Thursday, 20 October 2016

Defnisi Place Marketing

Pengertian Place Marketing
Term ‘place’ digunakan untuk menunjukan pengertian ‘place’ secara umum seperti kota, regional, komunitas, area, bangsa dan negara. Kotler, et al. (2002a:4) mengatakan bahwa ‘place’ adalah negara bangsa, wilayah geopolitik, regional atau negara bagian, kebudayaan, sejarah atau etnik dalam batas wilayah sama, ibu kota dan populasi yang mengelilinginya, pasar dengan variasi atribut yang dapat didefinisikan, pusat industri dan pengklusteran seperti industri dan suppliernya, serta atribut psikologis yang dihasilkan dari hubungan manusia.

A place is a nation-state, a geopolitical physical space; a region or state; a cultural, history or ethic bounded location; a central city and its surrounding populations; a market with various definable attributes; an industry’s home base and a clustering of like-industries and their supplier; a psychological attribute of relations between people.

Place marketing merupakan proses pendesainan daerah untuk memuaskan kebutuhan dari target market. Kesuksesan place marketing terwujud ketika warga kota dan perusahaan merasa puas terhadap daerah mereka serta terpenuhnya ekspektasi para pengunjun dan investor di daerah tersebut (Kotler et al. 2002a:183)

2.1.1.2 Elemen Place Marketing
Philip Kotler (2002a:46) merangkum elemen-elemen utama dalam strategi pemasaran daerah menjadi suatu kerangka yang biasa disebut “Levels of Place Marketing”. Proses ini terdiri dari tiga lingkaran besar yang melingkup pasar sasaran (target markets), faktor pemasaran (marketing factors), serta kelompok perancanaan (planning group). Lingkaran pertama adalah planning group yang bertanggung jawab atas proses perancanaan dan kontrol pemasaran daerah. Kedua, marketing factors meliputi proses tata ruang daerah, peningkatan infastruktur daerah, penyediaan layanan dasar serta penciptaan aspek hiburan dan rekreasi. Ketiga, pasar sasaran (target markets) maksudnya adalah pelanggan dan segmen yang telah dipilih oleh daerah sebagai penerima pesan pemasaran. Untuk lebih jelasnya perhatikan Gambar 2.1 yang menggambarkan tentang elemen-elemen penting dalam strategi pemasaran daerah.

2.1.1.3 Strategi Place Marketing
Place marketing harus berhasil dalam sisi strategi maupun dalam pelaksanaannya. Gambar 2.2 menyajikan empat lingkungan dasar dimana strategi dan pelaksanaan place marketing dapat berlangsung.

Daerah dikatakan “loser” jika implementasi strategi sangat rendah dan memiliki kemampuan strategis yang rendah. Tempat-tempat ini tidak memiliki kapasitas untuk mengambil tindakan dalam pelaksanaan atau strategi pekerjaan. “Expanders” adalah daerah yang baik dalam strategi dan implementasi pemasaran. Ada kepemimpinan untuk strategi jangka panjang mendukung rencana aksi. “Frustrators” merupakan daerah yang mengalami frustasi karena mereka tidak memiliki keterampilan pelaksanaan meskipun mereka memiliki kemampuan strategis yang baik. “Gamblers” kekurangan daya lihat strategis, namun dengan keberuntungan dan kerja keras gamblers bisa mendapatkan beberapa keberhasilan jangka pendek.

2.1.2 Service
2.1.2.1 Pengertian Service
Jasa merupakan istilah yang sangat umum dan tidaklah mudah untuk mendefinisikan secara tegas apa itu jasa, karena begitu banyaknya definisi – definisi jasa yang beredar di masyarakat. Menurut Lovelock dalam Arief (2007:11) lebih jelas mendeskripsikan jasa sebagai proses daripada produk, dimana suatu proses melibatkan input dan mentransformasikannya sebagai output. Dua kategori yang diproses oleh jasa adalah orang dan objek.

Berdasarkan definisi di atas, jasa dapat diartikan sebagai sesuatu yang tidak berwujud, yang melibatkan tindakan atau petunjuk kerja melalui proses dan kinerja yang ditawarkan oleh salah satu pihak ke pihak lain. Dalam produksinya, jasa bisa terikat pada suatu produk fisik, tetapi bisa juga tidak.

Menurut Rambat dalam Arief (2007:12), kata jasa sendiri mempunyai banyak arti dari pelayanan personal (personal service) sampai jasa sebagai suatu produk. Sejauh ini sudah banyak pakar pemasaran jasa yang telah berusaha mendifinisikan pengertian jasa. Berikut adalah diantaranya:

“A service is an activity or a service of activities which take place in interactions with a contact person or physical machine and which provides consumer satistaction” (Lethinen dalam Arief, 2007:12).

“A service is an activity or series of activities of more or less intangible nature that normally, but not necessarily, take place in interaction between the customer and service employees and/or physical resource or good and/or sistem of the service provider, which are provide as solution to customer problems” (Gronroos dalam Arief, 2007:12).

Menurut William J.Staton dalam Arief (2007:13) memberikan pengertian jasa sebagai berikut:

Service are to those separately identifiable, essentially intangible activies that provide want - satisfaction, and that are not necessarily tied to sale of a product or another service. To produce a service may or may not required the use of tangible goods. However, when such is required, there is not transfer of the title (permanent ownership) to these tangible goods.

Nirwana (2006:15) mengartikan pelayanan atau jasa sebagai suatu aktivitas atau kinerja yang bersifat tidak nyata yang ditawarkan untuk memenuhi harapan konsumen. Jasa adalah suatu produk yang sifatnya tidak dapat dipegang secara fisik. Keberadaan jasa lebih merupakan bentuk manfaat yang dapat dirasakan oleh orang yang menggunakan jasa tersebut.

2.1.2.2 Klasifikasi Service (Jasa)
Kotler (2000) dalam Arief (2007, hal.40) menjelaskan lima pokok klasifikasi bauran jasa sebagai berikut:
1. Pure tangible goods
Produk yang ditawarkan adalah barang berwujud murni/nyata, tidak ada bentuk jasa-jasa yang menyertai produk jenis ini. Contohnya: obat nyamuk, shampoo, dan sabun.

2. Tangible goods with accompanying maintance
Barang berwujud merupakan produk utama yang ditawarkan, sedangkan pemeliharaan jasa menyertai produk utama tersebut. Pada umumnya, barang elektronik, kendaraan, dan mesin-mesin diikuti oleh pemeliharaan/perawatan dari barang-barang tersebut.

