SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT DALAM ISLAM
Kata
filsafat berasal dari bahasa Arab falsafah, yang diturunkan dari bahasa
Yunani philosophia. Dari sekian banyak batasan atau definisi tentang
arti filsafat, menurut Ahmad Azhar Basyir (1993:17) agaknya dapat
diterima secara umum batasan yang mengatakan bahwa filsafat adalah
“pemikiran rasional, kritis, sistematis, dan radikal tentang suatu
obyek”. Obyek pemikiran kefilsafatan adalah segala yang ada, yaitu
Tuhan, manusia dan alam. Jika yang menjadi obyek pemikiran itu adalah
Tuhan, maka lahirlah filsafat ketuhanan; jika yang menjadi obyek adalah
tentang manusia, maka lahirlah filsafat manusia; begitu juga jika yang
menjadi obyek adalah alam, maka lahirlah filsafat kealaman. Pendeknya
adalah apabila terjadi suatu pemikiran secara rasional, kritis,
sistematis dan radikal terhadap suatu obyek tertentu maka pekerjaan
tersebut dapat dikatakan sebagai berpikir filosofis atau bercorak
kefilsafatan. Dari batasan filsafat di atas, hal yang paling mendasar
adalah adanya pemikiran yang bersifat rasional. Rasionalitas rupanya
menjadi prasyarat pokok bagi lahirnya pemikiran yang bercorak
kefilsafatan.
Menurut
Harun Nasution (1979:46) pemikiran filosofis masuk ke dalam dunia Islam
melalui filsafat Yunani yang dijumpai oleh para pemikir Muslim di
Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kebudayaan dan falsafah Yunani
datang ke daerah-daerah itu dikarenakan adanya ekspansi Alexander Yang
Agung ke Timur di abad ke-4 sebelum masehi. Politik Alexander untuk
menyatukan kebudayaan Yunani dan kebudayaan Persia meninggalkan warisan
di daerah-daerah yang dikuasainya. Hasilnya adalah munculnya pusat-pusat
kebudayaan Yunani di Timur.
Pemikiran
filosofis ini mulai nampak jelas kelihatan terutama pada masa
pemerintahan Abbasiyah. Ketertarikan terhadap pemikirn Yunani berawal
dari keinginan umat Islam pada masa itu untuk mempelajari ilmu
kedokteran atau ilmu pengobatan model Yunani, dari perjumpaan itu
kemudian berlanjut kepada ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, termasuk
filsafat. Perhatian kepada filsafat meningkat pada masa pemerintahan
Khalifah al-Makmun (813-833M), putera Harun al-Rasyid. Pada masanya
banyak ilmuwan yang dikirim ke Kerajaan Bizantium untuk mencari
manuskrip yang kemudian dibawa ke Bagdad untuk diterjemahkan ke dalam
bahasa Arab. Untuk keperluan penerjemahan, al-Makmun mendirikan Bait
al-Hikmah di Bagdad. Lembaga ini dipimpin oleh seorng Kristen dari Hirah
yang bernama Hunain ibn Ishaq. Ia pernah ke Yunani dan berlajar bahasa
Yunani. Selain menguasai bahasa Arab dan Yunani, Hunain juga menguasai
bahasa Siriak (Siryani), yang di jaman itu merupakan salah satu bahasa
ilmiah. Karya-karya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab adalah
karangan Aristoteles, Plato, dan buku-buku mengenai Neo-Platonisme.
Di antara para filosof Muslim yang memiliki nama besar antara lain:
1. Al-Kindi (801-866M).
Nama
Al-Kindi adalah nisbat pada suku yang menjadi asal-usulnya, yaitu Banu
Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang sejak lama
menempati daerah selatan Jazirah Arab. Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu
Yusuf Ya’qub ibn Ishaq Ash-Shabbah ibn ‘Imran ibn Ismail ibn Al-Asy’ats
ibn Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kufah tahun 185H (801M). Ayahnya,
Ishaq Ash-Shabbah, adalah gubernur Kufah pada masa pemerintahan Al-Mahdi
dan Harun al-Rasyid dari Bani Abbas. Ayahnya meninggal beberapa tahun
setelah Al-Kindi lahir. Karena ia adalah satu-satunya filosof Muslim
yang berasal dari keturunan Arab, Al-Kindi dikenal dengan sebutan
Failasuf Al-‘Arab.
