Monday, 10 April 2017

DIALEKTIKA HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN

DIALEKTIKA HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN
Abstrak
Hukum dan kekuasaan mempunyai hubungan yang sangat erat, hubungan itu dapat di gambarkan seperti satu mata uang dengan dua sisi. Hubungan simbolik hukum dan kekuasaan melahirkan hubungan fungsional di antara keduanya. Kekuasaan menpunyai fungsi sebagai alat untuk membentuk hukum, menegakan hukum, dan melaksanakan hukum. Sedangkan fungsi hukum terhadap kekuasaan meliputi alat untuk melegalisasi atau menjustifikasi kekuasaan, alat untuk mengatur dan mengontrol kekuasaan, dan juga alat untuk mengawasi dan mewadahi pertanggungjawaban kekuasaan.
Kata kunci: hukum, kekuasaan, hubungan fungsional, pertanggungjawaban kekuasaan

Kekuasaan mempunyai arti penting bagi hukum karena kekuasaan bukan hanya merupakan instrumen pembentukan hukum (law making), tapi juga instrumen penegakan hukum (law enforcemenf) dalam kehidupan masyarakat. Pembentukan hukum, khususnya undang – undang, dilakukan melalui mekanisme kekuasaan politik dalam lembaga legislatif dimana kepentingan – kepentingan kelompok masyarakat yang saling bertentangan diupayakan untuk di kompromikan guna menghasilakan satu rumusan kaidah – kaidah hukum yang dapat diterima semua pihak. Penengakan hukum merupakan upaya untuk untuk mendorong masyarakat agar menaati aturan – aturan hukum yang berlaku (upaya preventif ) dan penjatuhan sangsi hukum terhadap kasus – kasus pelanggaran hukum yang terjadi dalam masyarakat (upaya represif). 

Hukum juga mempunyai arti penting bagi kekuasaan karena hukum dapat berperan sebagai sarana legalisasi bagi kekuasaan formal lembaga – lembaga negara, unit – unit pemerintahan, pejabat negara serta pemerintahan. Legalisasi kekuasaan itu dilakukan melalui penetapan landasan hukum bagi kekuasaan melalui aturan – aturan hukum. Disamping itu, hukum dapat pula berperan mengontrol kekuasaan sehingga pelaksanaan dapat dipertanggung jawabkan secara legal dan etis. 

Dengan demikian terlihat jelas bahwa hukum dan kekuasaan mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan itu dapat di gambarkan seperti satu mata uang dengan dua sisi. Di satu sisi hukum adalah kekuasaan atau wewenang legal dan disisi yang lain, hukum itu adalah aturan – aturan untuk mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat termasuk tingkah laku para penyelenggara negara. 

Karakteristik hubungan hukum dan kekuasaan, khusunya dalam hal legalisasi kekuasaan dan penegakan hukum, dijelaskan oleh Mochtar Kusumaatmadja dalam satu ungkapan “hukum tanpa kekuasaan adalah angan – angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman” (Mochtar Kusumaatmadja; 5). Ungkapan tersebut pada satu sisi mengandung arti bahwa kaidah – kaidah hukum tidak akan ada manfaatnya jika tidak ditegakkan dan hukum itu hanya dapat ditegakkan dengan kekuasaan. Pada sisi lain, ungkapan itu bermakna bahwa kekuasaan tanpa landasan hukum adalah kesewenangan.

Meskipun hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kekuasaan, tapi studi kekuasaan dalam perpektif hukum masih terbatas sehingga konsep – konsep kekuasaan di dalam ilmu hukum tidak begitu berkembang. Dibandingkan studi politik terhadap kekuasaan, studi hukum terhadap kekuasaan jauh tertinggal, sehingga konsep – konsep kekuasaan yang berkembang lebih didominasi oleh pemikiran – pemikiran politik dan sosiol. Dari uraian di atas dapat ditarik permasalahan : bagaimana hubungan yang sebenarnya dari dialektika hukum dan kekuasaan? Apa fungsi kekuasaan terhadap hukum? Dan apa fungsi hukum terhadap kekuasaan?

Esensi Kekuasaan dan Hukum
Kekuasaan merupakan konsep hubungan sosial yang terdapat dalam kehidupan kominatas masyarakat, negara dan umat manusia. Konsep hubungan sosial itu meliputi hubungan personal di antara dua insan yang berinteraksi, hubungan institusional yang bersifat hierarkis dan hubungan subjek dengan objek yang dikuasainya. Karena kekuasaannya memiliki berbagai macam dimensi, maka tidak ada kesepahaman di antara para ahli politik, sosiologi, hukum dan kenegaraan mengenai pengertian kekuasaan.

Wax Weber dalam bukunya Wirtschaft und Gesellschaft mengemukakan bahwa “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan dan apa pun dasar kemampuan ini”. (Miriam Budiardjo,1991; 16, dikutip dari Max Weber, 1982). Perumusan kekuasaan yang dikemukakan Weber dijadikan dasar perumusan pengertian kekuasaan oleh beberapa pemikir lain misalnya, Strausz Hupe mendefinisikan kekuasaan sebagai “kemampuan untuk memaksakan kemauan pada orang lain” (Miriam Budiardjo,1991; 16, dikutip dari Max Weber.1982). Demikian pula pengertian yang dikemukakan oleh C. Wright Mills, “kekuasaan itu adalah dominasi, yaitu kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain menentang” (Soelaeman Soemardi, 1956; 12 dan 14 dikutip dari Robert Strausz-Hupe, 1956). 

Oleh karena itu, Miriam Budiharjo menyimpulkan, sekalipun ada banyak pandangan yang berbeda - beda mengenai kekuasaan, akan tetapi agaknya ada satu inti yang nampak dalam semua perumusan itu, yaitu bahwa kekuasaan dianggap sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak atau kemauan kepada pihak lain, beberapa pakar mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk membatasi tingkah laku pihak lain. Harold D. Laswell dan Abraham Kaplan mengatakan, “kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok lain agar sesuai tujuan dari pihak pertama” (Miriam Budiardjo, 1991; 20, dikutip dari Max Weber, 1982). Seiring dengan pandangan Laswell dan Kaplan, Van Doorn mengungkapkan, “kekuasaan adalah kemungkinan untuk membatasi alternatif – alternatif bertindak dari seseorang atau suatu kelompok sesuai dengan tujuan dari pihak pertama” (Miriam Budiardjo, 1991; 17, dikutip dari Max Weber, Wirtschaft und Geselschaft, Tubingen Mohr.1982). R.J. Mokken merumuskan konsep “kekuasaan adalah kemampuan dari pelaku (seseorang atau kelompok atau lembaga) untuk menetapkan secara mutlak dan mengubah (seluruhnya atau sebagianna) alternatif – alternatif bertindak atau alternatif – alternatif memilih, yang tersedia bagi pelaku – pelaku lain” (Miriam Budiardjo, 1991; 17, dikutip dari Max Weber, 1982).

