Tuesday, 18 April 2017

HUBUNGAN HARA TANAH DENGAN TANAMAN

HUBUNGAN TANAH – HARA - TANAMAN
PENDAHULUAN
Tanah dapat didefinisikan sebagai material mineral tidak-padu yang berada di permukaan bumi dan yang berfungsi sebagai medium alami bagi pertumbuhan tanaman darat. Akan tetapi kalau dilakukan praktek-praktek pengelolaan tanah dan dengan demikian dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, maka akan banyak terjadi modifikasi pada karakteristik dan kualitas tanah. Efek-efek modifikasi terhadap lengas tanah, temperatur-tranah, oksigen-udara-tanah, karakteristik kimiawi, kekurangan atau keracunan hara, dapat muncul dan terlibat dengan interaksi-interaksi yang terjadi di antara parameter-parameter ini. Selain hal-hal tersebut, uraian berikut ini akan dibatasi pada modifikasi zone perakaran tanaman, terutama yang berkaitan dengan penyembuhan kekurangan unsur hara.

Sistem pengolahan tanah seringkali memodifikasi zone perakaran tanaman secara signifikan. Tindakan pengolahan tanah lazimnya dilakukan karena beberapa alasan, misalnya untuk menggemburkan tanah sehingga memudahkan penetrasi akar, mengubur residu panen tanaman sebelumnya, menyediakan lingkungan yang sesuai bagi benih, mengendalikan gulma. Tradisi, estetika, dan manfaat-manfaat tertentu lainnya telah memotivasi petani untuk mempraktekkan berbagai macam tindakan pengolahan tanah dan budidaya tanaman, yang pada akhirnya akan memodifikasi zone perakaran. Praktek-praktek seperti ini dianggap lebih layak kalau sumber enerji, terutama yang berasal dari bahan bakar fosil, cukup tersedia dan lebih ekonomis. Konsep penggunaan enerji telah berubah secara drastis pada akhir-akhir ini, terutama dalam proses produksi pertanian. Semakin terbatasnya enerji fosil dan dengan demikian semakin meningkatnya biaya serta minat terhadap konservasi tanah, telah mendorong semakin banyaknya perhatian terhadap konsep minimum-tillage (Adams et al., 1973; Mock dan Erbach, 1977). Sistem ini mempengaruhi tingkat modifikasi zone perakaran tanaman dan mungkin juga akan berpengaruh terhadap cekaman (kekurangan) hara.

Data yang sahih tentang pengaruh modifikasi zone perakaran terhadap cekaman hara relatif sulit dan mahal diperoleh. Heterogenitas di antara dan di dalam lokasi serta interaksi yang kompleks di antara faktor-faktor telah mengakibatkan kesulitan interpretasi data terutama kalau replikasi waktu tidak dilakukan. Walaupun demikian masih dimungkinkan untuk mengubah dan mengatasi kekurangan hara yang diakibatkan oleh adanya modifikasi zone perakaran.

Dalam rangka memperkenalkan teknik-teknik yang dapat digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah dan menyembuhkan kekurangan hara, dianggap perlu untuk terlebih dahulu memahami sifat dan karakteristik dari permasalahan yang dihadapi. Untuk ini maka harus memahami berbagai pengetahuan tentang fenomena kesetimbangan dalam tanah yang mengendalikan suplai hara ke akar tanaman. Kalau pengetahuan ini telah dikuasai, maka perlu mengevaluasi presisi dan nilai prognostik dari metode-metode yang ada untuk menjelaskan status kesuburan tanah. Hal ini memungkinkan kita untuk menentukan realibilitas cara-cara yang digunakan untuk mendiagnosa kekurangan hara dalam suatu kasus tertentu. Setelah itu berbagai pendekatan untuk menyembuhkan kekurangan hara dapat dirancang untuk memaksimumkan respon tanaman terhadap perlakuan penyembuhannya.

Ada banyak kendala dalam diagnosis sifat dan keparahan problematik yang ada dan pada akhirnya akan menimbulkan kesulitan dalam upaya menyembuhkan sesuatu masalah kekurangan hara. Banyak aturan-aturan dan kaidah-kaidah tertulis tentang kesuburan tanah dan diagnosis kekurangan hara. 

1. Hubungan Tanah-Tanaman
Disamping sebagai tempat tegaknya tanaman, tanah juga mensuplai unsur hara esensial yang diperlukan oleh tanaman kecuali CO2 dan O2 yang berasal dari atmosfer. Interaksi antara fase padatan dan cairan dalam mensuplai unsur hara esensialdari tanah ke akar tanaman, diabstraksikan dalam Gambar 1.1. Secara umum telah disepakati bahwa tanaman menyerap sebagian besar haranya secara langsung dari larutan tanah, maka komponen ini akan menjadi fokus pembahasan. Konsentrasi larutan tanah selalu encer, jarang yang melampaui 10 mM kecuali pada kondisi saline. Larutan tanah berada dalam kondisi kesetimbangan dinamik dengan fase padatan tanah yang mencerminkan cadangan hara. Hal ini dilukiskan dalam Tabel 1.1 yang hanya menunjukkan kecilnya persentase kation tersedia dalam larutan tanah.