Nama
Al-Kindi menanjak setelah hidup di istana pada masa pemerintahan
Al-Mu’tashim yang menggantikan Al-Makmun pada tahun 218 H (833M), karena
ia dipercaya untuk menjadi guru pribadi putera Al-Mu’tashim, yaitu
Ahmad ibn Al-Mu’tashim. Pada masa inilah Al-Kindi berkesempatan menulis
karya-karyanya, setelah pada masa Al-Makmun ia menterjemahkan
kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab. Sebagai seorang filosof yang
mempelopori mempertemukan agama dan filsafat Yunani, Al-Kindi banyak
mendapat tantangan dari para ahli agama. Ia dituduh meremehkan dan
membodoh-bodohkan ulama yang tidak mengetahui filsafat Yunani. Banyak
fitnah yang dituduhkan kepada Al-Kindi, terutama pada masa pemerintahan
Al-Mutawakkil. Akhirnya Al-Kindi menyingkir dari kemelut politik istana
dan meninggal pada tahun 252 H (866M) (Azhar Basyir, 1993:80-81).
Karya
ilmiah Al-Kindi kebanyakan berupa makalah. Ibn Nadim, dalam kitabnya
Al-Fihrits, menyebutkan karyanya lebih dari 230 buah; sementara George
N. Atiyeh menyebut ada 270 buah. Karya-karya Al-Kindi mengenai filsafat
menunjukan ketelitian dan kecermatannya dalam memberikan batasan-batasan
makna istilah-istilah yang dipergunakan dalam terminologi ilmu
filsafat. Dari karangan-karangannya diketahui bahwa Al-Kindi adalah
penganut aliran eklektisme, yaitu suatu faham pemikiran atau kepercayaan
yang tidak mempergunakan atau mengikuti metode apapun yang ada,
melainkan mengambil apa yang paling baik. Dalam metafisika dan kosmologi
ia mengambil pendapat-pendapat Aristoteles; dalam psikologi ia
mengambil pendapat Plato; dan dalam bidang etika ia mengambil pendapat
Sokrates dan Plato. Meskipun demikian, kepribadian Al-Kindi sebagai
seorang Muslim tetap tidak tergoyahkan.
Sebagai
seorang pelopor yang dengan sadar berusaha mempertemukan antara agama
dan filsafat, Al-Kindi berpendapat bahwa antara agama dan filsafat tidak
ada pertentangan. Filsafat menurutnya adalah semulia-mulia ilmu dan
Ilmu Tauhid atau teologi adalah sebagai cabang termulia dari filsafat.
Filsafat sejalan dan dapat mengabdi kepada agama. Dengan demikian
berfilsafat tidaklah berakibat mengaburkan dan mengorbankan keyakinan
agama, seperti yang sering dituduhkan orang. Al-Kindi menegaskan bahwa
filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang berupaya
mengetahui kebenaran yang pertama, kausa dari semua kebenaran, yaitu
filsafat pertama. Menurutnya kalau ada kebenaran-kebenaran atau
hakekat-hakekat maka mesti ada kebenaran atau hakekat pertama (al-Haqq
al-Awwal). Hakekat pertama itu adalah Tuhan.
Tentang
Metafisika. Sebagaimana disebutkan di atas, Al-Kindi berpendapat bahwa
filsafat yang tertinggi adalah Filsafat Pertama yang membicarakan
tentang Causa Prima. Menurut Al-Kindi, Tuhan adalah Wujud Yang Haq
(Sebenarnya) yang tidak pernah tiada sebelumnya dan tidak akan pernah
tiada selama-lamanya, yang sejak awal dan akan senantiasa ada
selama-lamanya. Tuhan adalah Wujud Sempurna yang tidak pernah didahului
wujud yang lain, dan wujud-Nya tidak akan pernah berakhir serta tidak
ada wujud lain melainkan dengan perantara-Nya. Dalam pandangannya ini
Al-Kindi sejalan dengan pemikiran Aristoteles tentang Causa Prima dan
Penggerak Pertama, penggerak yang tidak bergerak. Al-Kindi mengajukan
pertanyaan yang juga dijawabnya sendiri: “Mungkinkah sesuatu menjadi
sebab adanya sendiri, ataukah hal itu tidak mungkin?”. Jawabannya
adalah: “Yang demikian itu tidak mungkin”. Dengan demikian, alam ini
baru, ada permulaan dalam waktu; demikian pula alam ini ada akhirnya;
oleh karena itu alam harus ada yang menciptakannya. Karena alam itu
baru, maka alam adalah ciptaan yang mengharuskan ada penciptanya, yang
mencipta dari tiada (creatio ex nihilo).
Tentang
keberadaan Tuhan ini, Al-Kindi memperkuatnya dengan dalil keanekaan
alam wujud dan dalil keteraturan alam wujud. Al-Kindi mengatakan bahwa
tidak mungkin keanekaan alam wujud ini tanpa ada kesatuan, demikian pula
sebaliknya tidak mungkin ada kesatuan tanpa keanekaan. Karena alam
wujud ini semuanya mempunyai persamaan keanekaan dan kesatuan, maka
sudah pasti hal itu terjadi karena ada Sebab; dan Sebab itu adalah
berada di luar wujud itu sendiri, esksistentinya lebih tinggi, lebih
mulia dan lebih dulu adanya. Sebab itu tidak lain adalah Tuhan. Ia juga
mengatakan bahwa keteraturan alam inderawi ini tidak mungkin terjadi
kecuali dengan adanya Zat yang tidak terlihat. Dan Zat yang tidak
terlihat itu tidak mungkin diketahui adanya kecuali dengan adanya
keteraturan dan bekas-bekas yang menunjukkan ada-Nya. Argumen yang
demikian disebut dengan argumen teleologik.
