Monday 31 October 2016

Pengertian Hak Cipta

Pengertian Hak Cipta
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang antara lain dapat terdiri dari buku, program komputer, ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu, serta hak terkait dengan hak cipta. Rekaman suara dan/atau gambar pertunjukan seorang pelaku, misalnya seorang penyanyi atau penari diatas panggung, merupakan hak terkait yang dilindungi hak cipta[1].
Istilah hak cipta merupakan pengganti auteusrechts atau copyrights yang kandungan artinya lebih tepat dan luas, istilah Auteurs Rechts sendiri disadur dari istilah bahasa Belanda yang mempunyai arti hak pengarang. Secara yuridis, istilah hak cipta telah dipergunakan dalam Undang-undang Hak Cipta Tahun 1982 sebagai pengganti istilah hak pengarang yang dipergunakan dalam Auteurswet 1912.

Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1, yang dimaksud dengan hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sedangkan yang dimaksud dengan hak terkait dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002 adalah hak yang berkaitan dengan hak cipta, yaitu hak eksklusif bagi pelaku untuk memperbanyak atau menyiarkan pertunjukannya atau menyewakan karya rekaman suara atau rekaman bunyinya dan bagi lembaga penyiaran untuk membuat, memperbanyak, atau menyiarkan karya seninya.

Terdapat dua unsur penting yang terkandung dalam rumusan pengertian hak cipta yang termuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002, yaitu[2]:
  • Hak yang dapat dipindahkan atau dialihkan kepada pihak lain;
  • Hak moral yang dalam keadaan bagaimanapun dan dengan jalan apapun tidak dapat ditinggalkan daripadanya, seperti mengumumkan karyanya, menetapkan judulnya, mencantumkan nama sebenarnya atau nama samarannya dan mempertahankan keutuhan atau integritas ceritanya.
Sifat hukum hak cipta berdasarkan bunyi Pasal 1 angka 1 Undang-undang Hak Cipta No.19 Tahun 2002, yaitu[3]:
  1. Hak cipta itu merupakan hak yang bersifat khusus, istimewa, atau eksklusif (exclusive rights) yang diberikan kepada pencipta atau pemegang hak cipta. Hak yang bersifat khusus ini berarti tidak ada orang lain yang boleh menggunakan hak tersebut, kecuali dengan ijin pencipta atau pemegang hak cipta tersebut;
  2. Hak yang bersifat khusus, tunggal, atau monopoli yang merupakan hak pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan ciptaannya, memperbanyak ciptaannya dan memberi ijin kepada orang lain untuk mengumumkan atau memperbanyak hasil ciptaannya tersebut;
  3. Pencipta atau pemegang hak cipta maupun orang lain yang telah diberi ijin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, dalam melaksanakan hak yang bersifat khusus tersebut harus melakukannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang merupakan pembatasan-pembatasan tertentu;
  4. Hak cipta tersebut dianggap sebagai benda bergerak yang bersifat immateriil yang dapat beralih atau dialihkan kepada orang lain, baik untuk seluruh maupun sebagian.
Hak cipta mengandung beberapa prinsip dasar (basic principles) yang secara konseptual digunakan sebagai landasan pengaturan hak cipta di semua negara, baik itu yang menganut Civil Law System maupun Common Law System. Beberapa prinsip yang dimaksud adalah[4]:

a. Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli. Prinsip ini adalah prinsip yang paling mendasar dari perlindungan hak cipta, maksudnya yaitu bahwa hak cipta hanya berkenaan dengan bentuk perwujudan dari suatu ciptaan. Prinsip ini dapat diturunkan menjadi beberapa prinsip lain sebagai prinsip-prinsip yang berada lebih rendah atau sub-principles, yaitu:
  1. Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian (orisinil) untuk dapat menikmati hak-hak yang diberikan oleh Undang-undang. Keaslian sangat erat hubungannya dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan.
  2. Suatu ciptaan mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan diwujudkan dalam bentuk tulisan atau bentuk material yang lain, ini berarti suatu ide atau pemikiran belum merupakan suatu ciptaan.
  3. Karena hak cipta adalah hak eksklusif dari pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, hal tersebut berarti bahwa tidak ada orang lain yang boleh melakukan hak tersebut tanpa seijin pencipta atau pemegang hak cipta.
b. Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis)
Suatu hak cipta akan eksis pada saat seorang pencipta mewujudkan idenya dalam bentuk yang berwujud, dengan adanya wujud dari suatu ide maka suatu ciptaan akan lahir dengan sendirinya. Ciptaan tersebut dapat diumumkan atau tidak diumumkan, tetapi jika suatu ciptaan tidak diumumkan maka hak ciptanya tetap ada pada pencipta. 
  • Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh suatu hak cipta
  • Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui hukum yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan
  • Hak cipta bukan hak mutlak 
Hak cipta bukan merupakan suatu monopoli mutlak melainkan hanya suatu monopoli terbatas. Hak cipta yang secara konseptual tidak mengenal konsep monopoli penuh, sebab mungkin saja seorang pencipta menciptakan suatu ciptaan yang sama dengan ciptaan yang telah tercipta lebih dahulu, dengan syarat tidak terjadi suatu bentuk peniruan atau plagiat secara murni.

