Agroekosistem Tanah Mineral Masam, sebuah tulisan yang mengangkat potensi tanah mineral masam lahan kering di Indonesia untuk pengembangan agroekosistem dan sekaligus memberikan rambu-rambu tentang kendala pengembangannya. Beberapa wilayah agroekosistem yang dikembangkan pada tanah mineral masam selama ini telah berhasil menjadi pusat pertumbuhan ekonomi wilayah sekitar, tetapi ada juga yang harus menunggu setengah generasi untuk menciptakan pertumbuhannya. Ada pula dalam catatan pengelolaan sumberdaya lahan selama ini yang keliru sehingga tercipta suatu kawasan yang kehilangan ragam potensinya, sehingga potensi tanah mineral masam tersebut tumbuh menuju kekritisan. Kemasan terstruktur tulisan ini diantar dengan Bab I Pendahuluan yang berisikan pengertian atau batasan umum tentang tanah mineral masam, dan batasan ini dipersempit lagi dengan batasan potensi yang dapat dikembangkan menjadi tanah untuk agroekosistem. Selanjutnya, potensi kuantitatif luas wilayah dalam bentangan daratan Indonesia disajikan pada bagian pendahuluan ini.
Potensi ini memberikan latar bahwa pengembangan pertanian pada lahan kering beriklim basah merupakan tantangan sekaligus peluang yang paling memungkinkan untuk meningkatkan ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan di Indonesia. Peningkatan permintaan akan bahan pangan dan industri berbahan baku hasil pertanian serta peluang substitusi energi dari karbon fosil ke bioenergi, tanah-tanah mineral masam yang marjinal merupakan wilayah masa depan untuk pengembangan agroekosistem. Pengembangan tanah mineral masam menjadi wilayah agroekosistem dihadapkan pada kendala inheren dan kendala pengelolaan. Kendala-kendala inheren dan pengelolaannya merupakan materi akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini. Pada akhir Bab pendahuluan ini, batasan agroekosistem menjadi rambu-rambu untuk pengembangannya. Agroekosistem yang diimplementasikan harus mempertimbang kendala inheren yang marjinal, sehingga pengelolaan agroekosistem dapat produktif dan berkelanjutan. Ekosistem wilayah harus stabil walaupun ada wilayah binaan di daerah hulunya, dan kemerataan dalam wilayah tersebut adalah tujuan geososial dari pengembangannya.
Tanah mineral masam marjinal terbentuk pada wilayah tropika basah. Pelapukan mineral-mineral primer menjadi menjadi mineral liat sekunder dan oksida-oksida adalah bahasan dalam Bab II Pedogenesis dan Sifat Tanah. Tanah-tanah di Indonesia sebagian besar berkembang pada iklim tropika basah dengan curah hujan >200 mm bulan-1 dan karena didukung pula oleh temperatur yang tinggi maka proses pelapukan berjalan lebih cepat bila dibandingkan dengan daerah-daerah beriklim kering. Proses pelapukan ini menghasilkan penciri-penciri spesifik sehingga memberikan nama tersediri pada masing-masing jenis tanah mineral masam. Curah hujan yang tinggi menyebabkan proses pencucian yang intensif, sehingga kation-kation basa; Ca, Mg, K, dan Na hilang dari lapisan tanah, dan tanah memiliki kejenuhan basa yang rendah.
Pencucian dari mineral liat pada lapisan atas menyebabkan terjadinya penumpukan mineral liat pada horizon di bawahnya sehingga terbentuk horizon argilik, tanah yang terbentuk adalah Ultisols. Juga, pada tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut akan didominasi oleh mineral-mineral bersifat low activity clay, yaitu mineral oksida Fe dan Al, sehingga kapasitas tukar kation pada tanah tersebut menjadi sangat rendah, dan sebaliknya pada tanah tersebut memiliki kapasitas fiksasi yang sangat kuat terhadap anion, tanah ini dinamai Oxisols. Pencucian tidak hanya terjadi pada mineral liat, tetapi pencucian dapat juga terjadi pada humus tanah, sehingga terbentuk horizon yang pucat di lapisan atas dan berwarna gelap di lapisan bawah, dan tanah ini disebut Spodosols. Tanah-tanah yang terbentuk dari bahan induk abu vulkan dan telah mengalami pencucian yang intensif akan ber-pH rendah dan mineral amorf akan mendominasi mineral oksidanya. Tanah yang terbentuk dari bahan induk abu vulkan bermineral oksida amorf ini antara lain Andisols dan Dystrandepts.