3. Hybrid
Produk barang maupun jasa sama–sama dapat dirasakan, misalnya selain mengharapkan makanan yang khas, pengunjung kafe juga ingin mendapatkan pelayanan yang memuaskan.

4. Major Service with accompanying minor goods services
Produk utama adalah jasa dengan melibatkan sedikit produk lain berupa jasa, misalnya penumpang kereta api membeli jasa transportasi darat dengan fasilitas makan dan minum yang diberikan secara cuma - cuma.

5. Pure Service
Tidak ada produk lain yang berbentuk produk menyertai jasa murni, escort (pengawalan/teman), psikiater, dan jasa konsultasi.

2.1.2.3 Karakteristik Service (Jasa)
Menurut Kotler dan Keller (2006:375) jasa memiliki empat karakteristik utama yang dapat mempengaruhi rancangan program pamasaran, yaitu: 
  1. Barang tidak berwujud (intangibility); artinya jasa tidak dapat dilihat, dirasakan, dicium, didengar, atau diraba sebelum dibeli atau dikonsumsi. Untuk mengurangi rasa ketidakpastian, pembeli biasanya akan mencari bukti dari kualitas sebuah jasa tersebut. Mereka bisa mengambil kesimpulan mengenai kualitas sebuah jasa berdasarkan tempat, orang, peralatan, alat komunikasi, simbol, dan harga yang mereka lihat.
  2. Tidak terpisahkan (inseparability); artinya jasa pada umumnya diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan, sehingga mutu dari suatu jasa terjadi pada saat pemberian jasa. Kehadiran serta adanya interaksi antara konsumen dan penyedia jasa merupakan ciri khusus dari pemasaran jasa.
  3. Bervariasi (variability); artinya jasa bersifat sangat variabel karena non-standardized output. Artinya banyak variasi bentuk, kualitas dan janis, tergantung pada siapa, kapan dan dimana jasa tersebut dihasilkan. Para pembeli jasa sangat peduli dengan variabilitas yang tinggi dan seringkali mereka meminta pendapat orang lain sebelum memutuskan untuk memilih.
  4. Mudah lenyap (perishability); artinya jasa bersifat tidak tahan lama dan tidak dapat disimpan. Manakala permintaan tetap, hal itu tidak menjadi masalah. Namun saat permintaan fluktuatif, maka dapat muncul masalah kapasitas menganggur ataupun konsumen tidak dapat dilayani dengan resiko konsumen kecewa atau beralih ke penyedia jasa lain kompetitor.
Sedangkan karakteristik jasa yang membedakannya dari barang dan berdampak pada cara memasarkannya menurut Tjiptono (2007:18) adalah sebagai berikut:
1. Intangibility:
  • Produk bersifat abstrak: lebih berupa tindakan atau perbuatan
  • Kesulitan dalam evaluasi alternatif penawaran jasa: persepsi customer terhadap resiko
  • Tidak dapat dipajang: differensiasi sukar dilakukan
  • Tidak ada hak paten: hambatan masuk (entry barriers) rendah
2. Inseparability:
  • Customer terlibat dalam produksi: kontak dan interaksi penting sekali
  • Customer lain juga terlibat: masalah pengendalian
  • Karyawan mencerminkan dan mewujudkan bisnis jasa: relasi pribadi
  • Lingkungan jasa: mendiferensiasikan produk
  • Kesulitan dalam produksi massal: pertumbuhan membutuhkan jaringan kerja sama
3. Heterogeneity:
  • aStandarisasi sukar dilakukan: sangat tergantung kepada sumber daya manusia yang terlibat
  • Kualitas sulit dikendalikan heterogenitas lingkungan
4. Perishability:
  • Tidak dapat disimpan: tidak ada persediaan
  • Masalah beban periode puncak: produktivitas rendah
  • Sulit menentukan harga jasa: masalah penetapan harga
5. Lake of Ownership :
  • Customer tidak dapat memiliki jasa: jasa disewakan
2.1.3 Service Quality
2.1.3.1 Pengertian Service Quality
Menurut Usmara (2008:140) menyatakan bahwa kualitas pelayanan digambarkan sebagai suatu sikap dari hasil perbandingan pengharapan kualitas jasa konsumen dengan kinerja perusahaan yang dirasakan konsumen. Sikap mempengaruhi keputusan untuk membeli karena adanya pengharapan atau ekspektasi konsumen. Selanjutnya konsumen membentuk suatu perilaku tentang pemberi jasa berdasarkan pengharapan mereka sebelumnya mengenai informasi perusahaan dan perilaku ini mempengaruhi keinginan mereka untuk membeli.

Kontak utama antara restoran dan konsumen diciptakan oleh staf pelayanan dan untuk itulah, kinerja mereka akan berdampak pada kesenangan para tamu (Edwards and Gustafsson, 2008).

Menurut Wyckof dalam Arief (2007:118), kualitas jasa adalah tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan merupakan keunggulan yang dirasakan oleh konsumen dengan apa yang diterima oleh konsumen setelah melakukan pembelian jasa. Dengan kata lain ada dua factor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected service dan perceived service. Jika pelayanan yang diterima dan dirasakan (perceived) sesuai dengan yang diharapkan (expected), maka kualitas pelayanan dipersepsikan baik. Jika pelayanan yang diterima melampaui harapan konsumen, maka kualitas pelayanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal dan begitu juga sebaliknya, jika pelayanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka kualitas pelayanan dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik atau tidaknya kualitas pelayanan tergantung pada penyedia pelayanan dalam memenuhi harapan konsumen.

Service quality berhubungan dengan seberapa baik pelayanan inti dilakukan oleh satu pasangan dalam suatu hubungan yang ditampilkan dan dibandingkan dengan harapan, yaitu seberapa baik layanan seharusnya diberikan (Jane Roberts and Bill Merrilees, 2007:410–417).

Gronroos dalam Chiu et al. (2010:112) mengindikasikan bahwa kualitas pelayanan yang dirasakan berbeda antara ‘kualitas yang diharapkan’ dan ‘kualitas yang telah dialami’. Secara khusus, kualitas pelayanan yang diharapkan mengacu pada harapan konsumen, sedangkan kualitas yang telah dialami merujuk kepada hasil dari serangkaian keputusan dan kegiatan internal, dengan kata lain, pandangan dan penilaian konsumen memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas pelayanan yang mereka rasakan.