Kekuasaan untuk menetapkan batasan alternatif – alternatif bertindak bagi seorang atau sekelompok orang dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya adalah pembuatan aturan – aturan hukum sebagai aturan main dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya adalah pembuatan aturan – aturan hukum sebagai aturan main dalam kehidupan masyarakat yang disertai dengan sanksi hukum tertentu untuk menjamin terselenggaranya ketertiban dan ketentraman dalam hubungan – hubungan sosial. Aturan hukum tersebut merupakan kewajiban setiap anggota masyarakat guna menjamin terselenggaranya ketertiban dan ketentraman masyarakat. Kekuasaan dalam lingkup kebijakan publik khususnya kebijakan hukum (legal policy). 

Menurut Talcot Parsons, “kekuasaan adalah kemampuan umum untuk menjamin pelaksanaan dari kewajiban – kewajiban yang mengikat oleh unit – unit organisasi kolektif dalam suatu sistem yang merupakan kewajiban – kewajiban yang diakui dengan acuan kepada pencapaian tujuan – tujuan kolektif mereka dan apabila terjadi pengingkaran terhadap kewajiban – kewajiban dapat dikenai oleh sanksi negatif tertentu siapapun yang menegakkannya” (Talcott parsons,1957; 139). 

Pengertian kekuasaan yang dikemukakan oleh Parson menitikberatkan kepada kekuasaan publik untuk menegakkan aturan – aturan masyarakat yang bersifat memaksa demi pencapaian tujuan masyarakat. Dengan kata lain, penggunaan kekuasaan adalah untuk perlindungan masyarakat. Perlindungan masyarakat terdiri dari perlindungan masyarkat dari kejahatan dan perlindungan masyarakat dari penjahat, dan perlindungan masyarakat dari kekuasaan sewenang – wenang.

Selain berarti kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dan penetapan alternatif – alternatif bertindak, kekuasaan juga mengandung makna sarana pelaksanaan fungsi – fungsi dalam masyarakat dan atas nama masyarakat (Talcott Parsons, 1967; 308). Pelaksanaan fungsi – fungsi dalam masyarakat mencakup pelaksanaan fungsi politik, pelaksanaan fungsi ekonomi, pelaksanaan fungsi sosial dan budaya, pelaksanaan fungsi hukum dan pemerintahan, dan pelaksanaan fungsi ini bertujuan untuk memperlancar interaksi sosial dan penyelenggaraan kehidupan masyarakat.

Untuk keperluan tulisan ini, kekuasaan diartikan sebagai konsep hubungan sosial dominatif yang mengambarkan adanya suatu kekuatan yang dimiliki oleh seseorang atau suatu pranata untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain (termasuk pranata lain) yang dilakukan melalui penentapan perintah – perintah atau pembuatan aturan – aturan tingkah laku sehingga sehingga orang lain menjadi tunduk dan patuh terhadap perintah – perintah dan aturan – aturan tingkah laku tersebut.

Dalam masyarakat terhadap perbagai kekuasaan : kekuasaan yang baik dan jahat, kekuasaan fisik (misalnya kekuasaan tentara dan polisi), kekuasaan ekonomi (misalnya modal dan tenaga kerja), dan juga kekuasaan batin manusia dan susila, misalnya kekuasaan kepribadian, kekuasaan agama dan gereja, kekuasaan ilmu pengetahuan, kekuasaan perkataan yang diucapkan dan yang ditulis, kekuasaan kesusilaan dan kekuasaan adat atau kebiasaan, artinya kekuasaan yang dilakukan atas anggota masyarakat oleh pandangan – pandangan yang berlaku dalam masyarakat mengenai apa yang baik dan buruk, patut dan tidak patut, sopan dan tidak sopan (Karl Olivecrona, 1939; 123).

Pembagian kekuasaan tersebut merupakan pembedaan kekuasaan secara umum. Kekuasaan dapat dibedakan dalam beberapa kelompok. Misalnya kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat. Kekuasaan negara berkaitan dengan otoritas negara sebagai suatu badan yang diberi wewenang oleh masyarkat guna mengatur kehidupannya secara tertib dan damai. Kekuasaan masyarkat dalam kekuatan/ kemampuan masyarkat untuk mengelola dan mengorganisasikan kepentingan individu – individu dan kelompok – kelompok masyarakat yang menjadi anggotannya sehingga interaksi sosial dapat berjalan lancar.

Ketidak seimbangan kekuasaan negara dan masyarkat dapat mendorong terjadinya kekuasaan - kekuasaan negara hegemonik dimana negara sangat kuat dan masyarakat sangat lemah sehingga terjadi pola hubungan dominatip dan eksploitatip. Negara bukan hanya campur tangan dalam urusan kenegaraan dan kemasyarakatan. Tetapi negara juga interfensi dalam kehidupan pribadi anggota masyarakat yang sebenarnya bukan teritorial kekuasaan negara. Pembagian kekuasaan yang sering diajukan dalam studi kekuasaan adalah pembagian kekuasaan yang di kemukakan oleh Max Weber ((Miriam Budiardjo, 1991; 17). Yang memberi kekuasaan dalam tiga wewenang yaitu tradisional, karismatik dan rasionalegal. Wewenang tradisional berdasar kepercayaan diantara anggota masyarakat bahwa tradisi lama serta kedudukan kekuasaan yang dilandasi oleh tradisi itu adalah wajar dan patut dihormati. Wewenang karismatik berdasarkan kepercayaan anggota masyarakat pada kesaktian dan kekuatan mistik atau religius seorang pemimpin. Hitler dan Mao Tse Tung sering dianggap sebagai pemimpin karismatik, sekalipun tentu mereka juga memiliki unsur wewenang legal. Wewenang rasional legal berdasarkan kepercayaan pada tatanan hukum dilandasi kedudukan seorang pemimpin. Ditekankan bukan orangnya akan tetapi aturan-aturan yang mendasari tingkah lakunya. 

Mengenai esensi hukum dapat dikemukakan bahwa ada perbedaan pandangan para ahli hukum tentang hukum. Perbedaan pandangan itu dapat dilihat dari pengertian hukum yang mereka kemukakan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Meskipun ada perbedaan pandangan namun pengertian itu dapat diklasifikasikan dalam empat kelompok.