Tentang
Epistemologi. Al-Kindi menyebutkan adanya tiga macam pengetahuan
manusia, yaitu: (a) pengetahuan inderawi, (b) pengetahuan rasional, dan
(c) pengetahuan isyraqi (iluminatif).
Pertama,
pengetahuan inderawi. Pengetahuan inderawi terjadi secara langsung
ketika seseorang mengamati suatu obyek material. Pengetahuan model ini
bersifat tidak tetap disebabkan obyek yang diamati pun tidak tetap,
selalu dalam keadaan menjadi, berubah setiap saat. Pengetahuan inderawi
ini tidak memberi gambaran tentang hakekat suatu realitas. Pengetahuan
inderawi selalu bersifat parsial.
Kedua,
pengetahuan rasional. Pengetahuan rasional merupakan pengetahuan yang
diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang bersifat universal, tidak
parsial, dan bersifat immaterial. Obyek pengetahuan rasional bukan
individu, melainkan genus dan spesies. Apa yang diamati dari manusia
bukanlah tinggi pendeknya, warna kulitnya, lesung pipitnya, dan
seterusnya yang bersifat fisik; melainkan mengenai hakekatnya sehingga
sampai pada suatu kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk berpikir
(rational animal atau hayawan al-natiq).
Ketiga,
pengetahuan isyraqi (iluminatif). Pengetahuan isyraqi (iluminatif)
adalah pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi.
Puncak dan jalan ini adalah yang diperoleh para Nabi untuk membawakan
ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umat manusia. Tuhan telah
menyucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk
memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu. Pengetahuan dengan jalan wahyu
ini merupakan kekhususan bagi para Nabi. Akal meyakini kebenaran
pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan itu memang ada
pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya. Menurutnya mungkin
ada manusia selain nabi yang dapat memperoleh pengetahuan isyraqi,
meskipun derajatnya di bawah para nabi. Hal ini akan terjadi pada
orang-orang yang suci jiwanya.
Tentang
Etika. Al-Kindi menyatakan bahwa keutamaan manusiawi tidak lain adalah
“budi pekerti manusia yang terpuji”. Keutamaan ini ada tiga bagian.
Pertama yang merupakan asas dalam jiwa, yaitu: hikmah (kebijaksanaan),
najdah (keberanian), dan ‘iffah (kesucian). Kebijaksanaan adalah
keutamaan daya berpikir, yang bisa berupa kebijaksanan teortis dan
praktis. Keberanian adalah keutamaan daya ghadabiyah (gairah), berupa
keinginan untuk mencapai sesuatu sehingga tercapai. Kesucian adalah
memperoleh sesuatu yang memang harus diperoleh guna mendidik dan
memelihara badan serta menahan diri dari yang tidak diperlukan untuk
itu. Kedua, adalah keutamaan-keutamaan manusia yang tidak terdapat dalam
jiwa, tetapi merupakan hasil dan buah dari tiga macam keutamaan di
atas. Dan Ketiga, hasil keadaan lurus tiga macam keutamaan itu tercermin
dalam ‘keadilan’.
2. Al-Farabi (872-950M).
Filosof
besar lain dalam Islam adalah Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn
Tarkhan ibn Uzlagh al-Farabi. Al-Farabi adalah putera dari seorang
panglima perang Dinasti Samani (874-999M) yang berkuasa di daerah
Transoxania dan Persia. Nama al-Farabi berasal dari nama tempat
kelahirannya, yaitu Farab, Transaxonia; dilahirkan pada tahun 872 M, dan
berasal dari keturunan Turki.
Sewaktu
muda ia pergi ke Bagdad, pusat ilmu pengetahuan dan filsafat, dan ia
belajar filsafat, logika, matematika, metafisika, etika, ilmu politik,
musik dan lain-lain. Al-Farabi pernah menjadi murid Bisyr ibn Yunus,
salah seorang penerjemah yang membantu Hunain ibn Ishaq di Bait
al-Hikmah. Dari Bagdad kemudian ia pindah ke Aleppo dan tinggal di
istana Saif Al-Daulah dari dinasti Hamdani yang berkuasa di Suria. Di
istana inilah ia banyak mengembangkan pemikirannya, karena istana ini
merupakan tempat berkumpulnya dan pertemuan para ilmuwan. Di kalangan
filosof Muslim al-Farabi dikenal dengan julukan al-Mu’alim al-Tsani
(Guru Kedua); sementara Guru Pertama (al-Mu’alim al-Awwal) adalah
Aristoteles.