Menurut Tjiptono (2007:259), terdapat beberapa perbedaan antara kualitas barang dan kualitas pelayanan, antara lain :

2.1.3.2 Konsep Pelayanan Berkualitas 
Albrcht dalam Yamit (2004:23-24) mengemukakan bahwa terdapat dua konsep yang dapat digunakan untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Dua konsep tersebut adalah :
1. Service Triangle adalah suatu model interaktif manajemen pelayanan yang menghubungkan antara perusahaan dengan konsumennya. Model tersebut terdiri dari tiga elemen dengan konsumen sebagai titik fokus, yaitu:
  • Service Strategy, adalah strategi untuk memberikan pelayanan kepada konsumen dengan kualitas sebaik mungkin sesuai standar yang telah ditetapkan perusahaan. Standar pelayanan ditetapkan sesuai keinginan dan harapan konsumen sehingga tidak terjadi kesenjangan antara pelayanan yang diberikan dengan harapan konsumen. Strategi pelayanan harus juga dirumuskan dan diimplementasikan seefektif mungkin, sehingga mampu menciptakan pelayanan yang diberikan kepada konsumen tampil berbeda dengan para pesaingnya. Untuk merumuskan dan mengimplementasikan strategi pelayanan yang efektif, perusahaan harus fokus pada kepuasan konsumen sehingga perusahaan mampu membuat konsumen melakukan pembelian ulang bahkan mampu meraih konsumen baru.
  • Service People atau sumber daya manusia yang memberikan pelayanan, orang yang berinteraksi secara langsung maupun yang tidak berinteraksi secara langsung dengan konsumen harus memberikan pelayanan kepada konsumen secara tulus (emphaty), responsif, ramah, fokus dan menyadari bahwa kepuasan konsumen adalah segalanya. Untuk itu perusahaan harus pula memperhatikan kebutuhan karyawannya dengan cara menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, rasa aman dalam bekerja, penghasilan yang wajar, dan sistem penilaian kerja yang mampu menumbuhkan motivasi. Tidak ada gunanya jika perusahaan membuat strategi pelayanan dan menerapkannya secara baik untuk memuaskan konsumennya, sementara pada saat yang sama perusahaan gagal memberikan kepuasan kepada karyawannya, demikian pula sebaliknya.
  • Service System atau sistem pelayanan adalah prosedur pelayanan kepada konsumen yang melibatkan seluruh aktivitas fisik termasuk sumber daya manusia yang dimiliki perusahaan. Sistem pelayanan harus dibuat secara sederhana, tidak berbelit-belit dan sesuai standar yang telah ditetapkan perusahaan. Untuk itu perusahaan harus mampu mendesain ulang sistem pelayanannya, jika pelayanan yang diberikan tidak memuaskan konsumen.

2. Total Quality Service adalah kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan berkualitas kepada orang yang berkepentingan dengan pelayanan (stakeholders), yaitu konsumen, pegawai dan pemilik. Pelayanan mutu terpadu ini memiliki lima elemen penting yang saling terkait, yaitu:
  • Market and customer research adalah penelitian untuk mengetahui struktur pasar, segmen pasar, demografis, analisis pasar potensial, analisis kekuatan pasar, mengetahui harapan, dan keinginan konsumen atas pelayanan yang diberikan.
  • Strategy formulation adalah petunjuk arah dalam memberikan pelayanan berkualitas kepada konsumen sehingga perusahaan dapat mempertahankan konsumen bahkan dapat meraih konsumen baru.
  • Education, training, and communication adalah tindakan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar mampu memberikan pelayanan berkualitas, mampu memahami keinginan dan harapan konsumen.
  • Asessment, measurement, and feedback adalah penilaian dan pengukuran kinerja yang telah dicapai oleh karyawan atas pelayanan yang telah diberikan kepada konsumen. Penilaian ini menjadi dasar informasi baik kepada karyawan mengenai proses pelayanan apa, kapan dan dimana yang perlu diperbaiki.
2.1.3.3 Dimensi Service Quality
Kualitas pelayanan pada prinsipnya adalah manfaat yang diterima oleh pelanggan harus lebih besar dari harapan-harapannya. Untuk pemberian kualitas jasa yang dapat memuaskan pelanggan maka kita perlu mengetahui dimensi-dimensi dalam kualitas jasa, menurut Parasuraman, Berry dan Zeithaml dalam Tjiptono (2004:70) menerangkan lima konsep service quality, yaitu:

1. Tangible (Bukti Fisik)
Karena suatu service tidak dapat dilihat, tidak dapat dicium, dan tidak bisa diraba, maka aspek tangible menjadi sangat penting sebagai ukuran pelayanan. Pada saat yang bersamaan aspek tangible ini juga merupakan salah satu sumber yang mempengaruhi harapan konsumen. Karena tangible yang baik, maka harapan konsumen menjadi lebih tinggi.

2. Reliability (Keandalan)
Reliability yaitu dimensi yang mengukur keandalan dari sisi perusahaan dalam memberikannya kepada konsumen. Terdapat dua aspek dari dimensi ini, yaitu:
  • Kemampuan perusahaan untuk memberikan pelayanan seperti yang dijanjikan
  • Seberapa jauh suatu perusahaan mampu memberikan pelayanan yang akurat atau tidak ada error
3. Responsiveness (Ketanggapan)
Responsiveness adalah dimensi kualitas pelayanan yang paling dinamis. Harapan konsumen terhadap kecepatan pelayanan hampir dapat dipastikan dapat berubah dengan kecenderungan naik dari waku ke waktu. Pelayanan yang responsif atau yang tanggap, salah satunya kesigapan dan ketulusan dalam menjawab pertanyaan atau permintaan konsumen.

4. Assurance (Jaminan)
Yaitu dimensi kualitas yang berhubungan dengan kemampuan perusahaan dan perilaku karyawan dalam menanamkan rasa percaya dan keyakinan kepada para konsumennya.

5. Emphaty (Empati)
Dimensi empati adalah dimensi yang memberikan peluang besar untuk memberikan pelayanan yang tidak diharapkan konsumen diberikan oleh penyedia jasa. Empati meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan memahami kebutuhan konsumen.