Pertama, ahli hukum yang mengartikan hukum sebagai nilai-nilai, misalnya, Victor Hugo yang mengartikan hukum sebagai kebenaran dan keadilan. Sejalan dengan pengertian tersebut Grotius yang mengemukakan bahwa hukum adalah suatu aturan moral tindakan yang wajib yang merupakan suatu tindakan yang benar (Ahmad Ali, 1996; 39). Pembahasan hukum dalam kontek nilai-nilai berarti memahami hukum secara filosofis karena nilai-nilai merupakan abstraksi tertinggi dari kaidah-kaidah hukum. 

Kedua, ahli hukum yang mengartikan hukum sebagai azas-azas fundamental dalam kehidupan masyarakat definisi hukum dalam perpekstif ini terlihat dalam pandangan Salmond yang mengatakan “Hukum merupakan kumpulan azas-azas yang diakui dan diterpkan oleh negara didalam peradilan. Dengan perkataan lain, hukum terdiri dari aturan-aturan yang diakui dan dilaksanakan pada pengadilan” ( L.B. Curzon, 1979; 24.)

Ketiga, ahli hukum yang mengartikan hukum sebagai tingkah laku dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, Vinogradoff mengartikan hukum sebagai seperangkat aturan yang diadakan dan dilaksanakan oleh suatu masayarakat dengan menghormati suatu kebijakan dan pelaksanaan kekuasaan atas setiap manusia dan barang. Pengertian yang sama dikemukakan oleh Kantorowich, hukum adalah suatu kumpulan aturan sosial yang mengatur perilaku lahir dan berdasarkan pertimbangan dapat dibenarkan dan diterjemahkan sendiri (Ahmad Ali, 1996; 39).

Keempat, ahli hukum yang mengartikan hukum sebagai kenyataan (Das Sein) dalam kehidupan masyarakat. Hukum sebagai kenyataan sosial mewujudkan diri dalam bentuk hukum yang hidup (The Living Law). Dalam masyarakat atau dalam bentuk perilaku hukum masyarakat. Perilaku hukum terdiri dari perilaku melanggar hukum (pelanggaran hukum) dan perilaku menaati peraturan-peraturan hukum.

Perbedaan diantara pandangan ahli hukum bukan hanya pengertian hukum, tapi juga mengenai hakekat hukum. Perbedaan mengenai hakekat hukum ini tergambar pada munculnya berbagai madzab dalam berbagai pemikiran hukum. Pertanyaan pokok tentang hakekat hukum berkaitan dengan hukum yang benar, apakah hukum yang benar ? Jawaban atas pertanyaan prinsipil tersebut beraneka ragam dan saling kontradiktif.

Dalam paham hukum agama yang teistik, hakekat hukum adalah perintah Allah. Hukum yang benar adalah hukum yang dibenarkan dan diperintahkan oleh Allah, pencipta alam semesta. Menurut Doktrin Islam hukum yang benar adalah hukum yang diperintahkan Allah. Yang dirumuskan dalam Qur’an dan hukum-hukum yang disabdakan Rosul dalam hadis. Sedangkan bagi paham sekuler, hakekat hukum tidak ada hubungannya dengan urusan keagamaan dan ketuhanan, tapi merupakan urusan peradilan, pemasyarakatan, dan kenegaraan.

Dalam konteks ini hakekat hukum dapat ditinjau dalam empat prespektif, yaitu prespektif otorita (Wewenang), prespektif subtantif, prespektif sosiologis dan prespektif realis. Prespektif otorita merupakan pandangan positifisme yang menempatkan keabsahan hukum pada otoritas pembentukan dan penegakan hukum. Menurut positifisme hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat dalam mengorganisasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan harus ditaati oleh masyarakat. Pemikir positifisme yang cukup berpengaruh, Jonh Austin mengemukakan bahwa hukum adalah seperangkat perintah, baik langsung maupun tidak langsung, baik dari pihak yang berkuasa maupun bagi masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen, dimana otoritasnya pihak yang berkuasa merupakan otoritas tertinggi definisi yang hampir sama dikemukakan oleh Blacstone (Abad 18) yang mengungkapkan bahwa hukum adalah suatu aturan tindakan-tindakan yang ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa bagi orang-orang yang dikuasai, untuk ditaati (Ahmad Ali, 1996; 40). 

Berbeda dengan prepektif otoritas, prespektif substantif tidak melihat keabsahan hukum dari otoritas yang membentuk hukum tersebut, tetapi dari muatan atau isi yang terkandung dalam kaidah-kaidah hukum tersebut. Pandangan prespektif ini tergambar dari pandangan John Locke yang mengemukakan bahwa hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh warga masyarakat pada umumnya tentang tindakan-tindakan mereka, untuk menilai mana yang merupakan perbuatan yang jujur dan mana perbuatan yang curang.

Perspektif historis meninjau keabsahan hukum kebudayaan masyarakat itu, khususnya dalam jiwa rakyat. Von Savigny yang menjadi pelopor perspektif mengambarkan bahwa keseluruhan hukum sungguh – sungguh terbentuk melalui kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam – diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan masyarkat.

Perspektif sosiologis meninjau keabsahan hukum itu dari sudut kemampuan atau daya kerja hukum mengatur kehidupan masyarakat. Pertayaan pokoknya adalah, apakah hukum itu dapat berlaku secara efektif untuk mengatur kehidupan masyarkat. Hakekat hukum menurut perpektif sosiologis adalah hukum yang sesuai dengan fakta – fakta sosial. Lundstedt mengemukakan hukum sungguh– sungguh berwujud eksistensi dari fakta – fakta sosial, yang secara keseluruhan sangat berbeda dari sekedar ilusi. Hukum adalah esensial jika masyarakatnya bertahan lama, inilah hal mendasar dari hukum, oleh karena itu, sangat dibutuhkan kesejahteraaan masyarakat.

Kaum realis dapat digolongkan ke dalam perpektif sosiologis karena sama – sama berpijak pada realitas sosial, Hakekat hukum menurut pandangan realisisme adalah hukum yang hidup, yaitu hukum yang dipraktikkan oleh pengandilan dalam menyelesaikan sengketa – sengketa dan kasus – kasus hukum yang terjadi dalam masyarakat.

Kaum realis dapat digolongkan ke dlam perpektif sosiologis karena sama – sam berpijak pada realitas sosial, hakekat hukum menurut pandangan realisisme adalah hukum yang hidup yaitu hukum yang dipraktikkan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa – sengketa dan kasus – kasus hukum yang terjadi dalam masyarakat. Holmes, seorang hakim agung USA yang menjadi pendiri aliran realis, berpendaoat “apa yang diramalkan akan diputuskan oleh pengandilan, itulah yang saya atirkan sebagai hukum” Pendapat Holmes ini sejalan dengan pandangan Llewellyn yang menyatakan bahwa apa yang diputuskan oleh hakim tentang persengketaan, adalah hukum itu sendiri (L.B. Curzon. 1979; 27).

