam di Nusantara.
1. Berdirinya Majapahit
Arca
Harihara, dewa gabungan Siwa dan Wisnu sebagai penggambaran
Kertarajasa. Berlokasi semula di Candi Simping, Blitar, kini menjadi
koleksi Museum Nasional Republik Indonesia.
Sesudah
Singhasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada tahun
1290, kekuasaan Singhasari yang naik menjadi perhatian Kubilai Khan di
China dan dia mengirim duta yang menuntut upeti. Kertanagara penguasa
kerajaan Singhasari menolak untuk membayar upeti dan Khan
memberangkatkan ekspedisi menghukum yang tiba di pantai Jawa tahun 1293.
Ketika itu, seorang pemberontak dari Kediri bernama Jayakatwang sudah
membunuh Kertanagara. Kertarajasa atau Raden Wijaya, yaitu anak menantu
Kertanegara, kemudian bersekutu dengan orang Mongol untuk melawan
Jayakatwang. Setelah Jayakatwang dikalahkan, Raden Wijaya berbalik
menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang
kembali pasukannya secara kalang-kabut.
Pada
tahun 1293 itu pula Raden Wijaya membangun daerah kekuasaannya di
tanah perdikan daerah Tarik, Sidoarjo, dengan pusatnya yang diberi nama
Majapahit. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawarddhana.
2. Lokasi Kerajaan
Lokasi Pusat Kerajaan Majapahit
3. Sumber Sejarah
Sumber informasi mengenai berdiri dan berkembangnya Kerajaan Majapahit berasal dari berbagai sumber yakni:
- Prasasti Butak (1294 M). Prasasti ini dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah ia berhasil naik tahta kerajaan. Prasasti ini memuat peristiwa keruntuhan Kerajaan Singasari dan perjuangan Raden Wijaya untuk mendirikan Kerajaan.
- Kidung Harsawijaya dan Kidung Panji Wijayakrama. Kedua kidung ini menceritakan Raden Wijaya ketika menghadapi musuh dari Kediri dan tahun-tahun awal perkembangan Majapahit.
- Kitab Pararaton, menceritakan tentang pemerintahan raja-raja Singasari dan Majapahit.
- Kitab Negarakertagama, menceritakan tentang perjalanan Raja Hayam Wuruk ke Jawa Timur.
4. Aspek Kehidupan Politik
Raja Kertarajasa Jayawardhana
Raja
Kertanegara wafat pada tahun 1291 M, ketika Keraton Singasari saat itu
diserbu secara mendadak oleh Jayakatwang (keturunan Raja Kediri). Dalam
serangan itu Raden Wijaya, menantu Kertanegara, berhasil meloloskan diri
dan lari ke Madura untuk meminta perlindungan dari Bupati Arya
Wiraraja. Atas bantuan dari Arya Wiraraja ini, Raden Wijaya diterima dan
diampuni oleh Jayakatwang dan diberikan sebidang tanah di Tarik. Daerah
itu kemudian dibangun kembali menjadi sebuah perkampungan dan digunakan
oleh Raden Wijaya untuk mempersiapkan diri dan menyusun kekuatan untuk
sewaktu-waktu mengadakan serangan balasan terhadap Kediri.
Kedatangan
serangan Cina-Mongol yang ingin menaklukan Kertanegara, tidak
disia-siakan oleh Raden Wijaya untuk menyerang Raja Jayakatwang (Raja
Kediri). Raden Wijaya berhasil menipu pasukan-pasukan Cina, sehingga
tentara Cina rela bergabung dengan pasukan Raden Wijaya dan menyerang
Raja Jayakatwang. Raja Jayakatwang dapat dikalahkan dan Kerajaan Kediri
dapat dihancurkan. Kemenangan dari serangan ini membuat tentara
Cina-Mongol bergembira dan merayakan pesta kemenangannya. Namun, bagi
Raden Wijaya kemenangan ini harus berada di pihaknya. Raden Wijaya
kemudian memutuskan untuk menyerang balik tentara-tentara Cina-Mongol
yang sedang pesta pora. Serangan yang tiba-tiba dan tak diduga yang
dilakukan oleh pasukan Raden Wijaya ini membuat tentara Cina-Mongol
menjadi kalang kabut. Banyak yang terbunuh. Yang selamat melarikan diri
dan kembali ke daratan Cina. Akhirnya, di Jawa hanya tinggal satu
kekuatan, yaitu kekuatan dari pasukan Raden Wijaya.
