Proteksionisme
adalah pola sikap atau kecenderungan suatu negara untuk memberikan
perlindungan bagi hasil produksi dalam negeri dengan mengambil langkah
membatasi masuknya barang impor.Kebijakan membatasi impor itu disebut
kebijakan proteksionistik.(Drs. T. May Rudy, S.H., MIR., M.Sc., 2002)
- Larangan impor secara mutlak (yang berarti tidak ada impor sama sekali).
- Pembatasan impor secara kuantitatif dengan penerapan kuota.
- Pemberian subtitusi impor.
- Peraturan atau ketentuan teknis untuk impor produk tertentu yang berkaitan dengan masalah-masalah seperti kesehatan (misalnya keharusan karantina), pertahanan dan keamanan, kebudayaan dan lingkungan, perizinan impor (penerapan lisensi impor), embargo, hambatan pemasaran, pengawasan kontrol devisa, berbagai macam peraturan bea cukai (seperti penetapan harga pabean, prosedur/tata laksana impor tertentu, penetapan kurs valas, pungutan administrasi, regulasi mengenai packaging atau labeling dan peraturan mengenai pengadaan dokumentasi), regulasi mengenai standarisasi, pengujian kualitas, pemeriksaan sebelum pengapalan di negara eksportir dan masih banyak lagi. (Dr. Tulus T.H Tambunan, 2004)
Tujuan
dari kebijakan proteksionis adalah untuk memperluas produksi dalam
negeri yang dilindungi, menguntungkan pemilik, pekerja, dan pemasok
sumber daya untuk industri yang dilindungi negara.Pemerintah dapat
mengambil manfaat dari kebijakan ini dalam bentuk pendapatan tarif.
Perluasan
produksidalam negeri pada industri yang dilindungi membutuhkan sumber
daya tambahan dari industri lain. Akibatnya, output domestik lainnya
berkurang.Industri-industri ini juga dibuat kurang kompetitif karena
harga yang lebih tinggi untuk barang-barang yang diimpor.Kebijakan ini
dapat meningkatkan harga produk yang dilindungi sehingga merugikan
konsumen dalam negeri karena berkurangnya konsumsi terkait dengan
kenaikan harga.
Produsen
dalam negeri yang dilindungi dan pemerintah akan diuntungkan (jika
dikenakan tarif), konsumen dan produsen dalam negeri lainnya akan rugi.
Bunga internasionalnya juga dipengaruhi oleh pembatasan perdagangan.
Kebijakan ini akan merugikan beberapa negara-negara produsen, mungkin
juga bermanfaat bagi produsen lainnya. Misalnya, jika kuota ditempatkan
pada impor, beberapa negara produsen dapat mendapatkan harga yang lebih
tinggi untuk ekspor mereka ke pasar yang dilindungi.(Jeffry A. Frieden,
2000)
Melihat
dari sisi proteksionisme, kebijakan ini secara langsung berdampak pada
upaya pemerintah Indonesia dalam memaksimalkan kinerja ekspor produk
kayu yang sesuai dengan ketentuan Lacey Act. Prosedur yang dijalankan
membutuhkan proses yang panjang sehingga permintaan pasar AS akan
terhambat karena hal tersebut.
Dari
pembahasan sebelumnya mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan oleh
proteksionis, Indonesia dapat menaikkan harga produk kayu yang telah
memenuhi syarat legalitas karena melalui tahapan-tahapan yang panjang,
mengingat bahwa jika produk kayu yang diekspor merupakan hasil dari
pembalakan liar ataupun perdagangan kayu ilegal, harga lebih murah dan
prosedur lebih cepat. Di satu sisi memang ada keuntungan yang diambil
dari Indonesia, yakni peningkatan mutu dan harga.Akan tetapi di sisi
lain, proses pemenuhan standarisasi legalitas kayu dapat menghambat
ekspor komoditi kayu Indonesia ke AS, sedangkan hambatan domestiknya ada
kendala pada biaya pendaftaran legalitas untuk pengusaha kayu Indonesia
khususnya Usaha Kecil Menengah (UKM).
Konsep Ekolabel
Kerusakan
hutan (deforestasi) yang makin pesat di negara-negara tropis, termasuk
Indonesia, dalam arti kata berkurangnya luas hutan atau mutu hutan,
akhir-akhir ini menjadi masalah yang sangat merisaukan di Indonesia
maupun di mancanegara. Seiring dengan keprihatinan yang makin besar pada
masalah lingkungan di dunia, khususnya di negara-negara maju, maka
masalah lingkungan kini juga makin mempengaruhi kebijakan ekonomi dan
perdagangan luar negeri di negara-negara tersebut.
Hal
ini tercermin pada hasrat untuk memberikan informasi yang lebih lengkap
kepada para konsumen di negara-negara tersebut mengenai barang-barang
yang mereka beli, termasuk barang-barang olahan kayu yang diimpor.