Hubungan Hukum dengan Kekuasaan
Pola hubungan hukum dengan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum adalah kekuasaan itu sendiri. Menurut Lassalle dalam pidatonya yang termashur Uber Verfassungswessen, “kostitusi sesuatu negara bukanlah undang – undang dasar tertulis yang hanya merupakan “secarik kertas”, melainkan hubungan – hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara” pendapat Lasalle ini memandang konstitusi dari sudut kekuasaan ( L.J. van Apeldorn,1986; 70).

Dari sudut kekuasaan, aturan – aturan hukum yang tertuang dalam konstitusi suatu negara merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam suatu negara dan hubungan – hubungan kekuasaan di antara lembaga - lembaga negara. Dengan demikian, aturan – aturan hukum yang termuat dalam Undang – Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan deskripsi struktur kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan hubungan – hubungan kekuasaan antara lembaga – lembaga negara.

Struktur kekuasaan menurut UUD 1945 menempatkan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) dalam hierarki kekuasaan tertinggi Hierarki kekuasaan dibawah MPR adalah kekuasaan lembaga – lembaga tinggi negara yaitu presiden, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPA (Dewan Pertimbangan Agung) dan BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan). UUD 1945 juga mendeskripsikan struktur kekuasaan pusat dan daerah. Disamping itu, juga diseskripsikan hubungan kekuasaan antara lembaga – lembaga tinggi, hubungan kekuasaan di antara lembaga – lembaga tinggi negara, dan hubungan kekuasaan antara pusat dan daeah.
Pemahaman konstitusi dari sudut kekuasaan mempunyai perbedaan dengan pemahaman konstitusi sebagai suatu aturan dasar negara (staats Fundamental norms) atau norma dasar (ground norm) negara sebagaiman konsep Hans Kelsen. Kajian hukum, termasuk konstitusi, yang banyak dilakukan adalah kajian normatif, yautu memahami hukum sebagai aturan tingkah laku.

Hakekat hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl Olivecrona tak lain daripada “kekuatan yang terorganisasi”, hukum adalah “seperangkat aturan mengenai pengunaan kekuatan”, dia mengingkatkan “kekerasan fiisk atau pemaksaan” sebagai demikian sama sekali tidak berbeda dari kekerasan yang dilakukan pencuri – pencuri dan pembunuh – pembunuh (Karl Olivecrona, 1939; 123 dan169).

Walaupun kekuasaan itu adalah hukum namun kekuasaan tidak identik dengan hukum. Mengenai hal ini Van Apeldorn mengemukakan bahwa hukum adalah kekuasaan. Hal ini tidak berarti bahwa hukum tidak lain dari pada kekuasaan belaka; tidak berarti bahwa hukum dan kekuasaan adalah dua perkataan yang sama. Hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. Mights is not right, kata pepatah Inggris yang terkenal. Pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya akan tetapi belum berarti bahwa ia berhak atas barang itu (Karl Olivecrona, 1939; 69).

Esensi kekuasaan yang sama dengan hukum tersebut menurut Lassalle adalah kekuasaan fisik khususnya kekuasaan tentara dan polisi. Namun menurut Van Apeldorn, kekuasaan fisik (materiil) itu bukanlah anasir yang hakiki dari hukum apalagi anasir yang esensial daripadanya. Kekuasaan fisik itu biasanya hanya menjadi unsur tambahan : sesuatu accesoir, bukan bagian dari hukum. Sebaliknya kekuasaan susila adalah anasir yang esensial dari hukum yaitu, kekuasaan yang diperoleh dari nilai yang diberikan oleh masyarakat padanya dan berdasarkan hal mana biasanya kaidah-kaidah itu dapat mengharapkan pentaatan dengan sukarela oleh anggota-anggota masyarakat (Karl Olivecrona, 1939; 73).

Kekuasaan fisik adalah kekuasaan yang mengandalkan diri pada kekerasan atau paksaan untuk memaksa ketaatan masyarakat kepada aturan hukum yang berlaku dan bila melanggar akan dikenakan sanksi hukum. Kepatuhan masyarakat kepada hukum sangat ditentukan oleh kualitas aparatur pemaksa (polisi dan jaksa) dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan kesusilaan adalah kekuasaan batin yang bersumber pada kesadaran diri manusia mengenai kebaikan, kepatutan dan rasa keadilan. Kepatutan masyarakat kepada aturan hukum bukan karena paksaan dari aparat penegak hukum tapi berdasarkan kesadaran diri anggota masyarakat yang dengan sukarela mematuhi aturan-aturan hukum. 

Disamping hukum sama dengan kekuasaan pola hubungan hukum dengan kekuasaan, pola hubungan hukum dengan kekuasaan yang lain adalah bahwa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Artinya hukum dan kekuasaan merupakan dua hal yang terpisah. Meskipun hukum dan kekuasaan dua hal yang terpisah tapi ada hubungan yang erat diantara keduanya. Hubungan itu dapat berupa hubungan dominatif dan hubungan resiprokal (timbal balik). Ada tiga bentuk manifestasi hubungan hukum dan kekuasaan dalam konteks ini.

Pertama, hukum tunduk kepada kekuasaan. Dalam konteks ini hukum bukan hanya menjadi subordinasi kekuasaan, tapi juga sering menjadi alat kekuasaan. Dengan kata lain kekuasaan memiliki supremasi terhadap hukum atau adanya supremasi kekuasaan. Oleh karena itu definisi hukum yang dikemukakan oleh para ahli menempatkan hukum berada dibawah kontrol kekuasaan.

Pendapat ahli hukum yang menggambarkan pandangan supremasi kekuasaan terhadap hukum dikemukakan oleh Thrasimachus yang mengungkapkan bahwa hukum tak lain daripada apa yang berfaedah bagi orang yang lebih kuat. Pengertian yang hampir sama dikemukakan pula oleh Gumplowicz yang mengungkapkan bahwa hukum bersandar pada penaklukan yang lemah oleh yang lebih kuat; hukum adalah susunan definisi yang dibuat oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya (Karl Olivecrona, 1939; 70). 

Dalam prespektif marxisme hukum dibuat tidak untuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat tapi untuk melindungi kepentingan kelompok elit. Hukum adalah alat kaum kapitalis untuk melindungi kepentingannya dalam melakukan kegiatan bisnis dan alat penguasa untuk mempertahankan kekuasaanya. Hukum berpihak kepada pihak yang berkuasa dan kaum kapitalis. 