Mengenai
hubungan filsafat dan agama, sebagaimana al-Kindi, al-Farabi juga
berpendapat bahwa tidak ada pertentangn antara filsafat dengan agama.
Tetapi dalam hal ini ia menekankan bahwa filsafat bisa mengganggu
keyakinan orang awam. Untuk itu pemikiran yang bercorak filsafat harus
dihindarkan dari orang-orang awam.
Tentang
Metafisika. Di antara pemikiran filsafat al-Farabi yang berkaitan
dengan masalah ketuhanan dan terjadinya alam terlihat dalam pemikirannya
tentang ‘filsafat emanasi’. Dalam filsafatnya ini al-Farabi sebagaimana
halnya Plotinus menerangkan bahwa ‘segala yang ada atau alam ini
memancar dari Zat Tuhan melalui akal-akal yang berjumlah sepuluh’.
Antara alam materi dengan Zat Tuhan terdapat pengantara. Tuhan berpikir
tentang diriNya, dan dari pemikiran ini memancarlah Akal Pertama. Akal
Pertama berpikir tentang Tuhan, dan dari pemikiran ini memancarlah Akal
Kedua. Akal Kedua berpikir tentang Tuhan, dan dari pemikiran ini
memancarlah Akal Ketiga. Demikian seterusnya sampai memancar Akal
Kesepuluh.
Akal
Pertama selanjutnya berpikir tentang dirinya, dan dari pemikiran ini
timbullah langit pertama. Akal-akal lainnya juga berpikir tentang
dirinya masing-masing, dan dari pemikiran itu timbullah planet-planet
yang menghuni alam ini. Dengan demikian Tuhan Yang Maha Esa tidak
mempunyai hubungan langsung dengan alam materi yang mengandung arti
banyak ini. Demikian penjelasan Al-Farabi mengenai bagaimana yang banyak
bisa muncul dari Yang Satu (Tuhan).
Tentang
Jiwa. Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari
Akal Kesepuluh. Jiwa itu menurutnya memiliki tiga daya, yaitu: (a) daya
gerak (al-muharrakah/motion), yang memuat daya makan, memelihara, dan
berkembang; (b) daya mengetahui (al-mudrikah/cognition), yang memuat
daya merasa dan berimaginasi; dan (c) daya berpikir
(al-natiqah/intellection), yang memuat akal praktis (practical
intellect) dan akal teoritis (theoritical intellect).
Tentang
Akal. Menurut Al-Farabi akal atau daya berpikir ini mempunyai tiga
tingkat, yaitu: (a) al-‘aql al-hayulani (akal materil/akal
potensial/material intellect); (b) al-‘aql bi al-fi’l (akal
aktuil/actual intellect); dan (c) al-‘aql al-mustafad ( aquered
intellect). Akal pada tingkat terakhir inilah yang dapat menerima
pancaran yang dikirimkan dari Tuhan melalui akal-akal tersebut. Akal
potensial menangkap bentuk-bentuk dari benda-benda yang dapat ditangkap
dengan panca indera; akal aktuil menangkap arti-arti dan konsep-konsep;
dan akal mustafad mempunyai kesanggupan untuk mengadakan komunikasi
dengan, atau menangkap inspirasi dari akal yang ada di atas dan di luar
diri manusia, yaitu Akal Kesepuluh atau al-Aql al-fa’al (active
intellect), yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada
semenjak azal. Hubungan akal manusia dengan Akal Aktif sama dengan
hubungan mata dengan matahari. Mata melihat karena ia menerima cahaya
dari matahari. Akal manusia dapat menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk
karena mendapat cahaya dari Akal Aktif.
Tentang
Filsafat Kenabian. Nabi atau Rasul dapat menerima wahyu, karena ia
mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh. Akal
Kesepuluh ini dapat disamakan dengan malaikat dalam pandangan Islam.
Nabi atau Rasul adalah manusia pilihan, dan ia dapat berkomunikasi
dengan Akal Kesepuluh bukan atas usahanya sendiri, melainkan atas
pemberian Tuhan. Para rasul diberi daya imajinasi yang begitu kuat oleh
Tuhan, sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh tanpa
latihan. Dengan imajinasi yang kuat, para Nabi dapat melepaskan diri
dari pengaruh panca indera dan dari tuntutan jasmani. Sementara itu para
filosof dapat berhubungan dengan Akal Kesepuluh adalah melalui akal
mustafad dan itu dilakukan melalui latihan-latihan kontemplasi.
Karena
baik para Nabi atau Rasul dan para filosof mendapat pengetahuan dari
sumber yang sama, yaitu Akal Kesepuluh, maka wahyu yang diterima para
Nabi atau Rasul dan pengetahuan filsafat yang diperoleh para filosof
tidak bisa bertentangan. Mukjizat terjadi karena hubungan dengan Akal
Kesepuluh dapat mewujudkan hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan.