Hak cipta merupakan hak istimewa yang hanya dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak cipta, penggunaan atau pemanfaatannya hendaknya berfungsi sosial. Hal ini dikarenakan adanya pembatasan-pembatasan tertentu yang diatur dalam Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Hasil karya cipta atau ciptaan bukan saja hanya dapat dinikmati oleh penciptanya saja, tetapi juga dapat dinikmati, dimanfaatkan, dan digunakan oleh masyarakat luas, sehingga ciptaan itu mempunyai nilai guna, disamping nilai moral dan ekonomis.

Pembatasan terhadap penggunaan hak cipta berikutnya dapat dilihat dalam pasal-pasal berikut ini:
a. Pasal 14 Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002. Pasal-pasal tersebut menyebutkan pembatasan mengenai penggunaan hak cipta dengan tanpa syarat , yaitu[5]:
  • Lambang negara dan lagu kebangsaan;
  • Segala sesuatau yang diumumkan dan/atau diperbanyak oleh pemerintah;
  • Berita aktual.
b. Pasal 16 Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 yang mengatur lisensi wajib (compulsory licensing). Fungsi sosial hak cipta secara efektif akan lebih mudah dilaksanakan melalui mekanisme lisensi wajib.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa hak cipta yang bersifat khusus atau eksklusif itu, baik bagi pencipta maupun bagi pemegang hak cipta atau orang lain, harus dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan merupakan pembatasan-pembatasan tertentu, artinya Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 telah memberikan sarana guna mewujudkan prinsip fungsi sosial yang harus melekat pada hak milik sebagaimana lazimnya yang memberikan kemungkinan kepada masyarakat luas untuk memanfaatkan atau menikmati suatu ciptaan yang dilindungi hak ciptanya sebagai salah satu hak milik.

Pembatasan-pembatasan menurut Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 bertujuan agar setiap penggunaan hak cipta harus sesuai dengan tujuannya. Pembatasan hak cipta bertujuan agar setiap orang atau badan hukum tidak menggunakan haknya secara sewenang-wenang. Setiap penggunaan hak cipta harus diperhatikan terlebih dahulu apakah hal itu tidak bertentangan atau tidak merugikan kepentingan umum. Indonesia tidak menganut paham individualis, dengan kata lain hak individu tetap dihormati sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Penggunaan hak cipta harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari hak cipta itu sendiri, sehingga mendatangkan manfaat bagi kepentingan umum dan kepentingan negara dan bangsa.

Pembatasan terhadap hak cipta bukan berarti hak individu terhadap hak cipta akan terdesak oleh kepentingan umum. Undang-undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan, oleh karena itu kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan harus saling mengimbangi sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok yang hendak dicapai dalam pemanfaatan atau penggunaan hak cipta.

2. Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta
a. Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta di Dunia Internasional
Sejarah konsepsi perlindungan di bidang hak cipta mulai tumbuh dengan jelas sejak diketemukannya mesin cetak pada abad pertengahan di Eropa. Kebutuhan di bidang hak cipta timbul karena dengan mesin cetak, karya-karya cipta dengan mudah diperbanyak secara mekanikal. Hal inilah yang pada awalnya menumbuhkan copyright. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, isi dan lingkup perlindungan hukum tersebut memperoleh kritik yang keras, sebab yang dianggap menikmati perlindungan hanyalah pengusaha percetakan dan penerbitan, sedangkan pencipta karya cipta itu sendiri (authors) praktis tidak memperoleh perlindungan hukum yang semestinya[6]. Para filsuf Eropa yang mengkritik hal tersebut berargumentasi bahwa karya-karya cipta pada dasarnya merupakan refleksi pribadi atau alter ego dari penciptanya. Kemudian tumbuhlah konsep baru yaitu authors right yang menggantikan copyright[7].