Dengan
lenyapnya pasukan Cina-Mongol, pada tahun 1292 M Kerajaan Majapahit
sudah dapat dianggap berdiri, walaupun secara resmi sistem pemerintahan
Kerajaan majapahit baru berjalan setahun kemudian, yaitu ketika Raden
Wijaya menjadi Raja Majapahit yang pertama dengan gelar Sri Kertajasa
Jayawardhana. Raden Wijaya memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun
1293-1309 M. raden Wijaya sempat memperistri keempat putri Kertanegara,
yaitu Tribhuwana, Narendraduhita, Prajnaparamita, dan Gayatri. Pada awal
pemerintahannya pernah terjadi pemberontakan-pemberontakan yang
dilakukan oleh teman-teman seperjuangan Raden Wijaya seperti Sora,
Ranggalawe, dan Nambi. Pemberontakan-pemberontakan itu diakibatkan
karena rasa tidak puas atas jabatan-jabatan yang diberikan oleh raja.
Akan tetapi, pemberontakan-pemberontakan itu akhirnya dapat dipadamkan.
Raden
Wijaya wafat tahun 1309 M dan dimakamkan dalam dua tempat, yaitu dalam
bentuk Jina (Budha) di Antapura dan dalam bentuk Wisnu dan Siwa di Candi
Simping (dekat Blitar).
Raja Jayanegara
Raja Raden Wijaya wafat meninggalkan seorang putra yang bernama Kala Gemet. Putra ini diangkat menjadi
Raja Majapahit dengan gelar Sri Jayanegara pada tahun 1309 M.
Jayanegara
memerintah Majapahit dari tahun 1309-1328 M. Masa pemerintahan
Jayanegara penuh dengan pemberontakan dan juga dikenal sebagai suatumasa
yang suram di dalam sejarah Kerajaan Majapahit.
Pemberontakan-pemberontakan itu datang dari Juru Demung (1313 M), Gajah
Biru (1314 M), Nambi (1316 M), dan Kuti (1319 M).
Pemberontakan
Kuti merupakan pemberontakan yang paling berbahaya dan hampir
meruntuhkan Kerajaan Majapahit. Raja Jayanegara terpaksa mengungsi ke
desa Bedander yang diikuti oleh sejumlah pasukan bayangkara (pengawal
pribadi raja) di bawah pimpinan Gajah Mada. Setelah beberapa hari
menetap di desa Bedander maka Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk
meninjau suasana.
Setelah
diketahui keadaan rakyat dan para bangsawan istana tidak setuju dan
bahkan sangat benci kepada Kuti, Gajah Mada akhirnya merencanakan suatu
siasat untuk melakukan serangan terhadap Kuti. Berkat ketangkasan dan
siasat yang jitu dari Gajah Mada, Kuti dan kawan-kawannya dapat
dilenyapkan.
Raja
Jayanegara dapat kembali lagi ke Istana dan menduduki tahta Kerajaan
Majapahit. Sebagai penghargaan atas jasa Gajah Mada, maka ia langsung
diangkat menjadi patih di kahuripan (1319-1321), tidak lama kemudian
diangkat menjadi patih di Kediri (1322-1330).
Ratu Tribhuwanatunggadewi
Raja
Jayanegara meninggal dengan tidak meninggalkan seorang putra mahkota.
Tahta Kerajaan Majapahit jatuh ke tangan Gayatri, putri Raja Kertanegara
yang masih hidup. Namun, karena ia sudah menjadi seorang pertapa, tahta
kerajaan diserahkan kepada putrinya yang bernama Tribhuwanatunggadewi.
ia menjadi ratu atas nama atau mewakili ibunya, Gayatri.
Tribhuwanatunggadewi memerintah Kerajaan Majapahit dari tahun 1328-1350
M. pada masa pemerintahannya, meletus pemberontakan Sadeng (1331 M).
pimpinan pemberontak tidak diketahui. Nama Sadeng sendiri adalah nama
sebuah daerah yang terletak di Jawa Timur. Pemberontakan Sadeng dapat
dipadamkan oleh Gajah Mada dan Adityawarman. Karena jasa dan
kecakapannya, Gajah Mada diangkat menjadi Patih Mangkubhumi Majapahit
menggantikan Arya Tadah. Sejak saat itu, Gajah Mada menjadi pejabat
pemerintahan tertinggi sesudah raja. Ia mempunyai wewenang untuk
menetapkan politik pemerintahan Majapahit.