Kepntingan dari General Motors adalah kepentingan Amerika Serikat, kata pepatah di negeri Paman Sam. Negara membantu para pengusaha karena seperti yang diuraikan oleh Poulantzas dan Block, hidup negara ini memang tergantung pada sukses para pengusahanya. Birokrasi negara dibiayai dengan pajak dari mereka (Arief Budiman, 1996;79). 

Kedua, kekuasaan tunduk kepada hukum. Artinya kekuasaan berada dibawah hukum atau hukum berada diatas kekuasaan dan hukum yang menentukan eksistensi kekuasaan. Dalam pemikiran hukum tunduknya kekuasaan kepada hukum merupakan konsep dasar dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Konsep ini dirumuskan dalam terminologi supremasi hukum (supreme of law).

Supremasi hukum berarti bahwa hukum merupakan kaidah tertinggi untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai kaidah tertinggi muncul dalam konsep staats fundamental norm atau grund norm menurut pemikiran Hans Kelsen. Disamping itu supremasi juga berarti bahwa penggunaan kekuasaan untuk menjalankan kehidupan ketatanegaraan dan roda pemerintahan harus berdasarkan kepada aturan hukum. Tanpa landasan hukum kekuasaan tidak memiliki legalitas.

Pada prinsipnya supremasi hukum tidak lain dari rule of law sehingga dalam suatu negara hukum tentunya harus terdapat supremasi hukum. Menegakkan supremasi hukum tentunya harus ada rule of law ( Harian Kompas, 23 September 1999). Rule of law suatu konsep yang dipergunakan agar supaya negara dan pemerintahnya, termasuk warga negara tidak melakukan tindakan kecuali berdasarkan hukum.

Timothy O`hogan dalam The End of Law dan A.V. Dicey dalam Law and the Constitution menyebutkan prinsip – prinsip utama negara hukum dalam kaitan tegaknya supremasi hukum. Prinsip – prinsip utama negara hukum dalam kaitan tegaknya supremasi hukum. Prinsip – prinsip tersebut meliputi pemerintahan berdasarkan hukum dan menghindarkan kekuasaan yng sewenang – wenang, prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law), perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan adanya peradilan yang bebas dan independen (Jawahir Thontowi, 4).

Ketiga, ada hubungan timbal balik (simbiotik) antara hukum dan kekuasaan. Dalam hal ini hubungan hukum dan kekuasaan tidak bersifat dominatif di mana yang satu dominan atau menjadi faktor determinan terhadap yang lain, tapi hubungan pengaruh menpengaruhi antara keduanya. Hubungan pengaruh mempengaruhi itu bersifat fungsional, artinya hubungan itu dilihat dari sudut fungsi – fungsi tertentu yang dapat dijalankan antara keduanya. Dengan demikian, kekuasaan memiliki fungsi terhadap hukum, dan sebaliknya hukum mempunyai fungsi terhadap kekuasaan.

Kekuasaan dalam Konteks Hukum
Kekuasaan dalam konteks hukum berkaitan dengan kekuasaan negara, yaitu kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang meliputi bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Pengaturan dan penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat dan bernegara itu mencakup pengaturan dan penyelenggaraan di tingkat pusat dan di tingkat daerah. Dengan demikian, kekuasaan merupakan sarana untuk menjalankan fungsi – fungsi pokok kenegaraan guna mencapai tujuan negara.

Menurut Van Vollenhoven ada empat fungsi pokok kenegaraan yang menjadi tugas negara yaitu: regeling (membuat peraturan) bestuur (pemerintahan dalam arti sempit), rechtspraak (mengadili) dan politie (polisi). Sedangkan menurut Block (Moh. Kusnardy dan Harmaily Ibrahim, 1988;147, dikutip dari Van Vollenhoven; 104 – 125 dan 243), fungsi negara dalam sistem kapitalis ada tiga macam. Pertama, menciptakan kondisi sehingga pengembangan modal bisa berjalan dengan lancar, baik bagi pengusaha nasional maupun asing. Inilah yang disebutnya sebagai business confidence. Kedua, memeratakan kekayaan secukupnya supaya kaum buruh bisa mereproduksikan dirinya, dan supaya kaum buruh percaya bahwa mereka sudah diperlakukan secara adil sehingga mereka tidak membuat keributan yang dapat merusak suasana bisnis yang baik. Ketiga, berperan sebagai polisi untuk mencegah gangguan terhadap sistem yang ada, serta mengembangkan suatu ideologi yang membuat kaum buruh merasa diperlakukan adil dalam sistem yang sebenarnya menguntungkan kaum kapitalis.

Struktur kekuasaan negara bersifat hierarkis atau berjenjang, mulai dari kekuasaan tertinggi sampai kekuasaan terendah. Kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah kedaulatan. Kedaulatan adalah kekuasaan negara secara definitif untuk memastikan aturan – aturan kelakuan dalam wilayahnya, dan tidak ada pihak, baik dalam maupun di luar negeri, yang harus dimintai izin untuk menetapkan atau melakukan sesuatu. Kedaulatan adalah hak kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak tergantung, dan tanpa kecuali (Magnis Suseno,1988; 53).

Kedaulatan (souvereignity) adalah ciri atau atribut hukum dari negara – negara, dan sebagai atribut negara dia sudah lama ada, bahkan ada yang berpendapat bahwa sovereignity itu mungkin lebih tua dari konsep negara itu sendiri (Fred Iswara,1964; 92). Dalam teori kenegaraan, ada empat bentuk kedaulatan sebagai pencerminan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Keempat bentuk kedaulatan itu adalah Tuhan (godsouvereiniteit), kedaulatan negara (staatssouvereiniteit), kedaulatan hukum (rechtssouvereiniteit), dan kedaulatan rakyat (volkssouvereiniteit) (Sri Soemantri, dalam Padmo Wahyono (ed), 1984; 67).

Dalam kedaulatan Tuhan, keabsahan kekuasaan terletak pada sumber kekuasaan yang bersala dari Tuhan. Menurut paham kedaulatan negara, kedaulatan itu ada pada negara, dan dalam kedaulatan hukum, yang berdaulat itu bukan Tuhan dan bukan negara, tapi adalah hukum itu sendiri. Dalam kedaulatan rakyat, yang bedaulat itu adalah rakayat.