Karakteristik yang sangat menentukan reaktivitas tanah adalah luas permukaan dan muatan permukaan, kalimat pembuka dari Bab III Karakteristik Mineral Liat, akan membahas sumber muatan dari koloid tanah. Muatan permukaan negatif fraksi liat tanah terbentuk sebagai akibat adanya substitusi isomorfik dan ionisasi gugus fungsional pada permukaan koloid yang membentuk matrik tanah. Substitusi isomorfik akan membangun muatan permanen, sedangkan ionisasi gugus fungsional akan membentuk muatan permukaan tergantung pH tanah. Pada tanah yang telah mengalami pelapukan lanjut seperti tanah mineral masam, keberadaan kaolinit, oksida Fe dan Al sangat dominan sehingga pada tanah ini muatan tergantung pH sangat menentukan pertukaran ion.
Pada Bab ini juga disampaikan mengenai titik muatan nol, fenomena erapan dan kapasitas tukar kation. Partikel-partikel tanah akan membentuk muatannya, tetapi tanah itu sendiri secara elektrik selalu akan menetralisir muatan tersebut. Nilai pH dimana total muatan partikel sama dengan nol; disebut Titik muatan nol (Point of Zero Charge=PZC), atau dengan kata lain PZC adalah nilai pH yang menunjukkan jumlah OH- sama dengan H+. Status titik muatan nol merupakan salah satu indikator yang penting dalam pengelolaan tanah yang bermuatan tergantung pH, karena nilai ini berhubungan dengan adsorpsi dan desorpsi ion dalam larutan tanah. PZC berperan penting dalam pembentukan agregat tanah dan dalam retensi ion-ion yang diadsorpsi sehingga terhindar dari pencucian, khususnya pada tanah yang bermuatan berubah. Jika nilai PZC tanah lebih tinggi dari pada pH aktual, koloid tanah bermuatan positif sehingga cenderung mempunyai afinitas tinggi untuk mengadsorpsi anion seperti fosfat, sulfat, molibdat dan anion lainnya. Nilai PZC tanah mineral di wilayah tropik dengan dominasi liat yang bermuatan berubah sebesar pH 4.65.
Kekuatan adsorpsi dan kecepatan desorpsi adalah fenomena erapan, yaitu kekuatan pembentukan kompleks. Pembentukan kompleks antara gugus fungsional mineral liat dengan ion dalam larutan tanah dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya reaksi dengan molekul air. Jika tidak ada molekul air sebagai jembatan ikatan antara gugus fungsional pada permukaan liat dengan ion atau molekul, penyusunan ini terjadi pada lapisan dalam (inner sphere). Jika ada paling sedikit satu molekul air sebagai jembatan ikatan antara gugus fungsional dan ion atau molekul, pembentukan kompleks ini terjadi pada lapisan luar (outer sphere). Pembentukan kompleks outer-sphere melalui ikatan elektrostatis sehingga kurang stabil dibanding dengan pembentukan kompleks inner-sphere melalui ikatan ionik atau ikatan kovalen, atau kombinasinya. Jika ion-ion dalam larutan tidak membentuk kompleks dengan gugus fungsional, tetapi hanya menetralisir muatan dalam larutan, dan ikatannya disebut diffuse-ion swarm.
Kapasitas pertukaran kation adalah jumlah muatan kation-kation yang teradsorpsi yang dapat dipertukarkan dari suatu massa tanah. Kation-kation yang mudah dipertukarkan pada permukaan partikel tanah adalah yang ada pada kompleks pertukaran luar (outer-sphere complex) dan mekanisme diffusi ion swarm. Koloid tanah yang terdapat pada tanah mineral masam yang telah mengalami pelapukan lanjut didominasi oleh koloid mineral kaolinit, hidroksida Al dan Fe, dan kompleks organik Al. Tanah-tanah yang didominasi oleh oksida-hidrat Al, Fe, dan Si mempunyai muatan koloid yang rendah dan selalu berubah bergantung pada perubahan lingkungan sistem. Kapasitas pertukaran kation pada beberapa tanah mineral masam di Indonesia terkategori rendah.