Raja Hayam Wuruk
Raja
Hayam Wuruk yang terlahir dari perkawinan Tribhuwanatunggadewi dengan
Cakradara (Kertawardhana) adalah seorang raja yang mempunyai pandangan
luas. Kebijakan politik Hayam Wuruk banyak mengalami kesamaan dengan
politik Gajah Mada, yaitu mencita-citakan persatuan Nusantara berada di
bawah panji Kerajaan Majapahit. Hayam Wuruk memerintah Kerajaan
Majapahit dari tahun 1350-1389 M. Pada masa pemerintahannya, Gajah Mada
tetap merupakan salah satu tiang utama Kerajaan majapahit dalam mencapai
kejayaannya. Bahkan Kerajaan Majapahit dapat disebut sebagai kerajaan
nasional setelah Kerajaan Sriwijaya.
Selama
hidupnya, patih Gajah Mada menjalankan Politik Persatuan Nusantara.
Cita-citanya dijalankan dengan begitu tegas, sehingga menimbulkan
peristiwa pahit yang dikenal dengan Peristiwa Sunda (Peristiwa Bubat).
Peristiwa Sunda terjadi tahun 1351 M, berawal dari usaha Raja Hayam
Wuruk untuk meminang putri dari Pajajaran, Dyah Pitaloka. Lamaran itu
diterima oleh Sri Baduga. Raja Sri Baduga beserta putri dan pengikutnya
pergi ke Majapahit, dan beristirahat di lapangan Bubat dekat pintu
gerbang Majapahit. Selanjutnya timbul perselisihan paham antara Gajah
Mada dan pimpinan Laskar Pajajaran, karena Gajah Mada ingin menggunakan
kesempatan ini agar Pajajaran mau mengakui kedaulatan Majapahit, yakni
dengan menjadikan putri Dyah Pitaloka sebagai selir Raja Hayam Wuruk dan
bukan sebagai permaisuri. Hal ini tidak dapat diterima oleh Pajajaran
karena dianggap merendahkan derajat. Akhirnya pecah pertempuran yang
mengakibatkan terbunuhnya Sri baduga dengan putrinya dan seluruh
pengikutnya di Lapangan Bubat.
kibat
peristiwa itu, politik Gajah Mada mengalami kegagalan, karena dengan
adanya peristiwa Bubat belum berarti Pajajaran sudah menjadi wilayah
Kerajaan Majapahit. Bahkan Kerajaan Pajajaran terus berkembang secara
terpisah dari Kerajaan Majapahit. Ketika Gajah Mada wafat tahun 1364 M,
Raja Hayam Wuruk kehilangan pegangan dan orang yang sangat diandalkan di
dalam memerintah kerajaan. Wafatnya Gajah Mada dapat dikatakan sebagai
detik-detik awal dari keruntuhan Kerajaan Majapahit. Setelah Gajah Mada
wafat, Raja Hayam Wuruk mengadakan sidang Dewan Sapta Prabu untuk
memutuskan pengganti Patih Gajah Mada. Namun, tidak satu orang pun yang
sanggup menggantikan Patih Gajah Mada. Kemudian diangkatlah empat orang
menteri di bawah pimpinan Punala Tanding. Hal itu tidak berlangsung
lama. Keempat orang menteri tersebut digantikan oleh dua orang menteri,
yaitu Gajah Enggon dan Gajah Manguri. Akhirnya Hayam Wuruk memutuskan
untuk mengangkat Gajah Enggon sebagai patih mangkubumi menggantikan
posisi Gajah Mada.
Keadaan
Kerajaan Majapahit seakan-akan semakin bertambah suram, sehubungan
dengan wafatnya Tribhuwanatunggadewi (ibunda Raja Hayam Wuruk) tahun
1379 M. Kerajaan Majapahit semakin kehilangan pembantu-pembantu yang
cakap. Kemunduran Kerajaan Majapahit semakin jelas setelah wafatnya Raja
Hayam Wuruk tahun 1389 M. Berakhirlah masa kejayaan Majapahit.
Sumpah Palapa
Pada
masa pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi terjadi pemberontakan yang
dikenal dengan nama pemberontakan Sadeng. Pada waktu itu yang menjadi
perdana menteri adalah Arya Tadah. Karena terganggu kesehatannya, Arya
Tadah mengusulkan agar Gajah Mada diangkat menjadi Panglima Majapahit.
Usul
Arya Tadah itu diterima oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi dan selanjutnya
Gajah Mada diangkat menjadi pemimpin pasukan Kerajaan Majapahit untuk
memadamkan pemberontakan Sadeng. Namun ketika Gajah Mada sedang
membicarakan siasat perang ia mendapat rintangan dari seorang menteri
kerajaan yang bernama Ra Kembar (pihak golongan Dharmaputra). Gajah Mada
tidak menghiraukan rintangan itu dan atas bantuan dari pasukan Melayu
yang dipimpin oleh Adityawarman, pemberontakan sadeng dapat dipadamkan.