3. Ibn Sina (980-1037 M).
Nama
lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali Husein ibn Abdillah Ibn Sina.
Popularitas yang diperoleh Ibn Sina melampaui poluplaritas al-Kindi dan
al-Farabi. Ia lahir di Afshana, suatu wilayah dekat Bukhara. Orang
tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Samani. Ibn Sina
dikenal di Barat dengan nama atau sebutan Avicenna, dan lebih dikenal
dalam bidang pengobatan dari pada sebagai filosof. Dalam bidang ini
karyanya yang terkenal adalah al-Qanun fi al-Tibb dan al-Syifa. Untuk
bidang ini Ibn Sina mendapat gelar the Prince of the Physicians.
Sementara di dunia Islam ia dikenal dengan sebutan al-Syaikh al-Rais (Pemimpin Utama dari para Filosof).
Tentang
Metafisika. Dalam pemikiran filsafatnya mengenai Tuhan dan kejadian
alam, Ibn Sina juga mempunyai ‘faham emanasi’. Dari Tuhan memancar Akal
Pertama, dan dari Akal Pertama memancar Akal Kedua, demikian seterusnya
sampai Akal Kesepuluh. Menurut Ibn Sina akal-akal itu adalah malaikat,
dan Akal Pertama adalah malaikat tertinggi, kemudian Akal Kesepuluh,
yang mengatur bumi, adalah Jibril.
Menurut
Ibn Sina, Akal Pertama mempunyai dua sifat, yaitu (a) sifat wajib
wujudnya, karena ia sebagai pancaran Tuhan; dan (b) sifat mungkin
wujudnya, apabila dilihat dari hakekat dirinya, karena ia sebagai hasil
dari sesuatu yang lain. Dengan demikian Akal Pertama mempunyai tiga
obyek pemikiran, yaitu: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya, dan
dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan munculah
akal-akal; dari pemikiran tentang dirinya yang wajib wujudnya munculah
jiwa-jiwa; dan dari pemikiran tentang dirinya yang mungkin wujudnya
munculah langit-langit (planet).
Tentang
Jiwa. Jiwa manusia yang memancar dari Akal Kesepuluh menurut Ibn Sina
dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: (a) Jiwa Tumbuhan (al-nafs
al-nabatiyah), yang di dalamnya memuat daya makan, daya tumbuh, dan daya
berkembang biak; (b) Jiwa Binatang (al-nafs al-hayawaniyah), yang di
dalamnya memuat daya gerak dan daya menangkap (meliputi menangkap dari
luar dan menangkap dari dalam –indera bersama, representasi, imajinasi,
estimasi, dan rekoleksi); dan (c) Jiwa Manusia (al-nafs al-Nathiqah),
yang di dalamnya memuat daya praktis dan daya teoritis.
Daya
praktis menurut Ibn Sina mempunyai kedudukan penting, karena ia akan
mengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat dalam badan
tidak menghalangi berkembangnya daya teoritis. Sementara daya teoritis
mempunyai empat tingkatan, yaitu: (a) Akal Materil (material
intellec/al-aql al-hayulani), yang semata-mata mempunyai potensi untuk
berpikir; (b) intellectus in habitu (al-aql bi al-malakah), yang telah
mulai dilatih untuk berpikir tentang hal-hal abstrak; (c) Akal Aktuil
(al-aql bi al-fi’l), yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak;
dan (d) Akal Mustafad (al-aql al-mustafad), yang telah sanggup berpikir
tentang hal-hal abstrak dengan tidak perlu daya upaya, sudah terlatih
begitu rupa. Akal inilah yang sanggup menerima ilmu pengetahuan dari
Akal Kesepuluh.
Tentang
Filsafat Kenabian. Di antara manusia ada yang dianugerahi akal materil
(al-aql al-hayulani) yang begitu besar dan kuat, yang oleh Ibn Sina
diberi nama al-hads atau intuisi. Orang yang dianugerahi akal yang
demikian, dengan tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan
dengan Akal Kesepuluh. Oleh karena itu, orang tersebut dengan mudah
dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai
daya suci (quwwah qudsiyyah). Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat
diproleh manusia, dan terdapat hanya pada para nabi.
4. Ibn Miskawaih (932-1030M).
Abu
‘Ali al-Khazim Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub Miskawaih lahir di Raiy
(Teheran) dan meninggal di Isfahan pada tahun 1030 M. Pada masa mudanya
bekerja sebagai pustakawan dari beberapa menteri, di antaranya Ibn
al-Amid, di Raiy. Dalam pemikiran filsafatnya lebih banyak dikenal di
bidang filsafat akhlaq. Buku yang terkenal di bidang ini adalah Tahzib
al-Akhlaq.