2.1.3.4 Usaha Meningkatkan Service Quality
Menurut Parasuraman, Zeithaml, Berry (1985) dalam Yamit (2005:32), terdapat beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan, yaitu :
1. Reliability
  • Pengaturan fasilitas
  • Sistem dan prosedur yang dilaksanakan taat azas
  • Meningkatkan efektivitas jadwal kerja
  • Meningkatkan koordinasi antar bagian
2. Responsivenes
  • Mempercepat pelayanan
  • Pelatihan karyawan
  • Komputerisasi dokumen
  • Penyederhanaan sistem dan prosedur
  • Penyederhanaan birokrasi
  • Mengurangi pemutusan keputusan
3. Competence
  • Meningkatkan profesionalisme karyawan
  • Meningkatkan mutu administrasi
4. Credibility
  • Meningkatkan sikap dan mental karyawan
  • Meningkatkan kejujuran karyawan
  • Menghilangkan kolusi
5. Tangibles
  • Perluasan kapasitas
  • Penataan fasilitas
  • Meningkatkan infrastruktur
  • Menambah peralatan
  • Menyempurnakan fasilitas komunikasi
  • Perbaikan sarana dan prasaran
6. Understanding the customer
  1. Sistem dan prosedur pelayanan yang menghargai konsumen
  2. Berfokus pada konsumen
7. Communication
  • Memperjelas pihak yang bertanggung jawab dalam setiap kegiatan
  • Meningkatkan efektivitas komunikasi dengan klien
  • Membuat SIM yang terintegrasi
2.1.4 Brand
2.1.4.1 Pengertian Brand
Merek merupakan sebuah hubungan (McNally et al., 2004) yakni hubungan yang melibatkan sejenis kepercayaan. Sebuah merek adalah jumlah dari suatu entitas, sebuah koneksi psikis yang menciptakan sebuah ikatan kesetiaan dengan seorang pembeli/calon pembeli serta penawaran, dan hal tersebut seringkali mencakup lapisan nilai tambah yang dipersepsikan (Post, 2005: 10).

Menurut Kurtz (2008:378), brand adalah nama, istilah, tanda, simbol, desain, atau sejumlah kombinasi yang mengidentifikasikan sebuah perusahaaan yang membedakannya dari kompetitor. Sedangkan Menurut Keller (Tjiptono, 2005:19), merek adalah produk yang mampu memberikan dimensi tambahan yang secara unik membedakannya dari produk-produk lain yang dirancang untuk memuaskan kebutuhan serupa. Perbedaan tersebut bisa bersifat rasional dan tangible (terkait dengan kinerja produk dari merek bersangkutan) maupun simbolik, emosional dan intangible (berkenaan dengan representasi merek.

2.1.4.2 Tingkatan Pengertian Brand
Menurut Kotler (2005:82) ada enam tingkatan arti dari sebuah merek, yaitu:
1. Atribut (attributes): suatu merek mengingatkan atribut-atribut tertentu
2. Manfaat (benefit): atribut-atribut harus diterjemahkan menjadi manfaat fungsional dan emosional
3. Nilai (value): merek juga menyatakaan sesuatu tentang nilai produsen
4. Budaya (culture): merek dapat mewakili atau melambangkan suatu budaya tertentu
5. Personal (personality): sebuah merek dapat mencerminkan kepribadiaan tertentu
6. Pemakai (user): merek tersebut menyiratkan jenis konsumen yang membeli atau menggunakan produk tersebut

2.1.4.3 Peranan dan Kegunaan Brand
Menurut Durianto, et al. (2004:2), peranan dan kegunaan suatu brand atau merek diantaranya adalah:
  • Merek mampu menembus setiap pagar budaya dan pasar Bisa dilihat bahwa suatu merek yang kuat mampu diterima di seluruh dunia dan budaya.
  • Merek mampu menciptakan komunikasi interaksi dengan konsumenSemakin kuat suatu merek, semakin kuat pula interaksinya dengan konsumen dan semakin tampak asosiasi merek yang terbentuk dalam merek tersebut. Jika asosiasi merek telah terbentuk memiliki kualitas dan kuantitas yang kuat, potensi ini meningkatkan citra merek (brand image).
  • Merek sangat berpengaruh dalam membentuk perilaku konsumen Merek yang kuat akan sanggup merubah perilaku konsumen.
  •  Merek memudahkan proses pengambilan keputusan konsumen Dengan adanya merek, konsumen dapat dengan mudah membedakan produk yang akan dibelinya dengan produk lain sehubungan dengan kualitas, keputusan, kebanggaan ataupun atribut lain yang melekat pada merek tersebut 
  • Merek berkembang menjadi sebuah sumber aset terbesar bagi perusahaan
2.1.5 Brand Image
2.1.5.1 Pengertian Brand Image
Citra merek mengacu pada skema memori akan sebuah merek, yang berisikan interpretasi konsumen atas atribut, kelebihan, penggunaan, situasi, para pengguna, dan karakteristik pemasar dan/atau karakteristik pembuat dari produk/merek tersebut. Citra merek adalah apa yang konsumen pikirkan dan rasakan ketika mendengar atau melihat nama suatu merek. Atau dengan kata lain, citra merek merupakan bentuk atau gambaran tertentu dari suatu jejak makna yang tertinggal di benak khalayak konsumen (Wijaya,2011a), yang kemudian menuntun khalayak konsumen tersebut untuk bersikap terhadap merek, apakah akan mencoba lalu menyertainya atau sekadar coba-coba lalu pergi, atau sama sekali tidak ingin mencoba karena citra yang buruk atau tidak relevan dengan kebutuhan khalayak konsumen.

Brand image menurut Supranto dan Limakrisna (2007:132) ialah apa yang customer pikir atau rasakan ketika mereka mendengar atau melihat nama suatu merek atau pada intinya apa yang customer telah pelajari tentang merek. Brand image disebut juga memori merek yang skemati, berisi interpretasi pasar sasaran tentang atribut atau karakteristik produk, manfaat produk, situasi penggunaan, dan karakteristik pemasar.

Menurut Tony Sitinjak (2005:172) dalam tulisannya yang berjudul “Pengaruh Citra Merek dan Sikap Merek Terhadap Ekuitas Merek” dalam jurnal manajemen merek mengutarakan bahwa citra merek merupakan bentuk holistik untuk semua asosiasi merek yang berkaitan dengan merek. Brand image merupakan aspek yang sangat penting dari merek, citra dapat didasarkan kepada kenyataan atau fiksi tergantung bagaimana nasabah mempersepsikan. Dan untuk mengukur citra merek dapat dikaitkan dengan dimensi kualitas pelayanan.

Menurut Tjiptono (2011:112), brand image atau brand description yakni deskripi tentang asosiasi dan keyakinan konsumen terhadap merek tertentu. Sejumlah teknik kuantitatif dan kualitatif telah dikembangkan untuk membantuk mengungkap presepsi dan asosiasi konsumen terhadap sebuah merek tertentu, diantaranya multidimensional scaling, projection techniques, dan sebagainya.

