Saturday 27 October 2018

Pengertian Gereja dan Gambaran Gereja Secara Rohani

Pengertian Gereja
Gereja telah ada sejak jaman rasul-rasul mendapatkan perintah dari Tuhan untuk menyebarkan kabar sukacita dan menjadikan semua bangsa sebagai muridNya. Gereja mula-mula saat itu merupakan sekumpulan orang percaya yang bersekutu untuk beribadah kepada Tuhan. Dengan adanya perkembangan gereja yang semakin luas pada setiap jamannya, maka kemudian gereja dibagi kedalam wilayah-wilayah dan tempat yang tetap untuk beribadah, dari hal itu kemudian berkembanglah pengertian akan sebuah gereja, berbagai pengertian dan pemaknaan tersebut sebenarnya menuju kepada esensi yang sama secara non fisik mengenai arti gereja tersebut.

Dalam perkembangannya, secara fisik orang mengenal gereja sebagai sebuah bangunan tempat umat Kristiani berkumpul untuk beribadah. Sebenarnya bangunan gereja tersebut merupakan representasi makna dari gereja sebagai jemaat yang dinaunginya. Tetapi kemudian pada perkembangan selanjutnya gereja hanya dianggap sebagai sebuah bangunan saja, dan hanya sedikit orang yang mengetahui makna dan arti dari gereja yang sebenarnya. Dilihat dari asal usulnya Gereja dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari Bahasa Portugis “igreja”. Dalam Bahasa Portugis merupakan serapan dari Bahasa Latin yang diserap pula dari Bahasa Yunani “ekklêsia” yang berarti dipanggil keluar (ek = keluar; klesia dari kata kaleo = memanggil). Jadi ekklesia berarti kumpulan orang yang dipanggil ke luar (dari dunia ini) untuk dapat memuliakan nama Allah. Dalam perkembangannya, seperti yang telah disinggung sebelumnya gereja dalam Bahasa Indonesia memiliki beberapa arti:
  1. Arti pertama ialah “umat” atau lebih tepat persekutuan orang Kristen. Arti ini diterima sebagai arti pertama bagi orang Kristen. Jadi, gereja pertama-tama bukan sebuah gedung.
  2. Arti kedua adalah sebuah perhimpunan atau pertemuan ibadah umat Kristen. Bisa bertempat di rumah kediaman, lapangan, ruangan di hotel, atau pun tempat rekreasi. Jadi, tidak melulu mesti di sebuah gedung khusus ibadah.
  3. Arti ketiga ialah mazhab (aliran) atau denominasi dalam agama Kristen. Misalkan Gereja Katolik, Gereja Protestan, dll. d. Arti keempat ialah lembaga (administratif) daripada sebuah mazhab Kristen. Misalkan kalimat “Gereja menentang perang Irak”.
  4. Arti terakhir dan juga arti umum adalah sebuah “rumah ibadah” umat Kristen, di mana umat bisa berdoa atau bersembahyang. Gereja (untuk arti pertama) terbentuk 50 hari setelah kebangkitan Yesus Kristus pada hari raya Pentakosta, yaitu ketika Roh Kudus yang dijanjikan Allah diberikan kepada semua yang percaya pada Yesus Kristus. Dalam Alkitab Perjanjian Baru kata gereja dipakai untuk menggambarkan sifat-sifat gereja (jemaat) tersebut. Dapat diketahui beberapa macam sebutan gereja tersebut antara lain:
  • Gereja Universal Gereja Universal adalah gereja yang terdiri dari semua orang yang memiliki hubungan pribadi dengan Yesus Kristus. Di sini digambarkan bahwa seluruh jemaat yang percaya dan mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat adalah bagian dari gereja universal tersebut, sehingga tidak ada perbedaan diantara tiap-tiap anggota gereja karena Kristus telah menjadi pemersatu jemaat-jemaat tersebut. Gambaran mengenai Gereja sebagai Gereja Universal dapat ditemukan dalam kitab 1 Korintus 12:13-14 “Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh…”
  • Gereja Lokal Gereja Lokal adalah perkumpulan/kelompok orang yang bertemu dalam sebuah tempat/lokasi secara khusus. Gereja lokal merupakan bagian dari Gereja Universal. Dalam Perjanjian Baru, yang dimaksud Gereja Lokal yaitu jemaat-jemaat di masing-masing kota pada jaman Perjanjian Baru. Beberapa tulisan Paulus dalam Perjanjian Baru merupakan surat kiriman kepada beberapa jemaat lokal, antara lain jemaat yang berada di Roma, Korintus, Galatia, Efesus, Filipi, Kolose, Tesalonika. Berea, Tiatira, dll. Seperti dicontohkan dalam kitab Galatia 1:1-2 “Dari Paulus, seorang rasul, ... dan dari semua saudara yang ada bersama-sama dengan aku, kepada jemaat-jemaat di Galatia.”.
  • Gereja sebagai Sebuah Perhimpunan/Perkumpulan Gereja sebagai perhimpunan/perkumpulan dimaksudkan sebagai perhimpunan dari individu-individu untuk suatu tujuan. Hal ini dapat dilihat dalam kitab 1 Korintus 11:18 “…bahwa apabila kamu berkumpul sebagai jemaat…” Gereja yang sudah ada sejak berabad-abad lamanya telah memiliki banyak sekali perkembangan, dari hal tersebut maka sangatlah mungkin terjadi pergeseran-pergeseran makna, tata cara bahkan esensi gereja itu sendiri. Dari perjalanan perkembangan gereja tersebut didapat beberapa pergeseran makna yang sebenarnya bukan merupakan makna yang sesungguhnya dari gereja, tetapi hal ini telah ada dan mengakar pada masyarakat diseluruh dunia bahkan kemudian lebih dikenal sebagai arti sebenarnya mengenai gereja. Beberapa pergeseran makna yang merupakan pandangan yang salah tentang pemaknaan gereja antara lain:
  • Gereja adalah Gedung/Bangunan Pandangan gereja adalah sebuah gedung/bangunan merupakan pandangan yang salah yang paling banyak dimengerti oleh setiap orang tetang arti gereja. Pandangan tersebut sudah mengakar di hati banyak orang baik itu non Kristen, denominasi bahkan kalangan gereja Tuhan sendiri. Bila melihat definisi dari kata Ekklesia, jelas bahwa gereja itu tidak ditujukan kepada bangunan fisik. Gereja adalah bait Allah yang tidak dibuat dengan tangan manusia (1 Korintus 3:16, 17; Kisah Rasul 7:48). Gereja adalah rumah tetapi bukanlah bangunan. Gereja adalah rumah tempat Allah bertahta. Gereja adalah keluarga Allah yang dibangun atas landasan batu yang hidup yaitu Yesus Kristus. Jadi jika berbicara tentang gereja, maka yang dimaksud adalah manusianya baik secara universal, lokal maupun individual. Pandangan yang mengatakan bahwa gereja adalah bangunan sebuah pandangan yang salah dan keliru. Bangunan itu adalah tempat ’gereja’ berbakti atau bertemu. Bangunan hanya mengekspresikan ‘gereja’ yang adalah jemaat itu sendiri.
  • Gereja adalah Denominasi Gereja bukanlah denominasi. Denominasi sendiri berarti pembagian sekte secara keseluruhan. Jika dilihat dari sudut pandang Alkitab hal ini sama saja dengan perpecahan. Pembagi-bagian denominasi ini bukan merupakan sifat dari gereja karena gereja adalah satu dan tidak dapat dipisah-pisahkan, walaupun gereja secara fisik terpisah-pisah tetapi gereja tetaplah merupakan satu kesatuan di dalam Kristus. Kristus itu adalah satu dan tidak pernah dibagi-bagi (1Korintus 1:10). Denominasi tercipta atas dasar pemikiran manusia dan dengan memakai nama kelompok atau golongan. 
Gambaran Gereja Secara Rohani
  1. Gereja sebagai Kerajaan (Kingdom) Gereja sebagai Kerajaan menunjukkan sifat pemerintahan dalam gereja, pemerintahan gereja itu bersifat monarkhi absolut maksudnya hanya ada satu raja yaitu Kristus (Matius 28:28). Seperti pada suatu sistem kerajaan yang didalamnya terdapat raja, rakyat, hukum, teritori, hukuman bagi yang melanggar dan berkat bagi yang taat, begitulah gereja digambarkan secara rohani. Bentuk suatu kerajaan didasarkan pada tatanan hirarki dengan raja sebagai hirarki tertinggi, sehingga dalam Gereja posisi Tuhan adalah raja, yang ditinggikan oleh rakyat (umatnya).
  2. Gereja sebagai keluarga Allah (God’s Family) Gereja secara keseluruhan adalah membawa umat manusia untuk berkumpul bersama sebagai keluarga Allah1 . Seperti selayaknya sebuah keluarga, disini gereja digambarkan memiliki keterkaitan hubungan antar anggotanya seperti hubungan satu sama lain dalam keluarga sebagai saudara. Dengan baptisan air dan roh yang seturut dengan Firman Allah (Yohanes 3:3) jemaat dilahirkan dengan pemberitaan injil yang menjadikan setiap jemaat merupakan satu keluarga. Gereja disebut keluarga Allah, menunjukkan hubungan yang tidak terpisahkan satu sama lain, tidak merasa asing antara satu dengan yang lain. Dalam keluarga, anggota merasa terbebas dari tekanan, dan memiliki ikatan yang kuat.
  3. Gereja sebagai Tubuh (Body) Gereja sebagai Tubuh menekankan hubungan di antara anggota tubuh (Roma 12:4, 5; 1 Korintus 12:12). Sama seperti tubuh secara fisik gereja memiliki fungsi tertentu untuk dilaksanakan2 , tubuh gereja memiliki satu kepala yang adalah Kristus dan anggota-anggota tubuh sebagai jemaatnya. Satu fakta mendasar dari gereja sebagai tubuh adalah dimana tubuh itu hanya bisa digerakkan dan diarahkan oleh kepala. Tubuh harus dapat selalu bekerja sama sehingga apa yang menjadi tujuan yang telah direncanakan oleh kepala dapat dilaksanakan dengan baik. Peran dari kemampuan masing-masing anggota tubuh sangat menentukan tercapainya tujuan tersebut.
  4. Gereja sebagai rumah Allah (God’s Temple) (1 Korintus 3:16) Sebagai rumah Allah, gereja mengindikasikan suatu kesucian, yaitu kesucian gereja sebagai sebuah rumah suci karena Allah yang Maha Suci bertahta dalam tempat yang suci. Firman Allah akan menjaga dan memelihara kesucian rumah Allah. Seperti dalam Perjanjian Lama, Allah telah menentukan imam-imam Lewi untuk melayani di rumahNya dan saat ini tentunya semua orang Kristen adalah imam yang berhak melayani Allah dalam rumah Allah.
  5. Gereja sebagai Tiang Penopang Kebenaran (Pillar and Ground of the Truth) “Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran” (1 Timotius 3:15). Dari ayat diatas dapat diketahui bahwa Gereja sebagai tiang penopang kebenaran memiliki tanggung jawab untuk memberitakan dan mempertahankan kebenaran (kebenaran firman Allah) sehingga visi dan misi gereja yang diimpartasikan ke jemaat dapat dipahami oleh setiap orang dan terwujud. 