Sebagai penghargaan atas jasanya itu, pada tahun 1331 M Gajah Mada
diangkat menjadi Mangkubumi Majapahit. Ia menggantikan kedudukan Arya
Tadah.
Saat
upacara pelantikan, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya dengan nama Sumpah
Palapa (lengkapnya Tan Amukti Palapa) yang menyatakan Gajah Mada tidak
akan hidup mewah sebelum Nusantara berhasil dipersatukan di bawah panji
Kerajaan Majapahit. Untuk mencapai Persatuan Nusantara, berbagai macam
cara dilakukan Gajah Mada. Bahkan selama hidupnya, Gajah Mada selalu
mencurahkan segala kemampuan yang dimilikinya untuk mencapai tujuannya
itu. Cita-cita yang dijalankannya begitu tegas itu menimbulkan peristiwa
yang sangat pahit, yaitu Peristiwa Bubat atau Peristiwa Sunda. Gajah
Mada wafat tahun 1364 M. Dengan wafatnya Gajah Mada, Kerajaan Majapahit
kehilangan seorang yang sangat diandalkan dan sulit dicarikan gantinya
Raja-raja Majapahit
Berikut
adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat periode
kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan
Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang
memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok
1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328)
3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
6. Suhita (1429 - 1447)
7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
10. Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
11. Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
5. Kejayaan Majapahit
Penguasa
Majapahit paling utama ialah Hayam Wuruk, yang memerintah dari tahun
1350 hingga 1389. Pada masanya, keraton Majapahit diperkirakan telah
dipindahkan ke Trowulan (sekarang masuk wilayah Mojokerto).
Gajah
Mada, seorang patih dan bupati Majapahit dari 1331 ke 1364, memperluas
kekuasaan kekaisaran ke pulau sekitarnya. Pada tahun 1377, yaitu
beberapa tahun sesudah kematian Gajah Mada, angkatan laut Majapahit
menduduki Palembang[4], menaklukkan daerah terakhir kerajaan Sriwijaya.
Menurut
Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit
meliputi hampir seluas wilayah Indonesia modern, termasuk daerah-daerah
Sumatra di bagian barat dan di bagian timur Maluku serta sebagian Papua
(Wanin), dan beberapa negara Asia Tenggara[5]. Namun demikian, batasan
alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut
tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi
terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa
monopoli oleh raja[4]. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa,
Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim
duta-dutanya ke China
6. Kemunduran Kerajaan Majapahit
Setelah
pemerintahan Raja Hayam Wuruk, keadaan Kerajaan Majapahit mengalami
masa kemunduran. Pengganti Hayam Wuruk adalah menantunya yang bernama
Wikrama Wardhana (1389-1429 M) suami dari Kusumawardhani (putri yang
terlahir dari permaisuri). Namun, Hayam Wuruk juga mempunyai seorang
anak laki-laki yang dilahirkan dari selir, bernama Wirabhumi. Ia diberi
daerah kekuasaan di ujung timur Pulau Jawa yang bernama daerah
Blambangan. Pada mulanya hubungan antara Wikrama Wardhana dan Wirabhumi
berjalan dengan baik. Wirabhumi tetap mengakui kekuasaan pemerintahan
pusat. Sekitar tahun 1400 M hubungan itu mulai retak sehingga
mengakibatkan Perang Paregreg (1401-1406 M).
Meletusnya
Perang Paregreg disebabkan Wirabhumi tidak puas dengan pengangkatan
Suhita menjadi raja menggantikan Wikrama Wardhana. Dalam perang Paregreg
itu, Wirabhumi berhasil dikalahkan (peristiwa ini menjadi dasar cerita
Damarwulan-Minakjinggo).
7. Kehidupan Ekonomi
Majapahit
selalu menjalankan politik bertetangga yang baik dengan kerajaan asing,
seperti Kerajaan Cina, Ayodya (Siam), Champa, dan Kamboja. Hal itu
terbukti sekitar tahun 1370-1381 Majapahit telah beberapa kali mengirim
utusan persahabatan ke Cina. Hal itu diketahui dari berita kronik Cina
dari Dinasti Ming.
Hubungan
persahabatan yang dijalin dengan negara tetangga itu sangat penting
artinya bagi Kerajaan Majapahit. Khususnya dalam bidang perekonomian
(pelayaran dan perdagangan) karena wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit
terdiri atas pulau dan daerah kepulauan serta sebagai sumber barang
dagangan yang sangat laku di pasaran pada saat itu. Barang dagangan yang
dipasarkan antara lain beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan,
cengkeh, pala, kapas dan kayu cendana.