Informasi ini bukan saja meliputi informasi mengenai ciri-ciri
barang-barang yang mereka beli, misalnya yang dapat mempengaruhi
kesehatan mereka, melainkan juga mengenai dampak dari proses produksi
barang tertentu atas lingkungan. Prosedur atau cara untuk menyampaikan
informasi yang dapat dipercayai kepada masyarakat luas mengenai
ciri-ciri lingkungan dari sesuatu barang tersebut ‘pemberian ekolabel’
(ekolabelling).
Pada
dasarnya ada tiga tujuan utama dari sistem ekolabel yang saling
berbeda, yaitu: (1) untuk memberikan informasi yang lebih baik kepada
konsumen (pembeli kayu atau barang kayu) mengenai dampak atas lingkungan
dari kayu atau barang kayu yang dibelinya; (2) untuk meningkatkan
standar lingkungan dalam proses menghasilkan kayu dan/atau barang kayu
dan; (3) untuk memberikan keunggulan kompetitif dalam perdagangan
internasional kepada para produsen kayu di mana ekolabel diberikan
dibanding dengan produsen kayu lainnya yang tidak memperoleh ekolabel.
(Anil Makandya, 1997)
Dalam
hal perdagangan kayu tropis, keprihatinan negara-negara maju tentang
kaitan antara perdagangan kayu dari negara-negara tropis dan produk kayu
tropis serta kerusakan hutan telah menimbulkan tuntutan di
negara-negara maju untuk menggunakan peraturan perdagangan internasional
sebagai suatu cara yang ampuh untuk mempengaruhi proses produksi di
negara-negara pengekspor kayu dan produk kayu.
Selama
dasawarsa tahun 1980-an, negara-negara maju muncul berbagai tuntutan
untuk melarang impor kayu tropis, malahan muncul gerakan untuk memboikot
perdagangan kayu dan barang kayu tropis jika kayu tropis ini tidak
dihasilkan dengan cara yang menjamin kelestarian hutan tropis. Tuntutan
dan gerakan ini pada mulanya kurang berhasil, dan juga menimbulkan
kontroversi di negara-negara tersebut akan tetapi kemudian sertifikasi
kayu tropis (tropical timber certification, TC) dengan pemberian
ekolabel dinilai sebagai alat yang lebih efektif untuk mendorong praktek
penebangan hutan yang lebih baik untuk menjamin kelestarian hutan.
(Rachel Crossley, Carlos A. Primo Braga & Panayotis N. Varangis,
2007)
Jika
dikaitkan dengan pembahasan pada proteksionis sebelumnya mengenai
peningkatan mutu dan kualitas, maka ekolabel digunakan untuk pelabelan
produk-produk kayu agar dapat sesuai standar legalitas yang disepakati.
Kedua negara menyadari dampak buruk akibat pemanasan global oleh
kerusakan hutan dan telah menyatakan komitmennya untuk mengatasi bahkan
berupaya mengurangi kerusakan hutan akibat kegiatan pembalakan liar.
Selain itu, kerugian negara akibat perdagangan kayu ilegal pun patut
diatasi oleh Indonesia secara internal maupun AS melalui kebijakan
berupa Lacey Act.
Untuk
mengatasi hal tersebut, pemerintah Indonesia telah mendirikan dan
berkoordinasi dengan LEI yang telah membentuk sistem sertifikasi hutan
lestari (Ekolabel) secara bertahap yang ditujukan kepada
perusahaan-perusahaan kayu di Indonesia.Dengan memperoleh sertifikasi
yang sah secara nasional dan internasional, para pengusaha akan dapat
dengan mudah mengekspor produk kayu terutama ke negara-negara pengimpor
utama dengan kebijakan maupun komitmen kerjasama mengenai legalitas
kayu. Selain itu juga mengurangi dominasi lembaga atau organisasi asing
untuk mengatasi masalah labelling di Indonesia.
Apabila upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam memenuhi tuntutan Lacey Act terhadap ekspor produk kayu Indonesia ke AS dapat berjalan dengan baik, maka peluang kerjasama akan semakin besar. Mengingat bahwa, jika saja Indonesia telibat dalam kasus-kasus yang menyangkut pembalakan liar (misalnya ekspor produk kayu dari negara lain ke AS tetapi menggunakan kayu hasil pembalakan liar di Indonesia), maka Indonesia juga harus menghadapi konsekuensinya bahkan yang terburuk sekalipun, seperti pemutusan kerjasama ekspor produk kayu dengan AS, tentu saja sangat merugikan bagi kedua negara.
Apabila upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam memenuhi tuntutan Lacey Act terhadap ekspor produk kayu Indonesia ke AS dapat berjalan dengan baik, maka peluang kerjasama akan semakin besar. Mengingat bahwa, jika saja Indonesia telibat dalam kasus-kasus yang menyangkut pembalakan liar (misalnya ekspor produk kayu dari negara lain ke AS tetapi menggunakan kayu hasil pembalakan liar di Indonesia), maka Indonesia juga harus menghadapi konsekuensinya bahkan yang terburuk sekalipun, seperti pemutusan kerjasama ekspor produk kayu dengan AS, tentu saja sangat merugikan bagi kedua negara.
No comments:
Post a Comment