Kesimpulan Pandangan Terhadap Esesnsi Gereja
Jika dilihat dari gambaran pandangan dan esensi secara menyeluruh tentang gereja seperti yang dipaparkan diatas dapat diketahui bahwa arti gereja adalah jemaat itu sendiri, bukan saja jemaat secara fisik (tubuh yang berkumpul untuk beribadah) saja melainkan juga jemaat dalam artian keseluruhan (tubuh, jiwa dan roh) yang melakukan aktivitas dan kehidupan Kristiani. Aktivitas dan kehidupan Kristiani itu ditujukan kepada Allah sebagai pusat aktivitas jemaat tersebut, sedangkan jemaat sendiri adalah sebagai pelaku dari aktivitas tersebut.

Pada setiap aktivitas Kristiani terdapat 2 pelaku utama yang menjadikan aktivitas tersebut berjalan dan menjadi ’hidup’. Kedua pelaku tersebut adalah jemaat dan Allah itu sendiri. Jemaat disini terdiri dari sekumpulan / sekelompok orang yang melakukan aktivitas beribadah. Jemaat tersebut dalam melakukan aktivitasnya haruslah memiliki kelengkapan bagian-bagiannya yang terdiri dari umat, pemimpin serta pelayan Tuhan. Umat tersebut dalam melakukan aktivitasnya dipimpin oleh seorang pemimpin rohani (pendeta, rohaniwan, dsb) dan dalam menjalankan aktivitas tersebut kemudian bersama-sama dibantu oleh para pelayan Tuhan.


Allah yang menjadi pusat dari aktivitas Kristiani juga memegang peran penting dalam kehidupan aktivitas tersebut, karena Allah menjadi penentu dari ’hidup’nya sebuah aktivitas jemaat tersebut. Allah merespon setiap aktivitas jemaatNya dalam wujud kehadiran Allah ditengah-tengah jemaat. Kehadiran Allah tersebut berupa Roh Kudus yang memberikan pengalaman pribadi kepada masing-masing jemaat. Dengan adanya respon timbal balik antara jemaat dan Allah dalam sebuah aktivitas Rohani Kristen tersebut maka gereja akan menjadi sebuah keutuhan, yaitu keutuhan sebagai sebuah kerajaan dimana jemaat adalah rakyat dan Allah adalah Raja, sebagai sebuah tubuh dimana jemaat sebagai tubuh dan Allah adalah kepala, sebagai sebuah keluarga dimana jemaat adalah mempelai wanita dan Allah adalah mempelai pria, dan sebagai rumah Allah dimana jemaat adalah rumah dan Allah yang bertahta dan tinggal didalamnya. Dari hal tersebut kemudian barulah gereja secara keseluruhan dapat menjalankan fungsi dan perannya di dunia ini, yaitu sebagai jemaat Allah yang dipanggil keluar dari dosa dan hidup dalam kekudusan serta dipanggil keluar untuk memberitakan kabar baik kepada semua orang.

Sumber;

Pengertian Ibadah dan Iman Kristiani

Ibadah dan Iman Kristiani
Pengertian Ibadah dan Iman Kristiani
Menurut kepercayaan dan Iman umat Kristiani ibadah adalah segala aktivitas, perbuatan, perkataan dan pikiran yang ditujukan demi kemuliaan nama Kristus dan dapat mengusir iblis. Sehingga pengertian ibadah yang hanya merupakan suatu aktivitas Kristiani di dalam sebuah bangunan gereja bukanlah pengertian yang benar. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan bagian-bagian dari ibadah yang menjadi wujud ucapan syukur jemaat dan terekspresikan melalui pujian dan penyembahan kepada Tuhan. Gereja Kristiani percaya bahwa di dalam setiap perayaan ibadah Allah hadir bersama-sama dengan gerejaNya dan bertahta di atas pujian umatNya. Aktivitas ibadah Kristiani biasa terbagi menjadi dua bagian, yaitu Pujian dan Penyembahan dan Khotbah. Pujian dan Penyembahan mempunyai makna bahwa gereja memberikan ungkapan iman dan syukur kepada Tuhan melalui nyanyian, tari-tarian, dan doa. Sedangkan Khotbah memiliki makna bahwa Tuhan berbicara kepada gerejaNya melalui Pengkhotbah/Pendeta dalam penyampaian firmanNya. Makna secara keseluruhan dari ibadah dalam Kristiani adalah suatu wujud hubungan antara Tuhan dengan Gereja, hubungan ini bersifat dua arah sehingga ibadah ini juga merupakan komunikasi Tuhan dan jemaatNya.

Komunikasi ini memberikan pengalaman religius yang suci. Kata religius berhubungan dengan kata religare, bahasa Latin yang berarti mengikat, sehingga religius berarti ikatan. Jadi ibadah bukan hanya sebagai pengalaman filosofis dan intelektual semata, tetapi juga melibatkan perasaan dan tindakan manusia dalam ikatan hubungannya dengan Tuhan. Ibadah yang dilakukan oleh Gereja tersebut ada karena iman atau kepercayaan jemaat kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Iman ini merupakan pengakuan seluruh jemaat Kristus bahwa Yesus-lah jalan keselamatan dan hidup dan hanya melalui Yesus-lah umat manusia dapat diselamatkan dari dosa dan maut. ”Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” Ibrani 11:1. Dari pengertian Iman seperti yang terdapat dalam Alkitab Perjanjian Baru dapat diketahui bahwa iman adalah hal yang paling mendasar dari kehidupan umat Kristiani. Iman kepada Kristus merupakan inti Kristiani itu sendiri.

Pujian dan Penyembahan (Praise and Worship)
Seperti yang telah diungkapkan diatas, bahwa kegiatan Pujian dan Penyembahan (Praise and Worship) dalam ibadah Kristiani merupakan bagian yang utama bahkan memiliki ukuran yang sama dengan Khotbah, maka hal inilah yang menjadi poin paling penting yang menjadi salah satu aktivitas utama gereja Kristiani. Dalam Pujian dan Penyembahan jemaat berusaha berhubungan langsung dengan Tuhan. Disini tugas bagi pelayan-pelayan Tuhan untuk dapat membantu jemaat agar lebih mudah berhubungan dengan Tuhan, Team PW (Praise & Worship) berperan besar disini. Team PW tersebut terdiri dari seorang WL (Worship Leader), para pemusik dan beberapa penyanyi 

(singer). Dikarenakan sifat jemaat yang aktif pada saat Pujian dan Penyembahan maka jemaat-lah yang kemudian membentuk pola-pola Pujian dan Penyembahan tersebut menjadi sesuatu yang menarik yang menyenangkan hati Tuhan. Pujian dan Penyembahan sebagai ucapan syukur terbentuk melalui nyanyian (suara), tari-tarian (gerak) dan doa jemaat. Bentukan pola-pola Pujian dan Penyembahan ini kemudian dapat diketahui melalui ekspresi jemaat seperti yang juga tertulis dalam Alkitab mengenai wujud Pujian dan Penyembahan jemaat melalui istilah-istillah dalam Pujian dan Penyembahan.

a. Pengertian Ucapan Syukur, Pujian dan Penyembahan ;
  1. Pengertian Ucapan Syukur Ucapan syukur adalah respon jemaat terhadap anugerah/ karunia Allah dalam kehidupan jemaat. Biasanya dilakukan secara pribadi. Dalam bahasa Gerika kata syukur disebut Kharis, yang berarti karunia/anugerah.
  2. Pengertian Pujian Pujian adalah cara/tindakan untuk mengagungkan, membesarkan dan memuliakan Tuhan atas apa yang telah, sedang, dan akan Tuhan perbuat dalam hidup jemaat6 . Pujian adalah sebuah tindakan kemauan, dari hal ini pujian harus berfungsi menurut kehendak dan bukan emosi. Jemaat harus mau dan memutuskan untuk tetap memuji Tuhan walaupun dalam keadaan tidak senang untuk melakukannya, jadi pujian tidak didasarkan oleh keadaan yang sedang menimpa jemaat melainkan didasarkan pada kebesaran Tuhan. Fokus atau arah pujian dibagi menjadi dua yaitu bersifat vertikal, yaitu pujian pengagungan, sesuatu yang langsung ditujukan kepada Tuhan dan bersifat horizontal, sesuatu yang diungkapkan kepada orang lain tentang Tuhan.
  3. Pengertian Penyembahan Penyembahan adalah ekspresi hati (bukan emosi) dalam wujud kasih dan pemujaan sebagai hasil dari suatu hubungan, dengan sikap dan pengakuan akan kepribadian dan ke TuhananNya. Penyembahan bukanlah musik, tetapi musik dapat dipakai untuk mengekspresikan kasih dalam penyembahan. Penyembahan dalam Kristiani adalah sebuah hubungan antara Roh jemaat dan Roh Allah yang saling memberi respon. Penyembahan adalah menikmati pribadi Allah itu sendiri. Saat menyembah Tuhan menyatakan setiap rencanaNya dalam masing-masing individu jemaatNya, dan semakin diubahkan serupa dengan Tuhan.
b. Istilah-Istilah Pujian dan Penyembahan
Untuk mengetahui bentuk-bentuk dari Pujian dan Penyembahan umat Kristiani, dapat dilihat istilah-istilah Pujian dan Penyembahan yang terdapat dalam Alkitab. Istilah-istilah tersebut diambil dari bahasa asli Alkitab (bahasa Ibrani, dan Yunani/Gerika) seperti yang dipaparkan ulang dari ”Handbook of Ministry Departemen Praise and Worship GBI Aletheia”

c. Tujuan Pujian dan Penyembahan
Dengan sifat pujian dan penyembahan yang dimulai dari tindakan jemaat terhadap suatu bentuk religinya baik kepada Tuhan maupun kepada sesama, maka pujian dan penyembahan memiliki beberapa tujuan, seperti yang dipaparkan ulang dari ”Handbook of Ministry Departemen Praise and Worship GBI Aletheia”, yaitu:
  1. Aspek Vertikal Dalam aspek vertikal tujuan pujian dan penyembahan adalah untuk melayani Tuhan, memberkati Tuhan dan memuliakan Tuhan. Tujuan ini kemudian lebih khusus ditujukan untuk menyediakan tempat persemaian untuk mengoperasikan karunia-karunia rohani dan untuk membuka komunikasi antara Tuhan dengan jemaatnya (Bapa - anak).
  2. Aspek Horizontal Aspek horizontal sebagai tujuan pujian dan penyembahan 
  3. Aspek Kedalam (hati individu) Tujuan pujian dan penyembahan ke dalam
Kesimpulan Pujian dan Penyembahan dalam Ibadah Kristiani 
ari paparan mengenai ibadah dan iman Kristiani diatas, dapat diketahui bahwa antara ibadah dan iman memiliki keterkaitan yang erat dan tak terpisahkan. Ibadah adalah merupakan wujud nyata dari iman kepada Tuhan, dan didalam ibadah terdapat pujian dan penyembahan yang merupakan cara yang lebih spesifik lagi dari ibadah secara keseluruhan. Wujud ibadah dalam bentuk pujian dan penyembahan merupakan bentuk yang secara Roh diterima oleh Tuhan sebagai suatu pernyataan iman dan ucapan syukur, dan wujud ini juga diungkapkan secara fisik yang dapat diterima oleh indera manusia, sehingga wujud ibadah dalam Kristiani merupakan suatu ibadah totalitas yang menyentuh ke semua aspek, Allah secara Roh yang berhubungan langsung dengan setiap hati individu (keterkaitan aspek vertikal – aspek kedalam) serta hubungan keterikatan sesama dengan masing-masing hati individu jemaat gereja (keterkaitan aspek horizontal – aspek kedalam) yang terwujud secara fisik melalui ekspresi pujian dan penyembahan.

