Friday, 14 October 2016

TEORI PEMBANGUNAN

TEORI PEMBANGUNAN
Selama masa yang panjang itu, pengertian tentang pembangunan berkembang sesuai dengan perkembangan pemahaman orang tentang tujuan pembangunan. Secara umum pembangunan dimaksudkan untuk mewujudkan kondisi yang lebih baik di masa depan daripada kondisi yang ada pada waktu sekarang (walal akhiratu khairul laka minal ula, QS, 93 : 4). Ini mengandung pengertian bahwa masyarakat selalu berada dalam kondisi yang dinamis. Dalam masyarakat yang dinamis, kondisi masa depan itu berada dalam proses perubahan dan perkembangan sepanjang waktu (dynamic change). Proses perubahan itu menggambarkan rangkaian perubahan yang bergerak kearah kondisi yang lebih baik. Perubahan itu tidak boleh hanya berlangsung dalam wawasan yang sempit, yang hanya terjadi pada sebagian anggota masyarakat saja, sementara sebagian besar lain tetap tidak berubah. Perubahan itu bersifat menyeluruh (the whole society), yang berlangsung secara bertahap dari satu kondisi kekondisi yang lain. 

Sehubungan dengan hal di atas, ada dua hal yang berhubungan dengan proses pembangunan tersebut. Pertama, bahwa pembangunan itu berorientasi ke masa depan (future oriented). Artinya kondisi yang lebih baik itu ada di masa yang akan datang, yang harus dicapai melalui serangkaian upaya atau strategi. Kedua, pencapaian tersebut tidak seketika dapat terwujud. Ada jangka waktu yang perlu ditempuh dan memerlukan kesabaran atau upaya yang bersifat terus menerus. Dengan kata lain, pembangunan tidak dapat dilakukan hanya dalam sekejap dan dengan sekali pukul, sekali jadi. Tetapi meemerlukan kerja keras yang berkesinambungan. Dan itu tidak berlangsung secara sporadis, melainkan melalui perubahan yang direncanakan dan dilakukan secara bersahaja. Sebab itu dapat dipahami bila tujuan pembangunan itu menjadi cita-cita bersama yang diinginkan (preferable) oleh seluruh anggota masyarakat.

Sejalan dengan perkembangan baru, pembangunan tidak lagi dapat dilihat hanya terbatas dalam bidang ekonomi, tetapi telah meliputi berbagai bidang kehidupan. Maka itu makna pembangunan juga menjadi lebih luas. Karena itu indikator yang dipakai untuk mengukur perkembangan pembangunan juga menjadi lebih luas dari sekedar indikator-indikator ekonomi saja. Dalam bidang kebijakan publik, kriteria yang dipakai dalam proses perumusan strategi/kebijakan pembangunan juga berubah. Artinya kriteria yang dipakai tidak lagi sekedar kriteria ekonomi seperti tingkat pertumbuhan pendapatan, pertumbuhan konsumsi, investasi, tingkat pertumbuhan dan jumlah ekspor atau impor dan sebagainya. Tetapi juga mencakup tingkat kesehatan masyarakat, harapan hidup, tingkat pendidikan masyarakat, ketergantungan politik dan ekonomi keluar negeri, kemampuan kemandirian sebuah daerah otonom dan lain-lain. 

Dilihat pada perubahan orientasi ini, selama beberapa decade terakhir terdapat tiga kecenderungan pengertian yang dipakai dalam mengukur keberhasilan pembangunan suatu negara. Ketiga pengertian tersebut menggambarkan pemahaman orang tentang pembangunan. Pengertian itu pada waktu yang lalu sering disebutkan sebagai Trilogi Pembangunan yang tercermin dalam prioritas Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) di Indonesia. Yang pertama pengertian berdasarkan tingkat pertumbuhan pendapatan per kapita. Jumlah total produksi nasional (GNP atau GDP) dibagi dengan jumlah penduduk. Ukuran ini menjadi satu-satunya ukuran yang sangat dominan sampai pada awal tahun 70-an. Tetapi karena berbagai kelemahan yang ada, pengertian ini mendapat kritik dari banyak pihak. (Mahbub ‘ul Haq, 1976, H.B.Chenery, 1979, Everett E. Hagen, 1980, E. Wayne Nafziger, 1990, J.G.Williamson, 1991).