Laju pelepasan karbon dari permukaan daratan sekarang ini dua kali lebih besar dari laju pemendamannya. Ketidakseimbangan ini terutama disebabkan oleh penebangan hutan dan pembukaan lahan untuk pengembangan agroekosistem. Dua kalimat di atas merupakan kalimat pembuka di Bab IV Dinamika Karbon, yang membahas tentang net fotosintesis, asimilasi karbon, biomolekul dalam tanah, humus, dan evolusi Karbon. Bandingan masa lalu tentang penutupan daratan Indonesia yang masih hijau dan realitas hilangnya ’emas hijau’ masa kini karena deforestasi akan menjadi bahasan yang menarik pada bab ini. Tanah-tanah di wilayah beriklim tropika basah yang belum dijamah manusia sangat produktif menghasilkan biomassa. Jumlah biomassa dalam hutan tropika antara 200 sampai 400 ton bahan kering. Setelah adanya pembukaan hutan dan pengembangan membentuk agroekosistem dengan masukan minimal, tanah ini hanya mampu menghasilkan biomassa sebesar 5 – 7 ton ha-1 berat kering per tahun. Pembentukan biomassa yang optimal pada pertanaman karet, kelapa sawit, dan pisang belum mampu mengimbangi pembentukan biomassa hutan tropika.
Pada suatu ekosistem yang menghasilkan biomassa sampai 40 ton ha-1 bahan kering, bahan organik yang tersusun di dalam tanah tetapi rendah, Pemberian mulsa alang-alang pada suatu agroekosistem sebesar hampir mencapai 50 ton ha-1 selama masa tanam 7 tahun tidak memperbaiki kandungan bahan organik tanah, bahkan kandungan bahan organik tanah turun menjadi 2.3% dan pada tanah terbuka kandungan bahan organik tinggal 1.4%. Bahan organik tanah pada beberapa macam tanah mineral masam rendah seperti pada tanah Inceptisols, Entisols, dan Ultisols. Pada tanah Inceptisols kandungan C organik di bawah tegakan kemiri rata-rata 2.2%, di bawah tegakan kopi 1.1%, dan campuran kemiri dengan kopi sebesar 1.2%. Biomassa karbon yang tersimpan dalam tanah hanya berkisar 1 – 2% dari total bahan organik tanah, tetapi peranannya sangat signifikan pada siklus karbon tanah, dan juga siklus unsur hara lainnya.
Humus adalah senyawa kompleks amorfus yang bersifat koloidal hasil modifikasi dan sintesis mikrobiologi tanah yang agak resisten terhadap pelapukan. Humus adalah senyawa kompleks dan agak resisten terhadap dekomposisi mikroorganisme, bersifat koloid, amorf, berwarna coklat sampai coklat kehitaman hasil yang merupakan hasil sintesis jaringan organik oleh mikroorganisme tanah. Dua tipe polimer, asam humat dan polisakarida, menyusun sampai 90% atau lebih dari total humus dalam tanah.
Mineralisasi dari bahan organik tanah merupakan proses yang kompleks hasil interaksi dari beragam kehidupan dalam tanah, dan dari proses mineralisasi ini akan melepaskan nitrogen organik menjadi nitrogen yang dapat diserap oleh tanaman. Bab V. Dinamika Nitrogen, akan banyak membahas tentang mineralisasi, nitrifikasi dan denitrifikasi. Nitrogen yang tersedia untuk tanaman umumnya dalam bentuk amonium, NH4 dan nitrat, NO3, baik dalam larutan tanah maupun terikat pada permukaan koloid. Amonium hasil mineralisasi sisa tanaman tidak stabil di dalam tanah, tetapi akan cepat ditransformasi ke bentuk lain dalam sistem tanah atau sistem tanaman. Beragam reaksi dari siklus transformasi nitrogen dari satu elemen ke bentuk yang lain; mineralisasi melepaskan nitrogen dari bentuk organik menjadi bentuk anorganik, immobilisasi adalah merubah bentuk dari anorganik menjadi bentuk yang tidak tersedia bagi tanaman, sedangkan nitrifikasi merubah elemen nitrogen dari bentuk tereduksi menjadi bentuk teroksidasi. Transformasi tertentu dari nitrogen dapat menyebabkan nitrogen hilang dari tanah melalui proses volatilisasi.
Bab VI Dinamika Fosfor, akan membahas tentang bentuk dan sumber fosfor tanah, ketersediaan fosfor tanah, dan pengelolaan tanah kahat fosfor. Kahat fosfor merupakan gejala umum dari pengembangan agroekosistem tanah mineral masam. Beragam faktor yang dapat menyebabkan tanah ini menunjukkan defisiensi fosfor. Faktor-faktor tersebut adalah;
- pH tanah,
- Fe, Al, Mn yang larut,
- adanya mineral yang mengandung Fe, Al, dan Mn,
- tersedianya Ca, 5) jumlah dan tingkat dekomposisi bahan organik, dan
- kegiatan mikroorganisme tanah. Empat faktor pertama berhubungan satu sama lain, karena kesemuanya tergantung pada kemasaman tanah
Tanah masam adalah tanah dengan nilai pH < 7.0, walaupun masalah serius yang berhubungan dengan kemasaman tanah jarang ditemukan pada pH tanah di atas 5.5. Kalimat di atas adalah penghantar untuk masuk dalam Bab VII Kemasaman Tanah. Bab ini tersusun dalam sistematika konsep kemasaman tanah, hubungan kemasaman tanah dengan ketersediaan hara tanaman, kimia aluminium, dan netralisasi kemasaman tanah.
