Zuhud
Zuhud adalah suatu sikap memalingkan diri dari dunia atau melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan akhirat. Keberpalingan ini karena menganggap dunia hina atau menjauhinya karena dosa. Pada tingkat yang tinggi, seorang zahid akan memandang segala sesuatu kecuali Allah, tidak berharga. Karena itu ia akan menjaga hatinya dari segala yang dapat memalingkannya dari Allah. Sejalan dengan ini, Abu Usman menyatakan bahwa zuhud adalah engkau tinggalkan dunia, kemudian kamu tidak perduli siapapun yang mengambilnya.
Syekh Abdul Wahab mengingatkan murid-muridnya agar “jangan bermegah-megah dengan dunia dan kebesarannya…jangan mengumpulkan harta benda banyak-banyak dan jangan dibanyakkan memakai pakaian yang halus Harta yang banyak, melebihi kebutuhan yang diperlukan hanya akan mendatangkan kelalaian hati dari berzikir kepada Allah.
Kesenangan dunia ini hakikatnya hanyalah sebentar, sekejap mata. Tempat yang abadi itu adalah akhirat. Karena itu hendaklah kita banyak-banyak membawa bekal pulang ke akhirat, jangan sampai terpedaya dengan hawa nafsu yang mengajak pada keburukan dan kejahatan. Ingatlah kisah-kisah orang yang memperturutkan hawa nafsunya, akhirnya mereka rugi dunia dan akhirat Selagi masih hidup, lebih baik berbuat bakti kepada Tuhan dan kepada hamba-hamba-Nya. Hidup bukan sekedar mencari harta untuk pengisi peti (keranda jenazah).
Negeri akhirat tempat menanti
Baiklah kita berbuat bakti
Sementara hidup sebelum mati
Jangan mencari harta pengisi peti
Mengenai kezuhudan Syekh Abdul Wahab, H.A Fuad Said menceritakan, suatu kali Abdul Wahab berlayar menuju Siak Indra Pura, Riau. Di sini ia dan rombongan dijamu –sebagaimana adat Melayu- oleh Sultan Kasim Abdul Jalil Saifuddin Ba’alawi dengan tepak sirih yang terbuat dari emas. Ulama-Ulama lain yang berasal dari Hadhramaut dengan senang hati mencicipi sirih yang disuguhkan oleh Sultan. Lain halnya dengan Syekh Abdul Wahab. Ia dengan rendah hati menolak sambil mengatakan bahwa mereka (para ulama tersebut) mungkin sudah mendapatkan alasan dan dalil yang membolehkan, tetapi saya belum mendapatkannya. Ia baru mencicipi sirih tersebut setelah tepak diganti dengan tepak biasa yang terbuat dari kayu. Selanjutnya ia dengan penuh kesantunan memberikan nasehat –intinya tentang zuhud- kepada Sultan dan hadirin yang lain. Sultan Kasim Abdul Jalil sedikitpun tidak menyangkal apa yang disampaikan, bahkan membenarkannya, hanya menurutnya saat ini hal itu belum bisa ia lakukan, masih sibuk dan belum ada kelapangan waktu. Syekh Abdul Wahab dengan mengutip al-Quran Surat At-Takatsur kemudian menjelaskan bahwa harta yang banyak memang dapat melalaikan orang dari mengingat kematian dan alam kubur.
Syekh Abdul Wahab -dalam mempraktekkan kezuhudan ini- telah membuat peraturan untuk seluruh penduduk yang tinggal menetap di Babussalam saat itu. Seluruh penduduk dilarang merokok di tempat umum, tidak memakai tempat tidur yang terbuat dari besi dan tidak boleh mengutamakan kemewahan dunia karena semua harta ini akan ditinggalkan apabila ajal menjemput. Demikian pula kaum wanita dilarang memakai perhiasan yang mencolok dan dilarang bertindik (memakai perhiasan anting-anting di telinga). Ia sendiri, makan dalam piring kayu atau upih (daun yang berasal dari pohon pinang), serta minum dalam tempurung. Para pembesar dan Sultan yang datang mengunjunginya juga disuguhinya makanan dan minuman dalam wadah yang sama
Dalam hal tata busana, Syekh Abdul Wahab mengingatkan untuk berpakaian sederhana, tidak mencolok, yang penting bersih dan suci serta tidak merasa tinggi hati (takabbur) dengan pakaian yang dikenakan. Karena itu jika berpakaian lengkap, jangan lupa untuk mengenakan pakaian buruk (jelek) bersamanya.
“Jika memakai pakaian yang lengkap, maka pakailah pakaian yang buruk di dalamnya, yang antaranya yang buruk itu sebelah atas.”
Zuhud yang merupakan sikap memalingkan diri dari dunia atau menghilangkan dunia dari dalam hati berarti menghilangkan kecintaan pada dunia dan segala perhiasannya. Cinta pada dunia (hubb ad-dunya) sesungguhnya adalah hijab yang menjauhkan seseorang dari Tuhan. Rasulullah Saw. bahkan menegaskan bahwa hubb ad-dunya adalah salah satu dari dua penyakit hat yang dapat melemahkan jiwa dan semangat umat untuk berjuang di jalan Allah. Penyakit ini tidak boleh didiamkan apalagi bersarang terlalu lama dalam diri seseorang. Agar tidak membawa pada kerusakan yang besar, harus segera dicari obat untuk kesembuhannya. Kesembuhan penyakit ini, menurut Syekh Abdul Wahab, memerlukan penanganan yang intensif dari seorang ‘arif bi Allah, “thabib yang maqbul doanya” agar penyakit ini dapat teratasi dan “sembuh dengan segeranya”.