Diantara beberapa kelemahan yang dikritik para ahli itu adalah, pertama, perhitungan pendapatan nasional hanya dilakukan berdasarkan nilai pasar. Akibatnya, komponen-komponen pendapatan atau beberapa kegiatan produktif yang tidak dapat diukur dengan harga pasar, terabaikan. Pekerjaan ibu rumah tangga misalnya, tidak termasuk dalam perhitungan pendapatan naasional, sementara kegiatan pembantu, termasuk dalam perhitungan tersebut. Kedua, perhitungan pendapatan per kapita pada umumnya didasarkan pada nilai mata uang dolar (US $). Padahal daya beli dalam negeri sesuatu mata uang seringkali tidak sama dengan nilai tukar mata uang yang bersangkutan terhadap dolar. Ketiga, pengertian berdasarkan pendapatan per kapita mengabaikan unsur keadilan masyarakat dan pemerataan. Pendapatan per kapita sebagai hasil-bagi dari total pendapatan terhadap jumlah penduduk boleh jadi meningkat karena peningkatan total pendapatan yang lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan penduduk. Padahal peningkatan total pendapatan itu boleh jadi hanya berasal dari pendapatan sekelompok kecil anggota masyarakat. Akibatnya, pembangunan dianggap telah berlangsung secara meyakinkan, sementara sebagain besar penduduk lain, tidak mengalami perubahan. Dampak dari pengertian yang demikian terlihat pada pemihakan berbagai kebijakan publik pada kepentingan golongan yang berpendapatan tinggi. 

Karena itu, pada bagian akhir tahun 1970-an, timbul kecenderungan untuk menggantikan atau melengkapi pengertian berdasarkan ukuran pendapatan per kapita dengan pemerataan pendapatan diantara penduduk. Pembangunan dianggap berhasil, kalau sebagian besar penduduk dapat menikmati hasil dari pembangunan itu. Jadi, disamping pertumbuhan, diperlukan adanya pemerataan pendapatan antar kelompok atau golongan dalam masyarakat. Perhitungan yang demikian antara lain ditunjukkan dengan ketimpangan ekstrim, ketimpangan sedang dan ketimpangan moderat. Sejak masa itu, pemerataan (equality) menjadi pertimbangan penting dalam proses perumusan kebijakan publik. Tetapi kemudian, pengertian tersebut juga tidak sepenuhnya diterima para ilmuan. Persolannya terletak pada pertimbangan keadilan dalam berusaha. Pengertian ini dianggap masih kurang tepat, karena pemerataan hanya berdasarkan hasil dari pembangunan, bukan pembangunan itu sendiri. Dalam hal ini, ada dua pertimbangan yang dapat dikemukakan. Pertama, pemerataan hasil mungkin terjadi hanya karena sebagian kecil anggota masyarakat bekerja dengan sungguh-sungguh dalam pembangunan, sedangkan sebagian besar lainnya tidak bekerja apa-apa dan tidak ikut mengahasilkan sesuatu, tetapi ikut menikmati hasil-hasil pembangunan. Kedua, proses pembangunan hanya berlangsung dalam lingkungan yang terbatas dan berada dalam kekuasaan atau dominasi sebagian kecil penduduk. Dengan kata lain, terdapat ketergantungan dari sebagian besar penduduk berpendapatan rendah pada sebagian kecil dari mereka yang berpendapatan tinggi. Kelemahan ini terjadi karena strategi produksi tidak disusun senyawa dengan strategi distribusi (Mahbub ‘ul Haq, 1976: 32 – 34) 

Kemudian, sejak awal tahun 1980-an timbul pengertian yang melihat pembangunan sebagai pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Artinya, pembangunan baru dianggap sukses kalau terjadi pemerataan kegiatan pembangunan diantara berbagai golongan dalam masyarakat dan terdapat pemerataan hasil-hasil dari kegiatan itu. Pemerataan disini bukan terjadi karena pembagian pendapatan dari hasil usaha orang lain, tetapi sebagai hasil usahanya sendiri. Dengan kata lain terdapat partisipasi aktif dari sebagian besar anggota masyarakat dalam pembangunan. Yang dimaksudkan dengan partisipasi aktif disini adalah bahwa keterlibatan mereka dalam pembangunan bukan karena ada desakan atau tekanan dari luar, tetapi sebagai pilihan berdasarkan kemauan sendiri sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Pengertian kemauan menyangkut azas demokrasi, sebagai hak dari setiap warga negara. Sebagai warga negara, disamping mempunyai hak, dia juga mempunyai tanggungjawab yang harus dipikulnya. Sementara kemampuan menyangkut keperluan adanya pendidikan dan pengembangan ketrampilan. Ini berkaitan dengan kewajiban pemerintah untuk pemberdayaan dan pengembangan kemampuan sumberdaya manusia. Singkatnya, pembangunan baru dianggap berhasil kalau secara terus menerus terdapat pemberdayaan dan pengembangan kemampuan rakyat untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya. 

No comments:

Post a Comment