2.1.5.2 Fungsi dan Peran Brand Image
Boush dan Jones (dalam Kahle & Kim, 2006: 6-8) mengemukakan bahwa citra merek (brand image) memiliki beberapa fungsi, di antaranya:
1. Pintu masuk pasar (Market Entry)
Berkaitan dengan fungsi market entry, citra merek berperan penting dalam hal pioneering advantage, brand extension, dan brand alliance. Produk pionir dalam sebuah kategori yang memiliki citra merek kuat akan mendapatkan keuntungan karena biasanya produk follower kalah pamor dengan produk pionir, misalnya Aqua. Bagi follower tentunya akan membutuhkan biaya tinggi untuk menggeser produk pionir yang memiliki citra merek kuat tersebut. Di sinilah keuntungan produk pionir (first-mover/pioneering adavantages) yang memilki citra merek kuat dibandingkan produk pionir yang memiliki citra lemah atau produk komoditi tanpa merek.

2. Sumber nilai tambah produk (Source of Added Product Value)
Fungsi berikutnya dari citra merek adalah sebagai sumber nilai tambah produk (source of added product value). Para pemasar mengakui bahwa citra merek tidak hanya merangkum pengalaman konsumen dengan produk dari merek tersebut, tapi benar-benar dapat mengubah pengalaman itu. Sebagai contoh, konsumen terbukti merasa bahwa makanan atau minuman dari merek favorit mereka memiliki rasa yang lebih baik dari kompetitor jika diuji secara unblinded dibandingkan jika diuji secara blinded taste tests (Allison & Uhl, 1964). Dengan demikian citra merek memiliki peran yang jauh lebih kuat dalam menambah nilai produk dengan mengubah pengalaman produk (Aaker & Stayman, 1992; Puto & Wells, 1984).

3. Penyimpan nilai perusahaan (Corporate Store of Value)
Nama merek merupakan penyimpan nilai dari hasil investasi biaya iklan dan peningkatan kualitas produk yang terakumulasikan. Perusahaan dapat menggunakan penyimpan nilai ini untuk mengkonversi ide pemasaran strategis menjadi keuntungan kompetitif jangka panjang. Misalnya, merek Hallmark diuntungkan dari keputusan yang dibuat selama 1950 untuk mensponsori beberapa program televisi berkualitas tinggi secara khusus setiap tahun.

4. Kekuatan dalam penyaluran produk (Channel Power)
Sementara itu, nama merek dengan citra yang kuat berfungsi baik sebagai indikator maupun kekuatan dalam saluran distribusi (channel power). Ini berarti merek tidak hanya berperan penting secara horizontal dalam menghadapi pesaing mereka, tetapi juga secara vertikal dalam memperoleh saluran distribusi dan memiliki kontrol ,dan daya tawar terhadap persyaratan yang dibuat distributor (Aaker, 1991; Porter, 1974). Sebagai contoh, strategi merek ekstensi Coca Cola bisa dibilang menyelesaikan tiga fungsi sekaligus. Perpanjangan izin masuk pasar dengan biaya lebih rendah, menghambat persaingan dengan menguasai shelf space, dan juga dapat memberikan daya tawar dalam hal negosiasi perdagangan, karena Coca Cola dianggap memiliki kekuatan dalam meningkatkan penjualan.

2.1.5.3 Manfaat Brand Image
Manfaat merek bagi produsen menurut Keller dalam Tjiptono (2005:20-21), dikatakan bahwa merek berperan sebagai :
  1. Sarana identifikasi untuk memudahkan proses penanganan atau pelacakan produk bagi perusahaan, terutama dalam pengorganisasian persediaan dan pencatatan akuntansi
  2. Bentuk proteksi hukum terhadap fitur yang unik. Merek bisa mendapatkan perlindungan property intelektual. Nama merek bisa diproteksi melalui merek dagang terdaftar (registered trademarks), proses pemanufakturan bisa dilindungi melalui hak paten, dan kemasan bisa diproteksi melalu hak cipta (copyrights) dan desain. Hak-hak property intelektual ini memberikan jaminan bahwa perusahaan dapat berinvestasi dengan aman dalam merek yang dikembangkannya dan meraup manfaat dari aset bernilai tersebut.
  3. Signal tingkat kualitas bagi para pelanggan yang puas, sehingga mereka bisa dengan mudah memilih dan membelinya lagi dilain waktu. Loyalitas merek seperti ini menghasilkan predictability dan security permintaan bagi perusahaan dan menciptakan hambatan masuk yang menyulitkan bagi perusahaan lain untuk masuk pasar.
  4. Sarana menciptakan asosiasi dan makna unik yang membedakan produk dari para pesaing.
  5. Sumber keunggulan kompetitif, terutama melalui perlindungan hukum, loyalitas pelanggan, dan citra unik yang terbentuk di dalam benak konsumen.
  6. Sumber financial returns, terutama menyangkut pendapatan masa datang.
2.1.5.4 Faktor Pembentuk Brand Image
Menurut Arnoul, et al. (2005:120-122) faktor yang membentuk citra merek adalah:
1. Faktor lingkungan
Faktor ini dapat memengaruhi di antaranya adalah atribut-atribut teknis yang ada pada suatu produk di mana faktor ini dapat dikontrol oleh produsen. Di samping itu, sosial budaya juga termasuk dalam faktor ini.

2. Faktor personal
Faktor personal adalah kesiapan mental konsumen untuk melakukan proses persepsi, pengalaman konsumen sendiri, mood, kebutuhan serta motivasi konsumen. Citra merupakan produk akhir dari sikap awal dan pengetahuan yang terbentuk lewat proses pengulangan yang dinamis karena pengalaman.

2.1.5.5 Dimensi Brand Image
Menurut Bambang Sukma Wijaya (2011) menyimpulkan bahwa dimensi-dimensi utama yang mempengaruhi dan membentuk citra sebuah merek tertuang dalam gambar.

1. Brand Identity
Dimensi pertama adalah brand identity atau identitas merek. Brand identity merupakan identitas fisik yang berkaitan dengan merek atau produk tersebut sehingga konsumen mudah mengenali dan membedakannya dengan merek atau produk lain, seperti logo, warna, kemasan, lokasi, identitas perusahaan yang memayunginya, slogan, dan lain-lain.

2. Brand Personality
Dimensi kedua adalah brand personality atau personalitas merek. Brand personality adalah karakter khas sebuah merek yang membentuk kepribadian tertentu sebagaimana layaknya manusia, sehingga khalayak konsumen dengan mudah membedakannya dengan merek lain dalam kategori yang sama, misalnya karakter tegas, kaku, berwibawa, ningrat, atau murah senyum, hangat, penyayang, berjiwa sosial, atau dinamis, kreatif, independen, dan sebagainya.