Tipu dunia terlalu besarnya
Tiadalah ingat pula kenanya
Cari thabib yang maqbul doanya
Supaya sembuh dengan segeranya
Namun demikian, bagi Abdul Wahab, zuhud itu bukan berarti tidak mempunyai penghidupan di dunia. Mencari nafkah yang halal dengan usaha sendiri merupakan hal yang penting dan sangat dianjurkannya. Apabila sudah memiliki harta dan kemuliaan, diingatkan untuk berbagi dengan sesama.
“Hai sekalian orang yang kaya-kaya yang dapat pangkat dan kemuliaan. Hendaklah kuat beramal dan beribadah serta banyakkan bersedekah dan berwakaf supaya kekal kayanya itu dari dunia sampai ke akhirat.
Anjuran mencari nafkah penghidupan ditegaskannya dengan cara yang sangat lazim dilakukan saat itu yakni bertani, berladang dan menjadi ‘amil. Bahkan bagi yang ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar ia menganjurkan untuk berniaga (berdagang/berjualan) dengan melakukan syarikat (perkongsian/kerjasama) dengan orang lain.
“Jangan kamu berniaga sendiri, tetapi hendaklah bersyarikat. Dalam mencari nafkah hendaklah bertani, berladang, menjadi ‘amil dan sebagainya…”
Mencari harta benda bukanlah merupakan hal yang terlarang dalam agama, bahkan dianjurkan seperti yang dijelaskan Alquran dalam al-Qashash ayat 77.
“Carilah pada apa yang telah dianugerahkan oleh Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi. Dan berbuat ihsan-lah sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”
Karena itu, mencari dan mendapatkan kekayaan dunia tidak dilarang oleh Syekh Abdul Wahab. Ia tetap mengingatkan agar kekhusyu’an hati dan amal ibadah tidak boleh terganggu hanya karena kemewahan duniawi. Mereka yang hidup dengan harta yang berlimpah sementara amal ibadah berkurang, sesungguhnya sedang mengikuti jalan syaitan dan iblis, jalan yang seharusnya ditinggalkan. Dengan nada setengah bertanya ia menasehatkan, “apa faedahnya harta bertambah sementara umur berkurang dan dekat kepada kematian”.
“Janganlah kamu suka dengan hartamu yang bertambah banyak sedangkan amal ibadahmu berkurang, karena itu kehendak syaitan dan iblis. Apa faedahnya harta bertambah, umur berkurang, dekat kepada mati.”
Meskipun tidak dilarangnya orang mencari kekayaan yang banyak, namun Syekh Abdul Wahab mengingatkan bahwa orang yang memiliki harta kekayaan akan disenangi oleh pengintai yang ingin mengambil hartanya. Akibat dari semua ini, hidup akan merasa terbelenggu dengan kekayaan dan kemewahan karena waktu tersita untuk menjaga dan merawatnya. Kondisi ini sesungguhnya berawal dari diri yang tidak dapat mengendalikan keinginan hawa nafsu. Dingatkannya, jika tidak bersungguh-sungguh melawan dan menolak keinginan hawa nafsu, maka bersiaplah untuk “menyesal di kemudian harinya”.
Jikalau peti banyak isinya
Banyak pencuri ingin mengambilnya
Bersungguh-sungguh kita melawannya
Jangan menyesal kemudian harinya
Menurut Syekh Abdul Wahab, tidak mudah memalingkan diri dari kemewahan dunia apalagi bagi mereka yang tidak mengetahui apa dan bagaimana dunia itu sebenarnya. Namun bagi mereka yang telah mengikuti serta mengamalkan tarekat dengan benar, beribadah (suluk) dengan lurus, maka ia akan mengetahui bahaya dan kerugian dunia. Orang yang seperti ini akan tahu bahwa dunia “tidaklah boleh dibuat sahabat”.
Siapa orang ahli thariqat
Serta amalkan ibadahnya kuat
Tahulah dia dunia banyak mudharat
Tidaklah boleh dibuat sahabat
Zuhud yang dinyatakan oleh Syekh Abdul Wahab ini, tampaknya sejalan dengan apa yang disebutkan oleh Ibn Qudamah al-Maqdisi dalam kitab Mukhtashar Minhaj al-Qashidin. Menurutnya, zuhud adalah gambaran tentang menghindari dari mencintai sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Dengan kata lain, zuhud adalah menghindari dunia karena tahu akan kehinaannya bila dibandingkan dengan kehidupan akhirat]
Syekh Abdul Qadir al-Jailani, seperti yang dikutip oleh Said bin Musfir Al-Qahthani menegaskan “tidaklah sampai orang-orang yang telah sampai (kepada Allah) itu kecuali dengan ilmu dan kezuhudan terhadap dunia serta berpaling darinya dengan hati dan rasa.”
Seseorang yang telah “mengetahui rasanya”, membersihkan niat dan tujuannya dari kepentingan duniawi apapun maka akan berubahlah “segala thabi’at-nya” (kebiasaan-kebiasaan buruknya), sehingga seluruh gerak kehidupannya menjadi amal shalih dengan niat dan tujuan yang baik.
Barangsiapa mengetahui rasanya
Niscaya berubah segala thabi’atnya
Sedikit tak mengambil akan dunianya
Ke akhirat juga banyak tuntutannya
Seorang mukmin sesungguhnya mempunyai tujuan yang baik di semua perilakunya. Ia bekerja di dunia bukan untuk dunia, melainkan membangun dunia untuk akhirat. Jika ia melakukan yang lain, tujuannya adalah untuk keluarga, fakir miskin dan apa yang seharusnya ia perlukan dalam kehidupan. Dia melakukan semua itu supaya kelak diberikan ganjaran di akhirat. Dia tidak menuntut apapun di dunia, “ke akhirat juga banyak tuntutannya”.
No comments:
Post a Comment