2. Suplai dan Ketersediaan Hara
Untuk dapat lebih memahami kesetimbangan-kesetimbangan yang dilukiskan dalam Gambar 1.1, kita perlu untuk mengkaji konsep-konsep ketersediaan dan suplai hara kepada tanaman. Istilah "ketersediaan" itu sendiri masih belum terdefinisikan secara baik, tetapi telah diartikan sebagai ”kondisi dimana tanaman mampu mendapatkan hara secukupnya”. Misalnya, ion-ion dalam larutan tanah mudah tersedia tetapi jumlah totalnya sedikit. Oleh karena itu kesinambungan penyerapan hara dari larutan tanah tergantung kepada laju pembaharuan konsentrasinya dari cadangan hara yang berada pada fase padatan-tanah. Oleh karena itu pada umumnya dianggap benar bahwa tambahan pertama dari hara yang diambil akan lebih mudah tersedia dibandingkan dengan tambahan-tambahan berikutnya karena enerji ikatannya kepada fase padatan semakin besar. 

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETERSEDIAAN HARA BAGI TANAMAN
Ketersediaan hara bagi tanaman ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan tanah mensuplai hara dan faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan tanaman untuk menggunakan unsur hara yang disediakan. Tujuan dari uji-tanah adalah mengu­kur faktor-faktor ini dan menginterpretasikan hasil-hasilnya dalam konteks perlakuan penyembuhan yang mungkin diperlukan. Beberapa faktor dapat ditentukan melalui pekerjaan analisis laboratorium. Sedangkan faktor lainnya seperti kandungan oksigen-udara -tanah, suhu tanah dan lainnya, harus ditentukan di lapangan.

Dalam menyarankan suatu prosedur untuk mengukur ketersediaan unsur hara atau menginterpretasikan hasil-hasil pengukurannya, pengetahuan tentang berbagai reaksi yang berlangsung dan dialami oleh unsur hara dalam tanah sangat penting. Oleh karena itu dalam pembahasan kali ini akan dipusatkan pada faktor-faktor yang terlibat dengan suplai hara pada permukaan akar tanaman.

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi larutan tanah
Unsur hara yang larut dalam larutan-tanah berasal dari beberapa sumber seperti pelapukan mineral primer, dekomposisi bahan organik, deposisi dari atmosfer, aplikasi pupuk, AIR IRIGASI, rembesan air tanah dari tempat lain, dan lainnya. 

Ion-ion nitrat dan khlorida sangat mudah larut dan lazimnya tidak mem­bentuk senyawa yang tidak-larut dengan komponen tanah. Akibat­nya nitrat dan khlorida yang ditambahkan ke tanah akan tetap berbentuk anion dalam larutan tanah hingga diserap oleh akar tanaman atau jasad renik, tercuci, atau mengalami reaksi denitrifikasi nitrat. Anion sulfat dalam tanah-tanah netral dan alkalis mempunyai perilaku yang serupa dengan nitrat, tetapi dalam tanah-tanah masam cenderung untuk dijerap oleh koloid tanah. Kebanyakan unsur hara lainnya membentuk beberapa tipe senyawa yang kurang melarut dan cenderung mempertahankan konsentrasi kesetimbangan dalam larutan tanah. Dengan demikian kation-kation larut air akan berkesetimbangan dengan kation tukar; kation-kation seperti Cu dan Zn mempunyai ciri-ciri asam Lewis (sebagai aseptor elektron) dapt membentuk kompleks dengan bahan organik tanah; ion ferri dan Al membentuk hidroksida atau oksida hidrous yang tidak melarut; fosfor membentuk senyawa Fe-fosfat, Al-fosfat dan Ca-fosfat yang tidak melarut.

elkhorn.unl.edu/epublic/pages/publicationD.js...