Kedaulatan rakyat berarti bahwa yang berdaulat di suatu negara adalah rakyat. Penguasa memperoleh kekuasaan untuk menjalankan fungsi – fungsi kenegaraan (pemerintahan) karena mendapat persetujuan rakyat tyang dilakukan melalui proses pemilihan umum (pemilu). Pemilu merupakan mekanisme demokratis unutuk menegakkan prinsip kedaulatan rakyat dalam tatanan kehidupan kenegaraan. Esensi kedaulatan rakyat sama dengan sistem demokrasi. Dengan demikian, negara yang berkedaulatan rakyat adalah negara demokrasi.

Elemen negara demokrasi ada lima macam, yaitu: rakyat terlibat dalam pembuatan keputusan politik, adanya tingkat persamaan kedudukan diantara rakyat ; adanya tingkat liberasi dan kebebasan yang dijamin untuk atau ....... oleh rakyat; adanya suatu sistem perwakilan, dan satu sitem pemilihan berdasarkan aturan mayoritas (Lyman Tower Sargent, 1984; 32 – 33).

Bentuk kedua kekuasaan dalam konteks hukum adalah wewenang. Wewenang berasal dari bahasa Jawa yang mempunyai dua arti yaitu pertama, kuasa (bevoegdheid) atas sesuatu, misalnya atas sebidang tanah, atas suatu hak. Kedua, serangkaian hak yang melekat pada jabatan atau seorang pejabat untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaan dapat terlaksana dengan baik, kompetensi, yurisdiksi, otoritas (Andi Hamzah; 1986; 633).

Adalah ciri khas negara bahwa kekuasaanya memiliki wewenag. Maka kekuasaan negara dapat disebut otoritas atau wewenag. Otoritas atau wewenang adalah “kekuasaan yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan yang de fakto menguasai, melainkan juga berhak menguasai. Wewenang adalah kekuasaan yang berhak menuntut ketaatan, juga berhak memberikan perintah (Frans Magnis Suseno,1988; 53).

Bentuk ketiga kekuasaan dalam hukum adalah hak. Salmond merumuskan hak sebagai kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Rumusan yang hampir saam dikemukakan oleh Allend yang mengemukakan bahwa hak itu sebagai suatu kekuasaan berdasarkan hukum yang dengannya seorang dapat melaksanakan kepentingannya (the legally guaranteed power to realise an interest). Sedangkan menurut Holland hak itu sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perbuatan atau tindakan seseorang tanpa mengunakan wewenang yang dimilikinya, tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat yang terorganisasi (Lili Rasjidi, 1988; 45). 

Definisi hak menurut Holmes (Ahmad Ali, 1996; 243) adalah nothing but permission to exercise certain natural powers and upon certain conditions to obtain protection, restitution, or compensation by the aid of public force. Hak dapat pula diartikan sebagai kekuasaan yang dipunyai seseorang untuk untuk menuntut pemenuhan kepentingannya yang dilindungi oleh hukum dari orang lain, baik dengan sukarela maupun dengan paksaan.

Dengan mengacu kepada beberapa pengertian tersebut dapat diidentifikasikan ciri– ciri hak. Menurut Fitzgerald (Ahmad Ali, 1996; 243), ciri – ciri yang melekat pada hak adalah :
  • Hak itu dilekatkan paad seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memilliki titel atas barang yang menjadi sasaran hak.
  • Hak itu tertuju pada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban di mana antara hak dan kewajiban terjadi hubungan korelatif.
  • Hak yang ada pada seseorang mewajibkan pihak lain untuk melakukan (monisson) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbutan. Hal ini dapat disebut sebagai isi dari hak.
  • Perbutan atau omission itu menyangkut sesuatu yang dapat disebut sebagai objek dari hak.
  • Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang merupakan alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.
Pengakuan hukum terhadap hak seseorang mengandung konsekuensi adanya kewajiban pada pihak atau orang lain. Hal itu bisa terjadi karena hubungan hak dan kewajiban bersifat bersifat resiprokal atau timbal balik hubungan hak dan kewajiban terjadi dalam konsep hubungan hukum, terutama dalam pelaksanaan dalam pelaksanaan hubungan hukum (hukum subjektif). Kewajiban adalah suatu perintah hukum yang mengharuskan seseorang untuk memenuhi suatu hal yang menjadi hak orang lain atau melaksanakan perbuatan tertentu.

Dengan deskripsi di atas menjadi jelas bahwa kekuasaan dalam konteks hukum meliputi kedaulatan, wewenang atau otoritas, dan hak. Ketiga bentuk kekuasaan itu memiliki esensi dan ciri – ciri tyang berbeda satu dengan yang lain.

Fungsi Dialektis Hukum dan Kekuasaan
Fungsi dialektis hukum dan kekuasaan adalah fungsi timbal balik antara hukum dan kekuasaan. Fungsi hukum dan kekuasaan meliputi fungsi kekuasaan terhadap hukum dan fungsi hukum terhadap kekuasaan. Pembahasan pendahuluan akan mendeskripsikan fungsi kekuasaan terhadap hukum. Ada tiga macam fungsi kekuasaan terhadap hukum.

Pertama, kekuasaan merupakan saraan untuk membentuk hukum, khususnya pembentukan undang – undang (law making). Kekuasaan untuk membentuk hukum dinamakan kekuasaan legislatif (legislative power), yang merupakan kekuasaan parlemen atau badan perwakilan. Kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan pembentuk undang – undang berasal dari pemikiran Jhon Locke dan Montesquieu.

Dalam praktek ketatanegaraan di berbagai negara, terdapat konvergensi kekuasaan pembentuk undang – undang. Pembentukan undang – undang tidak lagi menjadi monopoli parlemen, tapi kerjasama antara parlemen dengan pemerintah. Bahkan kecenderungan di berbagai negara menunjukkan besarnya peran pemerintah daalm pembentukkan undang – undang. Hal itu bisa terjadi karena pemerintah mempunyai tenaga ahli yang banyak dalam birokrasipemerintahan guna menyiapkan konsep atau rancangan undang – undang.. Undang – undang merupakan produk hukum yang besifat umum yang mengikat seluruh warga negara.

Otoritas pembentukan ketentuan hukum yang bersifat umum bukan hanya menjadi kekuasaan legislatif, tapi juga menjadi wewenag badan peradilan, khususnya sistem hukum anglo saxon yang mengakui yurisprudensi sebagai sumber hukum pokok. Yurisprudensi menjadi acuan penyelesaian kasus – kasus yang sejenis, sehingga dengan demikian juga bersifat umum. Dengan demikian, kekuasaan apa saja yang mempunyai otoritas pembentukan hukum dipengaruhi pula sistem hukumnya.