Kemasaman tanah dipengaruhi oleh karakteristik inheren, dan masukan materi dan energi terhadap tanah tersebut, tetapi dari beberapa faktor inheren yang mempengaruhi pH tanah yaitu kejenuhan basa, sifat misel, dan macam kation yang terjerap. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi kemasaman tanah, yaitu macam pupuk yang digunakan, jumlah kation basa yang diangkut oleh hasil panen, pencucian kation-kation, sisa organik dan tingkat dekomposisinya, transformasi nitrogen, dan deposisi nitrat, sulfat, dan hujan asam. Beragam sumber kemasaman tanah mengikuti urutan sebagai berikut; ion H pada muatan permanen dan dapat dipertukarkan > Al pada muatan permanen dan dapat dipertukarkan > monomer hidroksi Al > polimer hidroksi Al = kemasaman dari bahan organik = kemasaman dari lapisan Al-OH atau Si-OH.
Kemasaman tanah yang dinyatakan dengan pH dapat digunakan sebagai indikator kesuburan kimia tanah, karena dapat mencerminkan ketersediaan hara dalam tanah. Kemasaman tanah sangat mempengaruhi ketersediaan N anorganik dimana pada pH rendah, aktivitas mikroorganisme untuk mendekomposisi N organik menjadi terhambat. N anorganik pada tanah mineral masam hasil dekomposisi lebih banyak terakumulasi dalam bentuk NH4+, karena proses nitrifikasi membentuk NO3- terhambat pada pH < 5.39, dan akan optimum ketersediaan N dalam bentuk NO3- pada pH > 6.0. Selanjutnya, bentuk anion P anorganik dalam tanah sangat dipengaruhi pH, dan pada kisaran pH 4.0 – 6.0, kebanyakan P dalam larutan tanah dalam bentuk ion H2PO4-1, dan pada tanah mineral masam kelarutan PO4-3 sulit terjadi, bahkan P dimungkinkan akan mengendap membentuk H3PO4. Ketersediaan kation-kation basa Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah pada kemasaman yang tinggi, sebaliknya kelarutan kation-kation unsur hara mikro akan meningkat
Menetralisir kemasaman tanah yang umum dilakukan adalah dengan pemberian kapur. Reaksi kimia kapur tersebut akan melepaskan kation Ca2+ sehingga ketersediaan kalsium meningkat, dan reaksi tersebut juga terutama melepaskan ion hidroksil, OH-1. Ion hidroksil ini akan menetralisir kemasaman tanah, dan meningkatkan pH tanah, pengaruh paling penting dari proses pengapuran.
Pengelolaan kesuburan kimia tanah untuk meningkatkan produksi yang berkelanjutan pada tanah mineral masam adalah terlebih dahulu harus mengidentifikasi persoalan faktor pembatas kimia yang dapat menyebabkan defisiensi hara dan tingkat toksisitas unsur terhadap pertumbuhan tanaman. Bab VIII Kesuburan Tanah memaparkan tentang unsur hara esensial, karakteristik tanah mineral masam, kejenuhan basa, defisiensi hara, pemupukan, biotoksisitas, dan netralisasi unsur toksik. Unsur hara esensial selain C, H, O, terdiri dari unsur hara primer N, P, K; unsur hara sekunder Ca, Mg, S; dan unsur hara mikro Fe, Zn, Mn, Cu, Mo, B, dan Cl. Bentuk-bentuk ion yang diserap tanaman dan peranannya terhadap pertumbuhan tanaman banyak dibahas dalam bagian ini.