Kondisi pH tanah merupakan faktor penting yang menentukan kelarutan unsur yang cenderung berkesetimbangan dengan fase padatan (Tabel 2.1). Kelarutan oksida-oksida hidrous dari Fe dan Al secara langsung tergantung pada konsentrasi hidroksil (OH-) dan menurun kalah pH meningkat. Kation hidrogen (H+) bersaing secara langsung dengan kation-kation asam Lewis lainnya membentuk tapak kompleksi, dan oleh karenanya kelarutan kation kompleks seperti Cu dan Zn akan meningkat dengan menurunnya pH. Konsentrasi kation hidrogen menentukan besarnya KTK tergantung-muatan (dependent charge) dan dengan demikian akan mempengaruhi aktivitas semua kation tukar. Kelaru­tan Fe-fosfat, Al-fosfat dan Ca-fosfat sangat tergantung pada pH, demikian juga kelarutan anion molibdat (MoO4) dan sulfat yang terjerap. Anion molibdat dan sulfat yang terjerap, dan fosfat yang terikat Ca kelarutannya akan menurun kalau pH meningkat. Selain itu, pH juga mengendalikan kelarutan karbonat dan silikat, mempengaruhi reaksi-reaksi redoks, aktivitas jasad renik, dan menentukan bentuk-bentuk kimia dari fosfat dan karbonat dalam larutan tanah. Pengasaman mineral silikat dapat menggeser "muatan patahan" dari negatif menjadi positif. Beberapa reaksi penting yang terpengaruh oleh pH disajikan dalam Tabel 2.2.

Soil pH affects nutrient availability to plants. The width of the band indicates the relative availability of each plant nutrient at various pH levels

Faktor lain yang sangat penting dalam menentukan konsentrasi hara dalam larutan tanah adalah potensial redoks (Eh). Faktor ini berhubungan dengan keadaan aerasi tanah yang selanjutnya sangat tergantung pada laju respirasi jasad renik dan laju difusi oksigen. Ia mempengaruhi kelarutan unsur hara mineral yang mempunyai lebih dari satu bilangan oksidasi (valensi). Unsur-unsur ini adalah C, H, O, N, S, Fe, Mn, dan Cu. Kandungan air yang mendekati atau melebihi kondisi ke-jenuhan merupakan sebab utama dari buruknya aerasi karena kecepa­tan difusi oksigen melalui pori yang terisi air jauh lebih lambat daripada pori yang berisi udara. Ikhtisar beberapa reaksi redoks yang penting disaji­kan dalam Tabel 2.3. Informasi dalam tabel ini menyatakan bahwa kalau tanah yang semula dalam kondisi oksidasi menjadi lebih reduksi mka akan dapat terja­di reaksi-reaksi berikut ini.

Reaksi-reaksi lainnya berhubungan dengan batas atas stabilitas air (reaksi No.2), nisbah Fe+++ dengan Fe++ dalam larutan tanah (reaksi No.3), proses nitrifikasi (reaksi No.4 dan 6), dan proses fiksasi nitrogen (reaksi No.11). Denitrifikasi dan reduksi Mn masih dapat berlangsung dalam tanah yang basah tetapi tidak jenuh air. Reaksi lainnya umumnya memerlukan kondisi jenuh dan tergenang. Reduksi feri-oksida akan menghasilkan pelepasan fosfat yang terfiksasi oleh oksida, yang dapat memberikan sumbangan kepada nutrisi tanaman seperti padi yang dapat tumbuh pada kondisi tergenang. Potensial baku (Eh) pada Tabel 2.3 hanya menjelaskan apa yang mungkin terjadi secara termodinamika. Laju aktual dari reaksi sangat tergantung pada sistem ensim jasad renik. Akan tetapi pentingnya pengaruh potensial redoks tanah terhadap komposisi larutan tanah sangatlah jelas.


Faktor lain, seperti suhu dan kekuatan ionik larutan-tanah, juga dapat mempengaruhi reaksi-reaksi yang mengendalikan konsentrasi hara dalam larutan tanah. 

2. Pergerakan Unsur Hara menuju Permukaan Akar
2.1. Intersepsi akar (root interception)
Kalau akar tanaman tumbuh dan berkembang dalam tanah, mereka menempati ruang yang semula ditempati oleh unsur hara yang dapat diserap. Oleh karena itu permukaan akar harus kontak dengan unsur hara ini selama proses penggantian ruang tersebut. 

Estimasi sumbangan intersepsi akar terhadap kebutuhan hara tanaman dapat dilakukan atas dasar tiga asumsi berikut:
  1. Jumlah maksimum hara yang di-intersep adalah jumlah yang diperkirakan tersedia dalam volume tanah yang ditempati oleh akar
  2. Akar menempati rata-rata 1% dari total volume tanah
  3. Sekitar 50% dari total volume tanah terdiri atas pori; oleh karenanya akar menempati sekitar 2% dari total ruang pori.
Atas dasar asumsi-asumsi ini, nilai-nilai dalam Tabel 2.4 telah dapat dihitung oleh Barber (1966) untuk tanah lempung-debu fertil. Unsur hara yang dapat disuplai secara lengkap oleh intersepsi adalah Ca, sedangkan sumbangan yang cukup besar dijumpai pada unsur Mg, Mn, dan Zn. Perlu diketahui bahwa nilai-nilai ini merupakan batas maksimum yang mungkin bagi intersepsi akar karena beberapa bagian dari akar dapat meningkatkan volumenya tanpa menyerap hara dari volume tanah yang digantikannya, dan sebagian massa tanah yang terdesak akan menyingkir tanpa kontak dengan permukaan akar.