Faktor sosial juga mendukung terjelmanya hak cipta yang melekat atas karya tulis para pengarang dan penulis. Pada tahun 1690, John Locke mengutarakan dalam bukunya Two Treaties on Civil Government, bahwa pengarang atau penulis mempunyai hak dasar (natural right) atas karya ciptaannya. Pandangan ini pada hakekatnya didahului dengan adanya gerakan renaissance yang menjunjung tinggi kemampuan manusia sebagai pribadi yang mandiri, yang ingin membebaskan diri dari kungkungan raja dan gereja[8].

Perlindungan yang diberikan kepada hasil ciptaan dan penciptanya, bukan saja sekedar sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap hasil karya cipta seseorang di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, tetapi juga diharapkan akan dapat membangkitkan semangat dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang ilmu pengetahuan, seni dan satra. Karya-karya ini tidak sekedar memiliki arti sebagai hasil akhir, tetapi juga merupakan kebutuhan yang bersifat lahiriah dan batiniah, baik bagi penciptanya maupun orang lain yang memerlukannya. Oleh karena itu, dibutuhkan perlindungan hukum yang memadai terrhadap hasil ciptaan dan penciptanya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra[9]. 

Berkembangnya sudut pandang yang menganggap perlu adanya bentuk perlindungan hukum terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights) memacu dilakukannya perundingan internasional yang membahas tentang perlindungan hukum atas Hak Kekayaan Intelektual. Hal ini membuktikan bahwa permasalahan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) bukan lagi menjadi urusan suatu negara saja, akan tetapi sudah menjadi urusan masyarakat internasional, terlebih lagi sejak ditandatanganinya Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO), dengan dibentuknya World Trade Organization maka perlindungan terhadap HaKI semakin ketat dan penegakan hukumnya dapat dilaksanakan melalui suatu badan yang bernaung dibawah payung WTO yang dinamakan Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body).

Upaya perlindungan hukum terhadap HaKI dapat dilaksanakan seefisien dan seefektif mungkin, untuk itu diperlukan suatu kerjasama antara negara-negara anggota WTO yang bersifat regional maupun internasional. Atas dasar pemikiran ini maka negara-negara yang berada dikawasan Asia Pasifik membentuk suatu forum kerjasama yang terdiri dari para ahli dibidang HaKI, forum ini bertujuan agar upaya perlindungan hukum terhadap HaKI sesuai dengan standar perlindungan yang ditetapkan dalam Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).

b. Sejarah Pengaturan Hukum Hak Cipta di IndonesiA
Secara yuridis formal, Indonesia diperkenalkan dengan masalah hak cipta pada tahun 1912, yaitu pada saat diundangkannya Auteurswet (Wet van 23 September 1912, Staatsblad 1912 Nomor 600), yang mulai berlaku sejak tanggal 23 September 1912. Meskipun pada waktu itu Indonesia telah memberlakukan Auteurswet 1912, untuk kepentingan pendidikan dibolehkan menyimpang dari aturan-aturan Auteurswet 1912 tersebut. Hal ini tampak dari adanya buku-buku terbitan Balai Pustaka berupa terjemahan buku-buku yang para pengarangnya berasal dari beberapa negara Eropa, tanpa meminta izin menerjemahkan terlebih dahulu dari pengarang aslinya. Penerbit Balai Pustaka merupakan suatu badan usaha milik negara. Penerjemahan yang dilakukan penerbit Balai Pustaka dilakukan dengan maksud baik, yaitu untuk memperkaya khasanah pustaka bagi bangsa Indonesia yang belum memiliki jumlah yang memadai.

Menurut Auteurswet 1912, penerjemahan tanpa izin dari penciptanya merupakan pelanggaran. Bahkan, penerjemahan dilakukan dari buku-buku yang sudah menjadi milik umum (public domain), penyebutan nama pencipta dan judul aslinya harus tetap dilakukan, mengingat masih adanya hak-hak moral (moral rights) yang melekat pada ciptaan-ciptaan yang bersangkutan[10].

Setelah Indonesia merdeka, ketentuan Auteurswet 1912 ini masih dinyatakan berlaku sesuai dengan ketentuan peralihan yang terdapat dalam Pasal I Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, yaitu segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini[11].

Keikutsertaan Indonesia dalam upaya perlindungan terhadap HaKI sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 1950. Upaya perlindungan ini dimulai sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Paris, yaitu perjanjian internasional dibidang hak kekayaan industri, Indonesia kemudian bergabung dalam Putaran Uruguay (1986-1994) yang merupakan salah satu rangkaian terakhir perundingan perdagangan multilateral.