Defisiensi unsur hara sering mempengaruhi produksi tanaman pada tanah mineral masam disaat faktor pembatas lain sudah diatasi. Beberapa kondisi yang sering terjadi defisiensi hara pada tanah mineral masam yaitu rendahnya kandungan hara dalam tanah, tingginya retensi hara oleh unsur yang berlebih, kompetisi penggunaan tapak pertukaran kation, dan kompetisi penggunaan ion pembawa dalam jaringan tanaman. Tanah mineral masam yang telah mengalami pencucian pada periode yang panjang, kation-kation basa hasil pelapukan mineral tanah telah tercuci dari daerah perakaran tanaman, sebaliknya, kompleks pertukaran akan dijenuhi oleh aluminium. Defisiensi N, P, Ca, Mg, K, Mn, Zn, Cu dan Mo sering terjadi pada tanah mineral masam.
Serapan hara oleh tanaman merupakan informasi penting dalam menentukan pengelolaan hara. Serapan hara oleh tanaman berarti memindahkan hara yang tersedia dalam tanah, dan sebagian dari hara yang diserap akan terbawa oleh hasil panen. Untuk menjaga kontinuitas produksi dari tanaman yang diusahakan, maka besaran hara yang diserap oleh tanaman harus disubstitusi dengan pemupukan. Pemupukan yang rasional dilakukan dilakukan dengan prinsip lima tepat yaitu tepat jenis, takaran, waktu, cara dan frekuensi. Kebutuhan pupuk untuk tanaman pada suatu tipe tanah dan rezim curah hujan tergantung pada potensi hasil dan keseimbangan hara. Pada suatu tipe tanah, kebutuhan hara tanaman beragam tergantung cara budidaya, kultivar tanaman atau klon tanaman. Takaran pupuk yang rasional dibuat atas dasar beberapa pertimbangan antara lain; jumlah hara yang terangkut dari hasil panen, jumlah hara yang terimmobilisasi dalam pohon, jumlah hara yang dikembalikan ke dalam tanah, jumlah hara yang terfiksasi dan hilang dalam tanah, dan jumlah hara yang tersedia dalam tanah
Banyak unsur yang bersifat toksik terhadap pertumbuhan tanaman. Tanaman yang mengalami keracunan biasanya diawali dengan beberapa penyimpangan fisiologis dan proses biokimia saat pertumbuhannya. Pada tanah mineral masam, toksisitas terhadap tanaman muncul karena tingginya ion Al yang dapat dipertukarkan, dan konsentrasi Fe dan Mn dalam terlarut. Toksitas Al yang mempengaruhi proses fisiologis dan reaksi biokimia yang kompleks dalam tanaman dapat juga direfleksikan dengan beberapa interaksi serapan unsur hara oleh tanaman, dimana konsentrasi Al yang tinggi pada tapak pertukaran dapat menekan penyerapan unsur hara esensial oleh tanaman seperti N, P, K, Ca, Mg, Zn, Fe.
Tingginya kandungan Al yang dapat bersifat toksik terhadap tanaman diperlukan pengelolaan tanah yang baik dan pengapuran. Pada umumnya bahan kapur untuk pertanian adalah kalsium karbonat (CaCO3), dan kalsium magnesium karbonat atau dolomit (CaMg(CO3)2. Penentuan kebutuhan kapur pada tanah mineral masam lebih terarah pada netralisasi aktivitas Al yang dapat dipertukarkan, dan tingkat sensitivitas tanaman terhadap kelarutan Al karena setiap tanaman memiliki tingkat kepekaan terhadap sifat racun Al yang berbeda. Tanaman kacang-kacangan memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap kelarutan Al, sedangkan tanaman padi relatif toleran terhadap kejenuhan Al.
Kendala kimia peningkatan produktivitas tanah mineral masam dapat diatasi dengan pengapuran dan pemupukan, tetapi ameliorasi dengan input senyawa kimia ini berbiaya tinggi. Penggunaan kapur saja sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan produktivitas lahan mineral masam tidak disarankan karena dampaknya hanya bersifat sementara atau tidak berkelanjutan. Pengapuran yang dikombinasikan dengan pemberian bahan organik dapat mengurangi atau bahkan mensubstitusi kebutuhan kapur. Namun, kapur tetap diperlukan sebagai pupuk kalsium dan magnesium. Penambahan bahan organik secara terus menerus ke dalam tanah merupakan salah satu jalan pemecahan masalah keracunan Al yang relatif murah.
Degradasi lahan dan erosi tanah merupakan salah satu masalah yang sifatnya mendasar dan menonjol di tanah mineral masam lahan kering untuk pertanian tanaman pangan. Bab IX Degradasi Tanah, akan membahas lebih jauh tentang perladangan, erosi, pendugaan erosi, tingkat bahaya erosi dan lahan kritis.