Walaupun nilai-nilai absolut tidak dapat ditentukan, tampak bahwa intersepsi akar akan menyediakan lebih banyak kebutuhan hara kalau tanaman mempunyai sistem perakaran yang ekstensif dan kalau konsentrasi hara tersedia dalam zone perakaran cukup tinggi.

2.2. Aliran massa (mass-flow)
Air secara terus-menerus bergerak mendekati atau menjauhi permukaan akar. Sejumlah air kontak dengan permukaan akar kalau ia diserap untuk menggantikan kehilangan transpirasi. Sejumlah air lainnya kontak dengan permukaan akar kalau ia bergerak dalam responnya terhadap gradien potensial air dalam tanah. Air tanah ini mengan­dung unsur hara terlarut dan jumlah unsur hara tertentu yang diangkut ke prmukaan akar oleh salah satu dari proses ini disebut sebagai hara yang diangkut oleh aliran massa. 

Persentase kebutuhan hara yang dapat dipenuhi oleh aliran massa tergantung pada (a) kebutuhan ta-naman akan unsur hara, (b) konsentrasi hara dalam larutan tanah, (c) jumlah air yang ditrans­pirasikan per unit bobot jaringan, dan (d) volume efektif air, yang bergerak karena gradien potensial dan yang kontak dengan permu­kaan akar.

Kontribusi proses yang terakhir ini sulit ditentukan, sehingga estimasi kontribusi hara dari aliran massa biasanya didsarkan atas konsentrasi hara dan jumlah air transpirasi per satuan bobot jaringan. Estimasi seperti ini disajikan dalam Tabel 2.4. Tampak bahwa aliran massa dapat menjadi kontributor dominan untuk hara Ca, Mg, Zn, Cu, B dan Fe. Demikian juga, akurasi hasil estimasi masih dapat dipertanyakan karena asumsi-asumsi yang terlibat.

2.3. Difusi (diffusion)
Dari estimasi dalam Tabel 2.4 tampak bahwa kebutuhan P dan K biasanya tidak dapat dipenuhi dari intersepsi dan aliran massa. Oleh karena itu harus dipenuhi oleh proses difusi. Persamaan berikut ini melukiskan faktor-faktor penting yang menentukan kecepatan difusi unsur hara menuju ke permukaan akar:

dq/dt = DAP(C1 - C2) / L
dimana:
dq/dt=mencerminkan laju difusi ke permukaan akar
D = koefisien difusi unsur hara dalam air
A = luas penampang yang diasumsikan mencerminkan total permukaan penyerapan dari akar tanaman untuk maksud difusi ini.
P = fraksi dari volume tanah yang ditempati oleh air (juga termasuk faktor tortuosity)
C1= konsentrasi hara terlarut pada suatu titik yang berjarak L dari permukaan akar 
C2 = konsentrasi hara terlarut pada permukaan akar 
L = jarak dari permukaan akar ke titik tertentu C1.

Persamaan ini tidak akan berlaku secara tepat untuk sistem tanah, akan tetapi ia mampu menunjukkan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kecepatan difusi unsur hara seperti P dan K ke permukaan akar, yaitu:
(1). Faktor P. Ini mencerminkan fraksi dari total volume tanah ­yang mengandung air. Laju difusi akan tergantung pada kadar air tanah, dan tanah yang bertekstur halus diharapkan akan memungkinkan difusi yang lebih cepat pada kondisi konsentrasi larutan yang sama dibandingkan dengan tanah yang teksturnya kasar karena ia mempunya kapasitas mena­han air yang lebih besar pada potensial air tanah yang setara.

(2). Besarnya gradien konsentrasi (C1-C2)/L. Konsentrasi yang tidak sama akan menyediakan gaya dorong bagi difusi. Kalau C1 merupakan konsentrasi larutan tanah dan C2 konsentrasi pada permukaan akar, laju difusi akan lebih tinggi kalau C1 semakin besar dan C2 semakin kecil dan L konstan. Sehingga kemampuan tanaman untuk menyerap hara menurunkan konsentrasi C2 hingga sangat rendah dan hal ini akan meningkatkan laju difusi yang tinggi karena konsentrasi hara dalam larutan (C1) menjadi tinggi. Faktor jarak L akan dipengaruhi oleh adanya faktor kapasitas dalam kesetimbangan dengan larutan tanah karena reaksi kesetimbangan akan cenderung mempertahankan konsentrasi yang relatif tinggi di dekat permukaan akar.