Menurutnya
kata akhlaq adalah bentuk jamak (plural) dari kata khuluq. Pengertian
khuluq menurutnya adalah ‘peri keadaan yang mendorong untuk melakukan
perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya’.
Dengan kata lain, khuluq adalah sikap mental atau jiwa yang menimbulkan
perbuatan-perbuatan tanpa pemikiran sebelumnya atau secara spontan.
Sikap mental atau keadaan jiwa ini dapat merupakan fitrah sejak lahir,
dan dapat pula merupakan hasil latihan pembiasaan (ikhtiari).
Tentang
Jiwa. Dalam kaitannya dengan jiwa, Miskawaih menyebutkan adanya tiga
macam kekuatan jiwa, yaitu: (a) bahimiyah atau syahwiyah (kebinatangan
atau nafsu syahwat), jiwa atau sikap mental yang senantiasa mengejar
kelezatan jasmani; (b) sabu’iyah (binatang buas), jiwa atau sikap mental
yang senantiasa bertumpu pada kemarahan dan keberanian; dan (c)
nathiqah (berpikir), jiwa atau sikap mental yang selalu berpikir tentang
hakekat segala sesuatu. Apabila terjadi keselarasan dalam perimbangan
di antara ketiganya, maka tercapailah keutamaan dan kebajikan pada
manusia.
Keutamaan-keutamaan
yang lahir kemudian sebagai hasil keselarasan tiga jiwa di atas adalah:
(a) hikmah, atau kebijaksanaan adalah keutamaan jiwa cerdas; (b)
‘iffah, atau kesucian adalah keutamaan nafsu syahwat, dan ini dapat
tercapai apabila manusia dapat menyalurkan syahwatnya sejalan dengan
pertimbangan akal yang sehat, sehingga terbebas dari perbudakan
syahwatnya; (c) syaja’ah, atau keberanian adalah keutamaan jiwa
ghadabiyah (sabu’iyah), dan ini dapat tercapai apabila manusia dapat
menundukkannya kepada jiwa nathiqah, dan menggunakannya sesuai dengan
tuntutan akal sehat dalam menghadapi berbagai persoalan; dan (d)
‘adalah, atau keadilan adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan
ketiga keutamaan di atas di saat terjadi keselarasan antara
keutamaan-keutamaan itu dan tunduk kepada kekuataan sehat, sehingga bisa
berlaku adil kepada dirinya sendiri juga kepada orang lain.
Tentang
Kebahagiaan. Ibnu Miskawaih membedakan antara al-khair (kebaikan) dan
al-sa’adah (kebahagiaan). Kebaikan memiliki corak umum dan menjadi
tujuan semua orang; kebaikan umum bagi seluruh manusia dalam
kedudukannya sebagai manusia. Sedang kebahagiaan adalah kebaikan bagi
seseorang, tidak bersifat umum tetapi relatif bergantung kepada orang
per-orang.
Kebahagiaan
tertinggi menurutnya adalah kebijaksaan yang menghimpun dua aspek,
yaitu hikmah yang bersifat teoritis dan hikmah yang praktis. Hikmah yang
bersifat teoritis adalah bersumber dari pengetahuan yang benar,
sedangkan hikmah yang praktis adalah keutamaan jiwa yang mampu
melahirkan budi pekerti yang mulia. Kebahagiaan yang diperoleh melalui
kesenangan jasmani adalah kebahagiaan yang palsu yang pada umumnya
dicari oleh orang awam.
Orang
yang mencapai kebahagiaan tertinggi jiwanya akan tenang, merasa selalu
berdampingan dengan malaikat. Jiwanya diterangi Nur Ilahi dan merasakan
nikmat di dalamnya. Baginya tidak akan menjadi masalah apakah dunia
datang kepadanya atau meninggalkannya; dan tidak merasa sedih bila
berpisah dengan orang yang dicintainya. Akan dilakukannya segala sesuatu
yang menjadi kehendak Allah; akan dipilihnya hal-hal yang akan
mendekatkan dirinya kepada Allah; tidak akan berkhianat kepada dirinya
juga kepada Allah.
Tentang
Cinta. Menurut Ibn Miskawaih ada dua jenis cinta, yaitu cinta kepada
Allah dan cinta kepada manusia, terutama cinta seorang murid kepada
gurunya. Cinta yang tinggi nilainya adalah cinta kepada Allah. Tetapi
tipe cinta ini hanya dapat dicapai oleh sedikit orang. Cinta kepada
sesama manusia adalah kesamaan antara cinta anak kepada orang tua dan
cinta murid kepada gurunya. Menurut Ibn Miskawaih cinta murid kepada
gurunya dipandang lebih mulia dan lebih berperanan. Guru adalah bapak
ruhani bagi murid-muridnya. Gurulah yang mendidik murid-muridnya untuk
dapat memiliki keutamaan yang sempurna. Kemuliaan guru terhadap murid
laksana kemuliaan ruhani terhadap jasmani.
