Tarekat (thariqah) memiliki hubungan yang erat dengan tasawuf. Jika tasawuf merupakan usaha untuk mendekatkan kepada Allah, maka tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada-Nya. Dengan kata lain, tarekat sesungguhnya merupakan jalan yang harus ditempuh untuk dapat sedekat mungkin dengan Tuhan. Namun dalam perkembangannya, tarekat kemudian mengandung arti kelompok atau perkumpulan yang menjadi lembaga dan mengikat sejumlah pengikutnya dengan berbagai peraturan. Jadi, tarekat adalah tasawuf yang melembaga, dimana tiap tarekat mempunyai syekh, upacara ritual dan zikir tersendiri.
Tarekat pada tataran praktis, adalah suatu metode untuk menuntun (membimbing) seorang murid secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan dan tindakan, terkendali terus menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqamat) untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya Memasuki dunia tarekat yang demikian penting, Syekh Abdul Wahab mengingatkan bahwa sebelum mempelajarinya, seseorang harus terlebih dahulu mendalami Alquran dan Hadis. Ia menyatakan “hendaklah kamu bersungguh-sungguh menuntut ilmu Alquran dan kitab-kitab kepada Guru-Guru yang Mursyid...”. Sejalan dengan ini, Syekh Abdul Qadir Jailani menasehatkan agar melihat diri dengan pandangan yang penuh kasih dan cinta. Jadikan al-Kitab dan Sunnah di depan mata, lihatlah keduanya lalu amalkan. Jangan menentang sehingga tidak melaksanakan apa yang dibawanya. Ia menambahkan “ambillah nasehat dari Alquran dengan mengamalkannya, bukan dengan jalan menentangnya. Keyakinan adalah kata yang pendek, tetapi jika dilakukan ia menjadi panjang. Berimanlah pada Alquran, percayalah dengan hati, serta amalkan dengan anggota tubuh.” Syekh
Abdul Wahab mengingatkan agar kuat-kuat berguru Quran, hilangkan rasa malas, tekun dan bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya serta “melancar (mengulang kembali pelajaran sambil terus memahaminya dengan baik) itu janganlah segan”.
Wahai anak muda bangsawan
Kuat-kuat engkau berguru Quran
Melancar itu janganlah segan
Supaya menjadi Qari pilihan
Amal ibadah manusia sesungguhnya tergantung pada pemahamannya terhadap pekerjaan yang sedang dilakukannya yakni ia harus benar-benar mengerti apa yang ia amalkan karena ilmu merupakan dasar utama suatu amal. Tanpa ilmu dan pemahaman yang benar, dikhawatirkan seseorang akan cenderung pada kesesatan dan hawa nafsu. Karena itu, ilmu-ilmu syariat yang lain seperti ilmu fiqh, ushul al-fiqh, bahasa Arab, nahwu dan sharf harus tetap dipelajari. Ilmu-ilmu akan menjadi dasar berpijak serta menjadi syarat untuk memasuki dunia tarekat.
Apabila sempurna kaji Quran
Ushul dan fiqh pula dipelajarkan
Serta ibadat berhari-harian
Faqih dan Qari orang panggilkan
Menurut Syekh Abdul Wahab, mempelajari Alquran dan Hadis berarti juga mempelajari syariat secara utuh, termasuk persoalan halal-haram, dosa dan fahala. Persoalan rukun, syarat dan adab dalam ibadah syariat tidaklah dapat dipisahkan untuk mencapai kesempurnaan. Kelak jika semua ini dapat dilakukan, bersamaan dengan perjalanan spiritual dalam tarekat, “baharulah (barulah) ikhlas amal ibadatnya”.
Dalil dan Hadis diperbaikinya
Halal dan haram dosa fahalanya
Apabila sempurna adab syaratnya
Baharulah ikhlas amal ibadatnya
Setelah ilmu-ilmu tersebut dipelajari dengan baik, Syekh Abdul Wahab kemudian memperkenankan seseorang untuk mempelajari tarekat dan berguru “kepada khalifah yang tinggi pangkat”, guru yang mursyid, mereka yang benar-benar faham tentang perjalanan ruhani supaya “ilmu yang jauh menjadi rapat”.
Ambillah pula ilmu thariqat
Kepada khalifah yang tinggi pangkat
Ilmu yang jauh menjadi rapat
Tetapi ratib hendaklah kuat
Meskipun demikian, Syekh Abdul Wahab hanya membatasi tarekat pada dua pilihan yakni tarekat Syaziliyah dan Naqsyabandiyah. Pembatasan ini tampaknya karena ia sendiri sudah sangat mendalami kedua tarekat tersebut. “Apabila kamu sudah baligh berakal hendaklah menerima Thariqat Syazaliyah atau Thariqat Naqsyabandiyah supaya sejalan kamu dengan aku”.
Seseorang yang sudah mempelajari tarekat, khususnya Naqsyabandiyah, harus melepaskan diri dari hawa nafsu dan ikatan-ikatan keduniawian seperti status sosial yang dapat membawa pada kebanggaan. Hawa nafsu dan ikatan duniawi adalah hijab yang harus dilepaskan agar tercapai keseimbangan dan kesempurnaan ruhani. Syekh Abdul Wahab menggambarkan status sosial dan ikatan duniawi ini dengan kata “tengkuluk” yakni topi yang dipakai para bangsawan dalam pakaian adat Melayu karena ia merupakan gambaran dari kebesaran seseorang.
Disamping itu, seorang murid harus meninggalkan semua perbuatan maksiat baik lahir maupun batin yang pernah dilakukannya selama ini sebab maksiat akan menjauhkan dirinya dari Tuhan. Melepaskan diri dari maksiat berarti berupaya terus menerus untuk mengekalkan ingat kepada Allah.
Apabila dipakai thariqat Naqsyabandiyah
Dibuang tengkuluk dipakai kopiah
Perbuatan yang haram ditinggalkanlah
Dikekalkan ingat kepada Allah
Kaum sufi termasuk Syekh Abdul Wahab, meyakini bahwa sisi batiniah dari syariat Islam adalah tarekat yang merupakan jalan menuju kebenaran hakiki (haqiqah) yakni tauhid, mengesakan Allah. Karena itu mereka mempercayai tiga hal yang mempunyai hubungan antara satu dengan yang lain yaitu syariat, tarekat dan hakikat. Syariat adalah sarana untuk mencapai tarekat dan tarekat merupakan sarana untuk mencapai hakikat. Dari sinilah akan terjadi pengenalan yang baik dan benar tentang Tuhan (ma’rifah).
Jikalau tuan memalai ilmu thariqat
Dibetul dahulu bicara i’tiqat
Serta dikenal dalil haqiqat
Baharulah sempurna pula makrifat
Murid yang meniti jalan tarekat di bawah bimbingan khalifah mumpuni, beribadah dengan tekun, akan mengetahui bahwa dunia ini penuh dengan hal yang dapat mendatangkan mudharat. Karena itu, dunia “tidaklah boleh dibuat sahabat”
Siapa orang ahli thariqat
Serta amalkan ibadahnya kuat
Tahulah dia dunia banyak mudharat
Tidaklah boleh dibuat sahabat
No comments:
Post a Comment