Bentuk-bentuk pujian dan penyembahan yang terdapat dalam istilah-istilah diatas memiliki penekanan yang berbeda-beda tetapi ada ikatan diantara masing-masing istilah tersebut yang menjadikannya suatu kesatuan. Barak yang menekankan suatu keheningan, berhubungan dengan pengakuan hati dalam keheningan tentang kebesaran Tuhan, kemudian hal itu terwujud dalam tindakan fisik sebagai ungkapan syukur melalui bentuk Towdah, sebuah rasa syukur dari hati yang muncul tanpa melihat keadaan disekeliling maupun keadaan yang menimpa jemaat tersebut. Towdah tersebut kemudian sangat erat hubungannya dengan Yadah sebagai wujud ungkapan fisik rasa syukur melalui penggunan tangan (mengangkat tangan) dan kemudian ekspresi tersebut selanjutnya mengungkapkan sebuah penyerahan diri masing-masing individu jemaat kepada Tuhan. Ketiga bentuk pujian tersebut (Barak, Towdah dan Yadah) merupakan bentuk pujian yang lebih diwujudkan melalui pengakuan hati, ekspresi di dalam, penggunaan ekspresi fisik sangat sedikit ditekankan, tetapi ekspresi fisik tersebut (mengangkat tangan) merupakan wujud pujian yang dapat dilihat dari istilah-istilah pujian tersebut, Pujian jenis ini merupakan pujian yang masih erat berhubungan dengan penyembahan, hubungan tersebut merupakan hubungan antara Barak -Shachah -Proskuneo yang kemudian berhubungan dengan Latreuo. Pujian Barak dan istilah-istilah Penyembahan memiliki keterkaian filosofi yaitu arti kata Barak-lutut dengan arti kata Shachah-tersungkur, Proskuneo-membungkukan badan dan kemudian semuanya merupakan espresi dari seorang hamba-Latreuo.

Tinjauan Umum Perkembangan Jenis Gereja Gereja awal mula memiliki satu ajaran yang sama, namun seturut perkembangan jaman, tujuan dan motivasi jemaatnya menjadi beraneka ragam sehingga timbullah bermacam-macam visi dan misi yang berbeda. Hal tersebut menyebabkan adanya pembedaan dalam pengajarannya dimana ajaran-ajaran tersebut sesuai dengan yang dibutuhkan oleh kelompok jemaat dalam Gereja-Gereja. Di Indonesia banyak sekali jenis-jenis Gereja. Pada umumnya Gerejagereja di Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga atau empat aliran utama, yaitu Gereja Katolik Roma, Gereja-gereja Protestan dan sekarang hadir pula Gereja Ortodoks. Gereja-gereja Pentakosta kadang-kadang digolongkan terpisah dari Gereja-gereja Protestan. Karena latar belakang penjajahan Belanda, Gereja-gereja Protestan di Indonesia kebanyakan berlatar belakang Calvinis. Namun Gereja-gereja ini pada umumnya terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok suku dan regional, misalnya GBKP, GKI, GKJW, GMIM dan lain-lain. Ada pula Gereja-gereja Lutheran yang pada umumnya terkonsentrasi di Sumatera Utara, dan merupakan hasil misi dari Jerman, seperti Gereja HKBP, GKPI, GKPS, BNKP dan lain-lain. Karena pengaruh gerakan misi dari Amerika Serikat, sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, hadir pula di Indonesia Gereja-gereja yang berasal dari negara tersebut, seperti Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, Baptis, Pentakosta, Karismatik dan lain-lain. Selain dikarenakan aliran pengajaran yang berbeda-beda, pembagian gereja-gereja tersebut juga dikarenakan perbedaan liturgi atau tata cara ibadah. Baik yang sangat ketat (begitu runtut dan mengikuti aturan) hingga yang sangat fleksibel (bebas mengikuti keinginan Tuhan saat itu). Tata cara ibadah tersebut juga mempengaruhi bagaimana cara umat mengeskpresikan diri, baik ekspresi bersama (warna dalam ibadah) maupun ekspresi individu terhadap kebaikan dan kemuliaan nama Tuhan. 

Tinjauan Umum Perkembangan Fungsi Gereja
Saat ini sebuah bangunan Gereja tidak lagi dimanfaatkan hanya sebagai tempat peribadahan umat Kristiani pada hari Minggu saja. Banyak kegiatan ibadah yang berlangsung di Gereja hampir setiap harinya, sehingga tidak ada lagi anggapan bahwa Gereja tutup selain hari Minggu. Perkembangan tersebut membuat para jemaat dapat lebih sering berkomunitas dengan sesama, sehingga satu sama lain dapat saling membangun dan menguatkan. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain adalah : 
  1. Ibadah Raya (Kebaktian Umum) Ibadah Raya merupakan ibadah yang diawali dengan melakukan nyanyian pujian dan penyembahan kepada Tuhan. Nyanyian pujian dan penyembahan ini dikenal dengan Praise & Worship. Praise & Worship dipimpin oleh seorang WL (Worship Leader) dan diiringi oleh team PW (Praise & Worship) yang terdiri dari singer dan tim pemusik. Setelah pujian dan penyembahan dinaikan bagian Tuhan untuk menentukan bagaimana selanjutnya dengan memberi hikmat kepada pendeta yang memimpin ibadah tersebut, apakah dilanjutkan dengan penyampaian firman Tuhan kepada jemaat atau diadakan Altar Call, atau bahkan terjadi suasana yang tak terduga, dimana semuanya tergantung kepada kehendak Tuhan pada saat itu. Pada Ibadah raya ini jemaat yang beribadah bersifat heterogen, dari remaja hingga yang berusia lanjut. Ibadah Raya dilaksanakan pada hari Minggu dan terdapat pula pada hari Sabtu. 
  2. Ibadah Youth Ibadah Youth juga tidak jauh beda esensinya dengan Ibadah Raya, hanya karena jemaat yang beribadah semua terdiri dari anak muda maka Praise & Worship dengan menggunakan lagu-lagu beritme cepat dan bersemangat. Jika ada penyampaian firman Tuhan, firman Tuhan yang disampaikan pun berbeda dengan firman yang disampaikan pada Ibadah Raya, firman di Ibadah Youth lebih kearah lika-liku kehidupan remaja. Ibadah Youth dapat dilaksanakan pada akhir pekan seperti hari Jumat atau Sabtu.
  3. Sekolah Minggu Di Sekolah Minggu anak-anak berusia dibawah 14 tahun diajak untuk melakukan ibadah yang serupa dengan Ibadah Raya namun dengan menggunakan lagu rohani anak-anak dan juga masih dalam bimbingan kakak-kakak pembimbing Sekolah Minggu. Ibadah Sekolah Minggu diadakan bersamaan dengan Ibadah Raya, ketika orang-orang tua beribadah maka anak-anak dapat ‘dititipkan’ kepada kakak pembimbing untuk dapat mengikuti ibadah.
  4. Cell Group Setelah pada hari Minggu atau Sabtu mendengarkan firman Tuhan saat Ibadah Raya, maka ada kalanya diadakan sharing mengenai pertanyaanpertanyaan yang timbul. Cell Group inilah wadah untuk mensharingkan firman Tuhan dan berkomunitas. Dengan berkomunitas jemaat dapat saling membangun satu sama lain dan dapat saling menguatkan ketika terdapat banyak masalah.
  5. Pertemuan Pengerja Pertemuan Pengerja gereja diadakan tergantung kesepakatan bersama dari setiap gereja. Tujuan diadakannya adalah untuk mempererat setiap individu dengan beribadah bersama. Selain itu para pelayan Tuhan yang hadir diajak memahami visi dan misi gereja secara lebih mendalam melalui penyampaian khotbah yang lebih fokus terhadap visi dan misi dari Tuhan.
  6. Konseling Kegiatan konseling dilakukan oleh hanya satu atau beberapa orang saja dengan bimbingan seorang atau dua orang pelayan Tuhan. Tujuan diadakannya konseling adalah untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang dialami umat yang bersangkutan.
Yunani “semeion” yang berarti tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif, mampu menggantikan suatu yang lain (stand for something else) yang dapat dipikirkan atau dibayangkan. Dalam menganalisis sistem tanda pada bangunan peribadatan khususnya pada bangunan gereja Kristen, digunakan pendekatan dengan melihat suatu sistem tanda melalui teks dan kode yang merupakan metode analisis semiotika. Analisis teks dan kode ini digunakan karena desain arsitektur khususnya bangunan peribadatan memiliki banyak tanda didalamnya yang dapat dianggap sebagai sebuah teks, karena produk desain (bangunan) tersebut merupakan kombinasi elemen tanda-tanda dengan kode dan aturan tertentu, sehingga menghasilkan sebuah ekspresi bermakna dan berfungsi. Analisis ini didasarkan pada teori semiotika Saussure, Peirce dan Barthes. Teori Saussure menjelaskan bahwa tanda sebagai suatu kesatuan yang tak terpisahkan yaitu antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Kemudian menurut teori Peirce tanda dikelompokan menjadi jenis, yaitu indeks (index), ikon (icon), dan simbol (symbol). Indeks adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petanda di dalamnya bersifat kausal. Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat keserupaan. Sedangkan simbol adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat arbiter. Sedangkan untuk menghasilkan makna yang bertingkat, menurut Barthes tanda dibagi menjadi tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.

Penggunaan tanda pada bangunan gereja Kristen banyak sekali menggambil simbol-simbol yang terdapat dalam Alkitab. Simbol yang lazim digunakan dan menjadi simbol agama Kristen adalah Salib, sebuah simbol yang bermakna penebusan dosa umat manusia. Selain itu salib juga sebagai ikon yang memperlihatkan bentuknya sebagai sebuah tanda salib (persilangan garis vertikal dan horizontal) dan secara indeks menunjukan makna ibadah Kristiani yaitu hubungan horizontal-antar jemaat dan hubungan vertikal-antara jemaat dengan Tuhan. Salib tersebut juga menjadi indeks yang menunjukan bentuk memusat, yaitu bentuk perkumpulan jemaat Kristen di dalam satu Tubuh Kristus.

Bentuk tanda yang lain yang biasa terdapat pada bangunan gereja Kristen adalah penggunaan cahaya, baik cahaya alami yang masuk ke dalam bangunan, maupun cahaya buatan yang dibuat memancar pada suatu area. Cahaya tersebut merupakan tanda yang menyimbolkan kehadiran Tuhan, terang Tuhan. Selain itu cahaya juga sebagai indeks yang menunjukan rahmat dan berkat Tuhan yang dicurahkan kepada umatNya. Hampir pada semua bangunan gereja, cahaya memegang peranan penting yang selain memiliki makna simbolik cahaya juga dapat menentukan dan mengarahkan suasana yang ada pada bangunan tersebut. Intensitas cahaya mengandung simbol yang dapat mempengaruhi aktivitas. Dengan penataan posisi dan Penggunaan tanda yang juga biasa terdapat pada bangunan gereja Kristen adalah penggunaan warna-warna sebagai tanda yang memiliki makna-makna religius didalamnya. Warna sebagai pembentuk karakter ruang dan elemen-elemen bangunan tersebut biasa diperkuat kesannya dengan penggunaan dan penataan cahaya serta permainan tekstur yang melapisi permukaan bidang tersebut. Setiap warna mengandung makna yang berbeda dan dengan penerapan-penerapan warna tersebut pada elemen bangunannya maka selain warna tersebut memiliki makna, warna tersebut juga memperkuat makna yang ingin disampaikan pada elemen-elemen bangunan yang juga menjadi tanda pada bangunan tersebut. Warna sangat berperan penting dalam penyampaian suatu pesan, karena warna itu juga merupakan tanda yang kemudian diterima oleh setiap orang sebagai sebuah sensasi yang menjadikan warna tersebut memiliki kesan. Warna dalam desain memiliki pengaruh yang kuat pada perasaan dan emosi penggunanya. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa keadaan fisik penggunapun dapat dipengaruhi oleh warna-warna tertentu yang terdapat pada ruang yang ditempatinya. Dari hal itu penggunan warna kemudian dimaksudkan dapat menciptakan suasana yang mendukung pemaknaan dari obyek yang diwarnainya maupun ruang dan lingkungan fisik disekitarnya.