Tentang
Pendidikan Anak. Menurut Ibn Miskawaih kehidupan utama pada anak-anak
memerlukan dua syarat, yaitu syarat kejiwaan dan syarat sosial. Syarat
kejiwaan tersimpul dalam menumbuhkan watak cinta kepada kebaikan, yang
dapat dilakukan dengan mudah pada anak-anak yang berbakat baik, dan
dapat dilatih dengan membiasakan diri pada anak-anak yang tidak berbakat
untuk cenderung kepada kebaikan. Syarat kedua, syarat sosial, dapat
dicapai dengan cara memilihkan teman-teman yang baik, menjauhkan dari
pergaulan dari teman-temannya yang berperangai buruk.
Nilai-nilai
keutamaan pada anak-anak yang harus menjadi perhatian juga adalah
mencakup aspek jasmani dan ruhani. Keutamaan jasmani antara lain
berkaitan dengan makanan dan kegiatan-kegiatan fisik. Makanan hendaknya
untuk tujuan kesehatan dan bukan kenikmatan. Kegiatan-kegiatan fisik
diarahkan ke arah yang bisa mendorong dan selaras dengan kesehatan jiwa.
Sedangkan keutamaan ruhani antara lain dengan membiasakan anak bersikap
cinta kepada sesama, jujur, berkata-kata yang baik, percaya diri dan
seterusnya. Dengan demikian anak-anak akan terbiasa dengan
kebaikan-kebaikan dan terhindar dari kebiasaan yang buruk.
5. AL-RAZI (863-925M).
Abu
Bakar Muhammad Ibn Zakaria Al-Razi lahir di Raiy, suatu kota dekat
Teheran. Dalam karir kehidupannya al-Razi pernah menjabat direktur rumah
sakit di Raiy dan di Bagdad. Ia terkenal di Barat dengan sebutan Rhazes
dari buku-bukunya mengenai ilmu kedokteran. Karyanya yang terkenal
adalah tentang ‘Cacar dan Campak’ dan diterjemahkan ke dalam bahasa
Eropa berulang kali, cetakan yang keempat puluh dicetak pada tahun 1866.
Kemudian kitab al-Hawi, merupakan ensiklopedia tentang ilmu kedokteran
yang tersusun dari lebih 20 jilid.
Tentang
Agama dan Akal. Al-Razi merupakan seorang rasionalis sejati yang hanya
percaya kepada kekuatan akal, dan tidak percaya kepada wahyu dan
perlunya para nabi. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk
mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk, untuk tahu Tuhan, dan untuk
mengatur hidup manusia di dunia ini. Sekalipun tidak percaya kepada
wahyu dan tidak perlu para nabi, al-Razi tetap sebagai filosof yang
percaya kepada Tuhan.
Dalam
filsafatnya mengenai hubungan manusia dengan Tuhan, ia berpendapat
bahwa kesenangan manusia sebenarnya ialah kembali kepada Tuhan dengan
meninggalkan alam materi, seperti filsafatnya Pythagoras. Untuk kembali
kepada Tuhan, roh manusia harus terlebih dahulu disucikan; dan yang
dapat mensucikan roh ialah ilmu pengetahuan dan berpantang mengerjakan
sesuatu yang tidak baik. Al-Razi pun mengatakan agar manusia tidak
terlalu zahid dan juga tidak terjebak dengan kesenangan materi.
Tentang
Filsafat Lima Kekal. Menurut Al-Razi ada lima hal yang kekal dalam
kehidupan ini, yaitu: Tuhan, Jiwa Universal, Materi Pertama, Ruang
Absolut, dan Zaman Absolut. Lima hal ini kemudian dikenal sebagai
doktrin Lima Yang Kekal. Mengenai kelima hal ini ia menjelaskan:
- Materi, merupakan apa yang ditangkap dengan pancaindera tentang benda itu;
- Ruang, karena materi mengambil tempat;
- Zaman, karena materi berubah-ubah keadaannya;
- Di antara benda-benda ada yang hidup dan oleh karena itu perlu ada roh. Dan di antara yang hidup ada pula yang berakal yang dapat mewujudkan ciptaan-ciptaan yang teratur;
- Semua ini perlu pada Pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
Dua
dari Lima Kekal itu hidup dan aktif, yaitu Tuhan dan roh. Satu
daripadanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi. Dua lainnya tidak
hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, yaitu ruang dan waktu.
Materi
itu kekal, karena itu creatio ex nihilo (penciptaan dari tiada) adalah
sesuatu yang tidak mungkin. Kalau materi itu kekal, ruang mesti kekal.
Karena materi mengalami perubahan, dan perubahan itu menunjuk pada
adanya waktu, maka waktu mesti juga kekal. Sungguhpun materi pertama itu
kekal, tetapi alam tidak kekal. Alam diciptakan Tuhan, bukan dalam arti
creatio ex nihilo, tetapi dalam arti disusun dari bahan (materi) yang
telah ada.