3. Brand Association
Dimensi ketiga adalah brand association atau asosiasi merek. Brand association adalah hal-hal spesifik yang pantas atau selalu dikaitkan dengan suatu merek, bisa muncul dari penawaran unik suatu produk, aktivitas yang berulang dan konsisten misalnya dalam hal sponsorship atau kegiatan social responsibility, isu-isu yang sangat kuat berkaitan dengan merek tersebut, ataupun person, simbol-simbol dan makna tertentu yang sangat kuat melekat pada suatu merek, misalnya “ingat beras ingat cosmos”, art + technology = apple, bola = Djarum, koboi = Marlboro, kulit putih = Ponds, Surya Paloh = MetroTV, Korupsi = Partai Demokrat, Konflik = PSSI, Gramedia = Buku, Lifebuoy = Kebersihan, anak muda rebel = A Mild, dan sebagainya.

4. Brand Attitude & Behavior
Dimensi keempat adalah brand attitude atau sikap dan perilaku merek. Brand attitude and behavior adalah sikap atau perilaku komunikasi dan interaksi merek dengan konsumen dalam menawarkan benefit-benefit dan nilai yang dimilikinya. Kerap sebuah merek menggunakan cara-cara yang kurang pantas dan melanggar etika dalam berkomunikasi, pelayanan yang buruk sehingga mempengaruhi pandangan publik terhadap sikap dan perilaku merek tersebut, atau sebaliknya, sikap dan perilaku simpatik, jujur, konsisten antara janji dan realitas, pelayanan yang baik dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat luas membentuk persepsi yang baik pula terhadap sikap dan perilaku merek tersebut. Jadi brand attitude and behavior mencakup sikap dan perilaku komunikasi, aktivitas dan atribut yang melekat pada merek saat berhubungan dengan khalayak konsumen, termasuk perilaku karyawan dan pemilik merek.

5. Brand Benefit & Competence
Dimensi kelima adalah brand benefit and competence atau manfaat dan keunggulan merek. Brand benefit and competence merupakan nilai-nilai dan keunggulan khas yang ditawarkan oleh suatu merek kepada konsumen yang membuat konsumen dapat merasakan manfaat karena kebutuhan, keinginan, mimpi dan obsesinya terwujudkan oleh apa yang ditawarkan tersebut. Nilai dan benefit di sini dapat bersifat functional, emotional, symbolic maupun social, misalnya merek produk deterjen dengan benefit membersihkan pakaian (functional benefit/values), menjadikan pemakai pakaian yang dibersihkan jadi percaya diri (emotional benefit/values), menjadi simbol gaya hidup masyarakat modern yang bersih (symbolic benefit/values), dan memberi inspirasi bagi lingkungan untuk peduli pada kebersihan diri, lingkungan dan hati nurani (social benefit/values). Manfaat, keunggulan dan kompetensi khas suatu merek akan memengaruhi brand image produk, individu atau lembaga/perusahaan tersebut.

2.1.6 Customer Loyaly
2.1.6.1 Pengertian Customer Loyalty
Loyalitas atau kesetiaan didefinisikan sebagai komitmen yang dipegang kuat untuk membeli atau berlangganan lagi produk atau jasa tertentu di masa depan meskipun ada pengaruh situasi dan usaha pemasaran yang berpotensi menyebabkan perubahan perilaku (Kotler dan Keller, 2007:175).

Griffin (2005:5) berpendapat bahwa seorang konsumen dikatakan setia atau loyal apabila konsumen tersebut menunjukkan perilaku pembelian secara teratur atau terdapat suatu kondisi dimana mewajibkan konsumen membeli paling sedikit dua kali dalam selang waktu tertentu. Upaya memberi kepuasan konsumen dilakukan untuk mempengaruhi sikap konsumen, sedangkan konsep loyalitas konsumen lebih berkaitan dengan perilaku daripada sikap dari konsumen.

Menurut Kotler (2005:178) mengatakan “ The long term success of the a particular brand is not based on the number of consumer who purchase it only once, but on the number who become repeat purchase “. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa konsumen yang loyal tidak diukur dari berapa banyak dia membeli, tapi dari seberapa sering dia melakukan pembelian ulang, termasuk di sini merekomendasikan orang lain untuk membeli.

Berdasarkan kutipan dari Sheth & Mittal (2004) dalam Tjiptono (2007:387), loyalitas konsumen adalah komitmen konsumen terhadap suatu merek, toko atau pemasok berdasarkan sifat yang sangat positif dan tercermin dalam pembelian ulang yang konsisten. Dua kondisi penting yang berhubungan dengan loyalitas adalah retensi konsumen (customer retention) dan total pangsa konsumen (total share of customer).

Menurut Gremler dan Brown (1997) dalam Hasan (2009:83) bahwa loyalitas konsumen adalah konsumen yang tidak hanya membeli ulang barang dan jasa, tetapi juga mempunyai komitmen dan sikap yang positif terhadap perusahaan jasa, misalnya dengan merekomendasikan orang lain untuk membeli. Definisi ini menempatkan loyalitas sebagai sebuah komitmen sikap menghasilkan empat kemungkinan loyalitas yaitu loyal, loyalitas palsu atau pura-pura, loyal yang tersembunyi, dan tidak loyal.

2.1.6.2 Tahap Perkembangan Customer Loyalty
Menurut Hasan (2008:86), loyalitas berkembang melalui empat tahap, yaitu :
  • Kognitif,
  • Afektif,
  • Konatif, da
  • Tindakan.
Tinjauan ini memperkirakan bahwa konsumen menjadi loyal lebih dulu pada aspek kognitifnya, berturut kemudian pada aspek afektif, konatif dan akhirnya pada tindakan.

1. Tahap pertama : Loyalitas Kognitif
Konsumen yang mempunyai loyalitas tahap pertama ini menggunakan basis informasi yang memaksa menunjuk pada satu merek atas merek lainnya, loyalitasnya hanya didasarkan pada aspek kognisi saja. Contoh, sebuah swalayan secara konsisten selalu menawarkan harga yang lebih rendah dari pesaing yang ada. Informasi ini cukup memaksa konsumen selalu berbelanja di swalayan tersebut.

2. Tahap kedua : Loyalitas Afektif
Loyalitas tahap kedua didasarkan pada aspek afektif konsumen. Sikap merupakan fungsi dari kognisi pengharapan pada periode awal pembelian (masa prakonsumsi) dan merupakan fungsi dari sikap sebelumnya ditambah kepuasan di periode berikutnya (masa pascakonsumsi).