SUMBER;
https://mangihot.blogspot.com/2018/10/teori-gereja-dan-iman-kristiani.html

Thursday 18 October 2018

Jenis Pemikir Metafisika Islam Menurut Para Ahli

Jenis Pemikir Metafisika Islam
Untuk memperoleh gambaran yang memadai atas falsafah metafisika dalam bingkai pemikiran Islam maka perlu dilacak sejumlah wacana yang berkembang di kalangan pemikir- pemikir muslim pada abad pertengahan. Lebih – lebih ketika masa-masa periode pembentukan (formative Periode) khazanah intelektual dapat ditemukan pemikiran-pemikiran yang memungkinkan dapat dijadikan sebuah refleksi untuk mendiskusikan falsafah metafisika dalam pemikiran islam. Karena pemikiran metafisika merupakan ber-induk pada pemikiran filsafat yang maka untuk menemukan narasi pemikiran metafisika dapat ditemukan diantara pemikiran-pemikiran filsafat tokoh yang bersangkutan yang menyangkut Manusia (jiwa) Alam (kosmologi) dan Yang ada (wujud).

1. Al-Kindi
Tentang filsafat al-Kindi memandang bahwa filsafat haruslah diterima sebagai bagian dari peradaban Islam. Ia berupaya menunjukkan bahwa filsafat dan agama merupakan dua barang yang bisa serasi, ia menegaskan pentingnya kedudukan filsfat dengan menyatakan bahwa aktifitas filsafat yang definisi nya adalah mengetahui hakikat sesuatu sejauh batas kemampuan manusia dan tugas filosof adalah mendapatkan kebenaran

Tentang metafisika alam al-Kindi mengatakan bahwa alam in adalah illat-Nya. Alam itu tidak mempunyai asal, kemudian menjadi ada karena diciptakan Tuhan. Al-Kindi juga menegaskan mengenai hakikat Tuhan, Tuhan adalah wujud yang hak (benar) yang bukan asalnya tidak ada menjadi ada, ia selalu mustahil tidak ada, jadi Tuhan adalah wujud yang sempurna yang tidak didahului oleh wujud yang lain.

2. Al-Farabi
Bagi al-Farabi[14], filafat mencakup matematika, dan matematika bercabang pada ilmu-ilmu lain, sebagaimana ilmu itu berlanjut pada metafisika. Menurut al-farabi bagian metafisika ini secara lengkap dipaparkan oleh aristoteles dalam metaphysics yang sering juga diacu dalam sumber-sumber Arab sebagai “book of letters”, karya ini terdiri atas bagian utama yaitu:
  • Menelaah yang ada jauh keberadaannya atas ontologi
  • Menelaah beberapa kaidah pembuktian yang umum dalam logika, matematika dan fisika, atas epistimologi
  • Menelaah apa dan bagaimana “substansi-substansi mujarad (immaterial) yang berjenjang ini menanjak dari yang terendah sampai ke yang tinggi dan berpuncak pada wujud yang sempurna. Dan tak ada yang lebih sempurna dari apa yang telah ada.
Tuhan adalah wujud yang sempurna, ada tanpa suatu sebab, kalau ada sebab baginya, maka adanya Tuhan tidak sempurna lagi. Berarti adanya Tuhan bergantung kepada sebab yang lain, karena itu ia adalah substansi yang azali, yang ada dari semula dan selalu ada, substansi itu sendiri telah cukup jadi sebab bagi keabadian wujudnya. Al-Farabi dalam metafisika nya tentang ketuhanan hendak menunjukkan keesaan Tuhan, juga dijelaskan pula mengenai kesatuan antara sifat dan zat (substansi) Tuhan, sifat Tuhan tidak berbeda dari zat Nya, karena Tuhan adalah tunggal.

Tentang penciptaan alam (kosmologi) al-farabi cenderung memahami bahwa alam tercipta melalu proses emanasi sejak zaman azali, sehingga tergambar bahwa penciptaan alam oleh Tuhan, dari tidak ada menjadi ada, menuut al-Farabi, hanya Tuhan saja yang ada dengan sendirinya tanpa sebab dari luar dirinya. Karena itu ia disebut wajib al-Wujudu zatih.

Pengantar dan Definisi Falsafah Metafisika Agama Islam

Allah menciptakan alam ini melalui emanasi, dalam arti bahwa wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta. Emanasi ini terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berpikirnya Allah swt tentang dzat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Dalam arti bahwa ialah yang memberi wujud kekal dari segala yang ada. Berfikirnya Allah tentang dzatnya adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya ( al-Qudrah) yang menciptakan segalanya, agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan mengetahuiNya.

Secara konseptual hierarki wujud menurut al-Farabi adalah sebagai berikut :
  • Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
  • Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
  • Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
  • Benda-benda bumi (teresterial).
Dengan filsafat emanasi al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di atas merupakan solusinya bagi al-Farabi.

Proses emanasi itu adalah sebagai berikut. Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbul langit pertama dan selanjutnya dengan segala planet yang ada pada sistem tata surya.

3. Al-Razi
Persoalan metafisika yang dibahas oleh al-Razi seperti halnya yang ada pada filsafat yunani kuno yaitu tentang adanya lima prinsip yang kekal yaitu: Tuhan, Jiwa Unversal, materi pertama, ruang absolut, dan zaman absolut.

Secara prinsip tentang metafiska dikatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan substansi ketuhanan-nya kemudian akal, akal berfungsi menyadarkan manusia bahwa dunia yang dihadapi sekarang ini bukanlah dunia yang sebenarnya, dunia yang sebenarnya itu dapat dicapai dengan berfilsafat. Dalam karya tulis al-Razi, al-Tibb al-Ruhani (kedokteran Jiwa) tampak jelas bahwa ia sangat tinggi menghargai akal, dikatakannya bahwa akal adalah karya terbesar dari Tuhan bagi manusia.

4. Ikhwan Al-Safa’
Setelah wafatnya al-Farabi, muncullah kalangan kelompok muslim yang menyebutkan diri mereka sendiri dengan nama ikhwan al-Safa’ yang berarti saudara-saudara (yang mementingkan kesucian batin atau jiwa). Mereka berhasil menghasilkan karya ensiklopedi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat yang dikenal dengan judul Rasa’il Ikwan al-Safa’, terdiri dari 52 risalah yang dapat dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu bidang matematika, fisika, risalah yang berbicara tentang jiwa manusia dan kelompok risalah yang mengkaji masalah-masalah metafisika lain nya seperti tentang Tuhan, malaikat, jin dan setan.

Ikhwan al-Safa’ membagi pengetahuan kepada tiga kelompok yaitu: pengetahuan adab/sastra, pengetahuan syari’ah, pengetahuan falsafat, dan pengetahuan filsafat mereka bagi menjadi empat bagian yaitu: pengetahuan matematika, pengetahuan logika, pengetahuan fisika, dan pengetahuan ilahiah, metafisika. Filsafat menurut mereka mempunyai tiga taraf, yaitu: 1) taraf pemulaan, yakni mencintai pengetahuan, 2) taraf pertengahan yakni mengetahui hakikat dari segala yang ada sejauh kemampuan manusia, 3) taraf akhir yakni berbicara dan meramal sesuatu sesuai dengan pengetahuan mengenai alam ikhwan al-safa’ juga menganut paham pencipataan alam dan Tuhan melalui cara emanasi.

5. Ibnu Maskawaih
Menurut Ibnu Maskawaih untuk membuktikan Tuhan itu dengan pengenalan, jadi tidak dengan melalui rasional. Sebab pengenalan selain di dapat secara rasional juga dapat dengan melalui penghayatan yang berupa penggalan kejiwaan. Sebagai bukti adanya Tuhan ialah gerak-gerak yang lain itu timbulnya dari sumber gerak, sedangkan sumber gerak itu timbul sendiri, adapun menurut teori pembahasan lama ialah tiap-tiap bentuk berbuah pasti diganti dengan bentuk yang lain.

Tentang jiwa manusia dan akhlak Ibnu Maskawaih menyatakan bahwa tujuannya untuk menulis itu adalah agar kita berhasil membangun bagi jiwa-jiwa kita suatu akhlak, dengan akhlak itu muncul dari diri kita dengan mudah tanpa dibuat-buat perbuatan yang indah. Baginya jiwa itu berasal dari akal aktif, jiwa bersifat rohani, karena itu jiwa mampu menerima hal-hal yang bertentangan, sedangkan panca indra hanya dapat menangkap sesuatu jika sesuatu itu sudah menempel pada benda.

6. Ibnu Sina
Ar-Rais al-Husain bin Abdullah bin Ali Al-Hamadani di lahirkan pada tahun 980 M disebuah desa bernama afshanah. Dekat Bukhara yang saat ini terletak dipinggiran selatan Rusia, Ibnu Sina adalah filosof dan ahli kedokteran muslim paling populer sampai saat ini di dunia barat, Ibnu Sina dikenal dengan sebutan Avicenna.

Sebagai seorang metafisikus Islam, Ibnu Sina berpendapat bahwa antara jiwa dan badan memiliki perbedaan. Pengenalan dan perasaan manusia terhadap jiwa bersifat langsung, karena pemikiran tidak memerlukan perantara di dalam mengenal dirinya. Ibnu Sina seperti halnya al-Farabi berpendapat bahwa jiwa adalah wujud rohani (immateri) yang berada dalam tubuh, wujud imateri yang tidak berada atau tidak langsung mengendalikan tubuh disebut akal. Dengan demikian, jiwa manusia adalah wujud imateri yang berada dalam tubuh manusia. Jiwa itulah yang menjadi sebab hidup, penggerak dan pengendali tubuh, ibnu Sina juga menjelaskan tiga macam jiwa di bumi yaitu 1) Jiwa tumbuh-tumbuhan, 2) Jiwa binatang, 3) jiwa manusia, pada jiwa tumbuh-tumbuan terdapat potensi makan potensi menumbuhkan potensi mengembang biakkan. Pada jiwa binatang, selain jiwa yang baru disebutkannya juga terdapat potensi menggerakkan dan potensi menangkap, potensi khayal dan sebagainya.

Pada jiwa manusia, selain semua potensi yang telah disebutkan di atas juga terdapat potensi berpikir praktis dan berpikir teoritis, kemampuan teoritis ini pada taraf potensi disebut akal material dan setelah berkembang pada taraf berikutnya disebut akal makalah. Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah falsafatnya tentang jiwa. Ia juga menganut faham pancaran. Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah Jibril.

Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya. Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.

Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh.

Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi -fungsi fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.

Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim” sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain.Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib.

Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.

Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut: Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Ibnu Sina berkata : “yang wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain (wujud al muntazhar) - dari wujud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah diciptakan.

Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari perbuatan sifat akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis karena tidak ada tujuan sama sekali. Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan kehendak bebas.

Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut. Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu tidak lagi bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada perbuatan-Nya, lebih – lebih lagi pada dzat-Nya.

Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum (mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.