Perundingan Putaran Uruguay menetapkan sebuah paket komprehensif yang mencakup aturan-aturan perdagangan dan pembentukan WTO, yang merupakan sebuah lembaga formal untuk administrasi dan perundingan lebih lanjut dari aturan-aturan yang telah dihasilkan. Selanjutnya Indonesia juga ikut menjadi negara peserta dalam organisasi HaKI dunia atau lebih dikenal dengan World Intellectual Property Organization (WIPO). Ketika WIPO mengadakan perundingan mengenai perjanjian internasional dalam bidang hak cipta dalam lingkungan digital, atau dikenal sebagai perjanjian internasional Hak Cipta WIPO (WIPO Copyrights Treaty/WTC), Indonesia merupakan negara pertama yang meratifikasi perjanjian tersebut. Keseriusan pemerintah Indonesia dalam upaya perlindungan terhadap HaKI dapat dilihat pula dari penyusunan berbagai perundang-undangan dibidang HaKI.

Komitmen Indonesia terhadap mekanisme regional maupun internasional yang berkaitan dengan HaKI meliputi[12]:
1) Keanggotaan aktif di WTO, diperkuat oleh ratifikasi konvensi pembentukan WIPO pada tahun 1979;
2) Kepatuhan terhadap perjanjian-perjanjian internasional yang bersifat mendasar mengenai hukum HaKI secara substansif yang dikelola oleh WIPO khususnya Paris Convention tentang perlindungan kekayaan industri (Konvensi Paris disahkan pertama kali pada tahun 1883). Perubahan terakhir dilakukan melalui Stockholm Act tanggal 16 Juli 1967. Indonesia menjadi pihak dalam Stockholm Act sejak 24 Desember 1950. Konvensi Bern memberikan perlindungan terhadap karya-karya artistik, Konvensi Bern disahkan pertama kali pada tahun 1886, perubahan terakhir dilakukan melalui Paris Act tanggal 24 Juli 1971. Indonesia menjadi pihak dalam Paris Act sejak 5 September 1997 dan Traktat Hak Cipta WIPO (WTC) Indonesia adalah negara pertama yang meratifikasi WTC tanggal 5 September 1997;
3) Kepatuhan terhadap perjanjian internasional yang diselenggarakan oleh WIPO yang bersifat teknis dan administratif, meliputi:
  • Traktat Kerjasama Paten (PTC) diratifikasi pada tanggal 5 September 1997
  • Traktat Hukum Merek (TLT) diratifikasi tanggal 5 September 1997
  • Traktat Hukum Paten (Indonesia mengambil bagian dalam konferensi diplomatik yang mengadopsi naskah traktat ini tanggal 1 Juni 2000
  • Perjanjian Den Haag tentang Penyimpanan Desain Industri Secara Internasional (Indonesia telah meratifikasi London Act 1934 tanggal 24 Desember 1950, tetapi belum meratifikasi perubahannya);
4) Keikutsertaan dalam proses pembuatan kebijakan WIPO, misalnya panitia kerja mengenai berbagai aspek hukum HaKI internasional, dan konsultasi mengenai isu-isu yang baru muncul, misalnya perdagangan elektronik, pengetahuan tradisional dan perlindungan database, dan di dalam kegiatan-kegiatan kerjasama WIPO secara teknis baik ditingkat nasional, regional maupun internasional;
5) Keikutsertaan dalam kegiatan kerjasama regional, misalnya:
  • Perjanjian kerangka kerja ASEAN mengenai kerjasama dibidang HaKI, yang diputuskan di Bangkok pada tanggal 15 Desember 1995
  • Kelompok Ahli Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik tentang HaKI (IPEG)
  • Deklarasi politik yang dibuat bersama misalnya Agenda Kerja OSAKA APEC tahun 1995.
  • Pernyataan bersama APEC mengenai pelaksanaan WTO/Perjanjian TRIPs, yang dikeluarkan di Darwin pada tanggal 6-7 Juni 2000.
6) Kepatuhan terhadap instrumen-instrumen internasional mengenai permasalahan terkait dengan sistem HaKI, misalnya:
  • Konvensi Keanekaragaman Hayati yang diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 23 Agustus 1994.
  • Deklarasi HAM se-Dunia (Pasal 27 ayat 7 Deklarasi ini menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak terhadap perlindungan secara moral dan material atas karya-karya baik keilmuan, sastra, maupun sastra yang diciptakan).

SUMBER;

No comments:

Post a Comment