3. Tahap ketiga : Loyalitas Konatif
Dimensi konatif (niat melakukan) dipengaruhi oleh perubahan-perubahan afektif terhadap merek. Konasi menunjukan suatu niat untuk melakukan sesuatu kearah tujuan tertentu. Loyalitas konatif merupakan suatu kondisi loyal yang mencakup komitmen mendalam untuk melakukan pembelian. Jenis komitmen ini sudah melampaui afektif, bagian dari motivasi untuk mendapatkan merek yang disukai. Afektif hanya menunjukan kecenderungan motivasi, sedangkan komitmen menunjukan melakukan suatu keinginan untuk menjalankan tindakan. Keinginan untuk membeli kembali atau menjadi loyal itu hanya merupakan tindakan yang terantisipasi tetapi belum terlaksana.

4. Tahap keempat : Loyalitas Tindakan
Meskipun pembelian ulang adalah suatu tindakan yang sangat penting bagi pemasar, penginterprestasian loyalitas hanya pada pembelian ulang saja tidak cukup, karena konsumen yang membeli ulang belum tentu memmpunyai sikap positif terhadap barang atau jasa yang dibeli. Pembelian ulang dilakukan bukan karena puas, melainkan mungkin karena terpaksa atau faktor lainnya. Oleh karena itu untuk mengenali perilaku loyal dilihat dari dimensi ini, yaitu dari komitmen pembelian ulang yang ditujukan pada suatu produk dalam kurun waktu tertentu secara teratur.

2.1.6.3 Keuntungan Customer Loyalty
Griffin (2005:223) mengemukakan keuntungan-keuntungan yang akan diperoleh perusahaan apabila memiliki konsumen yang loyal antara lain:
  • Mengurangi biaya pemasaran (karena biaya untuk menarik konsumen baru lebih mahal)
  • Mengurangi biaya transaksi (seperti biaya negosiasi kontrak, pemrosesan pesanan dan lain-lain)
  • Mengurangi biaya turn over konsumen (karena pergantian konsumen lebih sedikit)
  • Meningkatkan penjualan silang yang akan memperbesar pangsa pasar perusahaan
  • Word of mouth yang lebih positif, dengan asumsi bahwa konsumen yang loyal juga berarti mereka yang merasa puas
  • Mengurangi biaya kegagalan (seperti biaya penggantian, dll)
2.1.6.4 Pengukuran Customer Loyalty
Menurut Ahmad Mardalis (2005: 34) loyalitas dapat diukur berdasarkan:
1. Urutan pilihan (choice sequence)
Metode urutan pilihan atau disebut juga pola pembelian ulang ini banyak dipakai dalam penelitian dengan menggunakan panel-panel agenda harian konsumen lainnya, dan lebih terkini lagi, data scanner supermarket.

2. Proporsi pembelian (proportion of purchase)
Berbeda dengan runtutan pilihan, cara ini menguji proporsi pembelian total dalam sebuah kelompok produk tertentu. Data yang dianalisis berasal dari panel konsumen.

3. Preferensi (preference)
Cara ini mengukur loyalitas dengan menggunakan komitmen psikologis atau pernyataan preferensi. Dalam hal ini, loyalitas dianggap sebagai “sikap yang positif” terhadap suatu produk tertentu, sering digambarkan dalam istilah niat untuk membeli.

4. Komitmen (commitment)
Komitmen lebih terfokus pada komponen emosional atau perasaan. Komitmen terjadi dari keterkaitan pembelian yang merupakan akibat dari keterlibatan ego dengan kategori merek. Keterlibatan ego tersebut terjadi ketika sebuah produk sangat berkaitan dengan nilai-nilai penting, keperluan, dan konsep diri konsumen.

2.1.6.5 Dimensi Customer Loyalty
Berbeda dari kepuasan, loyalitas dapat didefinisikan berdasarkan perilaku membeli. Menurut Griffin (2005:31) konsumen yang loyal merupakan orang yang:
  • Melakukan pembelian ulang secara teratur
  • Membeli antarlini produk dan jasa
  • Mereferensikan kepada orang lain
  • Menunjukkan kekebalan terhadap tarikan dari pesaing.
Indikator dari loyalitas konsumen menurut Kotler & Keller ( 2006:57 ) adalah 
  • Repeat Purchase (kesetiaan dalam pembelian produk)
  • Retention (ketahanan terhadap pengaruh negatif mengenai perusahaan)
  • Referrals (mereferensikan secara total eksistensi perusahaan)
2.1.6.6 Meningkatkan Customer Loyalty
Menurut Grifin (2005:22), dalam buku “Customer Loyalty”, ada empat cara agar konsumen tidak meninggalkan perisahaan, yaitu:

1. Mempermudah konsumen untuk memberi umpan balik kepada perusahaan.
Salah satu kegiatan yang paling menguntungkan bagi perusahaan adalah mencari keluhan konsumen, memudahkan konsumen untuk memberikan umpan balik dengan cara bertanya kepada konsumen secara teratur mengenai pembelian terakhir mereka seperti: apakah pembelian itu memenuhi kebutuhan mereka, apakah itu yang mereka harapkan serta bagaimana cara meningkatkannya.

2. Bila konsumen membutuhkan bantuan, berikanlah dengan segera.
Setelah perusahaan memperoleh umpan balik dari konsumen, perusahaan harus bertindak dengan cepat. Bila konsumen menghubungi untuk menyampaikan keluhan, perusahaan harus memberi respon dengan segera, sebaiknya dengan menegaskan maksud perusahaan untuk menyelesaikan masalah secepat mungkin.

3. Mengurangi kejengkelan atas reparasi, pembayaran kembali dan pemberian jaminan reparasi, pembayaran kembali, dan pemberian jaminan sering menjadi sumber kekecewaan para konsumen.

4. Mempelajari cara menghibur konsumen yang marah.
Dengan sistem umpan balik dan keluhan konsumen yang meningkat mutunya, terjadi interaksi dengan konsumen. Bila perusahaan berhadapan dengan konsumen yang marah, perlakukan konsumen tersebut dengan penuh perhatian.

2.1.6.7 Tahap Pertumbuhan Loyalitas
Menurut Grifin (2002:35) menyatakan bahwa tingkat loyalitas terdiri dari:
1. Suspect
Meliputi orang yang mungkin akan membeli barang atau jasa perusahaan.
2. Prosect
Orang-orang yang memiliki kebutuhan akan produk atau jasa tertentu, dan mempunyai keyakinan untuk membelinya.
3. Disqulified Prospect
Prospek yang telah mengetahui keberadaan barang atau jasa tertentu, tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk membeli barang atau jasa tersebut.
4. First Time Customers
Konsumen yang membeli untuk pertama kalinya, mereka masih menjadi konsumen baru.
5. Repeat Customers
Konsumen yang telah melakukan pembelian suatu produk sebanyak dua kali atau lebih.
6. Clients
Pembeli semua barang atau jasa yang mereka butuhkan dan tawarkan perusahaan, mereka membeli secara teratur.
7. Advocates
Layaknya clients, advocates membeli seluruh barang atau jasa yang ditawarkan yang ia butuhkan, serta melakukan pembelian secara teratur sebagai tambahan mereka mendorong teman-teman mereka yang lain agar membeli barang atau jasa tersebut.