7. Al-Ghazali
Tiga pendapat filosof-filosof muslim yang dikufurkan al-Ghazali yang tertuang dalam bukunya “tahafut al-Falasifah”, yakni pendapat bahwa alam itu azali atau qadim, pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui juz iyyat, lalu ia juga mengkufurkan paham yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di akhirat, itu berarti bahwa siapa saja yang menganut, salah satu dari tiga paham tersebut menurut al-Ghazali jatuh ke dalam kekafiran. Untuk paham yang pertama tentang paham qadim- nya alam menurut nya bila alam tu diktakn qadim maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi paham qadim nya alam membawa kepada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Kedua tentang paham bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat. Paham bahwa Tuhan tidak mengetahui yang juz’iyyat bukanlah paham yang dianut oleh filosof muslim tapi paham ini dianut oleh aristoteles, menurut al-Ghazali Tuhan mengetahui hal-hal juz’i itu dengan pengetahuny tidak berubah, dan ini dapat dipahami seperti tidak berubahnya pengetahuan tetapi sebab-sebab yang bersifat umum, atau dapat di pahami dengan pengertian bahwa tuhan telah mengetahui halhal yang juz’i ketiga tentang paham pengingkaran kebangkitan jasmani di alam kubur. Menurut al-Ghazali gambaran al-Qur’an dan Hadis tentang kedua akhirat bukan megacu pada kehidupan yang bersifat rohani saja, tapi pada jasmani juga, jasad-jasad di bangkitkan dan disatukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup di dunia, untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani dan merasakan azab neraka yang juga bersifat rohani – jasmani.

Menurut al-Ghazali di dalam buku-buku filsafatnya dia menyatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap tidak berubah - ubah yaitu al-Nafs­ atau jiwanya. Adapun yang dimaksud tentang al-Nafs adalah “substansi yang berdiri sendiri yang tidak bertempat”. Serta merupakan “tempat bersemayam pengetahuan - pengetahuan intelektual (al-ma’qulat) yang berasal dari alam al-malakut atau al-amr . Hal ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisiknya. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat, sedangkan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri, karena keberadaannya tergantung kepada fisik. Sementara dalam penjelasannya yang lain, al-Ghazali menegaskan bahwa manusia terdiri atas dua substansi pokok, yakni substansi yang berdimensi dan substansi yang tidak berdimensi, namun mempunyai kemampuan merasa dan bergerak dengan kemauan.Substansi yang pertama dinamakan badan ( al-jism) dan substansi yang kedua disebut jiwa ( al-nafs). Jiwa ( al-Nafs) memiliki daya - daya sebagai derivatnya dan atas dasar tingkatan daya daya tersebut.

Demikianlah diantara pemikir-pemikir muslim yang bisa dijadikan rujukan konsepsi untuk melacak akar pemikiran Falsafah Metasika dalam sejarah pemikiran Islam, sebagai perbandingan perlu dideskripsikan khasanah pemikiran falsafah metafisika di kawasan barat.

SUMBER;
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=6581897105163425097;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=0;src=link

Pengertian dan Manfaat Falsafah Metafisika

A. Pengantar dan Definisi
Filsafat,atau dalam bahasa arab falsafah adalah berpikir radikal, sistematis, dan universal tentang segala sesuatu. Objek pemikiran filsafat adalah segala sesuatu yang ada. Segala yang ada merupakan bahan pemikiran filsafat. Filsafat merupakan usaha berpikir manusia yang sistematis sehingga membentuk ilmu pengetahuan. Kata falsafah (Melayu), philosophie (Belanda), philosophie (Jerman), philosophy (Inggeris), philosophie (Perancis) berasal daripada kata bahasa Yunani, yaitu : Philien: mencintai, Sophia: kearifan, kebijaksanaan, hikmat, kebenaran. Falsafah ialah perihal mencintai kearifan, kebijaksanaan, hikmat, kebenaran melalui pemikiran yang mendalam. Berfalsafah merupakan puncak ketuntasan berfikir, yaitu dengan belajar dan menyelidiki segala hal mencari kebenaran hakiki. Kebenaran ialah perkara cita-cita tertinggi yang dapat dicapai melalui akal atau kaedah berfikir. Dalam Islam, secara normatif berfikir amat penting dan dianjurkan untuk mencapai hakikat sesuatu. Diskusi kajian filsafat mengandung aspek ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Metafisika merupakan bagian dari aspek ontologi dalam kajian filsafat. Konsepsi metafisika berasal dari bahasa Inggeris: metaphysics, Latin: metaphysica dari Yunani meta ta physica (sesudah fisika); dari kata meta (setelah, melebihi) dan physikos (menyangkut alam) atau physis (alam). Metafisika merupakan bagian Falsafah tentang hakikat yang ada di sebalik fisika. Hakikat yang bersifat abstrak dan di luar jangkauan pengalaman manusia. Tegasnya tentang realitas kehidupan di alam ini: dengan mempertanyakan yang Ada (being), Alam ini wujud atau tidak? Siapakah kita? Apakah peranan kita dalam kehidupan ini?. Metafisika secara prinsip mengandung konsep kajian tentang sesuatu yang bersifat rohani dan yang tidak dapat diterangkan dengan kaedah penjelasan yang ditemukan dalam ilmu yang lain

Untuk mendeskripkan secara lebih jelas posisi dan kedudukan metafisika, dapat dikemukakan bahwa Ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia melewati 3 jenis tahapan abstraksi yaitu fisika, matematika dan teologi . Abstraksi pertama – yaitu fisika, Manusia berfikir ketika mengamati secara indrawi. Dengan berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan”. Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilkan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).

Abstraksi kedua – yakni matesis. Ini terjadi ketika manusia dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan.  Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu)

Abstraksi ketiga - teologi atau “filsafat pertama”. Dengan meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, bersifat teleologi, asas pertama dalam pendapatkan hakikat realitas dsb. Disini Aras fisika dan aras matematika jelas telah ditinggalkan. Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang disebut teologi atau “filsafat pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.

Sejajar dengan konsep tersebut wilayah filsafat dibagi dalam tiga tingkatan.
  • First order criteriology meliputi: metafisika, epistemologi, aksiologi, dan logika.
  • Second order criteriology meliputi: etika, filsafat ilmu, filsafat bahasa, filsafat pikiran.
  • Third order criteriology meliputi: filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat sejarah, dan lain-lain.
Metafisika secara tradisional didefinisikan sebagai pengetahuan tentang pengada (Being). Disini metafisika merupakan upaya untuk menjawab problem tentang realitas yang lebih umum, komprehensif, atau lebih fundamental daripada ilmu dengan cara merumuskan fakta yang paling umum dan luas tentang dunia termasuk penyebutan kategori yang paling dasar dan hubungan di antara kategori tersebut 

B. Lingkup Metafisika
Metafisika mengandung Klasifikasi yang meliputi Pertama, Metaphysica Generalis (ontologi); ilmu tentang yg ada atau pengada. Kedua, Metaphysica Specialis terdiri atas:
  • Antropologi; menelaah tentang hakikat manusia, terutama hubungan jiwa dan raga.
  • Kosmologi; menelaah tentang asal-usul dan hakikat alam semesta. Dan
  • Theologi; Kajian tentang Tuhan secara rasional dengan segala abstraksi yang memungkinkan melekat pada-Nya.
Metafisika umum membahas mengenai yang ada sebagai yang ada, artinya prinsip-prinsip umum yang menata realitas. Sedangkan metafisika khusus membahas penerapan prinsip-prinsip umum ke dalam bidang-bidang khusus: teologi, kosmologi dan psikologi. Pemilahan tersebut didasarkan pada dapat tidaknya dicerap melalui perangkat inderawi suatu obyek filsafat pertama. Metafisika umum mengkaji realitas sejauh dapat diserap melalui indera sedang metafisika khusus (metafisika) mengkaji realitas yang tidak dapat diserap indera, apakah itu realitas ketuhanan (teologi), semesta sebagai keseluruhan (kosmologi) maupun kejiwaan (psikologi).

Disiplin filsafat pada dasarnya tidak sepenuhnya terpisah satu sama lain karena pembahasan metafisika tentang realitas supra inderawi, terkait dengan pembahasan ontologi tentang prinsip-prinsip umum yang menata realitas inderawi. Istilah metafisika dengan sifatnya yang supra inderawi inilah memunculkan keengganan orang terhadap konsep – konesp metafisika. Kedudukan metafisika dalam dunia filsafat sangat kuat. Pertama, metafisika sudah merupakan sebuah cabang ilmu tersendiri dalam pergulatan filosofis. Kedua, telaah filosofis terdapat unsur metafisik merupakan hal yang siginifikan dalam kajian filsafat. Ini tentu sejajar dengan siqnifikansinya yang menyebut bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu.

Dengan membincangkan metafisika memberi pemahaman bahwa filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya. Maka metafisika memiliki ruang lingkup Pokok Bahasan yang mencakup, pertama tentang kajian Inkuiri ke apa yang ada (exist), atau apa yang betul-betul ada. Kedua tentang, Ilmu pengetahuan tentang realitas, sebagai lawan dari tampak (appearance) Ketiga, Studi tentang dunia secara menyeluruh dengan segala Teori tentang asas pertama (first principle); prima causa yang wujud di alam (kosmos).

Bagian metafisika yang membincang tentang hakikat realitas disebut Ontologi. Sedangkan Kosmologi adalah bagian metafisika tentang proses realitas sehingga menghasilkan obyek dalam kajian metafisika yang disebut dengan obyek partikular (materi) dan obyek universal (ide)

C. Falsafah Metafisika Agama
Ilmu filosofis tertinggi adalah metafisika karena materi subyeknya berupa wujud non fisik mutlak yang menduduki peringkat tertinggi dalam hierarki wujud. Dalam terminology religius, wujud non fisik mengacu kepada Tuhan dan malaikat. Dalam terminology filosofis, wujud ini merujuk pada Sebab Pertama, sebab kedua, dan intelek aktif.

Filsafat Metafisika tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang gejala agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Suci (Numen) sakral : adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku manusia. Yang quddus itu dikonsepsikan sedemikian rupa sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum; kepada-Nya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku hidup yang penuh dengan sikap "takut-dan-taqwa", pemikiran menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama. Dalam kajian metafisika agama dan khususnya Islam salah satu tujuannya adalah untuk menegakkan bangunan fondasi teologis dan tauhid secara benar. Karena tauhid merupakan dasar dari ajaran Islam.

Kekokohan konsepsi metafisika agama (Islam) dimaksudkan untuk menjawab tantangan pendapat para pendukung materialisme -khususnya positifisme- yang mengingkari eksistensi immateri dan supra-natural, yang kedua hal tersebut adalah saripati dan hekekat substansi nilai keagamaan. Disinilah setiap pemikir agama harus melakukan -minimal- menjawab dua hal pokok yang menjadi tantangan kelompok meterialistik yang tidak meyakini hal-hal yang supraindrawi,immateri dan; Pertama: pemikir agama harus mampu membuktikan keterbatasan indera manusia dalam melakukan eksperimen dan menyingkap segala eksistensi materi alam semesta. Kedua: Membuktikan keberadaan hal-hal yang bersifat non-inderawi, namun memiliki eksistensi riil dalam kehidupan di alam kosmologi yang luas ini.

Metafisika, berbeda dengan kajian-kajian tentang wujud partikular yang ada pada alam semesta. biologi mempelajari wujud dari organisme bernyawa, geologi mempelajari wujud bumi, astronomi mempelajari wujud bintang-bintang, fisika mempelajari wujud perubahan pergerakan dan perkembangan alam. Tetapi metafisika agama mempelajari sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh semua wujud ini yang dipandu oleh dimensi ke -ilahiaan untuk menemukan kebenaran hakiki atas religiusitasnya.