Fungsi parlemen juga mengalami perkembangan dan pergeseran. Sekarang fungsi pokok parlemen tidak hanya sebagai baadn pembuat undang – undang, namun juga perlu dilihat sebagai media komunikasi antara rakyat dan pemerintahan. Dalam pemerintahan sistem parlementer ia juga berfungsi sebagai jalur rekrutmen kepemimpinan politik sekaligus sebagai badan pengelola konflik yang berkembang dalam masyarakat (Bambang Cipto, 1995; 10). 

Kedua, kekuasaan merupakan alat untuk menegakkan hukum. Penegakan hukum adalah suatu proses mewujudkan keinginan – keinginan hukum menjadi kenyatan. Yang disebut sebagai keinginan – keinginan hukum adalah di sini tidak lain adalah pikiran – pikiran badan pembuat undang – undang yang dirumuskan dalam peraturan – peraturan hukum (Satjipto Rahardjo, tanpa tahun; 24). 

Penegakan hukum dengan demikian bukan hanya sekedar menerapkan aturan – aturan hukum formal saja, tapi juga mengaitkan secara langsung aturan – aturan itu dengan semangat atau spirit yang melatarbelangkangi lahirnya aturan – aturan tersebut. Penegakan hukum yang semaya – semata menegakkan aturan formal tanpa mengaitkan secara langsung dengan semangat yang terkandung dalam aturan akan berlangsung dengan cara yang sangat mekanistik. Padahal tuntutan penegakan hukum tidak terbatas pada pelembagaan prosedur dan mekanisme, tetapi juga pada penerapan nilai – nilai substantifnya.

Kekuasaan sebagai alat untuk menegakkan hukum merupakan otoritas negara yang merupaakn otoritas tertinggi dalam struktur kemasyarakatan. Negaar memiliki monopoli kekuasaan untuk menegakkan hukum karena negara merupakan organ yang disepakati masyarakat untuk mengelola kehidupan mereka. Otoritas negara untuk menegakkan hukum didistribusikan kepada institusi – institusi formal secara operasional melaksanakan fungsi penegakan hukum.

Otoritas negara didistribusikan kepada kepolisian untuk upaya penegakan hukum dalam pengertian mendorong masyarakat agar mentaati aturan – aturan hukum atau mencegah masyarakat untuk melangar hukum (penegakan hukum secara preventif). Pelaksanaan penegakan hukum dalam konteks ini sejalan dengan fungsi kepolisian dalam bidang keamanan guna menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat.

Di samping itu, otoritas negara untuk nenegakkan hukum diberikan kepada badan peradilan (kekuasan yudikatif) untuk melakukan proses peradilan terhadap kasus – kasus pelanggaran yang terjadi dalam masyarakat (penegakan hukum secara represif). Penegakan hukum secara represif bertujuan untuk mempertahankan legalitas aturan hukum dengan cara menghukum para pihak yang melanggar hukum.

Akhirnya, kekuasaan merupakan media untuk melaksanakan hukum. Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan hukum adalah upaya menjalankan (eksekusi) putusan peradilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan badan peradilan tidak akan banyak artinya bagi pengorganisasian kehidupan masyarakat jika tidak dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Otoritas eksekusi merupakan wewenang kejaksaan dan peradilan.

Mengenai fungsi hukum terhadap kekuasaan ada empat macam. Hukum adalah media untuk melegalisasikan kekuasaan. Legalisasi hukum terhadap kekuasaan berarti menetapkan keabsahan kekuasaan dari segi yuridisnya. Setiap kekuasaan yang mmiliki landasan hukum secara formal memiliki legalitas. Namun yang sering menjadi masalah adalah bila kekuasaan yang legal itu adalah kekuasaan yang sewenang – wenang, tidak patut, dan tidak adil. Hal ini sebenarnya merupakan masalah legitimasi kekuasaan, yatu pengakuan masyarakat terhadap keabsahan kekuasaan. Tulisan ini tidak akan memasuki diskursus legitimasi kekuasaan. 

Dalam aturan – aturan hukum, terminologi kekuasaan muncul dalam berbagai istilah, yaitu istilah kekuasaan itu sendiri, kedaulatan, wewenang (otoritas), dan hak. Oleh karena itu, legalisasi hukum terhadap kekuasaan mencakup legalisasi terhadap kekuasaan, kedaulatan, wewenang, dan hak. Legalisasi kekuasaan dapat diberikan kepada lembaga, jabatan, dan orang. Legalisasi kekuasaan bagi lembaga misalnya, bagi negara, lembaga – lembaga negara, unit – unit dalam lembaga – lembaga negara, unit – unit pemerintahan, dan lembaga kemasyarakatan . Legalisasi kekuasaan bagi pejabat misalnya, kewenangan presiden, kewenangan gubernur, dan kewenangan bupati. Sedangkan legalisasi hukum bagi orang dalam pemberian atau pengakuan hak bagi seseorang. Misalnya, hak milik, hak cipta, hak usaha, dan sebagainya.

Kekuasaan yang dilegalisasi hukum belum tentu kekuasaan atau wewenang yang adil dan patut. Oleh karena itu, agar legaliitas hukum sejalan dengan prinsip – prinsip keadilan dan kepatutan, maka legalitas kekuasaan juga harus didukung oleh legitimasi etis. Legitimasi etis kekuasaan disandarkan kepada persetujuan masyarakat terhadap kekuasaan. Dalam perpektif etika, kekuasaan dinyatakan menpunyai legitimasi bial kekuasaan itu digunakan untuk kebaikan dan keadilan masyarakat.

Fungsi hukum terhadap kekuasaan yang lain adalah untuk mengatur dan membatasi kekuasaan. Hubungan – hubungan kekuasaan dalam penyelenggaraan negara harus diatur sedemikian rupa supaya tidak menimbulkan ambiquitas dan paradoksal di antara kekuasaan – kekuasaan negara yang ada atau antara kekuasaan pejabat yang satu dengan kekuasaan pejabat yang lain. Adanya kekuasaan yang ambiquitas dan paradoks buakn hanya menimbulkan ketidakjelasan wewenang dan pertanggungjawaban, tapi juga akan melahirkan ketidakharmonisan dan ketidakpastian hukum.

Untuk menghidari terjadinya ambiquitas dan paradoksal pengaturan kekuasaan, maka pengaturan kekuasaan harus dilihat dalam konteks satu sistem hukum. Pendistribusian wewenang dalam bidang hukum tertentu harus disinkronkandenagn pengaturan wewenang dalam bidang hukum lainnya. Misalnya, harus ada sinkronisasi kewenangan antara kewenangan dalam bidang hukum tata negara dengan kewenangan dalam bidang hukum pemerintahan.