2.1.6.8 Jenis-jenis Loyalitas
Menurut Griffin (2005:22), menyatakan bahwa jenis loyalitas dapat dibagi menjadi:
1. Tanpa loyalitas
Beberapa konsumen tidak mengembangkan loyalitas terhadap produk atau jasa tertentu. Tanpa loyalitas ditandai dengan keterikatannya yang rendah dikombinasikan dengan tingkat pembelian yang rendah pula. Secara umum, perusahaan harus menghindari membidik para pembeli jenis ini karena mereka tidak akan menjadi konsumen yang loyal.

2. Loyalitas yang lemah
Ditandai dengan keterikatan yang rendah digabung dengan pembelian berulang yang tinggi menghasilkan loyalitas yang lemah. Konsumen ini membeli karena kebiasaan. Dengan kata lain, faktor nonsikap dan faktor situasi merupakan alasan utama membeli. Loyalitas jenis ini paling umum terjadi pada produk yang sering dibeli.

3. Loyalitas tersembunyi
Tingkat keterikatan yang relatif tinggi digabung dengan tingkat pembelian berulang yang rendah menunjukkan loyalitas tersembunyi. Bila konsumen memiliki loyalitas tersembunyi, pengaruh situasi dan bukan pengaruh sikap yang menentukan pembelian berulang.

4. Loyalitas premium
Loyalitas premium, jenis loyalitas yang paling dapat ditingkatkan, terjadi bila ada keterikatan yang tinggi dan tingkat pembelian ulang yang juga tinggi. Ini merupakan jenis loyalitas yang lebih disukai untuk semua konsumen di setiap perusahaan.

2.1.7 Hubungan Antar Variabel
Hubungan yang ada antara variabel yang diteliti dapat dijabarkan sebagai berikut
2.1.7.1 Hubungan Service Quality Dengan Brand Image
Hubungan antara service quality dan brand image tidak berpengaruh terhadap perusahaan. Menurut Malik, et al. (2011) hanya empathy, responsiveness, dan reliability yang memiliki pengaruh terhadap pembangunan brand image, sedangkan assurance dan tangibles tidak memberikan kontribusi apa-apa yang signifikan dalam memelihara brand image. Jadi dalam membangun konsepsi brand image dan memperkuat kesadaran merek. Yang harus dilakukan adalah memperhatikan faktor yang dapat diandalkan dan membangun hubungan konsumen, meningkatkan prestasi karyawan, menciptakan keunggulan inti, meningkatkan faktor respon, dan meningkatkan efisiensi kerja untuk faktor empati dan menambahkan nilai tambah dan memperluas brand awareness.

Dan menurut Momeni, et al. (2013) pada jurnalnya “Factors Influencing Brand Image in Banking Industry of Iran” menyatakan bahwa service quality yang diterapkannya di industri perbankan tidak memiliki hubungan dengan brand image dan mengharapkan adanya penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara service quality dan brand image di industri yang lain karena dalam penerapan service quality di industri perbankan tidak memiliki pengaruh.

2.1.7.2 Hubungan Brand Image Dengan Customer Loyalty
Menurut Juthamard Sirapracha dan Gerard Tocquer (2012) penelitian ini memperluas penelitian jasa kini dengan mengeksplorasi hubungan antara pengalaman konsumen, citra merek, dan loyalitas konsumen. Dengan kata lain, penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi konsumen dari interaksi mereka dengan perusahaan jasa dipengaruhi oleh pengalaman layanan disampaikan. Penelitian ini memiliki beberapa implikasi manajerial juga. Para pemasar dari penyedia layanan dapat menggunakan hasil penelitian untuk meningkatkan ekuitas merek mereka melalui pengiriman pengalaman konsumen yang menarik dalam banyak aspek.

Dengan berfokus pada pengalaman konsumen, merek layanan memiliki pandangan holistik apa yang mereka berikan untuk konsumen. Oleh karena itu, semua fungsi manajerial dan departemen harus selaras untuk memberikan pengalaman konsumen yang menarik secara keseluruhan melalui interaksi dengan konsumen. Dan dampak dari kedua pengalaman konsumen dan komunikasi pemasaran pada hubungan pengetahuan merek dan merek. Perbandingan ini akan membantu menunjukkan bahwa merek layanan membutuhkan benar-benar pendekatan yang berbeda

2.1.7.3 Hubungan Service Quality Dengan Customer Loyalty
Menurut Kheng, et al (2010) Meskipun layanan konsumen telah dievaluasi lama, tetapi masih satu studi yang bank harus terus melakukan dalam rangka memenuhi. Teknologi baru harus dimasukkan sebagai faktor untuk mengukur service quality dalam penelitian selanjutnya. Penelitian dan kuesioner terkait juga harus diakomodasi dengan persyaratan konsumen baru. Sebuah pemahaman yang lebih jelas untuk urutan hubungan antara service quality dan customer loyalty, dapat membantu untuk memastikan target yang lebih baik dari konsumen yang menggunakan sumber daya pemasaran yang terbatas.

Sedangkan menurut Al-Rousan, et al. (2010) Dalam penelitian ini, skala untuk mengukur service quality diusulkan melalui faktor analisis eksploratori dimana memiliki pengetahuan tentang faktor tersebut pasti akan membantu manajer memenuhi tantangan untuk meningkatkan service quality. Penelitian ini juga mengidentifikasi lima dimensi kualitas pelayanan pariwisata, yaitu tangibility, reliability, responsiveness, assurance, dan empathy, yang semuanya menunjukkan bahwa faktor yang paling penting dalam memprediksi jasa adalah tangibility, diikuti oleh empathy, reliability, dan responsiveness. Sedangkan pemantauan customer loyalty menjadi fokus penting untuk semua manajer. Kegagalan untuk mengenali kekuatan kepuasan konsumen, khususnya emosi mereka, bisa menghancurkan kekuatan retensi dan loyalitas konsumen. Oleh karena itu, tantangan terbesar tidak hanya terletak untuk menarik konsumen namun secara khusus berfokus dengan mengidentifikasi kepuasan konsumen secara individual.

No comments:

Post a Comment