Kajian tentang metafisika dapat dikatakan sebagai suatu usaha sistematis, refleksi dalam mencari hal yang berada di belakang fisik dan partikular. Itu berarti usaha mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal dan bersifat universal.Yakni sebagai hal “penyelidikan tentang Tuhan”, bisa juga dikatakan sebagai “penyelidikan tentang dunia ilahi yang transenden”. Metafisika sering disebut sebagai disiplin filsafat yang terumit dan memerlukan daya abstraksi sangat tinggi. Ibarat seorang untuk mempelajarinya menghabiskan waktu yang tidak pendek. Ber-metafisika membutuhkan energi intelektual yang sangat besar sehingga membuat tidak semua orang berminat menekuninya.

Pengantar dan Definisi Falsafah Metafisika Agama Islam

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana dengan konsepsi falsafah Metafisika dalam perkembangan pemikiran Islam. Disinilah perlu dilakukan sebuah pemetaan berkaitan dengan konsepsi falsafat metafisika dalam wacana pemikiran Islam. Maka dapat dipetakan kedalam sejumlah aspek penting yang mesti dideskripsikan oleh falsafah metafisika sehingga islam menjadi agama yang memiliki bentuknya yang komprehensip. Misalnya pertanyaan-pertanyan yang menyangkut hal - hal sebagai berikut bagaimana pemikir islam merumuskan hakekat metafisis Aqal dan Jiwa (hakekat metafisis Manusia), Bagaimana pemikir Muslim merumuskan hakekat metafisis Wujud (metafisika ketuhanan), dan Bagaimana Pemikir-pemikir Muslim mengkonsepsikan hekakat Metafisis Falsafat Wahyu dan Nabi dan lain sebagainya. Pada hakekatnya segala hal yang berkaitan dengan konsepsi Islam berpedoman kepada hal-hal yang bersifat Ghoib. Maka untuk memberi rumusan hal-hal yang bersifat ghoib ini para pemikir muslim berjuang sekuat tenaga melalui akal pikirnya untuk berijtihad menjawabnya sehingga melahirkan sejumlah konsep yang dapat dijadikan sumber rujukan.

Ilmu metafisika adalah ilmu yg melebihi ilmu fisika. Berbeda dari pengertian ilmu metafisika dalam khasanah western science, Falsafah metafisika Islam adalah ilmu fisika yg dilanjutkan atau ditingkatkan sehingga masuk ke dalam ilmu bi al-ghoibi (ghaib atau rohani). Berkaitan dengan konsepsi keagamaan maka dengan ilmu metafisika akan terungkap apa itu agama secara lebih komprehensif. Kebenaran-kebenaran dan rahasia-rahasia agama yg selama ini dianggap misterius, mistik, ghaib, dan sebagainya akan menjadi sebuah konseptualisasi yang cukup nyata, relatif riel, dan dapat dijelaskan secara falsafi. Hal ini mirip dengan peristiwa-peristiwa kimiawi yg dulunya dianggap misterius, nujum, sulap, untuk menakut-nakuti, dsbnya, dengan ilmu kimia menjadi nyata, dan seolah-olah riel, dan dapat dijelaskan secara filosofis misalnya unsur air (H2O) Asam Klorida(HCL) Besi (Fe) dan lain sebagainya .

Dengan ilmu metafisika jelas bahwa agama tak lain terdiri dari hukum-hukum yang secara konseptual riel seperti juga alam jagad raya yag tak lain terdiri dari hukum-hukum fisika, kimia, dan biologi. Hanya saja martabat dan dimensi hukum-hukum agama tersebut lebih tinggi dan bersifat hakiki, absolut serta jika dilihat secara filosofis nampaklah sangat sempurnanya alam ini. Tujuan pembahasan metafisika adalah untuk membangun suatu sistem alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal.

Dengan penjelasan yg masuk akal yang falsafi filosofis maka ajaran-ajaran agama dapat diterangkan secara logis sehingga keimanan semakin meningkat. Tanpa penjelasan yang falsafi metafisis logis maka ajaran agama menjadi dogma. Tanpa penjelasan yang logis falsafai metafisis,juga maka ajaran agama sekedar pil yang harus di telan sehingga tidak akan dapat dihayati maksud dan tujuannya oleh umat beragama. Dari sebuah ritual dan perintah – perintah agama yang membentuk berbagai ritualitas agama hanya bermakna sebagai beban yang sangat berat bagi umatnya. Dengan metafisika ilmiah lah kita bisa menghargai betapa tanpa adanya agama maka manusia tidak mungkin percaya adanya Tuhan.

Problematika kajian metafisika tentang kosmos atau alam semesta (makrokosmos) bukanlah membicarakan alam semesta dalam pengertian entitas-entitas yang berbeda di alam melainkan semesta sebagai keseluruhan. Pada dasarnya tidak ada sesuatu halpun di alam ini yang tidak dapat ditangkap dengan panca indra namun demikian, merupakan suatu kemustahilan untuk menangkap secara indrawi; suatu keseluruhan sebagai keseluruhan.

D. Manfaat Falsafah Metafisika
Manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan saintifik pada umumnya maupun ilmu-ilmu pengetahuan berbasis keagamaan. Manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Kontribusi metafisika terletak pada awal terbentuknya paradigma ilmiah, ketika kumpulan kepercayaan belum lengkap pengumpulan faktanya, maka ia harus dipasok dari luar, antara lain: metafisika, sains yang lain, kejadian personal dan histories.
  2. Metafisika mengajarkan cara berpikir yang serius, terutama dalam menjawab problem yang bersifat enigmatik (teka-teki), sehingga melahirkan sikap dan rasa ingin tahu yang mendalam.
  3. Metafisika mengajarkan sikap open-ended, sehingga hasil sebuah ilmu selalu terbuka untuk temuan dan kreativitas baru
  4. Perdebatan dalam metafisika melahirkan berbagai aliran, mainstream, seperti: monisme, dualisme, pluralisme, sehingga memicu proses ramifikasi, berupa lahirnya percabangan ilmu.
  5. Metafisika menuntut orisinalitas berpikir, karena setiap metafisikus menyodorkan cara berpikir yang cenderung subjektif dan menciptakan terminologi filsafat yang khas. Situasi semacam ini diperlukan untuk pengembangan ilmu dalam rangka menerapkan heuristika.
  6. Metafisika mengajarkan pada peminat filsafat untuk mencari prinsip pertama (First principle) sebagai kebenaran yang paling akhir. Kepastian ilmiah dalam metode skeptis.
  7. Manusia yang bebas sebagai kunci bagi akhir Pengada,artinya manusia memiliki kebebasan untuk merealisasikan dirinya sekaligus bertanggung jawab bagi diri, sesama, dan dunia. Penghayatan atas kebebasan di satu pihak dan tanggung jawab di pihak lain merupakan sebuah kontribusi penting bagi pengembangan ilmu yang sarat dengan nilai (not value-free)
  8. Metafisika mengandung potensi untuk menjalin komunikasi antara pengada yang satu dengan pengada yang lain. Aplikasi dlm ilmu berupa komunikasi antar ilmuwan mutlak dibutuhkan, tidak hanya antar ilmuwan sejenis, tetapi juga antar disiplin ilmu, sehingga memperkaya pemahaman atas realitas keilmuwan
Sumber;
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4590033009607805970#editor/target=post;postID=6581897105163425097;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=1;src=link

Memahami Ta’aruf Dalam Suatu Proses Khithbah

Memahami Ta’aruf Dalam Suatu Proses Khithbah
Pendahuluan
Keinginan untuk dapat saling mengenal satu sama lain antara seorang ikhwan dan akhwat karena adanya rasa ketertarikan merupakan salah satu manifestasi (penampakan) dari adanya naluri melestarikan keturunan (gharizatu an-naw’) pada diri seseorang yang muncul karena telah terjadinya interaksi diantara mereka baik secara langsung maupun tidak langsung. Keingintahuan seorang ikhwan terhadap seorang akhwat atau sebaliknya, terkadang mampu mendorong seseorang untuk melakukan upaya ’pedekate’. Mulai dari sekedar ingin tahu namanya, nomor HP/ telponnya, bahkan bisa lebih jauh dari sekedar itu.

Tentunya bagi seorang muslim, salah satu penampakan gharizatu an-naw’ ini tetap memerlukan adanya pemahaman dan penyikapan yang terbaik, karena tidak ada jaminan bahwa seorang yang dijuluki sebagai aktifis dakwah sekalipun dapat dengan mudah menempatkan keinginan tersebut secara wajar apalagi ketika gejala ini terus-menerus menjangkiti dirinya. Sehingga jangan heran apabila dalam hari-hari yang dilaluinya semula selalu nampak ceria, berikutnya mendadak malah menjadi muram ketika ia selalu teringat kepada seseorang yang ingin dikenalnya namun orang tersebut tak kunjung jua mendekatinya. Jangan heran pula, jika dalam hari-hari yang semula terasa mendung, mendadak menjadi hari yang cerah-ceria ketika seseorang yang selalu mampir dalam ingatannya itu tiba-tiba berkirim sms, e-mail atau sekedar menitipkan salam baginya melalui seorang sahabat J. Tentu kalau sudah begini bisa lebih repot urusannya jika gejala yang menjangkiti mereka berdua tidak segera mendapatkan therapy yang syar’i, yaitu segera melakukan khithbah. Khithbah dilakukan agar keinginan untuk mengenal (ta’aruf) seseorang satu sama lainnya secara lebih jauh dapat dilakukan dalam batasan-batasan dan untuk mencapai tujuan yang diperbolehkan oleh syara’.

Dalam melakukan proses khithbah (meminang) maka tujuan yang hendak dicapai dalam proses ini adalah agar dimilikinya keyakinan yang kuat bagi kedua belah pihak untuk dapat memutuskan sikap apakah segera melanjutkan pada pernikahan atau bahkan segera menghentikan (membatalkan) khithbah tersebut. Jadi mengkhitbah bukan sekedar ingin saling kenal tanpa memahami tujuan yang seharusnya dicapai atau bahkan malah melakukan hal-hal yang dapat menjerumuskan kepada maksiat. Keputusan yang diambil oleh kedua belah pihak, baik untuk segera menikah ataupun segera membatalkan khithbah, merupakan keputusan yang harus didasarkan pada adanya alasan-alasan syar’i yang telah difahami dengan jelas dan diyakini oleh keduanya.

Keputusan untuk segera menikah boleh disepakati oleh keduanya apabila telah merasa cukup saling mengenal dan memahami satu sama lain serta adanya kesiapan yang matang dari berbagai hal yang menunjang pelaksanaan pernikahan. Sedangkan keputusan agar sebaiknya khithbah dibatalkan, dapat disepakati oleh kedua belah pihak apabila satu sama lain saling merasa tidak ada kecocokan atau karena adanya hambatan-hambatan lain yang membuat keduanya bersepakat untuk membatalkan khithbah. Adapun berbagai argumen dan informasi yang menguatkan kedua belah pihak untuk dapat menetapkan suatu keputusan (aqad nikah atau khithbah dibatalkan) dapat diperoleh dengan cara dilakukannya proses saling mengenal dan memahami (ta’aruf) tersebut terlebih dahulu terhadap satu sama lainnya sesuai dengan cara-cara yang ma’ruf pula. 