Selain fungsi melegalisasi dan mengatur kekuasaan, fungsi hukum terhadap kekuasaan yang lain adalah membatasi kekuasaan. Pembatasan kekuasaan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya terjadinya penumpukan atau sentralisasi kekuasaan pada satu tangan atau pada satu lembaga. Sentralisasi kekuasaan akan mendorong kepada otoritarianisme dalam penyelenggaraan negara dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Kekuasaan mempunyai kharakteristik korup. Hal ini pernah dikemukakan oleh Lord Acton dalam satu ungkapan, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak korup secara mutlak pula. Pembatasan kekuasaan dapat dilakuakan secara sistematik, organik dan yuridis. Menurut Bertrand Russel, sistem yang paling baik untuk mengontrol kekuasaan adalah sistem demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai sistem terbaik bukan hanya karena adanya konsep pemisahan kekuasaan negara secara seimbang, tapi juga karena dimungkin untuk selalu mengoreksi kakuasaan tersebut.

Pembatasan kekuasaan secara organik dilakukan dengan membentuk institusi – institusi pengawasan bagi pelaksanaan kekuasaan, baik yang bersifat formal maupun yang bersifat informal. Sedangkan pembatasan kekuasaan secara yuridis dilakuakan melalui perumusan wewenang secar jelas mengenai lingkup wewenang itu, limitasinya dan pertanggungjawabanya.

Akhirnya, fungsi hukum terhadap kekuasan adalah untuk meminta pertanggungjawaban kekuasaan. Menurut Marion Levy, “kekuasaan selalu menyimpulkan imbangannya oleh tanggung jawab, yang berarti pertanggungjawaban dari individu – individu atau golongan – golongan lainnya atas tindakan – tindakannya sendiri dan tindakan – tindakan orang – orang lain.”

Pertanggungjawaban kekuasaan dalam konteks hukum adalah untuk menjaga agar pengunaan kekuasaan sesuai dan mekanismenya sesuai dengan tujuan pemberian kekuasaan tersebut. Penyalahgunaan kekuasaan dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum. Penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang hukum administrasi dapat dilakukan melalui proses peradilan tata usaha negara, pennyalahgunaan kekuasaan yang merugikan kepentingan seseorang atau masyarakat dapat digugat melalui peradilan perdata. Penyalahgunaan kekuasaan masuk katagori tindak pidana dapat dituntut secara pidana. Demikianlah pokok – pokok pemikiran mengenai hubungan dialektis hukum dan kekuasaan.

Kesimpulan
Berdasarkan deskripsi di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, kekuasaan adalah suatu konsepsi hubungan sosial antara dua pihak atau dua institusi yang bersifat saling pengaruh mempengaruhi, dominatif atau eksploitatif. Kedua, hakekat hukum dapat ditinjau dari sudut otoritas yang membentuknya, substansinya dan daya kerjanya dalam mengatur masyarakat.

Dialektika hukum dan kekuasaan melahirkan dua pola hubungan, yaitu hukum identik dengan kekuasaan dan hukum tidak sama dengan kekuasaan. Pola hubungan hukum identik dengan kekuasaan merefleksikan diri dalam bentuk kedaulatan, otoritas, wewenang, dan hak. Sedangkan pola hubungan hukum tidak sama dengan kekuasaan memunculkan tiga pola hubungan: supremasi kekuasaan terhadap hukum, supremsi hukum terhadap kekuasaan, dan hubungan simbolik hukum dan kekuasaan.

Hubungan simbolik hukum dan kekuasaan melahirkan hubungan fungsional di antara keduanya. Kekuasaan menpunyai fungsi sebagai alat untuk membentuk hukum, menegakan hukum, dan melaksanakan hukum. Sedangkan fungsi hukum terhadap kekuasaan meliputi alat untuk melegalisasi atau menjustifikasi kekuasaan, alat untuk mengatur dan mengontrol kekuasaan, dan juga alat untuk mengawasi dan mewadahi pertanggungjawaban kekuasaan

Daftar Pustaka;
  • Ali, Ahmad, 1996, Menguak Tabir Hukum, Chandra Pratama, Jakarta.
  • Apeldorn, L.J. van, 1989, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
  • Budiman, Arief, 1996, Teori Negara, Kekuasaan dan Idiologi, Gramedia, Jakarta.
  • Budiman, Arief, 1982, Bentuk Negara dan Pemerataan Hasil Pembangunan, Prisma, Jakarta.
  • Budiardjo, Miriam, 1991, “Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa,” Sinar Harapan, Jakarta, dikutip dari Max Weber, 1982, Wirtschaft und Geselschaft, Tubingen Mohr.
  • Cipto, 1995, Dewan Perwakilan Rakyat, Rajawali, Bandung.
  • Curzon, L.B., 1979, Juriprudence, M&E Handbook.
  • Hamzah, Andi, 1986, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta.
  • Harian Kompas, 23 September 1999.
  • Iswara, Fred, 1964, Pengantar Ilmu politik, Dhwiwantara, Jakarta.
  • Kusumaatmadja, Mochtar, tanpa tahun, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Jakarta
  • Kusnardy, Moh. dan Harmaily Ibrahim, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negaara UI, dikutip dari Van Vollenhoven, Staatsrecht Oerzee. 
  • Olivecrona, Karl, 1939, Law as Fact, Copenhagen-London.
  • Parsons, Talcott, 1957, The Distribution of Power in American Society, Word Politics.
  • ______, 1967, Sociological Theory and Modern Society, Free Press, New York.
  • Soemardi, Soelaeman, 1956, ”Pendekatan terhadap Kajahatan sebagai Suatu Fenomena Soasial,” dalam Miriam Budihardjo, “Aneka Pemikiran dalam Tentang kuasa dan Wibawa.” dikutip dari Robert Strausz Hupe, Power and Community.
  • Soemantri, Sri, 1984,“Masalah Kedaulatan Rakyat berdasarkan UUD 1945,” dalam Padmo Wahyono (ed), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa ini, Ghalia Indonesia, Jakarta.
  • Suseno, Frans Magnis, 1988, Etika Politik. Pt Gramedia, Jakarta.
  • Sargent, LymanTower, 1984, Contemporary Political Ideologies, Sixth Edition, The Dorsey Press.
  • Rasjidi, Lili, 1988, Dasar – dasar Filasat Hukum, Rajawali, Jakarta.
  • Rahardjo, Satjipto, tanpa tahun, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru.
  • Thontowi, Jawahir, tanpa tahun, Penegakan Supremasi Hukum dalam Sistem Peradilan Indonesia. 

No comments:

Post a Comment