Dalam
dunia perdagangan Kerajaan Majapahit memegang dua peranan yang sangat
penting, yaitu sebagai kerajaan produsen dan sebagai kerajaan perantara.
8. Kehidupan Budaya
Gapura Bajangratu, diduga kuat menjadi gerbang masuk keraton Majapahit. Bangunan ini masih tegak berdiri di kompleks Trowulan.
Ibu
kota Majapahit di Trowulan merupakan kota besar dan terkenal dengan
perayaan besar keagamaan yang diselenggarakan setiap tahun. Agama
Buddha, Siwa, dan Waisnawa (pemuja Wisnu) dipeluk oleh penduduk
Majapahit, dan raja dianggap sekaligus titisan Buddha, Siwa, maupun
Wisnu. Nagarakertagama tidak menyebut keberadaan Islam, namun tampaknya
ada anggota keluarga istana yang beragama Islam pada waktu itu.
Walaupun
batu bata telah digunakan dalam candi pada masa sebelumnya, arsitek
Majapahitlah yang paling ahli menggunakannya. Candi-candi Majapahit
berkualitas baik secara geometris dengan memanfaatkan getah pohon anggur
dan gula merah sebagai perekat batu bata. Contoh candi Majapahit yang
masih dapat ditemui sekarang adalah Candi Tikus dan Candi Bajangratu di
Trowulan, Mojokerto
Bukti-bukti perkembangan kebudayaan di Kerajaan Majapahit dapat diketahui melalui peninggalan-peninggalan berikut.
Candi
Antara
lain Candi Panataran (Blitar), Candi Tegalwangi dan Surawana (Pare,
Kediri), Candi Sawentar (Blitar), Candi Sumberjati (blitar), Candi Tikus
(Trowulan), dan bangunan-bangunan purba lainnya yang terdapat di daerah
Trowulan.
Sastra
Hasil sastra zaman Majapahit awal di antaranya:
- Kitab Negarakertagama, karangan Mpu Prapanca (tahun 1365).
- Kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular.
- Kitab Arjunawiwaha, karangan Mpu Tantular.
- Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui pengarangnya.
- Kitab Parthayajna, tidak diketahui pengarangnya
Arca
Arca pertapa Hindu dari masa Majapahit akhir. Koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman
9. Struktur pemerintahan
Majapahit
memiliki struktur pemerintahan dan susunan birokrasi yang teratur pada
masa pemerintahan Hayam Wuruk, dan tampaknya struktur dan birokrasi
tersebut tidak banyak berubah selama perkembangan sejarahnya[12]. Raja
dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia dan ia memegang otoritas
politik tertinggi
Aparat birokrasi
Raja
dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi dalam melaksanakan
pemerintahan, dengan para putra dan kerabat dekat raja memiliki
kedudukan tinggi. Perintah raja biasanya diturunkan kepada
pejabat-pejabat di bawahnya, antara lain yaitu:
- Rakryan Mahamantri Katrini, biasanya dijabat putra-putra raja
- Rakryan Mantri ri Pakira-kiran, dewan menteri yang melaksanakan pemerintahan
- Dharmmadhyaksa, para pejabat hukum keagamaan
- Dharmma-upapatti, para pejabat keagamaan
Dalam
Rakryan Mantri ri Pakira-kiran terdapat seorang pejabat yang terpenting
yaitu Rakryan Mapatih atau Patih Hamangkubhumi. Pejabat ini dapat
dikatakan sebagai perdana menteri yang bersama-sama raja dapat ikut
melaksanakan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu, terdapat pula
semacam dewan pertimbangan kerajaan yang anggotanya para sanak saudara
raja, yang disebut Bhattara Saptaprabhu.
Pembagian wilayah
Di
bawah raja Majapahit terdapat pula sejumlah raja daerah, yang disebut
Paduka Bhattara. Mereka biasanya merupakan saudara atau kerabat dekat
raja dan bertugas dalam mengumpulkan penghasilan kerajaan, penyerahan
upeti, dan pertahanan kerajaan di wilayahnya masing-masing.
Dalam Prasasti Wingun Pitu (1447 M) disebutkan bahwa pemerintahan
Majapahit dibagi menjadi 14 daerah bawahan, yang dipimpin oleh seseorang
yang bergelar Bhre. Daerah-daerah bawahan tersebut yaitu:
1. Daha
2. Jagaraga
3. Kabalan
4. Kahuripan
5. Keling
6. Kelinggapura
7. Kembang Jenar
8. Matahun
9. Pajang
10. Singhapura
11. Tanjungpura
12. Tumapel
13. Wengker