(3). Faktor A. Mencerminkan total luas permukaan akar yang tersedia untuk penyerapan dan menjadi fakor yang sangat penting. Sejumlah hara yang sama dapat diserap dengan laju yang lebih lambat per satuan luas permukaan kalau total luas permukaan penyerapan lebih besar. Oleh karena itu, luasnya sistem perakaran merupakan faktor penting yang mempenga­ruhi serapan yang dikendalikan oleh difusi. Distribusi akar dalam kaitannya dengan distribusi spasial unsur hara tersedia dan air tersedia sangat penting. Unsur hara, baik alami maupun yang ditambahkan, cenderung terkonsentrasi dalam tanah lapisan olah. Akan tetapi lapisan tanah ini cenderung untuk mengering selma periode kekeringan dan ketersediaan hara tersebut menurun secara drastis. Sehingga ketersediaan hara pada tahun-tahun kering akan banyak ditingkatkan kalau ada suplai hara dan air dalam subsoil dan kalau distri­busi akar dalam subsoil memadai jumlahnya. Operasi pengolahan tanah dapat mempengaruhi distribusi spasial dan ke­tersediaan hara (Siemens, Walker dan Peck, 1971). 

3. Pembaharuan Hara dalam Larutan Tanah
Kalau unsur hara diambil dari larutan tanah, akan terjadi ke­cenderungan untuk menggantikan defisit hara dari fase padatan tanah. Konsentrasi hara dalam larutan tanah sering disebut sebagai faktor intensitas dan sumber hara pada fase padatan tanah yang mensuplai kembali larutan tanah disebut sebagai faktor kapasitas. 

Faktor kapasitas dapat dibagi-bagi secara sembarangan menjadi tiga kategori, yaitu:
  • bentuk-bentuk yang berkesetimbangan secara cepat dengan larutan tanah.
  • bentuk-bentuk yang berkesetimbangan secara lambat hingga agak lambat (kesetimbangan semu) dengan larutan tanah
  • bentuk-bentuk yang tidak berkesetimbangan dengan larutan tanah, karena tidak ada reaksi balik (unsur hara dibebaskan tetapi tidak dijerap kembali).
Teladan bentuk-bentuk yang kerkesetimbanagn secara cepat dengan larutan tanah akan berupa K-tukar, Ca-tukar atau Mg-tukar dan P-permukaan. Teladan bentuk-bentuk yang lambat berkesetimbangan dengan larutan tanah adalah K-terfiksasi dan P yang terdifuse ke bawah permukaan mineral penyerap atau ke dalam interior agregat tetapi masih dapat terdifusi kembali ke permukaan dalam jangka waktu yang cukup panjang kalau gradien aktivitasnya menjadi sesuai. Teladan bentuk yang tidak berkesetimbangan atau reaksi satu arah adalah pelepasan hara seperti N, P, dan S oleh dekomposisi bahan organik, dekomposisi mineral yang semula dibentuk dalam sistem bersuhu tinggi, dan input dari atmosfer. Beberapa mineral primer dapat menunjukkan kecenderungan untuk mengalami reaksi balik kalau laju dekomposisinya dikendalikan oleh konsentrasi produk dekomposisi dalam larutan tanah. 

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemampuan Tanaman Menyerap Hara
Faktor-faktor tanah yang mempengaruhi kemampuan tanaman menyerap hara adalah:
(1). Konsentrasi oksigen dalam udara tanah. Energi yang diper­lukan untuk serapan hara berasal dari proses respirasi dalam akar tanaman. Untuk semua tanaman akuatik ternyata proses respirasi ini tergantung pada suplai oksigen dalam udara tanah. Oleh karena itu aerasi yang buruk akan menghambat proses penyerapan unsur hara (Grable, 1966) disamping mempengaruhi tingkat oksidasi beberapa macam unsur hara.

(2). Temperatur tanah. Penyerapan unsur hara berhubungan dengan aktivitas metabolik yang selanjutnya sangat tergan­tung pada suhu. Konsentrasi hara dalam larutan tanah yang lebih besar seringkali diperlukan untuk mencapai laju pertumbuhan maksimum dalam kondisi tanah dingin dibandingkan dengan tanah-tanah yang hangat. Hal ini telah terbukti dengan unsur hara P (Sutton, 1969).

(3). Reaksi-reaksi antagonistik yang mempengaruhi serapan hara. Walaupun konsentrasi hara pada permukaan akar dapat menjadi faktor paling kritis yang mempengaruhi laju serapan hara pada kondisi lingkungan normal, reaksi-reaksi antagonistik di antara ion-ion juga dapat menjadi penting. Kurva baku respon hasil tanaman terhadap penambahan unsur hara tunggal mula-mula menunjukkan daerah respon pertumbuhan, kemudian daerah hasil maksimum yang mendatar, dan akhirnya zone depresi hasil kalau konsentrasi mendekati tingkat toksik.

Kisaran hasil maksimum di daerah yang mendatar tergantung pada hara (sempit untuk unsur mikro, lebar untuk unsur makro) dan pada konsentrasi relatif unsur hara lainnya. Suatu teladan kondisi yang terakhir ini adalah terjadinya depresi hasil akibat penambahan K pada tanah-tanah yang miskin Mg. Efek antagonistik K terhadap serapan Mg dapat mengakibat­kan depresi hasil karena defisiensi Mg. 