Oleh karena itu pemahaman mengenai ta’aruf juga merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dan dilaksanakan terutama bagi mereka yang akan dan sedang dalam menjalani proses khithbah. Sebab dalam praktiknya ada juga kasus dimana sepasang Hamba ﷲﺍ SWT yang sebelumnya saling memiliki perasaan menyukai, mencintai atau menyayangi satu sama lain kemudian memutuskan untuk menjalani proses khithbah. Namun di tengah-tengah jalannya proses tersebut, salah satu pihak membatalkannya tanpa didasari pada hujjah (argumen) yang syar’i (yang bersifat prinsip/pokok), misalnya karena alasan-alasan berikut: 
  • sepertinya saya sudah merasa bosan dengan dia (kalau terjadi seperti ini, mungkin sebelumnya bisa jadi telah melakukan pelanggaran syari’at dalam menjalani khithbah, sehingga berani mengungkapkan kata ‘bosan’)’
  • saya melihat dia bukan calon pasangan yang setia, buktinya kemarin saya lihat dia naik becak bersama seorang laki-laki! (padahal ikhwan itu adalah tukang becaknya, karena tidak mungkin akhwat yang mengayuh becaknya sendiri J)’
  • saya benci dengan dia, sebab waktu kemarin bertemu di jalan dia tidak menyapa saya sama sekali (padahal mungkin saja dia sedang buru-buru sehingga tidak sadar bahwa yang berpapasan dengannya adalah kita)’, ataupun 
  • Dia sudah tidak perhatian lagi, masa kalau disms membalasnya satu jam kemudian (padahal mungkin saja pulsanya habis, hpnya tertinggal, sedang sibuk/tertidur, dsb).
Berbagai argumen di atas merupakan hal-hal sederhana, namun bisa menjadi hal-hal yang rumit dan besar ketika dipolitisasi oleh hawa nafsu serta tidak didasari oleh ilmu dan fikiran yang positif (khusnuzhan) dalam menyikapinya. Bahkan karena argumen di atas pula, suatu proses khithbah bisa jadi berantakan alias batal. Padahal tindakan seperti ini merupakan kecerobohan yang dilakukan oleh seorang muslim yang lebih terdorong oleh sentimen emosional ketimbang oleh kejernihan fikiran dan hatinya, sehingga ia tidak dapat mengidentifikasi, memahami dan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan seharusnya ketika tidak mampu saling mengenal dan memahami satu sama lain secara syar’i. Di sinilah kedewasaan berfikir dan bersikap dari kedua insan yang akan mengarungi kehidupan berumah tangga mulai dituntut agar dapat berperan nyata.

Pengertian Ta’aruf
Berta’aruf artinya berupaya untuk dapat saling mengenal dan memahami satu sama lain baik untuk keperluan yang umum maupun keperluan yang khusus dengan cara-cara yang ma’ruf (sesuai syari’at). Aktifitas berta’aruf terjadi karena memang ﷲﺍ SWT menciptakan manusia antara satu sama lainnya dengan saling memiliki perbedaan agar dapat saling mengenal pula. ﷲﺍ SWT berfirman:

’Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui’ (TQS. Ar-Ruum [30]:24)

’Hai manusia sesungguhnya kami telah menciptakan kalian dari seorang pria dan seorang wanita, lalu menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal’ (TQS. Al-Hujurat [49]:13)

Berdasarkan ayat di atas, maka aktifitas saling mengenal antara seorang manusia dengan yang lainnya merupakan aktifitas yang lumrah dilakukan karena fitrah manusia memang diciptakan saling berbeda-beda. Sebagai seorang muslim, arahan kita dalam menjalani kehidupan umum adalah kita diperintahkan oleh ﷲﺍ Swt untuk dapat saling mengenal, bahkan dianjurkan pula saling mengikatkan silaturrahim dan berbuat kebaikan terhadap satu sama lain yang semuanya dilakukan dalam rangka ketaatan kepada ﷲﺍ Swt. Dari nu’man bin basyir bahwa rasulullah Saw bersabda:

’Perumpamaan orang-orang mu’min dalam hal berkasih sayang dan saling cinta-mencintai dan mengasihi diantara mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merasa sakit, maka seluruh anggota tubuh yang lain merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan merasakan demam (Mutafaq ’Alaih)’

Imam muslim meriwayatkan dari ’iyadh bin himar, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:

’Penghuni syurga itu ada tiga golongan. Pertama, penguasa yang adil, suka bersedekah, dan sesuai (dengan syari’at). Kedua, orang yang penyayang, hatinya mudah terenyuh untuk membantu kerabat, serta berserah diri (kepada Alloh SWT). Ketiga, orang yang menjaga kesucian diri dan menjadikan orang lain suci atas perlindungannya’

Jarir bin abdullah berkata bahwa rasulullah saw bersabda:
Alloh SWT tidak akan memberikan rahmat kepada orang yang tidak menyayangi manusia (HR. Muslim)

Sedangkan untuk keperluan yang khusus (khithbah), maka ta’aruf dilakukan untuk tujuan saling mengenal dan memahami berbagai karakter, kebiasaan, kondisi fisik, kesiapan materi/non-materi, dan sebagainya yang semuanya dilakukan dalam rangka proses mempersiapkan sebuah rumah tangga. Sehingga berta’aruf dalam konteks ini bukan hanya sekedar mengenal nama dan wajah seseorang saja, tetapi boleh mengenal hal-hal lebih dari itu, asalkan tetap mengikuti ketentuan syari’at. Dari Jabir Bin ’Abdillah, Rasulullah Saw bersabda:
  • ’Apabila seseorang diantara kamu meminang seorang perempuan, jika ia dapat melihat lebih dahulu apa yang menjadi daya tarik untuk menikahinya, hendaklah ia melakukannya (HR. Abu Daud)’
  • Dari mughirah bin syu’bah, ia pernah meminang seorang perempuan, lalu Rasulullah Saw bersabda kepadanya:
  • ’Sudahkah engkau melihatnya? Jawabnya ’belum’. Beliau bersabda:’lihatlah dia terlebih dahulu agar nantinya kamu berdua dapat hidup bersama lebih langgeng (dalam keserasian berumah tangga). (HR. An-nasa’i, Ibnu Majah, dan Tirmidzi. Hadits hasan)’
Dari Abu Umaid As-Sa’idi, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
’Bila seseorang diantara kamu meminang seorang perempuan, tidak berdosa ia melihatnya, asalkan melihatnya hanya untuk kepentingan meminang, sekalipun perempuan itu sendiri tidak tahu. (HR.Ahmad).’

Melihat seorang akhwat yang dikhithbah tentu bukan sekedar melihat fisiknya (kecantikannya) tetapi juga melihat berbagai hal (non-fisik) yang diperlukan untuk menguatkan keputusan memilih akhwat tersebut seperti karakter, kebiasaan, perangai, ketakwaannya dalam beribadah, dan beberapa hal lainnya sehingga seorang ikhwan dapat menyimpulkan bahwa ia merupakan akhwat yang memang didambakan karena kesolehannya. Hal yang sama juga berlaku bagi seorang akhwat dalam menilai dan mempertimbangkan seorang ikhwan yang sedang mengkhithbahnya, sehingga dapat disimpulkan ia adalah seorang ikhwan yang cocok dengan keinginan saya, karena saya menemukan kesolehannya.

Dengan demikian, berta’aruf dapat difahami sebagai aktifitas yang boleh dilakukan oleh seorang muslim baik untuk keperluan umum maupun keperluan khusus. Namun, apabila ta’aruf dilakukan untuk keperluan khusus (khithbah), maka khithbahnya sendiri harus dilakukan terlebih dahulu baru kemudian diperbolehkan untuk mengetahui secara lebih jauh sisi kehidupan seseorang yang dikehendaki menjadi calon pasangan hidupnya tersebut.

Ketentuan-Ketentuan Dalam Ta’aruf
a. Ketentuan Umum Syari’at 
Dalam melakukan ta’aruf, baik untuk keperluan umum maupun keperluan khusus (khithbah) ini tetap wajib memperhatikan batasan-batasan syariat, terutama jika interaksi tersebut terjadi antara laki-laki terhadap perempuan serta sebaliknya. Beberapa ketentuan syari’at tersebut menurut an-nabhaniy (2001:26) antara lain:
Pertama, menundukan pandangan. ﷲﺍ Swt berfirman:
’Katakanlah kepada laki-laki mukmin hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya. Sikap demikian lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya ﷲﺍ SWT Maha Tahu atas apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita mukmin, hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya’ (TQS An-Nur [24]:30-31)
Kedua, mengenakan pakaian yang menutup aurat (bagi wanita mengenakan khimar dan jilbab) serta tidak bertabarruj (berhias). Firman ﷲﺍ Swt:
  • ’Janganlah mereka menampakan perhiasannya selain yang biasa tampak padanya. Hendaklah mereka menutupkan kerudung (khimar) ke bagian dada mereka (TQS. An-Nur [24]:31)
  • Wahai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan wanita-wanita mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka (TQS. Al-Ahzab [33]:59)
Ketiga, jangan berkhalwat (berdua-duaan) kecuali disertai mahramnya ataupun berikhtilath (campur-baur). Aktifitas yang terkategori berkhalwat adalah berkumpulnya seorang laki-laki dan seorang perempuan baik di tempat yang khusus/ umum tanpa disertai mahram ataupun tanpa adanya keperluan yang syar’i. Sedangkan beikhtilath adalah berkumpulnya laki-laki dan perempuan baik di tempat yang khusus/ umum baik disertai mahram/ tidak, namun tanpa adanya keperluan yang syar’i. Rasulullah Saw bersabda

Tidak diperbolehkan seorang pria dan wanita berkhalwat, kecuali jika wanita itu disertai mahramnya

Ibnu Abbas menuturkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
  • Janganlah sekali-kali seorang pria berkhalwat dengan seorang wanita kecuali jika wanita itu disertai dengan seorang mahramnya. Tidak boleh pula seorang wanita melakukan perjalanan kecuali disertai mahramnya.
  • Dalam hal ini perlu difahami lebih dalam mengenai pengertian tempat (kehidupan) khusus dan tempat (kehidupan) umum.
Keempat, hubungan kerjasama antara laki-laki dan perempuan hendaknya bersifat umum/muamalat seperti dalam urusan transaksi jual-beli, pendidikan dan kesehatan, bukan untuk aktifitas yang khusus seperti saling mengunjungi atau jalan-jalan bersama antara pria dan wanita yang bukan mahram. Adapun dalam rangka khithbah maka boleh saling mengunjungi tempat tinggal masing-masing, dan boleh berkomunikasi langsung, namun tetap ditemani mahramnya.

b. Hal-Hal Apa Saja Yang Boleh Diketahui
Kepentingan untuk mengenal seseorang yang dikehendaki agar menjadi pasangan hidup tentu berbeda dengan kepentingan untuk mengenal seseorang sebagai teman biasa atau untuk keperluan biasa, seperti mengenal teman sekelas, teman satu kost-an/ lingkungan tempat tinggal, ataupun mengenal seseorang terkait dengan kepentingan muamalah sehari-hari (transaksi jual-beli, kesehatan, pendidikan). Dalam mengenal seseorang untuk kepentingan yang biasa/umum maka seorang muslim diperbolehkan untuk mengetahui seseorang yang lain sebatas pada keperluan interaksi tersebut, misalnya sekedar mengetahui nama, nomor telpon, alamat rumah, dan lainnya asalkan sebatas pada keperluan umum (yang syar’i) tersebut saja, apapun jenisnya. Atau boleh juga mengetahui hal-hal yang lebih rinci asalkan kedua belah pihak telah saling meridhai dan bukan dimaksudkan untuk perbuatan maksiat, misalnya meminta data identitas seseorang tetapi untuk melakukan penipuan, pencurian, fitnah, dll. Maka hal ini tidak diperbolehkan.