Degradasi lahan kering selama ini lebih tersorot pada kekeliruan pembukaan dan pengelolaan lahan oleh perladangan berpindah. Sistem pembukaan lahan dengan cara tebas-bakar (slash and burn) dan biasanya terletak pada lahan yang miring akan mengawali terjadinya erosi. Kebiasaan membakar kayu dan ranting sisa pembukaan lahan biasanya diteruskan oleh petani dengan membakar sisa tanaman. Pembakaran sisa-sisa tanaman tiap tahun akan mempercepat proses pencucian dan pemiskinan tanah. Merosotnya kadar bahan organik tanah akan memperburuk sifat fisik dan kimia tanah.
Perladangan berpindah adalah suatu sistem pengelolaan lahan tradisional yang ada di Indonesia. Pada mulanya sistem ini tidak menimbulkan masalah yang serius karena lahan masih tersedia cukup. Sistem perladangan berpindah sangat dekat dengan ciri ekosistem alam yaitu tanaman yang berguna bagi manusia diseleksi dan ditanam bersama-sama dalam satu lahan yang sama, sehingga berdasarkan tingkat keragaman hayati ekosistem perladangan lebih stabil dibandingkan dengan sistem pertanian monokultur. Kini, kita dihadapkan pada masalah keterbatasan sumber daya lahan. Dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk, sistem perladangan berpindah sudah tidak sesuai lagi karena sistem perladangan menggunakan sumberdaya lahan yang boros. Pola pertanian yang mereka terapkan selama ini bila tidak dimodifikasi, tidak akan mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Ketidakmampuan ini pada akhirnya akan mengancam kelestarian sumber daya lahan.
Erosi merupakan penyebab utama kerusakan lahan dan lingkungan. Tanah mineral masam yang dikembangkan sebagai areal agroekosistem di Indonesia sebagian besar terdapat pada wilayah bertopografi datar hingga bergelombang dan, dan bahkan ada yang bertopografi bergelombang hingga berbukit. Rendahnya kapasitas simpan air dan kemantapan agregat tanah pada tanah ini menyebabkan tanah mineral masam yang terletak pada wilayah yang bergelombang sampai berbukit rentan terhadap erosi. Permasalahan degradasi lahan dan beratnya erosi disebabkan oleh curah hujan yang mempunyai nilai erosivitas tinggi, tanah peka erosi, kemiringan lereng melebihi batas kemampuan lahan untuk tanaman pangan, cara pengelolaan tanah dan tanaman yang salah termasuk kebiasaan membakar dan cara pembukaan lahan yang salah, dan tindakan konservasi lahan yang belum memadai. Faktor lain yang mempercepat kerusakan lahan yaitu merosotnya kadar bahan organik karena pembakaran sisa tanaman dan pencucian hara.
Faktor tanaman dan pengelolaan lahan sangat berperan dalam menentukan besarnya laju erosi. Pengolahan tanah yang berlebihan dapat berpengaruh buruk, antara lain rusaknya struktur tanah, menurunkan kandungan bahan organik tanah secara cepat, memutuskan akar-akar tanaman yang berfungsi memegang agregat tanah, dan meningkatkan kepadatan serta pembentukan kerak tanah di permukaan. Sistem pengelolaan tanah dan tanaman yang umum dilakukan oleh petani saat ini, prediksi erosi yang akan terjadi jauh lebih besar dari besarnya erosi yang masih dapat dibiarkan. Bila erosi ini terus berlanjut maka produktivitas lahan akan menurun dan pada titik tertentu lahan tidak mampu lagi mendukung hasil tanaman. Pada saat lahan tidak mampu lagi berproduksi, lahan telah mengalami kemunduran fisik, kimia maupun biologi, dan lahan telah menjadi kritis.
Pencemaran pada agroekosistem dan ekosistem hilirnya banyak mendapat sorotan saat ini. Pencemaran dapat terjadi sebagai akibat dari berbagai kegiatan yang dilakukan, yaitu pertanian, pertambangan, industri, transportasi, rumah tangga dan lain-lain. Komponen utama dari agroekosistem yang berpotensi untuk tercemar adalah air dan tanah, yang selanjutnya akan berpengaruh pula terhadap kualitas pertanian dan makhluk hidup yang berinteraksi dengan komponen-komponen yang ada dalam agroekosistem dan daerah hilir yang dipengaruhinya. Bab X Pencemaran Lingkungan akan membahas tentang pencemaran logam berat, pencemaran pestisida, bioremediasi.