(4). Substansi toksik. Suatu substansi yang mengganggu proses metabolisme tanaman juga dapat mempengaruhi serapan hara. Substansi toksik seperti ini di antaranya adalah konsentrasi Mn atau Al yang tinggi dalam tanah masam, konsentrasi garam terlarut yang sangat tinggi, jumlah B yang berlebihan, dan lainnya.

5. Faktor yang Mempengaruhi Ketersedian Hara dan Metode Uji-tanah
Bagan umum ketersediaan unsur hara disajikan dalam Gambar 2.2. Tujuan dari bagan ini adalah memvisualkan berbagai input hara ke dalam larutan tanah darimana ia dapat diekstraks oleh tanaman. X

Pemahaman tentang besaran relatif setiap input untuk setiap unsur hara tertentu dan variabilitas selama musim pertumbuhan akan sangat berguna dalam mengembangkan atau mengevaluasi uji-tanah untuk unsur hara tersebut. Misalnya saja, permasalahan manakah yang terbaik, menganalisis faktor intensitas atau faktor kapasitas.

Secara teori penggunaan faktor intensitas lebih sesuai kalau faktor kapasitas mampu mempertahankan konsentrasi larutan tanah secara seragam (konstan) sepanjang musim. Kondisi ini biasanya ditemukan pada unsur hara P, Ca, dan Mg dan kadangkala juga K. Dalam kasus-kasus dimana uji P tanah telah diperbandingkan pada berbagai tanah, maka P larut air biasanya berkorelasi lebih baik daripada faktor kapasitasnya dengan serapan tanaman. Tujuan utama mengadopsi metode ini untuk penggunaan rutin uji tanah disebabkan oleh kenyataan bahwa konsentrasi P sangat rendah (kadangkala kurang dari 0.1 ppm) sehingga mempersulit teknik analitiknya. 

Dalam beberapa situasi dimungkinkan untuk menurunkan faktor kapasitas cukup besar dalam satu musim pertumbuhan sehingga ukuran faktor kapasitas sangat diperlukan untuk mendukung informasi faktor intensitas (misalnya Kalium). Kalau pengukuran faktor kapasitas diperlukan maka biasanya akan lebih banyak ditemukan masalah interpretasinya karena hubugan antara kedua faktor ini berbeda-beda di antara individu tanah. Hal ini dilukiskan oleh adanya variasi afinitas relatif berbagai material pertukaran kation terhadap kation Ca++ dan NH4+ 

Situasi ini analog dengan hubungan antara enerji potensial atau enerji bebas air dalam tanah (ketersediaan) dan jumlah air yang ada (suplai). Telah diketahui bahwa kalau jumlah air dalam tanah berkurang maka ketersediaannya juga berkurang. Hal yang serupa juga berlaku bagi unsur hara. Oleh karena itu dalam rangka untuk mendeskripsikan secara tepat status hara dalam tanah maka diperlukan karakterisasi hubungan antara potensial kimia atau tingkat enerji bebas dari hara dalam larutan tanah (faktor intensitas) dan jumlah yang ada pada fase padatan (faktor kuantitas).

Kemampuan suatu sistem untuk memperbaharui larutan tanah diukur dari faktor kapasitasnya yang merupakan nisbah antara perubahan faktor kuantitas dengan unit perubahan faktor intensitas. Karakterisasi ini seringkali memerlukan banyak kerja dan paling tidak memerlukan dua analisis setiap sampel tanah; diperlukan pengukuran terpisah konsentrasi larutan dan jumlah hara yang labil. 

6. Penyerapan unsur hara oleh akar tanaman
Movement of ions from the outer space of the cell to the inner space is generally against the concentration gradient and hence requires energy. This energy is obtained through metabolism either directly or indirectly. Various evidences indicate the active uptake of ions by carrier mechanism

In carrier mechanism, activated ions combine with carrier proteins and from ion carrier complex. This complex moves across the membrane and reaches the inner space by the expenditure of energy.

Within the cytoplasm, the complex breaks to release the ions. The carrier moves out of the cytoplasm and is again ready to attach another ion to from a complex

Ion traffic into the root
Mineral nutrients absorbed from the root has to be carried to the xylem. This transport follows two pathways namely apoplastic pathway and symplastic pathway. 

In apoplastic pathway, mineral nutrients along with water moves from cell to cell through spaces between cell wall by diffusion. The ions, which enter the cell wall of the epidermis move across cell wall of cortex, cytoplasm of endodermis, cell walls of pericycle and finally reach the xylem

In symplastic pathway, mineral nutrients entering the cytoplasm of the epidermis move across the cytoplasm of the cortex, endodermis of pericycle through plasmodesmata and finally reach the xylem.