6. Ibn Rusyd (1126-1198M)
Nama
lengkap Ibn Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Muhammad ibn Rusyd.
Ibn Rusyd berasal dari keluarga hakim-hakim di Andalusia (Spanyol). Ia
sendiri pernah menjadi hakim di Seville. Selain sebagai hakim, ia pun
pernah menjadi dokter istana di Cordova. Sebagai ahli hukum dan filosof,
pikiran Ibn Rusyd banyak berpengaruh di kalangan istana, terutama di
zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-1199M). Karyanya yang
terkenal di bidang fiqh Islam adalah Bidayah al-Mujtahid; sedang dalam
bidang kedokteran adalah Kitab al-Kulliat. Tulisan-tulisan lainnya
adalah menyangkut bidang filsafat.
Tentang
Filsafat dan Agama. Ibn Rusyd memiliki pendapat bahwa antara Islam dan
filsafat tidak bertentangan. Bahkan ia menambahkan bahwa setiap orang
Islam diwajibkan atau sekurang-kurangnya dianjurkan mempelajari
filsafat. Tugas filsafat tidak lain adalah berpikir tentang wujud untuk
mengetahui Pencipta semua yang ada ini. Tanda-tanda bagi orang yang
berpikir adalah apabila manusia berpikir tentang wujud dan alam
sekitarnya untuk mengetahui Tuhan. Karena banyak ayat al-Qur’an yang
menyatakan demikian, maka sesungguhnya al-Qur’an menyuruh manusia untuk
berfilsafat.
Lebih
lanjut Ibn Rusyd mengatakan bahwa setiap Muslim mesti percaya pada tiga
dasar keagamaan, yaitu: (a) adanya Tuhan, (b) adanya Rasul, dan (c)
adanya pembangkitan. Apabila seseorang tidak percaya kepada salah satu
di antara ketiga unsur dasar tersebut maka ia dapat digolongkan sebagai
orang kafir.
Tentang
Pembelaan Terhadap Filosof. Seperti dinyatakan oleh Al-Gazali, bahwa
para filosof itu telah menjadi kafir karena tiga pendapatnya, yaitu: (a)
alam itu bersifat kekal; (b) Tuhan tidak mengetahui perincian yang
terjadi di alam ini; dan (c) pembangkitan jasmani tidak ada.
Mengenai pendapat Al-Gazali ini Ibn Rusyd menyatakan:
Pertama,
tentang kekekalan alam. Kaum teolog berpendapat bahwa alam ini
diciptakan olah Tuhan dari tiada (creatio ex nihilo). Pendapat ini
menurut Ibn Rusyd tidak berdasar. Menurutnya alam ini dijadikan bukanlah
dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada. Beberapa ayat al-Qur’an
menujuk pada keadaan itu misalnya surat Hud:7, surat Hamim:11, dan
Al-Anbia:30. Dari ayat-syat ini dapat disimpulkan bahwa sebelum bumi dan
langit dijadikan, telah ada benda lain. Dalam sebagian ayat benda itu
disebutkan air dan uap. Berpegang pada ayat itu dapat disimpulkan bahwa
alam itu kekal. Betul alam itu diwujudkan, tetapi diwujudkan terus
menerus.
Kedua,
tentang Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam.
Menurutnya al-Gazali telah salah dalam memahami pemikiran filosof,
karena para filosof tidak mengatakan seperti itu. Apa yang dikatakan
kaum filosof adalah ‘bahwa pengetahuan Tuhan tentang perincian yang
terjadi di alam, tidak sama dengan pengetahuan manusia tentang perincian
itu’. Pengetahuan manusia dalam hal ini mengambil efek, sedang
pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab mengenai perincian itu.
Pengetahuan manusia adalah baru, sedang pengetahuan Tuhan adalah qadim.
Ketiga,
tentang tidak adanya pembangkitan jasmani. Menurut Ibn Rusyd, Al-Gazali
menyatakan hal-hal yang saling bertentangan. Dalam kitabnya Tahafut
al-Falasifah, Al-Gazali menyatakan bahwa tidak ada orang Islam yang
menyatakan bahwa pembangkitan hanya akan terjadi dalam bentuk rohani.
Dalam buku itu dinyatakan bahwa pembangkitan bagi kaum sufi hanya
terjadi dalam bentuk rohani, tentu termasuk dirinya. Oleh karena itu,
menurut Ibn Rusyd, tidak ada ijma tentang persoalan ini. Dengan
demikian, kaum filosof yang berpendapat bahwa pembangakitan jasmani itu
tidak ada, tidak dapat dikafirkan. Tetapi menurutnya bagi kaum awam
penggambaran pembangkitan jasmani sangat diperlukan untuk menguatkan
keislaman mereka (Harun Nasution, 1973:11-54).
No comments:
Post a Comment