Adapun dalam rangka khithbah, maka ta’aruf yang dilakukan adalah untuk mengenal sisi kehidupan yang lebih luas antara satu sama lainnya. Hal-hal yang boleh diketahui pun bukan hanya nama ataupun wajahnya saja, tetapi juga sisi kepribadiannya (cara berfikir dan berperilaku), keluarganya, lingkungannya, aktifitasnya, bahkan untuk hal-hal yang mubah sekalipun, seperti: warna kesenangan, makanan kesenangan, hobi, dsb. Baik secara langsung maupun melalui mahram atau orang lain yang dipercayakan. Semuanya itu dilakukan dalam rangka untuk saling menguatkan perasaan menyukai, mencintai dan menyayangi sehingga semakin kuat pula keinginan diantara mereka untuk segera beranjak kepada aqad pernikahan. 

Yang perlu difahami juga adalah perlu adanya kesadaran tentang keikhklasan dan keridhaan hati untuk menerima karunia yang ﷲﺍ Swt tunjukan, sehingga senantiasa bersyukur atas apa-apa yang ﷲﺍ SWT berikan baginya. Permasalahan menetapkan kriteria yang unggul (high level) bagi calon pasangan hidup yang diharapkannya merupakan hal yang mubah, namun memahami realitas terhadap fitrah manusia yang jauh dari kesempurnaan dalam banyak hal, juga merupakan keharusan. Apabila semata-mata kriteria fisik, materi, pendidikan, dan lainnya ternyata dijadikan kriteria utama, maka tentu hal ini tentu tidak tepat. Karena bagi seorang muslim baik laki-laki maupun perempuan senantiasa harus menjadikan kriteria keimanan dan ketakwaan kepada Alloh SWT swt sebagai kriteria utama. Oleh karenanya di sinilah kematangan ilmu dan sikap seorang muslim ditantang untuk berperan, yaitu bagaimana ia dapat mengambil sikap terbaik untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di hadapannya agar dikaitkan pula dengan pemahaman yang ia miliki. Dalam hal ini Rasulullah telah menuntun kita bahwa Beliau Saw bersabda:

”Barang siapa yang menikahi wanita karena semata kemuliaannya, niscaya ﷲﺍ Swt tidak akan menambahkan sesuatu kepadanya selain kehinaan. Barang siapa yang menikahi wanita hanya karena hartanya semata, niscaya ﷲﺍ Swt tidak akan menambahkan sesuatu kepadanya selain kefakiran. Barang siapa yang menikahi wanita karena keturunannya semata, niscaya ﷲﺍ Swt tidak akan menambahkan sesuatu kepadanya selain kerendahan. Barang siapa yang menikahi wanita karena hendak menundukan pandangannya atau untuk menjaga kehormatannya (kemaluannya) atau karena hendak menyambung tali persaudaraan, niscaya ﷲﺍ Swt akan memberkatinya di hadapan istrinya dan memberkati istrinya di hadapan suaminya” (HR. Abu Daud dan An-Nasa’i) 

Demikian pula kepada kaum wanita, Rasulullah pun telah memberikan pesan yang sama, agar jangan terpukau oleh hal-hal yang bersifat fisik dan materi dalam menetapkan pilihan pasangan hidup. Namun kriteria agama lah yang harus menjadi pertimbangan. Beliau saw mengingatkan:

Ika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridhai agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah, jika kalian tidak melakukannya maka akan datang kerusakan di muka bumi dan fitnah yang luas (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Dengan demikian, apabila dalam berta’aruf ternyata menemukan kekurangan-kekurangan dari calon pasangannya maka itu merupakan hal yang wajar, karena tentu kita pun memiliki kekurangan-kekurangan pula bagi dirinya, (selain tentunya bagi satu sama lain, kita pun dapat saling memberikan kelebihan yang kita miliki). Pandanglah kekurangan-kekurangan itu sebagai celah dan peluang ibadah yang dapat kita optimalkan melalui upaya dapat saling melengkapi dan memperbaiki nantinya. Namun apabila hal yang menjadi kekurangan tersebut bersifat prinsip/ mendasar seperti gemar bermaksiat, murtad, berkhlak buruk, berpenyakit berbahaya, dan lainnya yang dianggap sulit diperbaiki serta akan menghambat terwujudnya kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan warrahmah maka keputusan untuk membatalkan khithbah tentu merupakan hak (sekaligus bisa menjadi kewajiban) bagi masing-masing.

c. Akhlak Dalam Berta’aruf
Selain secara keseluruhan harus memperhatikan ketentuan umum syari’at sebagaimana disebutkan di atas, maka dalam melakukan ta’aruf dalam rangka khithbah juga harus menampakan kemuliaan akhlak satu sama lain. Misalnya: 
  1. Tidak mengungkapkan perkataan/ungkapan yang kurang baik, yang mengarah pada syahwat, tidak sopan, tidak santun, menghina, merendahkan dsb; 
  2. Saling mendo’akan; saling mengingatkan untuk bertakwa dan berbuat kebaikan; saling menyapa dengan panggilan yang disukai; jujur dan terbuka dalam menjelaskan keingintahuan salah satu calon pasangan (baik yang menjelaskan itu calonnya langsung, maupun mahramnya) bahkan saling memberi hadiah.
  3. Merahasiakan kepada orang lain (yang tidak berkepentingan) terhadap berbagai informasi yang didapat tentang calon yang dikhithbahnya. Hal ini semata-mata untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan satu sama lain.
  4. Tidak menyebarluaskan kepada orang lain perihal proses khithbah dan ta’aruf yang sedang dijalaninya, kecuali untuk kepentingan yang syar’i. Karena, dalam proses khithbah dan ta’aruf masih memungkinkan adanya pembatalan. Sehingga bagi kedua belah pihak akan terasa menambah beban psikologis ketika informasi khithbah ini telah sampai kemana-mana, sedangkan khithbahnya sendiri ternyata dibatalkan.
  5. Saling mengingatkan dan memperbaiki diri jika dalam berta’aruf dikhawatirkan melakukan perbuatan yang keliru atau kurang baik.
  6. Menjalin komunikasi dan silaturrahim yang baik terhadap satu sama lain (termasuk terhadap keluarganya),
  7. Mampu menempatkan permsalahan yang dihadapi ketika berta’aruf secara wajar. Artinya perlu adanya kedewasaan berfikir dan bersikap yang didasarkan pada hukum syara’, sehingga ketika ada masalah yang kecil jangan dibesar-besarkan apalagi atas dasar emosional, sebaliknya masalah yang besar jangan dianggap sepele, karena tertutupi oleh hawa nafsu (cinta buta).
  8. Memperhatikan berbagai hal lainnya yang menurut syara’ merupakan kebaikan-kebaikan yang dianjurkan ataupun keburukan-keburukan yang harus ditinggalkan sepanjang dalam rangka untuk menguatkan pilihan terhadap satu sama lainnya.
d. Media/ Sarana Dalam Berta’aruf
Menggunakan suatu media/ sarana yang menjadi wasilah (perantara) dalam melakukan ta’aruf hukumnya terkait dengan hukum perbuatan, yaitu adanya kaidah Syara’ yang menyatakan :
Al ashlu fil af’al attaqayidu bi hukmi syar’i

Hukum asal dari suatu perbuatan terikat oleh hukum syara’ (apakah termasuk Wajib, Mandub, Mubah, Makruh, Haram ?)

Sedangkan media/ sarana yang digunakan dalam berta’aruf itu terkait dengan hukum suatu benda, sebagaimana kaidah syara’ menyatakan:

Al ashlu fil asya’ al ibaha laa ..........
Hukum asal dari suatu benda adalah mubah, sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya (apakah Halal, Mubah Makruh, dan Haram?)

Oleh karena itu, aktifitas ta’aruf sebagai bagian dari proses khithbah yang jika sebelumnya dilakukan dengan bertemu langsung (yang disertai mahramnya), bisa juga dilakukan dengan menggunakan media komunikasi yang memungkinkan. Media tersebut hukumnya mubah seperti melalui: surat, e-mail, chatting, sms, mms, suara via telpon, dsb. Yang merupakan output dari penggunaan media kertas, hp, faximile, komputer/internet, pesawat telpon, dll. Hanya saja ketika menggunakan media tersebut untuk berta’aruf jangan sampai melakukan hal-hal yang cenderung sebagai pelanggaran syari’at seperti mengirimkan ungkapan, gambar, kata-kata,, ucapan yang dapat menimbulkan syahwat, penghinaan, merendahkan, atau mengajak pada kemaksiatan. Yang terpenting adalah kalau ta’arufnya menggunakan jasa warnet atau wartel jangan sampai lupa bayar pulsanya juga.... J

Khatimah
Demikian sekilas pandangan tentang melakukan proses ta’aruf sebagai bagian dari aktifitas yang dilakukan manusia baik untuk keperluan umum maupun keperluan khusus. Untuk keperluan khusus (khitbah), aktifitas ta’aruf jangan disamakan dengan aktifitas pacaran ataupun aktifitas setengah pernikahan, karena antara keduanya telah nampak perbedaan yang jelas, yaitu ta’aruf sebagai aktifitas yang dianjurkan (sunnah/mandub) sedangkan pacaran/ sejenisnya merupakan aktifitas yang diharamkan oleh ﷲﺍ swt karena menjadi pintu gerbang menuju perzinahan. Sebagaimana firmannya dalam al-qur’an:

Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina itu suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk (TQS. Al-Israa:32)

Sementara itu Jabir menuturkan riwayat sebagai berikut:
Rasulullah saw bersabda ’jika salah seorang diantara kalian ingin melamar seorang wanita, sementara ia mampu untuk melihat apa yang mendorongnya untuk menikahinya, hendaklah ia melakukannya’. Jabir kemudian berkata, ’aku lantas melamar seorang wanita yang sebelumnya secara sembunyi-sembunyi aku lihat hingga aku memandang apa yang mendorong aku menikahinya’

’Siapa saja yang beriman kepada Alloh SWT Swt dan hari akhir, janganlah sekali-kali ia berkhalwat dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya, karena yang ketiga diantara keduanya adalah syetan’.

ﷲﺍ Swt telah menegaskan:
Apa yang diberikan rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Alloh SWT (TQS. Al-Hasyr :7)

Dan janganlah kamu mencampuradukan antara yang haq dan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu padahal kamu mengetahui nya. (TQS. Al-Baqarah [2]:42)

Wallohu a’lam bi shawab 

Daftar Bacaan:
  • An-Nabhaniy, Taqiyuddin. 2001. Sistem Pergaulan Dalam Islam. Kitab Mutabannat Hizbut Tahrir. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah
  • ...........................................2004. Pilar-Pilar Pengokoh Nafsiyah Islamiyah. Kitab Mutabannat Hizbut Tahrir. Jakarta: HTI Press
  • Januar, Iwan. M. 2005. Bila Cinta Tak Berbalas. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
  • Kurnia, MR. 2005. Menjalin Cinta Suci. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
  • KALAM UPI. 2003. Islam Saja Bekal Bagi Pemuda Muslim. Bandung: Kalam Press
  • Solihin, O. 2005. Izinkan Aku Menikahimu. Booklet. Bogor: Al-Azhar Press
  • Thalib, Muhamad.Drs. 2002. 15 Tuntunan Meminang Islami. Booklet. Bandung: Irsyad Baitus Salam