Translocation of solutes
P.R. Stout and Dr. Hoagland have proved that mineral nutrients absorbed by the roots are translocated through the xylem vessel. Mineral salts dissolved in water moves up along the xylem vessel to be transported to all the parts of the plant body. Translocation is aided, by transpiration. As water is continuously lost by transpiration on the upper surfaces of the plant, it creates a transpirational pull, by which water along with mineral salts is pulled up along the xylem vessel. 

Active absorption of energy can be achieved only by an input of energy. Following evidences show the involvement of metabolic energy in the absorption of mineral salts.
  • Higher rate of respiration increases the salt accumulation inside the cell. 
  • Respiratory inhibitors check the process of salt uptake. 
  • By decreasing oxygen content in the medium, the salt absorption is also decreased. 
These evidences indicate that salt absorption is directly connected with respiratory rate and energy level in the plant body, as active absorption requires utilization of energy.

Goldacre's Theory
Contractile proteins of membrane show their existence in folded or unfolded condition. Proteins in unfolded conditions are able to bind ions by free valencies exposed at membrane surface. Proteins in folded (contracted) condition release ions as free valencies of proteins get satisfied in folded condition. In this theory role of carrier has been emphasised with utilisation of ATP energy. This theory however has not been proved.

Cytochrome Pump Salt Respiration or Electron Transport Theory
This theory was proposed by H. Lundegardh, who suggested that anions could be transported across the membrane by cytochrome system. Energy is supplied by direct oxidation of respiratory intermediates.

Diagrammatic representation of cytochrome pump hypothesis On salt absorption, anions (A-) are actively absorbed via a cytochrome pump and cations (M+) are passively absorbed.

The rate of respiration, which is solely due to anion absorption, is called as anion respiration or salt respiration. The original rate of respiration (without anion respiration) can be observed in distilled water and is called ground respiration.

Total respiration (R1) = Ground respiration (Rg) + Salt or anion respiration (Ra).