Sumber pencemar agroekosistem dapat berupa point source (PS) pollutants, yakni sumber-sumber pencemar yang dapat dengan jelas dari mana titik asalnya, misalnya pencemar yang dihasilkan dari kegiatan industri dan pertambangan, dan non point source (NPS) pollutants, yakni sumber-sumber pencemar yang sulit untuk dikenali secara pasti dari mana titik pencemar berasal. Bahan pencemar yang berasal dari kegiatan pertanian digolongkan sebagai NPS. Penanggulangan pencemaran NPS relatif lebih sulit dibandingkan dengan penanggulangan pencemaran PS polutan. Penanggulangan pencemaran PS polutan dapat dilakukan dengan perbaikan prosedur pengolahan limbah yang akan dialirkan ke sungai atau badan air lainnya. Beberapa sumber yang dapat menyebabkan logam berat masuk dalam ekosistem pertanian yaitu buangan limbah industri yang masuk ke lahan pertanian, aktivitas pertambangan di bagian hulu daerah aliran sungai, erosi, dan pupuk serta pestisida yang mengandung logam berat.
Sejarah manusia kaya dengan peperangan melawan hama. Lebih dari sepuluh ribu spesies insekta, gulma, nematoda dan penyakit yang dapat menyerang tanaman yang dibudidayakan. Berbagai cara telah dikembangkan untuk mengubah keseimbangan ke arah yang menguntungkan manusia seperti pemilihan kultivar tanaman agar dapat mengatasi dan melawan gulma, hama dan penyakit tanaman. Penggunaan agrokimia untuk budi daya pertanian dapat mencapai 30 – 50% dari total input produksi pertanian. Pestisida yang banyak digunakan saat ini mencakup insektisida, fungisida, herbisida, nematisida, moluskisida, dan akarisida.
Bioremediasi tanah tercemar logam berat sudah banyak dilakukan dengan menggunakan mikoriza dan bakteri pereduksi logam berat sehingga tidak dapat diserap oleh tanaman. Mikoriza dapat melindungi tanaman dari ekses unsur tertentu yang bersifat racun seperti logam berat. Fauna tanah mampu mengikat dan mengakumulasi logam berat di dalam sel tubuhnya. Cacing tanah yang memakan tanah dapat mengakumulasi logam berat dalam tubuhnya seperti Pb dan Cd, dan cacing tanah dapat dijadikan fauna indikator untuk memonitor pencemaran tanah. Transformasi kimia dari bahan pencemar pestisida melalui proses bioremediasi meliputi proses detoksikasi, degradasi, konjugasi, pembentukan senyawa kompleks atau reaksi penambahan, aktivasi, defusi/pemecahan, dan perubahan spektrum toksisitas.
Pemuliaan tanaman melalui seleksi hasil persilangan kultivar dan kloning kultivas super yang berpotensi hasil tinggi dapat mengatasi gap hasil yang terjadi pada agroekosistem lahan kering sekarang ini dengan potensi hasil genetik. Perbaikan genetik tanaman akan menunjukkan hasil yang tinggi jika diiringi dengan perbaikan managemen agronomi. Dalam kaitan dengan status unsur hara yang rendah pada tanah mineral masam, penggunaan pupuk yang optimal merupakan faktor kunci dalam peningkatan produktivitas lahan yang tinggi. Bab XI Agroekosistem ini hanya membahas masalah teknis pertanian saja, dan tidak membahas tentang geososial dari pemerataan kesempatan berproduksi. Seleksi tanaman, tumpang sari, pemupukan berimbang, dan aplikasi bahan organik adalah model untuk meningkatkan produktivitas, dan stabilitas kemampuan lahan untuk berproduksi yang lestari.
Pengalaman dan hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa usahatani yang hanya bersandarkan pada tanaman pangan semusim pada tanah mineral masam banyak menghadapi kendala dan resiko, dan pilihan yang lebih memungkinkan adalah dengan pengembangan pertanian menetap dengan tanaman tahunan. Integrasi tanaman pangan dengan tanaman perkebunan tidak menunjukkan pengaruh yang merugikan pada pertumbuhan tanaman perkebunan seperti karet, kopi, dan kakao. Pola pertanian tradisional perladangan di beberapa wilayah di Indonesia dengan penanaman tanaman semusim pada tahun-tahun pertama pembukaan lahan dan bersamaan dengan penanaman tanaman tahunan dapat dijadikan contoh untuk pengembangan pertanian konservatif pada tanah mineral masam. Pola tanam pangan (padi gogo, kacang tanah, kacang hijau-gembili)-nenas-karet yang diterapkan oleh petani tradisional di Sumatera Selatan merupakan kearifan lokal petani petani peladang.