BAHAN BACAAN;
  • Barber, S.A., 1966. Soil plant relationships determining phosphorus uptake. Plant Nutrition. 1982. vol. 1 :39-44.
  • Barber, S.A., 1966. The role of root interception, mass flow and diffusion in regulating the uptake of ioions by plants from soils. In: Limiting Steps in Ion uptake by Plant from Soils. I.A.E.A. Tech. Rept. Ser. 6 5
  • Barber, S.A., 1977. Application of phosphate fertilizer Methods, rates and time of application in relation to the phosphorus status of soils. Phosphorus in Agric. 70: 109-115.
  • Barber, S.A., R.J. Bray, A.C. Caldwell, R.L. Fox, M. Fried, J.J. Hanway, D. Hovland, J.W. Ketcheson, W.M. Laughton, K. Lawton, R.C. Lipps, R.A.. Olson, J.T. Pesek, K. Pretty, M. Reed, F.W. Smith, and E.M. Stickney. 1961. North Central Regional potassium studies: II. greenhouse experiments with millet. North Central Regional Publication No. 123. Indiana Agr. Exp. Stn. Res. Bul. RB 717.
  • Barrow, J.J. 1961. Studies on the mineralization of sulfur from soil organic matter. Aust. J. Agr. Res. 12:306-319.
  • Burns, A.L., and S.A. Barber. 1961. The effect of temperature and moisture on exchangeable potassium. Soil Sci. Soc. Amer. Proc. 25:349-352.
  • Dowdy, R.J., and T.B. Hutcheson, Jr. 1963. Effects of exchangeable potassium level and drying on release and fixation of potassium by soils as related to clay mineralogy. Soil Sci. Soc. Amer. Proc. 27:31-34.
  • Gee, G.W., and M.E. Dodson. 1981. Soil water content by microwave drying: A routine procedure. Soil Sci. Soc. Amer. J. 45:1234-1237.
  • Gogan, W.G. 1975. Zinc availability in some Iowa soils as measured by soil and plant analyses and crop response. Unpublished Ph.D. Thesis. Ames, Iowa. Library, Iowa State University of Science and Technology.
  • Hanway, J.J., S.A. Barber, R.J. Bray, A.C. Caldwell, L.E. Engelbert, R.L. Fox, M. Fried, D. Hovland, J.W. Ketcheson, W.M. Laughton, K. Lawton, R.C. Lipps, R.A. Olson, J.T. Pesek, K. Pretty, F.W. Smith, and E.M. Stickney. 1961. North Central Regional potassium studies: I. Field studies with alfalfa. North Central Regional Publication No. 124. Iowa Agr. Home Econ. Exp. Sta. Res. Bul. 494.
  • Hanway, J.J., S.A. Barber, R.J. Bray, A.C. Caldwell, R.L. Fox, M. Fried, L.T. Kurtz, K. Lawton, J.T. Pesek, K. Pretty, M. Reed, and F.W. Smith. 1962. North Central Regional potassium studies: III. Field studies with corn. North Central Regional Publication No. 135. Iowa Agr. Home Econ. Exp. Stn. Res. Bul. 503.
  • Kenney, D.R., and J.M. Bremner. 1966. Comparison and evaluation of laboratory methods of obtaining an index of soil nitrogen availability. Agron. J. 58:498-503.
  • Luebs, R.E., G. Stanford, and A.D. Scott. 1956. Relation of available potassium to soil moisture. Soil Sci. Soc. Amer. Proc. 20:45-50.
  • Mock,J.J. dan D.C. Erbach. 1977. Influence of conservation tillage environments on growth and productivity of corn. Agron. Jour. 69:337-340
  • Scott, A.D., and T.E. Bates. 1962. Effect of organic additions on the changes in exchangeable potassium observed on drying soils. Soil Sci. Soc. Amer. Proc. 26:209-210.
  • Searle, P.L., and G.P. Sparling. 1987. The effect of air-drying and storage conditions on the amounts of sulphate and phosphate extracted from a range of New Zealand topsoils. Comm. Soil Sci. Pl. Anal. 18:725-739.
  • Thien, S.J., D.A. Whitney, and D.L. Karlen. 1978. Effect of microwave radiation drying on soil chemical and mineralogical analysis. Comm. Soil Sci. Plant Anal. 9:231-241.
  • Widdowson, J.P., and J.J. Hanway. 1970. Available sulfur status of some representative Iowa soils. Iowa Agr. Home Econ. Exp. Stn. Res. Bul. 579.
  • Fox, R.J., G.W. Roth, K.V. Iversen, and W.P. Piekielek. 1989. Soil and tissue nitrate tests compared for predicting soil nitrogen availability to corn. Agron. J. 81:971-974.
  • Garrels, R dan C.L. Christ. 1965. Solutions, Minerals, and Equilibria (2nd ed. Freeman Cooper Co, 1982 and revised ed 1990) ISBN 0-86720-148-7 (1990 ed.)
  • Gray, C. 1983. Survey of state soil testing laboratories in the United States. Mimeo of Soil and Plant Analysis Comm-S877, Soil Sci. Soc. Amer., Texas A & M Univ., College Station, Texas.
  • Henriksen, H. and A.R. Selmer-Olsen. 1970. Automatic methods for determining nitrate and nitrite in water and soil extracts. Analyst (London) 95:514-581.
  • Hergert, G.W. 1987. Status of residual nitrate-nitrogen soil tests in the United States. p. 73-88. In J.R. Brown (ed.) Soil testing: Sampling, correlation, calibration, and interpretation. ASA Special Publ. 21. ASA, CSSA, and SSSA, Madison, Wis.
  • Huffman, S.A. and K.A. Barbarick. 1981. Soil nitrate analysis by cadmium reduction. Comm. Soil Sci. Pl. Anal. 12(1):79-89.
  • Jokela, W.E. 1989. The Vermont nitrogen soil test for corn. FS133. Univ. of Vermont Ext. Serv., Burlington, Vt.
  • Kelley, W.P. and S.M. Brown. 1921. The solubility of anions in alkali soils. Soil Sci. 12:261-285.
  • Keeney, D.R. 1982. Nitrogen-availability indices. p. 711-734. In A.L. Page et al. (ed.). Methods of soil analysis, Part 2, 2nd ed., Agron. Monogr. 9. ASA and SSSA, Madison, Wis.
  • Keeney, D.R. and D.W. Nelson. 1982. Nitrogen-inorganic forms. p. 643-698. In A.L. Page et al. (ed.). Methods of soil analysis, Part 2, 2nd ed., Agron. Monogr. 9. ASA and SSSA, Madison, Wis.
  • Magdoff, F.R., D. Ross, and J. Amadon. 1984. A soil test for nitrogen availability to corn. Soil Sci. Soc. Am. J. 48:1301-1304.
  • Magdoff, F.R., W.E. Jokela, R.H. Fox, and G.F. Griffin. 1990. A soil test for nitrogen availability in the northeastern United States. Comm. Soil Sci. Pl. Anal. 21:1103-1115.
  • Roth, G.W., D.B. Beegle, and P.J. Bohn. 1992. Field evaluation of a pre-sidedress soil nitrate test and quick-test for corn in Pennsylvania. J. Prod. Agric. 5:476-481.
  • Roux, P.W., 1966. Die uitwerking van seisoensreënval en beweiding op Gemengde Karooveld. Handl Weidingveren. s. Afr. 1 : 103-110.
  • Schmitt, M.A. and G.W. Randall. 1994. Developing a soil nitrogen test for improved recommendations for corn. J. Prod. Agric. 7:328-334.
  • Siemens, J.C., W.M.Walker, dan T.R.Peck. 1971. Effect of tillage system on soil tests for acidity, phosphorus, and potassium. Illinois Research . Summer 1971, 13 (3).

No comments:

Post a Comment