Pengelolaan tanah konservasi di wilayah tropis khususnya di Indonesia menjadi penting karena untuk menjaga lingkungan dan kelestarian tanah serta peningkatan produksi, disamping mengurangi degradasi kesuburan tanah, erosi dan kemasaman tanah. Pengelolaan tanah meliputi kegiatan-kegiatan penyusunan rencana penggunaan tanah, pembukaan lahan, pencegahan erosi, pengolahan tanah dan pemupukan. Pengelolaan tanah konservatif memberikan arti bahwa penggunaan tanah sesuai dengan kemampuannya dan memperlakukannya dengan mempertimbangkan faktor-faktor pembatas agar tidak terjadi degradasi tanah. Bab XII Pengelolaan Tanah menyampaikan tentang perencanaan dan penggunaan lahan harus didasarkan pada kemampuan dan kesesuaiannya, aplikasi metode konservasi tanah secara mekanik dan vegetatif, daur ulang sampah organik, dan multifungsi pertanian.
Setiap penggunaan lahan mempunyai pengaruh terhadap kerusakan tanah. Penggunaan tanah pertanian ditentukan oleh jenis tanaman, pola tanam, dan intensitas penggunaan lahan. Teknologi yang diterapkan pada tiap tipe penggunaan lahan akan menentukan apakah penggunaan lahan menunjukkan produktivitas yang tinggi dan lestari. Pola penggunaan lahan harus direncanakan diawal melalui penentukan tingkat kelas kesesuaian lahan. Klasifikasi kesesuaian lahan tanah mineral masam untuk pengembangan pertanian merupakan suatu penilaian secara sistematik dari lahan dan menggolongkannya ke dalam kategori-kategori berdasarkan persamaan sifat tanah yang mempengaruhi kesesuaian lahan bagi usaha pertanian. Tujuan utama dari klasifikasi kesesuaian lahan ialah untuk menentukan pola pengelolaan lahan yang sesuai dengan kemampuannya dan pengawetan tanah yang lebih baik.
Masalah konservasi tanah adalah masalah pengaturan hubungan antara intensitas hujan dan kapasitas infiltrasi, dan pengaturan aliran permukaan. Berdasarkan prinsip di atas maka ada tiga cara pendekatan dalam konservasi tanah, yaitu memperbaiki dan menjaga keadaan tanah agar resisten terhadap penghancuran agregat dan terhadap pengangkutan, dan lebih besar dayanya untuk menyerap air di permukaan tanah, menutup tanah dengan tumbuh-tumbuhan dan tanaman atau sisa tanaman agar terlindung dari daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, dan mengatur aliran permukaan sehingga mengalir dengan kekuatan yang tidak merusak. Metode mekanik konservasi tanah yaitu pengolahan tanah minimum, pengolahan tanah menurut kontur, pembuatan guludan, pembuatan teras, dan pembuatan bangunan air.
Terapan vegetatif dalam pengelolaan tanah konservatif mempunyai fungsi melindungi tanah terhadap daya perusak butir-butir hujan yang jatuh, melindungi tanah terhadap daya perusak aliran air di atas permukaan tanah, memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan absorpsi air yang langsung mempengaruhi waktu penyediaan air, dan memperbaiki struktur tanah dan kesuburan tanah. Terapan vegetatif dalam pengelolaan tanah konservatif antara lain penghutanan kembali, penanam rumput makanan ternak, penanaman dengan tanaman penutup tanah permanen, penanaman tanaman dalam baris (strip cropping), pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah, penggunaan sisa tanaman, penanaman saluran pembuangan dengan rumput
Multifungsi pertanian dalam hubungannya dengan pengendalian pencemaran dan lingkungan, antar lain mitigasi banjir, pengendalian erosi dan sedimentasi, penampung sampah organik, penyejuk dan pembersih udara, penambat karbon, dan pemelihara sumberdaya hayati. Multifungsi ini mempunyai sifat non-excludability, yaitu jasa yang dihasilkan dapat dinikmati secara cuma-cuma tidak hanya oleh petani yang menghasilkannya namun juga oleh masyarakat luas. Multifungsi pertanian juga bersifat non-rivalry, yaitu masyarakat dapat menikmati jasa tersebut tanpa harus berkompetisi karena jasa tersebut merupakan milik umum, yang mencakup fungsi lingkungan, ketahanan pangan serta fungsi sosial dan budaya.
Bumi Rafflesia, Agustus 2008
Penulis
No comments:
Post a Comment